rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Thursday 12 February 2015

Muslihat Kakek Dewo 14




Melalui telepon genggamnya, Rohmah berpesan kepada Adinda, teman sekolahnya yang tadi janjian mau mengerjakan PR bersama. “Maaf, ya Din. Aku masih sibuk di Masjid. Ada anak-anak kecil yang harus kuajari mengaji. Tapi kayaknya sebentar lagi udah beres kok.”

“Jadi aku bagaimana dong?” tanya Adinda.

“Tunggu di situ saja. Sekitar dua puluh menit lagi aku sudah sampai rumah kok. Atau, mau ditunda besok saja?” tawar Rohmah.

“Aku ingin makalah ini cepat selesai... ya udah deh, biar kutunggu di sini saja.” kata Adinda pasrah.

“Maaf ya, Din. Kalau mau apa-apa, ambil saja sendiri. Atau, tanya saja sama mbak Wiwik,”

“Nggak ada. Cuma ada ibumu di sini.”

“Ya udah, minta saja sama ibuku. Pokoknya anggap saja rumah sendiri, Din.”

Adinda mengangguk dan segera mematikan hapenya. Gadis manis bertubuh sekal, mungil dan berdada kencang itu terpaksa harus menunggu. Satu jam lewat dia duduk di teras, sampai akhirnya pindah ke ruang tamu untuk membaca majalah yang ada di bawah meja. Namun Rohmah masih belum pulang juga. Mula-mula memang ia ditemani oleh Nyai Siti, tapi lama-lama obrolan mereka jadi nggak nyambung dan menjenuhkan sehingga Adinda mengganti kesibukannya dengan membaca majalah.

Nyai Siti tampak lebih tertarik dengan ‘sesuatu’ yang ada di dalam kamarnya, karena beberapa kali perempuan itu bolak-balik ke dalam dan lama tak kunjung keluar. Adinda sendiri tak keberatan ketika Nyai Siti akhirnya tak menemuinya lagi. Adinda merasa lebih tenang memandangi gambar-gambar cantik dan bentuk tubuh yang indah di majalah, ketimbang ngobrol dengan Nyai Siti yang seperti menyimpan sebuah misteri.

20 menit lagi berlalu, dan Rohmah tetap belum pulang. “Kalau ada mbak Wiwik enak nih, bisa jadi penghiburku. Biar usia kami terpaut 2 tahun, tapi mbak Wiwik senang bercanda, dia kocak dan supel.” pikir Adinda sambil membolak-balikkan majalah. Dia merasa tengkuknya dingin, tapi tak begitu dihiraukan Hanya diusap saja sambil lalu. Arlojinya dilirik, jarum jam menunjukkan pukul 20.14, masih belum larut malam.

Tapi Adinda lupa bahwa malam itu adalah malam Jumat Wage. Menurut kepercayaan orang Jawa, malam Jumat Wage punya kekuatan mistis tersendiri, hampir menyamai malam Jumat Kliwon. Maka wajarlah kalau malam itu hembusan angin terasa aneh. Seperti meninggalkan kelembaban tipis di kulit tubuh manusia. Wajar juga jika malam itu ada aroma aneh yang tercium di hidung Adinda. Aroma wangi aneh itu menyerupai keharuman dupa atau kemenyan. Tapi sebenarnya jauh lebih wangi dari asap dupa dan kemenyan .

“Bau apaan sih ini, wanginya aneh sekali?!” gumam hati Adinda sambil tengok kanan-kiri. Ada kecemasan yang mulai mengusik hati gadis itu. Ada rasa penasaran juga yang mendesak hati Adinda untuk mencari tahu, wewangian apa yang saat itu tercium olehnya.

Makin lama hembusan angin makin kencang. Tubuh Adinda mulai merasakan dinginnya malam, karena malam itu dia hanya mengenakan blus longgar lengan panjang dengan rangkapan jilbab dari bahan satin tipis. Celananya yang juga longgar, dari bahan sejenis beludru yang lentur, tak mampu menutupi bentuk tubuhnya yang meliuk-liuk indah.

Pintu kamar terkuak dan keluarlah Nyai Siti dengan badan penuh peluh dan wajah masih merah padam. Perempuan cantik berkebaya coklat itu clingak-clinguk dengan dahi berkerut. “Siapa sih yang bakar menyan sore-sore begini?!” gumamnya seperti bicara pada diri sendiri.

“Menyan?! Jadi bau harum ini dari asap bakaran menyan ya, Nyai?” tanya Adinda curiga.

“Iya, ini bau asap kemenyan.” Nyai Siti mengangguk memastikan. Kalau saja kebayanya tidak berwarna gelap, Adinda pasti bisa melihat dengan jelas ceceran sperma yang menempel di bokongnya.

“Kemenyan itu bukannya yang dipakai untuk memanggil jin atau...” Adinda tidak berani meneruskan kata-katanya.

“Tidak apa-apa, mungkin ini hanya ulah orang iseng.” Nyai Siti bergegas menjauh ke kamar mandi.

Sementara di ruang tamu, Adinda tak meneruskan membaca majalah karena melihat kedatangan seorang tamu. Karena pada waktu itu Nyai Siti masih berada di kamar mandi, maka Adinda lah yang menyambut kedatangan tamu tersebut. Dalam hati kecil Adinda sempat merasa heran, seiring kedatangan tamu itu, bau kemenyan terhirup semakin tajam. Adinda semakin berdebar-debar memandangi langkah sang tamu yang mendekati teras. Keadaan sang tamu menimbulkan keheranan dan perasaan bingung bagi Adinda.

Tamu itu adalah seorang kakek berusia lebih dari 60 tahun. Rambutnya putih kusam, agak awut-awutan, jenggotnya belang, tak terurus seperti rambutnya. Kakek yang masih tampak tegap itu memandang Adinda dengan matanya yang cekung menyeramkan, sementara di tangannya tergenggam tongkat hitam sebagai penopang langkahnya.

Pada saat Adinda ditatap dengan dingin, sekujur tubuhnya jadi merinding. Namun anehnya ia tak mampu pergi dari ruang tamu itu, seakan kakinya tertanam ke dalam tanah. Sampai akhirnya kakek yang rambutnya acak-acakan itu menginjakkan kakinya di lantai rumah juga. Kaki kurus itu menggunakan alas kaki dari bahan karet murahan. Pakaiannya yang gombrong menyerupai rompi berwarna abu-abu, terlihat melambai-lambai karena ditiup angin. Adinda mencium bau kemenyan lebih tajam setelah kakek misterius itu berada dalam jarak sekitar 3 meter dari tempatnya berdiri.

Adinda memaksakan diri agar tetap tenang, walaupun yang terjadi adalah kegugupan samar- samar dengan kaki dan tangan gemetar. “Hmm, ehh, mmm... mari, silakan duduk. Kakek mencari siapa?” tanya Adinda bingung.

“Cantik sekali kamu, Nduk!” jawabnya datar dan menggetarkan jiwa.

“Hmm, t-terima kasih, Kek!" Adinda memaksakan untuk tersenyum walaupun sangat kaku dan hambar.

“Hmm!” jawabnya dalam gumam pendek. Matanya melirik ke arah dalam rumah. Lirikannya... sungguh mengerikan bagi Adinda.

“Nyai Siti... eh, anu... maksud saya, Kyai Kholil nggak ada, Kek. Silakan duduk dulu. Hmm, ehh... kalau boleh saya tahu. Kakek dari mana?” tanya gadis itu.

Tak ada jawaban dari si kakek misterius. Yang ada hanya hembusan angin lebih kencang dan aroma harum kemenyan yang bercampur dengan aroma aneh lainnya, seperti bau keringat yang tak jelas bentuknya. Kadang bau sperma juga tajam tercium, tapi Adinda sama sekali tak mengetahuinya. Ia sama sekali tidak curiga kalau sedang dipelet oleh si Dewo.

“Kalau begitu, sini temani aku ngobrol.” Dewo tersenyum dan menepuk pundak gadis itu.

Adinda langsung berjengit, seperti tersengat arus listrik. Dan bersamaan dengan itu, pikirannya mendadak menjadi buram. Begitu mata dingin si Dewo memintanya untuk mendekat, maka seketika itu juga Adinda menjatuhkan tubuhnya tanpa bersuara. Jantungnya seakan berhenti berdetak dan terbelalak dengan mata terpentang sangat lebar hingga sulit untuk dikatupkan kembali ketika Dewo melakukan sesuatu yang sangat mengerikan. Adinda tahu, seharusnya dia menolak. Namun entah kenapa sama sekali tak mampu melakukannya.

Pelet si Dewo memang tak mungkin untuk dilawan! Sekali mangsa dijerat, maka tak akan bisa kabur lagi.

“A-apa yang bisa aku lakukan, Kek?” tanya Adinda ragu.

“Kamu santai saja,” Dewo mempersilakan dengan sopan, sungguh bertolak belakang dengan wajahnya yang angker. “Sekarang, lepas semua pakaianmu. Aku ingin melihat tubuhmu.”

Seperti orang bodoh, Adinda melakukannya. Ia segera mempreteli bajunya meski dalam hati merasa sangat bungung. Saat akan melepas dalemannya, Dewo melarang. “Yang itu jangan, biar nanti aku yang melepas. Sama jilbabmu juga jangan.”

Hanya dengan jilbab dan celana dalam, Adinda duduk bersebelahan dengan Dewo. Dengan gemas lelaki tua yang sudah bau tanah itu meraih tubuh sekal Adinda ke dalam pelukannya. Aroma parfum Adinda yang lembut membuatnya mulai naik, dibelainya bulatan payudara gadis itu yang kini hanya tertutup jilbab lebar.

“Hmm, gede juga susumu,” gumam Dewo sambil merebahkan tubuh mungil Adinda ke kursi ruang tamu. Dia langsung menciumi gadis itu sesaat setelah Adinda telentang. Diciumi kedua pipi dan kening Adinda, juga dilumatnya bibir gadis itu dengan rakus.

Adinda hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat melihat wajah seram Dewo yang mendekati mukanya. Belum pernah ada lelaki yang menciumnya, dan sekarang begitu mendapatkan, malah kakek tua renta seperti Dewo yang melakukannya. Bibir tebalnya terus melumat rakus, mengirim rasa muak pada diri Adinda pada awalnya, namun gadis itu tersadar bahwa ia sama sekali tidak sanggup untuk menolak. Inilah salah satu kehebatan pelet Dewo: semakin kuat korbannya melawan, maka dia akan semakin terjerat. Dan begitu sudah masuk ke dalam perangkap, maka tidak ada jalan untuk kembali.

Masih tetap memejamkan mata, Adinda mulai membalas lumatan bibir dan lidah Dewo dengan ragu-ragu. Meski batinnya menjerit, entah mengapa tubuhnya malah bergairah. Terasa aneh saat ia membalas lumatan laki-laki itu, sementara Dewo terus menyapukan lidah dengan terburu-buru dan melumat bibir tipis Adinda dengan mulutnya yang tebal. Dengan satu ‘tiupan’ terakhir, ia memasukkan sisa peletnya agar dapat menekan perasaan ragu yang timbul pada diri Adinda, lalu digantinya dengan bisikan gaib bahwa ini adalah sebuah kewajiban untuk dapat memuaskannya.

Tangan Dewo sudah menjelajah ke sekujur dada gadis itu; diremasnya bulatan payudara Adinda dengan kasar, diselipkannya di balik jilbab. Kulit tangannya terasa kaku saat meremas, dan Adinda menggeliat begitu Dewo mempermainkan putingnya yang mungil dengan dua jari.

“Hmm, Kek...” dia merintih, namun tetap diam saat satu tangan Dewo mulai mengelus celana dalam hitam berenda merah yang ia kenakan.

Sesaat Dewo menghentikan ciumannya, mengamati tubuh sekal Adinda, lalu tersenyum dan kembali melumat bibir tipis gadis itu dengan lebih bergairah. Bibir dan lidahnya beranjak menyusuri leher putih Adinda karena kini jilbabnya sudah disingsingkan ke belakang, Dewo ingin menatap bulatan payudara gadis itu dengan lebih jelas. Dipandanginya sejenak dua bukit kembar yang begitu putih dan mulus itu, dirasakannya dengan meremas-remasnya ringan, sebelum kemudian bibir tebalnya menyambar, mendarat tepat di puncaknya yang mungil menjulang kemerahan.

“Ahh...” Mata Adinda masih terpejam meskipun kegelian mulai menghinggapi tubuhnya.

Ia remas-remas rambut kaku Dewo ketika laki-laki itu terus menyusu di dadanya. Dia menggeliat tanpa sadar saat bibir tebal Dewo menyentuh putingnya. Terasa aneh pada awalnya, tapi makin lama makin terasa enak, hingga membuat Adinda mulai mendesis dalam nikmat. Apalagi Dewo menyelinginya dengan meremas-remas lembut puting yang satunya, bergantian mengulum dari puting kiri ke yang kanan, lalu balik lagi, dan begitu terus selama beberapa waktu sampai desahan Adinda semakin lepas keluar.

“Ahh... aughh... Kakek, a-apa yang... k-kakek l-lakukan?!! Arghh!!” Adinda menggelinjang.

Namun meski sudah kepanasan, mendesah serta keringetan, dia masih belum mampu membalas lebih jauh. Masih ada keraguan untuk menggerakkan tangannya ke selangkangan Dewo yang terasa mulai menegang, menyundul-nyundul kaku di perutnya. Terasa begitu membuai. Adinda hanya sebatas meremas-remas rambut laki-laki tua itu, karena sejujurnya memang baru pertama kali ini dia berbuat yang seperti ini.

“Ssh... nikmati saja, Nduk,” Dewo melanjutkan penjelajahannya, disusurinya perut Adinda dengan bibirnya yang tebal dan berhenti di selangkangan gadis muda itu.

Dia membuka lebar kaki Adinda, dan menarik turun celana dalam yang masih menutup di sana. Tanpa membuang waktu, lidahnya langsung menari pada biji klitoris Adinda, membuat si gadis langsung menjerit tertahan merasakan kenikmatan jilatan Dewo yang tak terduga. Mata Adinda masih terpejam, namun kini tangannya meremas-remas bulatan payudaranya sendiri untuk melampiaskan geli akibat lidah dan bibir Dewo yang bergerak liar di liang memeknya.

“Ahh, Kakek!! Aku... aughh....  geli!!” Gadis itu melambung dengan desahan semakin keras.

Sembari mempermainkan memek Adinda, tangan Dewo juga mengelus paha dan meremas-remas buah dada gadis itu. Remasannya begitu keras dan kasar, namun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya, malah semakin membuat Adinda menjerit takluk.

“Sini, Nduk!” Dewo merubah posisi, kini ia tuntun tangan Adinda agar meranjak ke batang kontolnya yang sudah tegang mengeras.

Dengan masih ragu Adinda memegang dan meremas-remasnya pelan. Kaget dia merasakan betapa panjang dan besarnya benda itu karena seumur-umur baru sekarang dia memegang kontol laki-laki. Karena penasaran, terpaksa ia membuka mata untuk melihatnya, dan langsung terhenyak. Dewo sudah telanjang di depannya, dengan kontol teracung sangat panjang dengan bentuk melengkung ke atas seperti busur panah. Sungguh sangat menarik sekali. Kalau bukan karena pelet, tidak mungkin Adinda bisa berpendapat seperti ini.

“Ahh...” Mata gadis itu kembali terpejam saat merasakan jilatan di memeknya kembali menghebat. Kali ini tanpa ragu lagi tangannya mulai mengocok-ngocok kontol panjang Dewo, rasanya tak sabar untuk segera merasakan benda itu masuk ke dalam liang memeknya yang masih perawan.

Dan keinginan itu tersampaikan beberapa menit kemudian, saat Dewo mulai berlutut diantara kedua kakinya. “Ahh... Kakek! Pelan-pelan saja,” pinta Adinda sambil menggelinjang.

Dia sudah siap seandainya benda itu melesak masuk, tapi Dewo justru mempermainkan dengan mengusap-usapkan penisnya ke paha dan bibir memek Adinda. Padahal kaki si gadis sudah terpentang lebar, dan pinggulnya turun-naik merasakan kegelian yang luar biasa di lubang memeknya.

“Ayo, Kek. Cepat masukkan!” kembali Adinda meminta.

“Dasar perempuan gatal, maunya cepat-cepat saja. Nih, emut dulu kontolku!” Dewo mengarahkan batang kontolnya ke mulut mungil Adinda.

Gadis yang masih mengenakan jilbab namun kini sudah awut-awutan itu, segera melahapnya dengan rakus. Dia mengulum dan menjilatinya sebisa mungkin, sempat beberapa kali pula tersedak, namun nampaknya cukup lancar meski ini adalah pengalaman pertamanya. Dewo tampak menikmati, dia mendesah-desah dengan mata tertutup sambil tangannya menggerayangi bulatan payudara Adinda yang berukuran cukup lumayan.

Setelah dirasa cukup, barulah Dewo kembali ke bawah. Dirabanya memek sempit Adinda sebentar sebelum sedikit demi sedikit kejantanannya memasuki liang kenikmatan itu.

“Aihh...” Adinda mulai menjerit. Ohh, betapa sakitnya kontol itu... tapi juga teramat nikmat! Makin dalam semakin nikmat, dan dia benar benar berteriak ketika Dewo berhasil menjebol selaput dara-nya.

“Pelan-pelan, kek... ughh! Pelan-pelan!” Adinda merintih saat Dewo mulai mengocok pelan maju-mundur. Sungguh sakit luar biasa, tapi juga ada sedikit rasa geli saat alat kelamin mereka saling bergesekan. Tak pernah Adinda merasakan yang seperti ini.

Dari tangis, perlahan jeritannya berubah menjadi rintihan. Dan manakala Dewo mengocok semakin cepat, sambil sesekali menyusu di puting payudaranya, desah napas Adinda pun semakin menderu, berpacu dengan desis dan jerit kenikmatannya. Dia tak bisa menahan rasa ini lebih lama lagi, matanya yang tak lagi terpejam bisa melihat dengan jelas ekspresi nikmat dari wajah Dewo yang hitam menyeramkan. Namun entah kenapa justru pemandangan itu terlihat begitu menggairahkan bagi dirinya.

Maka Adinda menurut saja ketika Dewo menunduk untuk mencium bibirnya, bahkan ia pun tak segan untuk ikut memeluk dan melumat rakus. Semuanya telah berubah akibat pengaruh pelet Dewo; dari yang asalnya menolak, kini Adinda sudah pasrah sepenuhnya, apalagi ketika merasakan nikmatnya kejantanan Dewo yang terus menghujam cepat seperti tiada berhenti.

Mereka terus mengayuh sampan birahi itu hingga ke tengah samudra nafsu yang terdalam. Keringat Dewo mengalir deras membasahi dada dan jilbab Adinda yang belum juga terlepas. Tubuhnya yang putih mulus semakin erat dalam dekapan tubuh hitam laki-laki tua itu. Dewo memeluk gadis itu dengan erat sembari pantatnya terus bergerak turun naik secara bertubi-tubi. Kocokannya berubah semakin cepat, membawa Adinda lebih dekat ke puncak birahinya.

“Ahh... Kakek!!” Jepitan kakinya pada pinggul Dewo membuat kontol laki-laki itu semakin dalam mengisi liang kenikmatannya. Ukurannya yang begitu besar serta bentuknya yang aneh dan panjang, serasa melempar Adinda hingga ke surga.

Pertahanannya pun jebol. Dengan kaki masih menjepit kuat, meledaklah jerit kenikmatannya. Ia mencengkeram erat kepala Dewo yang menempel di lehernya untuk meminta jeda sejenak, namun laki-laki itu justru malah mempercepat kocokannya.

Dewo kini berbaring telentang dan meminta Adinda agar duduk di atas. Dengan kondisi masih lemas, Adinda ragu apakah bisa bertahan lebih lama lagi. Sejenak ia pegang-pegang, lalu diremas-remas dan dikocoknya batang kontol Dewo dengan tangannya. Ini agar dia bisa menarik napas untuk beristirahat. Tak berkedip diamatinya kontol Dewo yang baru saja merobek perawannya., benda itu begitu keras dan hitam seperti kayu habis terbakar. Meski sudah tua, namun begitu kokoh dan kuat. Ingin rasanya Adinda melumatnya habis, namun Dewo keburu mengatur posisi tubuhnya hingga perlahan kontol itupun masuk kembali, menguak liang kenikmatannya mili demi mili hingga akhirnya terbenam semua.

“Ahh... enak memekmu, Nduk!” Dewo memandang, seolah menikmati ekspresi kesakitan yang kembali dialami oleh Adinda sembari tangannya menggerayangi kedua buah dada gadis muda itu. Dia mencegah Adinda yang mencoba membuka peniti jilbabnya.

“Biarkan saja. Sekarang, kamu goyangkan saja tubuhmu!” Dewo memang suka menyetubuhi perempuan dengan jilbab tetap terpasang, erotismenya terasa lebih nyata.

“Ahh... ahh...” Tubuh Adinda mulai bergerak turun-naik, pelan tapi semakin cepat dengan diiringi desahan dan jeritan nikmat dari Dewo. Mata laki-laki itu tak pernah lepas dari dadanya, terpancar ekspresi kepuasan di wajah Dewo saat tangannya menggerayang untuk meremas-remas benda bulat itu.

“Sini Nduk cantik,” Ditariknya tubuh sekal Adinda ke dalam pelukan. Kembali mereka saling mengadu bibir dan lidah. Hilang sudah rasa enggan pada diri Adinda, beralih dengan perasaan yang begitu eksotis, membuatnya makin bergairah dalam pelukan dan kocokan si laki-laki tua.

“Ahh... Kakek!!!” Adinda berteriak histeris ketika merasakan tubuh Dewo menegang saat menyemprotkan cairan spermanya. Pejuh kental itu terlontar sangat kencang hingga ke lorong rahimnya yang terdalam.

Adinda bisa merasakan dengan jelas denyutan demi denyutan kontol Dewo yang terus meludahkan cairan kental, membuat dinding-dinding memeknya jadi semakin lengket dan membanjir deras. Dewo memeluknya erat, sementara napas mereka menderu saling berpacu, lemas dalam keheningan. Hanya degup jantung yang saling bersahutan terdengar begitu keras.

Adinda menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki itu, merasakan kontol Dewo yang masih tegang tetap mengisi liang senggamanya. Jantungnya berdetak kencang, sementara pandangan matanya pun menjadi serba hitam pekat. Tulang dan urat-urat Adinda seperti putus semua, dan ia pun melayang entah ke mana. Gadis itu pingsan!

“Lho, dia kenapa Mas Dewo?!” Nyai Siti panik menemukan Adinda terkapar di kursi ruang tamu, sedangkan Dewo sudah memakai pakaiannya kembali.

“Hanya kecapekan,” kata Dewo sambil menyuruh Nyai Siti agar menutupi tubuh Adinda yang telanjang. “Nanti juga siuman.”

Nyai Siti memandangi wajah cantik Adinda yang kini sepucat mayat. Dia segera memasang kembali baju gadis itu sebisanya, sebelum Kyai Kholil pulang. Kalau sampai melihat Adinda dalam kondisi seperti ini, bisa-bisa suaminya itu tertarik dan ikut menyetubuhinya juga. Sesuai pesan dari Dewo, setelah semua lubangnya dicicipi, barulah korban yang masih perawan boleh diambil oleh Kyai Kholil. Nyai Siti berniat untuk mematuhinya karena tidak ingin kena marah.

“Bagaimana Bayu, sudah kau laksanakan perintahku?” tanya Dewo sambil mengambil air minum dari panci yang ada di dapur.

“Sudah 2 kali spermanya kukuras, tapi tetap masih belum encer juga. Sepertinya dia cukup kuat.” sahut Nyai Siti.

“Lakukan terus, kalau perlu sampai dia pingsan. Aku baru bisa memasukkan guna-gunaku kalau dia sudah benar-benar menyerah.”

Nyai Siti mengangguk dan lekas beranjak ke kamar. Di sana, terikat di atas ranjang, tampak Bayu berbaring lemas dengan tubuh telanjang bulat. Kontolnya sudah kemerahan akibat terus disepong dan dipakai oleh Nyai Siti. Namun kini benda itu sudah kembali berdiri menegak. Nyai Siti segera menyingkap kebayanya dan duduk mengangkangi, kembali memasukkan batang kontol itu ke dalam celah memeknya yang melembab cepat.

“Ahh...” Bayu mendesah, terlihat linglung dan bingung. Selanjutnya ia merintih begitu Nyai Siti mulai menggoyang tubuh sintalnya naik-turun secara perlahan-lahan.

“Mungkin kamu harus meminta bantuan pada Rohmah atau Wiwik,” kata Dewo yang melongokkan kepala di sela-sela pintu.

“Hhh... sepertinya memang begitu,” desah Nyai Siti, dan kini menggoyang semakin cepat.

Menyeringai senang, Dewo segera beranjak kembali ke ruang tamu. Dipandanginya tubuh sekal Adinda yang masih pingsan. Untuk ronde kedua nanti, ia berniat untuk mencicipi lubang anus gadis itu. Tapi sepertinya Dewo harus bersabar hingga Adinda siuman.

No comments:

Post a Comment