Joko terbangun karena sinar matahari sore menyeruak masuk dari jendela kamar itu, matanya yang masih terasa berat mencari-cari ibunya yang sudah tak ada di sampingnya.
"Ibu sudah bangun rupanya," pikir Joko, selangkangannya terasa lengket karena setelah persenggamaan hebat tadi ia tidak ke belakang untuk mencuci burungnya. Joko bangun dan memakai bajunya, ini kamar ibunya, jam dinding sudah pukul 3. Lamat-lamat Joko mendengar perbincangan perempuan dari ruang tamu. Joko bangun, suara tamu itu seperti dia kenal.
"Kaya suara ibunya Dirgo," pikir Joko, ia menyibakkan kelambu yang menjadi pembatas ruang tamu dan ruang tengah.
"Eh, nak Joko, baru bangun tidur ya?" sapa merdu tamu perempuan yang ternyata memang ibu Dirgo, sahabatnya.
"Iya, bu, kok tumben? Dirgo gak ikut?" kata Joko sambil menyalami tangan halus tamunya. Ibu Dirgo memang tak kalah cantik dengan ibunya, sambil duduk di samping ibunya, Joko mengira-ngira besaran susu tamu di depannya yang terlihat menggelembung padat.
"Dirgo di rumah,tadi juga masih tidur. Ini lho, kemarin kan ibu dengar kabar ibumu sakit, kambuhnya pas di kelurahan, jadi ya nyempatin jenguk. Syukur ibumu sudah sehat lagi."
"Ooow.." Joko mengangguk-angguk pasang muka bloon, tapi dalam hati tertawamengingat tadi sakit ibunya karena hp yang masuk dalam vagina.
Sumini yang melihat ekspresi blo'on Joko, kesel juga. Apalagi ia tahu dari tadi mata anaknya itu selalu menempel di dada tamunya. Di bawah meja, dengan gemas tangannya mencubit paha Joko, lumayan keras hingga membuat anaknya meringis kesakitan.
"Kamu mandi dulu sana, tampangmu berantakan gitu," hardik Sumini pada anaknya.
"Iya, iya.. bu Atik, Joko mandi dulu ya," pamit Joko pada tamunya sambil meringis menahan sakit cubitan ibunya.
"Iya, silahkan, biar seger dan tambah ganteng," ucap Atikah.
"Anak anak sekarang males-males, dek Atik. Jangankan disuruh nyangkul, diam di rumah aja gak betah," kata ibu Joko.
"Tapi kan mbak Sum kuat bayarin orang buat nyangkul di sawah, lha pake Dirgo nyangkul sendiri, mbak, Dirgo mana mau bantu."
"Ah, ya sama aja to, dek, nyangkul sendiri kan hasilnya gak usah dibagi. Aku bayar orang juga terpaksa, dek, suami gak punya, Joko masih sekolah."
"Eh, mbak Sum gak nyari lagi toh? Di desa sebelah ada duda kaya loh,"
"Halah, gak, dek. Saya sudah tenang hidup bersama Joko, dari hasil sawah sudah lumayan kalau buat makan," jawah Sumini pelan, pikirannya menerawang jauh dimasa ketika suaminya masih hidup.
Atikah memandangi perempuan di depannya yang tampak merenung, dari kelambu yang terbuka, ia melihat Joko yang baru selesai mandi membawa tumpukan baju yang rupanya baru saja ia ambil dari jemuran. Joko bertelanjang dada, hanya bercelana kolor, dengan kesan basah habis mandi. Ruangan tengah itu cukup gelap karena tak ada jendela, cukup luas juga dengan tv 21 inchi di sudut ruangan.
"Klik," meski pelan, Atikah bisa mendengar Joko sedang menyalakan tv. Ruang tengah itu nampak temaram oleh cahaya tv dan Joko berdiri disana di depan tv dengan posisi menyamping sedang memilah-milah pakaian, kolor yang dipakainya ternyata tipis, dengan sinar tv di sampingnya seakan membuat celana kolor itu menjadi transparan.
Atikah tercekat.. gelantungan panjang besar itu begitu kentara bergoyang-goyang diantara selangkangan Joko. Atikah memerah wajahnya, ingatannya langsung ke Dirgo, anak kandungnya, yang beberapa hari ini telah memberinya kenikmatan batin.
"Ada apa, dek Atik, kok gelisah kelihatannya?" tanya Sumini yang heran melihat perubahan wajah tamunya.
"Gak papa, mbak.. inget ayam-ayam di rumah, Dirgo mau masukin ke kandang apa gak?" jawab Atikah ngawur mencari alasan, karena melihat seekor ayam nakal mengais-ngais sandal di teras rumah,
Sumini keluar mengusir ayam nakal itu dan menata lagi sandal-sandal yang berantakan, sejenak mengagumi sandal Atikah yang cantik, terlihat masih baru dengan motif bunga.
"Halah.. Dirgo kan udah gede, pasti tau tugasnya. Dek Atik duduk sini dulu, biar tak buatin minum,"
"Sudah, mbak, gak usah repot-repot."
"Gak papa, tunggu sebentar ya," ucap Sumini sambil bangkit dari duduknya. Ketika melewati ruang tengah dan melihat Joko di depan tv, Sumini sadar apa yang membuat tamunya sampai merah wajahnya tadi.
"Atikah rupanya nafsu juga liat anakku," pikir Sumini, hatinya tergelitik juga ingin tahu respon tamunya bila digoda anaknya. Di pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur, ia berhenti dan memanggil anaknya dengan suara pelan. "Ssst..Jok, sini.."
Joko menoleh, heran dengan sikap ibunya yang melongok dari pintu dapur dan melambai ke arahnya. "Ada apa sih..?" ia menghampiri ibunya dan menjawab sambil berbisik pula.
"Kolormu tuh.. tipis," bisik Sumini sambil mendelik ke arah kolor Joko.
"Emang kenapa?"
"Dari tadi diliatin ibunya Dirgo,"
"Masa sih?" tanya Joko tak percaya, tapi ibunya sudah ngeloyor pergi.
Joko kembali lagi ke tempat tadi dia berdiri, memisahkan baju-baju miliknya dan milik ibunya, ia berlagak cuek seolah tak ada apa-apa dan gerakan tiba-tiba menoleh pada Atikah yang duduk sendirian di depan. Perempuan itu nampak gugup mengalihkan pandangannya. Joko tersenyum, dalam hati ada rasa bangga karena diperhatikan oleh perempuan cantik itu.
"Jok, toples di lemari makan keluarin buat bu Atikah!" teriak ibunya dari arah dapur.
"Iya, buk," jawab Joko keras.
Joko berpikir ada sesuatu yang lain di perintah itu. Ia menghampiri lemari makan yang memang ada di ruang tengah. Ada 3 toples yang masing-masing berisi jagung, kacang dan kedelai yang telah digoreng kering oleh ibunya. Ada perasaan dag-dig-dug di hati Joko mengingat harus berdiri dekat bu Atikah dengan celana kolor tipis tanpa celana dalam, gelantungan burungnya tercetak jelas di kolor itu.Joko mengambil 2 toples dan berusaha sesantai mungkin menuju ruang tamu.
"Halah, kok repot-repot to, nak Joko?" kata Atikah, sekilas matanya melirik ke arah benda yang terlihat menggelantung di celana kolor anak muda itu.
"Gak kok, bu Atik," kini Joko berdiri di samping wanita cantik itu, kontolnya mulai menghangat karena terbawa suasana.
Joko meletakkan kedua toplesnya di meja tepat di depan tamunya. Posisi Joko yang berdiri membuat kontolnya dekat sekali dengan wajah bu Atikah yang sedang duduk di kursi. "Silahkan, bu Atik, seadanya. Cuma gorengan, gak ada yang seger-seger,"
"Liat dek Joko udah seger kok," jawab Atikah genit sambil mengerling ke arah kolor Joko.
"Yang itu juga disuguhkan kok buat bu Atik," ucap Joko nekat. Kepalang basah,pikirnya.
"Masa sih.. dah pengalaman ya?" kata Atikah pelan menggoda, matanya kini lekat di kolor Joko, seakan menunggu bangkitnya sang raksasa dari tidurnya.
"Gak pernah, bu," jawab Joko berbohong, sedikit gemetar ia di suasana itu, ada perasaan aneh yang timbul akibat sorot mata dari wanita matang yang menggoda ini. Seakan wanita itu menguasai dirinya dan tatapan bu Atikah yang nakal itu membuat burungnya mulai bangun setengah tiang.
"Maaf lho, dek Atik, nunggu lama," Sumini, ibu Joko, tiba-tiba muncul dari ruang tengah dengan baki dan 2 gelas teh. Joko tersentak kaget dengan kehadiran ibunya, buru-buru ia balik badan menyembunyikan tenda di kolornya.
"Lho, Jok, ini kacangnya mana? Kok cuma jagung dan kedelai?" ucap ibunya yang melihat cuma ada 2 toples di meja.
"Aduh, lupa, buk. Masih di lemari." jawab Joko yang buru-buru masuk menuju ke lemari di ruang tengah.
"Dek Atik, maaf tak tinggal lagi ya, tak mandi dulu, kalau malem-malem takut rematiknya kambuh lagi,"
"Silahkan, mbakyu, memang sakit rematik gak boleh mandi malem, mbakyu."
"Dek Atik jangan pulang dulu, aku masih ingin ngobrol sama dek Atik nanti,"
"Iya, mbakyu, aku gak kemana-mana kok," ucap Atikah santai.
Sumini lalu masuk ke dalam, di ruang tengah ia melihat Joko sibuk mengelap toples berisi kacang goreng. "Jok, temani buk'e Dirgo, ibuk tak mandi dulu."
"Beres, buk," jawab Joko sambil pura-pura sibuk mengelap membelakangi ibunya,ia tak mau ibunya melihat tonjolan di kolornya. Begitu ibunya menghilang di balik pintu dapur, Joko pun segera ke ruang tamu. Tenda di kolornya nampak terguncang-guncang ketika ia berjalan.
"Maaf lho, bu Atik, kacangnya lupa," ucap Joko sambil nyengir khas. Sebenarnya bisa saja Joko mengitari meja dan menaruh toples di sisi yang tidak membuat ia harus mepet-mepet pada tamunya, tapi Joko memilih untuk berdesakan dengan wanita cantik itu.
Atikah sendiri sejak Joko masuk, juga tanpa malu-malu memperhatikan selangkangan bocah tanggung tersebut.
"Diminum, bu Atik, tehnya." kata Joko sopan, saat itu Atikah duduk dengan tangan kanan terletak di atas sandaran kursi. Joko yang di sisi kanannya, membungkuk dan menaruh toples kacang jauh di sisi kiri bu Atik, akibatnya kontol ngacengnya bergesekan dengan tangan bu Atik yang di atas sandaran kursi.
Atikah berdesir. Nekat bocah ini, pikirnya. "Sudah, nak Joko, jangan repot-repot," ucap Atikah basa-basi, lengannya terasa panas terbakar panas kontol muda Joko.
Joko merasa mendapat angin, jadi berlama-lama di posisi itu. "Kok gak dibuka, bu Atik, toplesnya?" kata Joko dengan masih membungkuk, ia lalu membuka satu persatu tutup toples sambil membuat gerakan maju-mundur di pantatnya.
"Aduh, anak gila," pikir Atikah, "kepalang basah.." Atikah kemudian membalas gerakan kontol Joko dengan menggesek-gesek kontol yang nempel di lengannya.
"Pisang yang ini disuguhkan apa gak, nak Joko?" tanya Atikah genit sambil menggesek kontol Joko agak kuat.
"Pasti donk, bu Atik, apa sih yang gak buat bu Atik yang cantik?" jawab Joko, ia masih membungkuk dengan tangannya bertumpu pada meja.
"Mikirin apa sih kok jadi kenceng begini?" ucap Atikah pelan mendesah, tangannya kini menguruti tonggak keras seperti kayu di selangkangan Joko, hatinya berdebar kencang membayangkan besaran kontol itu yang melebihi besar kontol anaknya.
"Mikirin bu Atik yang cantik.." jawab Joko, matanya lekat meneliti setiap inchi wajah cantik berkerudung di depannya; mata Atikah yang bening, hidungnya yang berkeringat meski tidak terlalu mancung, tapi begitu serasi dengan pipi halus mulus di kiri-kanannya, bibirnya nampak penuh bergincu tipis, sedikit terbuka dengan barisan gigi putih nan rapi.
"Kok nak Joko bisa terangsang sama ibu-ibu tua seperti aku?" tanya Atikah pelan,matanya sayu menatap anak muda di depannya, sementara jari-jarinya masih mengurut-urut kontol Joko yang kini telah tegang sempurna, berdenyut pelan dengan urat-urat semakin bertonjolan.
"Siapa yang akan bilang bu Atik tua kalau cantik kayak gini.. emmh.. enak, buk.."
"Segede gini, belum pernah ngentot?" ucap Atikah setengah tak percaya.
"Ajarin dong, bu.."
"Kok ibuk? Sama pacar kamu kan bisa,"
"Gak punya pacar, buk..Kita ke kamarku aja yuk?" ajak Joko, ia sudah tak tahan dengan permainan tangan bu Atik di kontolnya.
"Jangan donk, kalau ibumu tau gimana.." jawab Atikah sambil tersenyum menggoda.
Joko dibuat mabuk kepayang, dengan nekat ia menyosor bibir yang sejak tadi menggodanya dengan senyum, dilumatnya dengan bernafsu, sementara itu jari-jarinya meremasi dada bu Atik yang membusung indah.
Atikah terengah-engah tak bisa bernafas karena Joko yang buas menyerangnya."Sudah, nak Joko.. nanti ketauan ibumu." bisik Atikah setelah melepaskan ciuman anak muda itu.
Joko clingak-clinguk melihat depan dan ruang tengah rumahnya, jam dinding sudahmenunjuk setengah lima. Ruang tamu itu nampak suram karena di luar pun matahari sudah akan tenggelam di ufuk barat.
"Sebentar, bu Atik, tak liat ibuk dulu," bisik Joko, tanpa menunggu jawaban Atikah, dia berjingkat sedikit berlari menuju kamar mandi di belakang rumahnya; masih tertutup dan gemericik air terdengar dari dalam, maka secepat kilat ia kembali ke ruang tamu untuk mendapati Atikah yang sedang merapikan gamisnya yang berantakan akibat ulahnya.
"Ayo, bu Atik, ke kamarku aja," ucap Joko sambil menarik tangan Atikah.
"Gak, Jok.. gila kamu, kalau ibumu tau gimana?" ucap Atikah sambil berusaha melepaskan tangan.
"Ayo, buruan.. keburu ibu dating," Joko yang sudah kebelet dan tegang sedari tadimenarik dengan paksa Atikah ke kamarnya.
Atikah berusaha melepaskan diri, tapi memang tenaganya tak akan mampu melawan kekuatan Joko. "Aduh, gila kamu, Jok.. ibuk takut," rengeknya berusaha menolak, satu tangannya masih berpegangan pada kursi ketika Joko menarik tubuhnya.
“Auwh,” Atikah memekik kaget ketika tiba-tiba Joko membopongnya dan membawa ke kamar yang ada di ruang tengah. Joko menggendong Atikah ke kamarnya dan meletakkan wanita cantik itu di ranjangnya, buru-buru ia menutup pintu kamar dan berdiri disitu dengan punggung menempel di daun pintu.
"Aku mau keluar!" hardik Atikah sengit, tapi dengan suara tertahan.
"Pssst.." Joko memberi kode pada Atikah agar diam, di luar kamar samar Joko mendengar langkah kaki.
Atikah menggigil ketakutan, ditariknya selimut dan melungker di dalamnya. Joko merapikan burungnya yang masih tegang, menjepitnya di kolor agar gak ngacung-ngacung lagi karena gak pake cd. Ia merapikan kaosnya, lalu membuka pintu dan keluar, lalu menutupnya lagi dengan cepat. Ibunya nampak berdiri di ruang tamudengan masih berbalut handuk. Joko sejenak menikmati gumpalan daging di dada ibunya yang menggelembung indah karena tergencet handuk.
"Bu Atikah kemana?" tanya Sumini yang melihat anaknya berdiri di ambang pinturuang tengah.
"Pulang, buk, tadi disusul Dirgo. Ada yang penting katanya,"
"Ooww.. ya udah, kamu ngapain di kamar? Itu lampu-lampu dinyalakan,"
"Ada tugas sekolah, buk," jawab Joko sekenanya, dengan cepat ia menyalakan lampu depan dan teras, kemudian lampu ruangan tengah. Ketika dilihatnya ibunya sudah masuk kamar, ia pun masuk ke kamarnya sendiri dan mengunci pintu itu rapat-rapat.
Ibunya Dirgo tak ada di atas ranjang itu, "Kemana dia?" pikir Joko, ia melongok ke kolong dipan, kosong. Joko tersenyum ketika mendengar gerakan halus di sebelah lemarinya yang ada di sudut kamar. Lemari itu tidak mepet di sudut sehingga ada celah yang cukup untuk satu orang berdiri di situ dan Atikah memang ada di sanadengan wajah pucat ketakutan.
"Sudah aman, buk, ayo keluar," ucap Joko meyakinkan ibu cantik itu.
"Kamu gila, Jok, ibuk takut banget," kata Atikah dengan suara gemetar.
Joko merangkul tubuh wanita itu dan membimbingnya ke sisi ranjang. "Gak papa,udah aman kok.." bisik Joko menenangkan, masih dengan berdiri ia melepas kerudung ibu si Dirgo.
"Ibu cantik sekali," ucap Joko kagum, dilepasnya ikatan di rambut bu Atikah hingga rambutnya yang hitam tebal dan lurus alami tergerai indah.
Atikah tertunduk. "Ibu takut, Jok," ucap Atikah lirih.
Joko tersenyum, kegenitan dan keliaran di ruang tamu tadi telah berhasilditundukkannya. Perlahan diangkatnya dagu Atikah dan dilumatnya bibir yang masih bergetar karena takut itu. Dikecupnya lembut, dilumatnya bibir bawah Atikah yang kenyal pelan-pelan.
Sejenak wanita cantik itu hanya diam dengan ciuman Joko yang penuh nafsu, tapi perlahan Atikah mulai mengimbangi lumatan dan hisapan mulut Joko. Kedua insan berbeda usia itu akhirnya berciuman dengan buas, lidah mereka saling membelit,saling melilit, ludah mereka terblender jadi satu dengan suara kecipak yang memenuhi kamar itu.
Jari-jari Joko bergerak ke punggung Atikah, dengan mudah retsluiting panjang di punggung itu ia buka. Lembut Joko membuka baju Atikah dan membiarkannya meluncur turun, menumpuk di kaki. Tangan Joko menjangkau punggung dan melepaskan pengait kutang.
Atikah diam dalam pasrah dan membiarkan Joko menelanjangi dirinya, tinggal cd yang masih menempel di tubuhnya, tapi itu pun tak lama karena Joko telah memelorotkannya dan seperti terlatih jempol kakinya mengait cd itu dan menariknya turun bertumpuk dengan baju gamis.
Joko mundur melepaskan pelukannya, ia duduk di bibir dipan untuk mengagumi makhluk indah yang berdiri bugil di depanya dengan malu malu. Joko tak berucap kata sepatah pun, matanya nanar mengagumi Atikah yang berdiri bugil dan malu-malu di depanya; wajahnya yang cantik, dadanya yang menggelembung padat nampak menggantung menggiurkan, perutnya yang rata dengan sedikit cembung di bagian bawah khas wanita yang telah beranak, dan rambut kemaluan yang terpotong rapi, pahanya bulat kokoh dan terkesan berotot.
"Sempurna," batin Joko.
Atikah yang diperhatikan dari tadi jadi jengah juga, walaupun perasaan bangga di hatinya tak dapat disembunyikan. Betapa tidak, di usia yang tidak lagi muda, ia mampu membuat seorang pemuda bengong menatap keindahan tubuhnya. Sejak dari ruang tamu, Atikah sudah terangsang berat, ia tahu semua ini sangat berbahaya, nama baiknya dipertaruhkan, tapi semua itu rasanya sepadan dengan sensasi yang didapatnya. Begitu memabukkan, antara takut dan nafsu, membuat setiap ujung sarafnya semakin sensitif dan haus akan kenikmatan. Atikah merasa aliran cairan hangat mulai merembes keluar dari celah sempit vaginanya.
"Kamu tunggu apa lagi, Jok?" ucap Atikah pelan sambil mendorong lembut tubuh Joko agar berbaring.
Joko menurut, ia mengangkat bokongnya ketika Atikah menarik lepas celana kolornya melewati kakinya. Kontolnya yang tegang kencang maksimal kini kelihatan,Joko beringsut ke tengah ranjang di bawah pandangan takjub Atikah yang tak menyangka betapa besar kontol pemuda tanggung itu.
Atikah menggenggam kontol besar sekeras kayu milik Joko, mengocoknya pelan,merasakan betapa urat-urat yang melingkarinya terasa kaku dan hangat, terasanyaman di telapak tangannya, setitik cairan bening meleleh keluar dari lobang bengkak itu. Atikah menjilatnya, asin.
“Ahh..” Joko mengerang nikmat.
Tak tahan, Atikah mengulum kepala kontol itu, terasa penuh dalam mulutnya,dihisapnya hingga cairan bening yang masih tersisa di batangnya terhisap ke dalam mulut. "Ini luar biasa.. kontol yang indah.." batin Atikah, ia melumuri seluruh batang besar itu dengan ludahnya, bagaimanapun ia harus cepat, meskipun dalam hati masih ingin bermain-main dengan kontol besar itu.
Kontol Joko telah basah, dari ujung kepala jamurnya yang besar sampai kepangkalnya. Atikah tersenyum genit pada Joko, ia merangkak naik dengan posisi duduk, berusaha memasukkan kontol besar itu ke liang vaginanya.
"Oouuh.. sesaknya, Jok.. kontolmu gede banget..." terengah-engah Atikah, terasa susah sekali memasukkan batang besar itu. "Aku harus bisa.." pikirnya, dengan sekuat tenaga Atikah menurunkan pantatnya yang terganjal batang besar di vaginanya dan sleeeeebb... batang besar itu sesak menyusuri lobang peranakannya yang telah licin.
"Oouhh.. enaknya.. "rintih Atikah.
Joko sendiri tak menyangka betapa rapat vagina ibu temannya ini. Dengan takjub dalam nikmat, ia hanya diam melihat Atikah yang perlahan menaik-turunkan pantatnya dengan nikmat. Tapi baru juga kira-kira 20 genjotan, Joko merasakan jepitan kencang di kontolnya semakin menghebat, diiringi kedutan kedutan.
“Ughh,” Atikah menggeram, tubuhnya luruh di atas tubuh Joko. Ia memeluknya erat dengan seluruh cairan tubuhnya seakan berkumpul mencari jalan keluar. Dan..
"Aauuuh.. a-aku keluar, Jok... oohhh.. nikmatnyahh.." Atikah memeluk Joko erat-erat meresapi orgasme pertamanya. Sejenak hening di kamar itu.
Joko memberi kesempatan pada Atikah untuk memulihkan diri setelah orgasme pertamanya. "Sudah siap, buk?" bisik Joko di telinga wanita cantik itu setelah 5 menit berlalu. Atikah mengangguk lemah. Joko merangkulnya dan dengan kontol masih tertancap, ia berguling ke samping hingga kini ia ada di posisi atas menindihtubuh bugil Atikah.
"Pelan-pelan, Jok.." bisik Atikah sendu.
Joko tersenyum kecil, leher putih wanita itu dijilatinya. Ingin ia membuat cupang-cupang disitu, tapi merasa kasian bila nanti suami Atikah melihatnya. Pelan-pelan kontolnya mulai menyusuri lobang sempit peranakan Atikah.
"Oouuh.. enaknya, nak Joko.. kontolmu guedeh.. ayo yang cepet," rengek Atikah, rupanya vaginanya sudah terbiasa dan nikmatnya sungguh luar biasa.
Joko pun merasakan hal yang sama, vagina Atikah yang sempit tapi licin menciptakan sensasi nikmat luar biasa. "Tempekmu juga uenak, bu.. rapeet,"
"Yang kenceng, nak Joko. Ayo genjot tempek ibu," Atikah mulai meracau. Pantatnya bergerak menyambut setiap hujaman kontol Joko di peranakannya. Aroma birahi terasa kental di kamar itu. Keringat dan cairan pelumas dari kelamin mereka bercampur menjadi satu. Atikah mengerang nikmat.
"Oouuh.. ibuk mau keluar lagi, Jok.. aduuuh.. nikmatnyaa kontolmu.." Atikah meracau ribut, kakinya membelit tubuh Joko dan gelombang orgasme itu datang lagi meluluhlantakkan tubuhnya.
Vaginanya berkedut-kedut menyemprotkan cairan nikmatnya, membawa Atikah ke surga birahi yang paling tinggi. Ia mendesis, matanya membeliak, dengan kuat ia merangkul Joko, menancapkan kuku jarinya di punggung pemuda tanggung itu.
Joko sendiri merasakan nikmat yang luar biasa dari vagina Atikah, kontolnya seakan terhisap dan diemot-emot oleh gumpalan daging hangat nan nikmat. Joko mempercepat genjotannya, seperti kesetanan ia menghentak-hentak tubuh Atikah yang telah lemas dan ketika saat itu akan datang, Joko membenamkan kontol sedalam dalamnya ke dalam rahim Atikah.
“Aughh,” Atikah menjerit lirih, ada aliran lahar panas yang membombardir rahimnya,dan itu begitu nikmat. Dia mengerang panjang untuk orgasme ketiganya.
Kedua tubuh manusia berlainan jenis itu berpeluk erat dalam hentakan-hentakan kecil gelombang orgasme. Diam. Lelah.
***
Sumini selesai berdandan, tadi sehabis mandi ia menyempatkan menata baju-baju yang telah bersih di lemari, baru kemudian berdandan, rencananya ia akan beli lauk untuk makan malam. Sejak Atikah pulang, Sumini masih memikirkannya, ada penasaran di hatinya kenapa Atikah tak pamit, apakah sedemikian penting?
Sumini keluar kamar, ketika melewati depan kamar Joko, samar didengarnya suara-suara erangan perempuan dari kamar itu. Sumini berhenti dan menempelkan telinga di pintu kamar. Hening.
"Tok..Tok..Tok.." Sumini mengetuk pintu, "Jok, ibu mau keluar beli makan malam!"
"Iya, buk, tugasku belum kelar!" jawab Joko dari dalam kamar.
Sumini berlalu dari depan kamar itu, ditepisnya dugaan-dugaan buruk tentang suara desah perempuan di kamar anaknya. Sumini keluar rumah dan menutup pintu depan, di teras ia mencari-cari sandal yang biasa dipakainya, sandal miliknya ada disitu, tapi sepasang sandal lain nampak berada di samping sandal miliknya,sandal cantik yang masih terlihat baru dengan motif bunga.
Sumini tertegun, desahan di kamar tadi.. "Joko.. Joko.. Dasar anak mesum!!" bisiknya kesal.
***
Malam terasa dingin menusuk tulang, hembusan angin yang bertiup terasa basah di lengan Joko yang tidak tertutup oleh sarung yang dipakai untuk membungkus tubuhnya. Malam ini malam ketiga sejak perselingkuhannya dengan bu Atikah, dan selama 3 hari ini ibunya diam dan acuh sekali sikapnya. Joko sendiri tidak tahu apa sebab ibunya bersikap demikian.
"Apa mungkin ibu tau ya, kalo aku ngentot sama bu Atikah?" pikir Joko, pertanyaan itu selalu muncul berulang di kepalanya.
Joko sudah bertanya pada ibunya tentang sikap diamnya, tapi Sumini malah selalu menghindar dan akibatnya jatah ngentot pun tak didapatnya lagi, ini sudah 3 hari dan itu sungguh menyiksa buat Joko.
Malam ini entah mengapa seakan tak ada makhluk hidup di sekitar rumah Joko.Hening. Sunyi. Pohon beringin tua di seberang jalan nampak mengerikan ditimpa cahaya redup sang rembulan. Dahan-dahannya yang rimbun nampak seperti sarang hitam dari ribuan demit. Joko bukan penakut, ia tahu pohon itu angker, semua warga kampung juga tahu kalau pohon itu angker. Joko sendiri juga sering melihat dan mendengar di malam-malam tertentu penghuni pohon itu menunjukkan keberadaannya.
Kadang suara suara menggeram atau sekelebat penampakan ngeri dari gendruwo berbulu muncul di pohon itu. Joko menatapnya dengan acuh, ia sedikit bergidik ketika angin dingin berhembus kencang yang membuat sekujur bulu di tubuhnya berdiri. Angin dingin itu seakan membungkusnya, menciutkan nyali dan pikirannya.Joko merasa telapak tangannya berkeringat, tapi matanya tetap nyalang menatap pohon besar di seberang jalan itu.
"Pett," lampu di teras rumahnya tiba-tiba padam.
Joko tersentak kaget. Ada perasaan ngeri yang menyuruhnya lari masuk dalamrumah dan menutup pintu rapat-rapat, tapi Joko bertahan dan tetap berada di situketika 2 titik merah muncul di kerimbunan pohon beringin. Antara ngeri dan penasaran, Joko menguatkan nyalinya, terus ia menatap 2 titik merah di gelap rimbun pohon tua itu.
Dua titik merah itu perlahan-lahan mulai jelas, menampakkan wujudnya. Itu mata.Mata merah dari sosok raksasa berbulu, rambut gimbal, hidung besar, bibir tebal dengan seringai sangar menampakkan deretan gigi sebesar genteng dengan susunan yang tak beraturan. Joko tersenyum kecil, begitu ia melihat wujud demit di depannya, rasa takutnya malah sirna bersama rasa penasarannya, meskipun demit itu menjulang tinggi di depannya. Dari kecil hoby Joko yang suka ikut berbagai macam aliran pencak silat dan tenaga dalam membuatnya terbiasa dengan makhluk-makhluk halus, sebangsa jin, gendruwo, mbak kunti dan kawan kawan.
Joko meraba-raba meja di sebelahnya mencari rokok eceran yang tinggal sebatang. Sedetik pun pandangannya tak lepas dari demit itu, gendruwo besar di seberang jalan nampak gelisah, mungkin karena salting manusia yang coba ditakut-takutinya malah cuek saja. Dengan santai Joko menyulut rokoknya, pelan dihembuskannya asap rokok itu.
"Maumu apa?" tanya Joko pelan dan datar tanpa nada mengintimidasi atau ketakutan.
Gendruwo itu menggeram, "Aku melu koe, ndoro (aku ikut kamu, tuan),"
"Aku gak kuat mbayari." jawab Joko santai, tapi tetap tak sekejap pun matanya berpaling dari gendruwo itu.
"Aku gak jaluk bayaran, Ndoro (aku gak minta bayaran, tuan),"gendruwo itu menunduk memberi hormat,dan perlahan memudar dalam gelapnya malam.
"Leep," lampu teras tiba-tiba menyala kembali.
Joko tersentak seperti tersadar dari alam mimpinya. Pohon beringin di seberang jalan nampak kokoh dalam kegelapan. Joko clingak-clinguk, matanya tertumbuk pada sebuah benda kecil yang tergeletak di meja. Sebuah cincin putih, perak, nampak kusam, tergeletak begitu saja di atas meja.
"Apa ini jelmaan gendruwo tadi?" pikir Joko, ia memungut cincin itu, ada aliran hawa aneh yang keluar dari cincin itu ketika Joko meletakkannya di telapak tangan.
"Masa bodolah," pikir Joko, ia memasukkan cincin itu di saku celana kolornya, lalumasuk ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Jam dinding sudah menunjukpukul 11 malam, iseng-iseng Joko menuju kamar ibunya yang terlihat pintunya tertutup rapat.
"Asem.. dikunci lagi," sungut Joko kesal dengan pintu kamar ibunya yang terkunci.Dengan gontai ia menuju kamarnya. Di luar sangat dingin, tapi karena memang terbiasa tidur telanjang dada, Joko pun melepaskan kaosnya, narsis dulu depan kaca lemari sambil bergaya ala Ade Ray yang mamerin ototnya. Joko cengengesan sendiri, orang badannya kerempeng macam seng karatan.
"Aku keren ternyata.. kerempeng Entek-entek'an.. hihi.. woy, apa neh?" keasyikannya di depan kaca terganggu oleh getar lembut di celana kolornya. Joko mengambil cincin di sakunya yang terasa hangat.
"Kayaknya emang pas di jariku," pikir Joko, ia memakai cincin itu di jari manisnya,dan memang pas serta nyaman sampai ia melihat ke kaca lemari.
"Astaga naga.." jerit Joko terkejut sampai terlonjak dan jatuh ke belakang dengan pantat mencium lantai kamarnya.
Dia memegangi pantatnya yang terasa ngilu, pelan-pelan ia bangkit dan mengintip ke kaca lemari, kosong.. tak ada siapapun, Joko bangkit dan bersorak girang ketika melihat bayangan celana kolornya di dalam kaca lemari, hanya kolor yang ada di kaca itu, wujud Joko tak nampak, cincin itu membuat Joko bisa menghilang!
Joko melepas kembali cincin itu, bayangannya muncul kembali. Dipakai lagi,menghilang lagi. Dilepas, muncul lagi. Pake, lepas, pake, lepas, sampai ia benar-benar yakin. Sambil cengengesan Joko membaringkan tubuhnya di kasur, cincin itu ditaruhnya di bawah bantal. Sebuah rencana muncul di kepalanya sampai rasa kantuk membawa pikirannya ke alam mimpi.
***
Pagi menjelang, ribut kokok ayam membuat Sumini harus terbangun dari lelap tidurnya. Seperti pagi-pagi lainnya, ia akan segera sibuk dengan kegiatan di dapur;memasak air, mencuci beras, kemudian menyapu halaman depan, balik lagi ke dapur, lalu menanak nasi. Asyik dengan dapur tak terasa sudah jam 6.
"Joko belum bangun juga, dasar pemalas," gerutu Sumini pada dirinya sendiri.
Nasi telah siap, tinggal bikin sambel, saatnya untuk bangunkan anak semata wayangnya. Sumini membuka pintu kamar Joko yang memang tak pernah dikunci,anak itu masih tidur pulas dengan bertelanjang dada. Sumini sejenak terpaku di tonjolan besar di kolor anaknya, tapi pikiran kotornya segera dibuangnya jauh-jauh,ia sudah mantap untuk menghukum anaknya karena sudah berselingkuh dengan Atikah.
"Hei, bangun, sudah siang!" ucap Sumini sambil menepuk-nepuk pipi anaknya.
Joko menggeliat, membuka matanya yang masih terasa sangat berat. "Masih ngantuk, buk." jawab Joko malas ketika dilihatnya ibunya masih berdiri di samping tempat tidurnya.
"Ayo bangun, nanti telat sekolahnya!" jawab Sumini galak, ia bergerak ke arah jendela dan membuka kelambu yang menutupi jendela kaca itu.
Joko mengerjap karena tertimpa cahaya matahari yang masuk lewat jendela yang kini terbuka. Sejenak matanya menikmati lenggok pantat besar ibunya yang berjalan keluar kamar. Begitu ibunya menghilang di balik pintu, Joko bergegas bangkit mengambil cincin yang tergeletak di bawah bantalnya. Ia berjalan ke kaca lemari. Dengan berdebar-debar ia menatap kaca itu dan pelan-pelan ia memakai cincin jelmaan gendruwo dan...
“Cling..” Muka mesumnya hilang di bayangan kaca.
Joko tersenyum puas, segera ia melepasnya lagi, lalu menyambar handuk yang tergantung di paku yang menancap di pintu kamarnya. Sambil bersiul-siul gembira ia menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Di dapur ia berpapasan dengan ibunya yang nampak heran dengan anaknya yang terlihat begitu bersemangat.
Usai mandi mereka sarapan berdua; nasi, sambel dengan lauk telur dadar, Sumini heran juga melihat Joko yang terlihat tergesa-gesa makannya. "Kamu kenapa kok buru buru, Jok?"
"Gak papa, buk, janjian mau bonceng Dirgo, takut dia lupa nanti ditinggal."
"Lha kamu gak bawa motor sendiri?"
"Gak, buk, Joko berangkat dulu,"
"Iya, hati-hati," jawab Sumini, ia lalu membereskan meja makan, mencuci piring dan peralatan dapur yang tadi dipakainya. Setelah selesai ia ke ruang tengah menyalakan tv dan bersantai sejenak, tubuhnya masih berkeringat jadi ia menunda dulu keinginan untuk mandi. Sumini berselonjor di sofa sambil menikmati berita di tv ketika sebuah usapan lembut terasa hangat di pipinya.
"Eh...!" pekik Sumini kaget, clingak-clinguk ia melihat sekeliling, barangkali ada orang lain dalam ruangan itu.
"Sum.." bisikan itu begitu jelas di telinga Sumini, tak ada orang lain disitu. Bulu kuduk Sumini meremang, ia serentak bangun dan berdiri dengan punggung merapat ke tembok, matanya nanar dan ngeri menyapu seisi ruangan, dan memang tak ada siapa-siapa di sana.
"S-siapa?!!" ucap Sumini terbata, tubuhnya serasa kaku tak bisa digerakkan akibat teror ketakutan yang melandanya. Hanya hening di ruangan itu, sampai sebuah remasan lembut di payudaranya membuat Sumini menggigil ketakutan.
"J-jangan ganggu aku.. s-siapa kamu?" tanya Sumini dengan suara bergetar,sejenak hening sampai sebuah hembusan angin hangat menerpa telinganya.
"Aku Parno, suamimu, Sum. Apa kamu lupa dengan suaraku?" makhluk tak berwujud itu berbisik lirih di telinga Sumini.
"K-kamu kan sudah mati lama, kang, kenapa kembali?" bisik Sumini menguatkan hati.
"Aku selalu disini, Sum.. aku mengawasimu. Aku tahu perbuatanmu dengan anak kita," bisik suara itu lagi.
Sumini terkesiap, wajahnya pucat dan mendadak perasaan bersalah menderanya,membuat lututnya goyah. Ia terjatuh terduduk di lantai dengan mata sembab, ia terisak. "Ampuni aku, kang.. aku khilaf.. ampuni aku, kang.." Sumini terisak-isak,merasa bersalah dan ketakutan. Ia takut sekali apabila arwah suaminya marah dan menghukumnya.
"Kamu istri setia, Sum, aku gak marah kamu ngentot dengan Joko. Kenapa menangis? Anggaplah Joko adalah aku, suamimu ini,"
"T-tapi, dia kan anak kita, kang?" tanya Sumini sambil menunduk, dalam hatinya terasa plong karena arwah suaminya ternyata tidak marah. Sumini merasakan tangan lembut di dagunya, membuat ia harus menengadahkan wajah.
"Joko darah dagingku, Sum, layani dia seperti kau melayani aku. Kamu bisa,Sum?" bisik suara itu lagi.
Sumini mengangguk, berbagai perasaan berkecamuk di hatinya. Sejenak hening lagi di ruangan itu sampai suara iklan tv mengagetkan Sumini dari lamunannya.Sumini nanar memandang sekeliling.
"Kang Parno.." bisik Sumini memanggil makhluk tak berwujud itu, tapi tak ada sahutan. Ia bangkit dan mematikan televisi, sekali lagi matanya menyapu seluruh ruangan, ia masih tak percaya dengan kejadian yang baru dialaminya.
Sumini amat mencintai Parno, suaminya. Sejak kematian suaminya bertahun-tahun yang lalu, Sumini tak pernah berpikir untuk mencari pengganti. Kini setelah sekian lama pergi, dia datang kembali dan itu membuat kegairahan baru dalam hati Sumini. Perasaan bersalah karena telah menjalin hubungan suami istri dengan Joko, anaknya, kini terobati dengan restu dari arwah suaminya.
"Terima kasih, kang Parno.." bisik Sumini pelan, tak ada takut lagi di benaknya. Walaupun itu makhluk halus, tapi dia kan suamiku, pikir Sumini. Langkahnya ringan melangkah ke belakang, menyambar handuk di jemuran dan masuk ke kamar mandi.
"Bruanggkk!" Sumini keheranan ketika menutup pintu sedikit keras terasa seperti membentur sesuatu, daun pintu itu terbuat dari kayu dengan lapisan seng dan suara benturan itu cukup keras.
Ia mencari-cari di bawah pintu barangkali terganjal batu, ternyata tidak ada. Ia mencoba menutup pintu itu lagi, ternyata mudah. Air jernih di bak mandi menyambut Sumini, dan segera ia lupa peristiwa kecil itu.
***
Joko mengusap-usap jidatnya yang memerah akibat terbentur pintu, maksud hati ingin melihat ibunya mandi, tapi kalah cepat masuknya dan kejedot pintu kepalanya.
Ya benar, dari semua kejadian tadi, Joko lah pelakunya. Ia tadi tidak sungguhan berangkat sekolah, hanya ngumpet di samping rumahnya dan begitu ibunya di belakang, ia masuk kamarnya, melepas baju seragamnya dan memakai cincin gendruwo untuk mengerjai ibunya.
Sejenak Joko memeriksa benjol di jidatnya akibat terantuk pintu kamar mandi, lalu keluar rumah. Joko menunggu sebentar sampai ia mendengar suara pintu belakang terbuka dan tertutup, lalu ia masuk rumah dengan pura-pura kepanasan.
"Lho, kamu kok sudah pulang, nak?" tanya Sumini yang melihat anaknya di ruang tengah, ia baru saja selesai mandi dan hanya berbalut handuk. Buah dadanya terlihat menggelembung indah karena tertekan belitan handuk yang dipakainya.
Joko tercekat, pemandangan itu membuatnya harus menelan ludah. "A-anu, buk,gurunya rapat.." jawab Joko asal, matanya kelayapan di sekujur tubuh ibunya yang setengah telanjang.
"Itu jidatmu kenapa? Merah.. benjol lagi.. kenapa ini?" tanya Sumini kuatir sambil memeriksa jidat Joko.
Joko diam tak menjawab, ia asyik menikmati gelembung lembut susu ibunya yang begitu dekat di mukanya, basah dan harum lembut bau sabun begitu menggodanya.
"Kenapa ini?Sakit ya?" tanya Sumini lagi, ia tahu anaknya sedang menikmati susunya yang setengah terbuka, rasanya bangga juga di usia yang tidak lagi muda tubuhnya masih mampu memikat anak muda.
"Gak papa, buk, tadi kejedot jendela kelas,"
"Lain kali hati-hati, nak, ibuk tak ganti baju dulu," ucap Sumini, entah kenapa setelah ijin dari suara yang mengaku arwah suaminya, ia malah ingin selalu dekat dengan anaknya.
"Iya, buk, Joko juga mau ganti baju."
Joko menunggu ibunya sampai masuk kamar, niat hatinya ingin mengintip, tapiditahannya karena Joko yakin nanti akan mendapatkan lebih dari sekedar ngintip.Akhirnya ia masuk ke kamarnya, merebahkan tubuhnya sambil cengengesan membayangkan gelembung padat susu dan mulus paha ibunya yang tadi hanya tertutup handuk.
"Jok.. eh, kok kamu belum ganti baju?"
Suara ibunya di ambang pintu kamar membuyarkan lamunan jorok Joko. Ia gelagapan dan terbengong menatap ibunya yang bergamis biru dan kerudung biru muda, terlihat cantik dan anggun.
"Ibu mau kemana?" balas Joko balik bertanya.
"Eh, Jok.. antar ibuk ke salon bude Nur ya, ibuk mau potong rambut dan cuci muka,ibuk pengen tambah cantik.." jawab Sumini agak malu-malu.
"Ibuk kan sudah cantik.." jawab Joko spontan karena memang menurutnya ibunyasudah cantik banget.
"Ayolah, Jok.. rambut ibuk udah lama banget gak dipotong."
"Iya deh.." jawab Joko ogah-ogahan, gagal semua rencananya mau berduaan dengan ibunya.
Bude Nur adalah sepupu Sumini, bapaknya adalah kakak dari ibu Sumini, ia mempunyai usaha salon satu-satunya di desa ini, suaminya juga sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Bude Nur mempunyai 2 putri, Nuri dan Nisa, dua-duanya kuliah di kota. Rumah bude Nur lumayan jauh juga, Joko membawa motor dengan ibunya menempel mesra di boncengan.
Rumah bude Nur tergolong kecil, mereka disambut oleh bude Nur yang kebetulan baru saja membuka pintu salonnya. Mereka berbasa-basi sebentar, kemudian masuk ke ruang potong rambut dan meninggalkan Joko bengong di teras. Joko mengeluarkan hape kecilnya dan melihat beberapa sms yang masuk dari teman sekelasnya.
Nuri, anak bude Nur, kini sudah duduk di kursi yang berbatas meja kecil dari kursi Joko. Nuri, 21 tahun, tingginya tak lebih tinggi dari Joko,langsing, cantik, dengan hidung mancung danmata serta bibir berkesan judes, memakai celana pendek jins ketat dengan kaos tanpa lengan warna putih yang cukup ketat hingga Joko bisa menduga kalau payudaranya tak terlalu besar, tapiterlihat kenyal. Ia kini asyik dengan tabletnya tanpa menengok sedikit pun pada Joko.
"Gak kuliah, mbak?" tanya Joko berbasa-basi.
"Libur," jawab Nuri singkat tanpa menoleh sedikit pun pada Joko.
Joko kesal juga dibuatnya dengan sikap sombong gadis itu. "Mbak Nisa kemana?" tanya Joko lagi, ia berusaha mencairkan suasana yang kaku dengan mengajak ngobrol.
"Tauk.. udah ah, males, nanya-nanya terus dari tadi!" jawab Nuri ketus sambil bangkit dan ngeloyor masuk ke dalam rumah.
Joko melongo dengan muka merah, kata-kata itu mengusik harga dirinya sebagai laki laki. Tanganya meraba cincin di saku celananya, dengan cermat ia mengamati situasi di sekitarnya, ada ruang kosong di samping kanan rumah yang cukup terlindung dari pandangan orang-orang yang berlalu-lalang di jalan. Joko merapatkan dirinya di tembok, bersembunyi dari pandangan orang yang mungkin bisa melihatnya, lalu dengan cepat memakai cincin gendruwo dan melepas semua bajunya. Kini ia tembus pandang tak terlihat lagi.
Langkahnya menuju ke ruang salon, bangunan kecil yang terpisah dengan rumah induk, dimana ibunya sedang potong rambut. Masih lama, pikir Joko. Ia berlalu dari situ dan mulai masuk ke rumah, kamar depan diketuknya, tak ada reaksi dari dalam. Joko membukanya, kosong. Ia menghampiri kamar kedua, perlahan diketuknya.
"Siapa?" terdengar sahutan dari dalam.
Joko berdebar, terdengar kletak kunci pintu kemudian pintu itu terbuka dan wajah cantik nan ketus melongok keluar. Kemudian pintu ditutup lagi dengan keras ketika melihat tak ada siapa-siapa. Joko garuk-garuk kepala melihat kelakuan gadis cantik itu. Tak ada kesempatan untuk masuk tadi, ia mengetuk lagi, kali ini agak keras. Ia ingin membuat emosi Nuri jadi tambah tinggi.
"Tok.. Tok.. Tok!"
"Brengsek!" terdengar umpatan dari dalam, dan tak lama wajah ketus itu muncul lagi, jelas sekali raut muka kesal dari wajah itu. Nuri keluar melihat kiri-kanan,kemudian melangkah ke ruang depan.
Joko memanfaatkan kesempatan itu untuk masuk kamar Nuri, kamar itu dicat orange lembut dengan beberapa poster artis korea di dindingnya, meja rias kecil penuh dengan alat make up, lemari pakaian besar, dan spring bed besar di sudut ruangan. Sebuah tablet tergeletak di atas kasur itu, Joko tersenyum lebar ketika memeriksa tab itu.
"Ternyata galak-galak juga hobi bokep," desis Joko sambil terkikik, di layar tablet itu memang ada filem bokep jepang yang sedang di pause. Joko buru-buru menjauh dari kasur ketika ia mendengar langkah kaki Nuri mendekat, si muka judes itu muncul, masuk dan langsung mengunci pintu kamarnya.
"Pasti bocah ndeso itu yang ganggu, huh awas kalau ketemu," gerutunya kesal.
Joko yang mendengar gerutuan yang ditujukan padanya hanya nyengir garuk-garuk kepalanya. Nuri sudah naik lagi ke atas kasurnya dan kembali asyik dengan filem bokep kegemarannya.
Joko memperhatikan gadis molek di depannya, Nuri putih dan mulus pahanya,gadis itu mulai gelisah karena terbawa nafsu dari bokep yang ditontonnya. Ia tidur terlentang dengan dua bantal ditumpuk untuk mengganjal kepala, tabletnya ada di atas perut, dipegang tangan kiri, sedang tangan kanannya lembut meremas-remas susunya. Joko jadi ngaceng tinggi dibuatnya.
Nuri mulai tidak nyaman dengan pakaian yang dipakainya, birahinya menuntut penyaluran, ia meletakkan tablet di samping badannya kemudian mulai melepas seluruh pakaianya dan dalam hitungan detik ia telah telanjang bulat.
Joko menelan ludah, tubuh mulus di depannya sungguh tanpa celah. Susu Nuri bulat meski tergolong kecil dibanding punya ibunya, perut rata tanpa lemak dan lembah di selangkangannya ditumbuhi bulu-bulu halus yang belum begitu lebat. Joko bergerak mendekat, mencium aroma dari memek Nuri yang telah basah. Dengan satu jari disusurinya belahan memek Nuri dari atas ke bawah, gadis itu menggelinjang kegelian, serentak bangun dan memeriksa memeknya.
"Apa ada semut ya?" gumam gadis itu, ia membuka belahan memeknya yang membuat Joko menelan ludah melihat isi memek yang merah basah dan kelentit kecil yang mungil.
Nuri kembali berbaring dengan posisi semula, tapi kini tangannya berada di atas memeknya dan mulai mencari nikmat dengan mengusap-usap itilnya yang telahmengeras dan bertambah besar.
Joko sudah tak tahan lagi, serta merta ia naik menindih tubuh molek itu, mengunci kedua tangan Nuri dengan menindihnya menggunakan kaki. Tangan kirinya membungkam mulut gadis itu. Kini posisinya menduduki perut Nuri, gadis itu meronta dan menendang-nendang, tapi apalah artinya tenaga perempuan.
"DIAM!" bisik Joko, tapi cukup jelas terdengar dan dengan suara yang sengaja ia besarkan.
Nuri serentak terdiam, kengerian terbayang di matanya. Ia memang judes dan akan judes pada siapa saja, tapi sebenarnya Nuri adalah penakut, matanya membelalak dan bibirnya gemetar, terasa sekali di telapak tangan Joko.
"Aku adalah jin, turuti kata-kataku atau aku akan merasukimu dan membuatmu gila." gertak Joko dengan suara dibesar-besarkan.
Nuri menggigil, wajahnya pucat pasi. Ia berusaha mengangguk meyakinkan.
"Kenapa kamu begitu jahat pada tuanku Joko?" tanya Joko dan Nuri jelas mendengar tapi tak dapat melihat asal suara itu, tangannya mulai sakit seperti tertindih benda keras. Ia hanya bisa ah-uh ah-auh saja karena sesutu menutup mulutnya, wajahnya terlihat panik karena kesulitan untuk bernafas.
Joko perlahan melepas bekapan di mulut gadis itu, tapi tetap bersiaga kalau kalautiba-tiba Nuri berteriak minta tolong. Nuri terengah-engah, ia tak bisa bergerak, tapi kepala dan kakinya masih bisa digerakkan. Ia pasrah, tak ada gunanya melawan,pikirnya.
"Kenapa?" suara itu bertanya lagi.
"A-aku tidak tahu.. memang sifatku buruk, a-aku m-minta maaf, jin.. a-aku akan minta maaf pada tuanmu sekarang," jawab Nuri terbata-bata.
"Hahaha.. memang kamu harus minta maaf. Tapi tidak sekarang, tuanku sudah menyerahkan dirimu kepadaku.."
"Apa maksudmu, jin?" kembali teror ketakutan mendera Nuri. "jangan sakiti aku.."
Joko tak menjawab, jemarinya menjangkau susu mengkal dan ranum milik Nuri, iameremas-remasnya lembut dan mempermainkan putingnya yang kecil. Nuri mendesah geli dan nikmat, meskipun di bawah ancaman tapi ia tak memungkiri kalau payudaranya terasa nikmat. Nuri dengan takjub memandang susunya yang bergerak-gerak sendiri seolah ada tangan gaib yang meremas dan memberi nikmat di susunya. Nuri menggelinjang oleh hembusan hangat di lehernya, kemudian sesuatu yang basah dan hangat terasa menyusuri lehernya.
"Ouuh.." Nuri mendesah ketika merasakan sesuatu menindih tubuhnya, tangannya terbebas tak terasa sakit lagi. Nuri dapat merasakan suatu benda bergesekan dengan bibir memeknya, "Ah, itu kontol jin," pikir Nuri antara takut dan penasaran,sampai sebuah bibir dan lidah yang tak terlihat menyerbu bibirnya.
Nuri gelagapan, ia akhirnya memejamkan matanya dan merespon ciuman itu dengan penuh nafsu, lidah mereka saling melilit. Nuri merasakan bibir bawahnya disedot-sedot makhluk itu. Nuri serasa di awang-awang, aneh dan menakutkan, tapi sensasinya sungguh memabukkan. Nuri tahu memeknya telah benar-benar basah kuyup.
Nuri sudah takluk, ia membuka lebar-lebar pahanya, berharap kontol jin itu segera memasuki tubuhnya. Joko pun tak mau berlama-lama, segera ia mengarahkan kontolnya ke bibir memek Nuri, sejenak ia memandang gadis cantik di depannya. Mata Nuri terpejam, titik-titik keringat terlihat di ujung hidungnya, juga di bibirnyayang bergetar.
"Kamu cantik.." bisik Joko.
"T-terima kasih.." jawab Nuri, ada perasaan bangga di hatinya.
Nuri menahan nafas ketika perlahan sebuah batang besar mencoba menguak bibir memeknya. Dia sudah tak perawan, ia pun sering bersanggama dengan pacarnya,meskipun tak terlihat Nuri tahu kontol itu jauh lebih besar.
"Aduh... uuh.." Nuri merintih ketika benda itu telah masuk ke lobang memeknya,sejenak berhenti, kemudian masuk lagi, diam dan masuk lagi. Nuri merintih, sakit tapi nikmat, ia menaikkan pantatnya ketika batang itu ditarik, ia merasa seakan seluruh rahimnya ikut tercabut.
"Pelan-pelan, Jin.. aduh nikmatnya.." rintih Nuri tanpa malu-malu.
Joko tersenyum mendengarnya, gadis cantik itu sudah jatuh dalam irama birahinya dan pelan tapi pasti ia mengayuh memek rapat itu.
"Aduuh.. ooh.. gila.. gede banget, Jin, kontolmu.. ouuuh.. enak tempekku, jiiin..." Nuri mulai meracau dan tak lama gelombang itu datang. Kaki Nuri meregang, dan tanpa malu-malu tangannya memeluk erat-erat tubuh kasat mata yang menindihnya dan melepas orgasme terhebat dalam hidupnya.
"Aku.. k-keluar.. ouuhh...." Nuri mengerang panjang, tangannya dengan erat mendekap lawan mainya, memeknya berdenyut-denyut menyemprotkan cairan nikmat, dan tentu saja berimbas pada Joko yang kontolnya tertanam di vagina Nuri.
"Memek yang luar biasa.." batin Joko yang merasakan empotan memek Nuri, ia menunggu gadis itu meresapi sisa orgasmenya, kemudian mulai mengayuh lagi dan kini Nuri mulai mengimbangi genjotan Joko dengan ikut bergoyang, menyambut setiap hunjaman masuk di memeknya.
"Ooooh.. uenake jin... ooh lagi.. lagi.. ooh tidaaak.." kembali tubuh Nuri mengejang oleh orgasme keduanya.
Joko tak membuang kesempatan itu, puncaknya juga sudah dekat, dengan cepat ia mengayuh kontolnya ketika Nuri orgasme dan memeknya mengempot-empot kontolnya. Nuri membeliak menahan nikmat dari gempuran batang besar di vaginanya, sampai sebuah hunjaman tertanam dalam rahimnya dan laksana meriam, batang itu memuntahkan bola cair panas dalam dirinya.
“Ahh.. ahh..” Nuri merintih menggigit bibir bawahnya dan melepas orgasme ketiganya. Tubuh keduanya terhentak-hentak melepas cairan nikmat.
Hening. Joko memandang wajah cantik di depannya, mata Nuri terpejam dan nafasnya terengah-engah. Perlahan Joko bangkit dan melepaskan batangnya dari jepitan memek itu. Nuri masih telentang lemas dan pasrah.
"Datanglah kemari kapanpun kamu mau..." bisik Nuri seakan pada dirinya sendiri.
Joko tersenyum mendengarnya, ia menunduk dan berbisik di telinga Nuri.
"Tentu, tapi ingat janjimu pada Tuanku."
"Tentu, tapi ingat janjimu pada Tuanku."
Nuri mengangguk.
Joko segera keluar dari kamar itu, di ruang tamu ia berpapasan dengan Bude Nur,perempuan 45 tahun tapi tetap cantik dan modis. Bulatan dadanya tampak lebih besar dari milik Nuri, anaknya.
"Lain waktu aku akan nyoba kamu.." pikir Joko cengengesan sendiri, ia langsung menuju ke tempat dimana tadi ia melepas bajunya dan dengan cepat memakainyakembali. Berikutnya Joko melepas cincin dan kini ia terlihat lagi, lalu dengan santai menuju ke teras dimana ibunya sudah menunggu, penasaran juga ia karena ibunya pakai kerudung menutupi potongan rambutnya yang baru.
"Eh, ibuk potong yang gimana? Kok pake kerudung lagi?" tanya Joko penasaran, ia takjub juga melihat perubahan wajah ibunya, lebih mulus pipinya, alisnya juga rapi dan nampak segar menggemaskan.
"Nanti di rumah kamu juga tau, Jok," jawab Sumini sambil tersenyum penuh arti.
"Ibuk tambah cantik loh.." puji Joko.
Sumini tersenyum senang sambil mencubit kecil lengan anaknya. Mereka berdua lalu berpamitan pada Bude Nur. "Joko, tunggu!" teriak Nuri.
Joko menghentikan motornya, padahal tadi sudah akan meninggalkan halaman rumah. Gadis itu nampak kusut seperti habis bangun tidur, tapi masih terlihat cantik. Dengan kepala tertunduk ia mendekat.
"Jok, maafkan aku ya, tadi sudah gak sopan," ucap Nuri pelan.
"Sudah, mbak, gak papa," jawab Joko santai.
"Ada apa sih? Sodara kok bertengkar?" sahut ibu Joko menyahut.
"Gak papa, buk, cuma salah paham," timpal Joko.
"Makanya, Nuri, dolan donk biar bisa maen sama Joko, nanti juga akrab, kalian kan sodara," ucap ibu Joko lagi.
"Iya, bulek," jawab Nuri sopan.
"Bener, mbak, aku kan juga pengen maen sama mbak," ucap Joko sambil mengedipkan sebelah matanya, sontak membuat Nuri tertunduk dengan mukamemerah.
"Sudah ya, Nuri, bulek pamit dulu,”
"I-iya, bulek, hati-hati.."
Motor Joko melaju perlahan di jalanan desa. Ibunya yang duduk terlalu ke belakang membuat setir Joko tidak nyaman. "Buk, boncengnya pegangan Joko, ntar jatuh," ucap Joko ketika melintas di sawah-sawah.
Sumini menurut, ia bergeser maju dan merangkul perut anaknya, sehingga otomatis susunya menempel di punggung anaknya. "Begini ya?" tanyanya.
"Siiip.. empuk, buk," jawab Joko cengengesan.
"Dasar!" celetuk ibunya sambil mencubit perut anaknya, ia tambah merapatkan pelukan.
Joko tersenyum. Pelangi pun bisa dibuat tanpa menunggu datangnya hujan.