Pagi yang cerah, Dirgo menikmati kopinya dengan duduk di teras depan rumahnya, sesekali melambai dan menyahuti sapaan orang-orang yang melintas di jalanan depan, jalan desa kecil yang hanya ramai bila pagi dan sore hari ketika warga kampung berangkat dan pulang dari sawah, maklumlah desa itu hanyalah desa kecil di tepi hutan jati.
Dirgo sendiri hanyalah anak desa biasa, bapaknya Darsono, 45 tahun, seorang petani yang beruntung memiliki sawah yang lumayan luas. Ibunya, Atikah, biasa dipanggil Atik, 35 tahun, hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dirgo sendiri sekarang kelas 2 di smu negeri satu-satunya yang ada di kecamatan.
"Lukamu sudah sembuh, Go?" tanya Darsono, bapaknya, di tanganya tampak menenteng sebuah cangkul, rupanya akan berangkat ke sawah.
"Sudah, pak," jawab Dirgo, ia masih ingat betul peristiwa naas 2 minggu lalu. Siang itu panas terik, Dirgo sedang menyiram halaman rumahnya yang berdebu ketika sebuah truk pasir melintas kencang dan melindas sebuah botol kratingdaeng.
"Dokk!!" Dirgo yang berdiri tegak di pinggir jalan semula tak begitu perduli sampai akhirnya ada rasa perih di selangkangannya, ketika menengok ke bawah, celana kolor yang dipakainya telah bersimbah darah. Sontak ia berteriak minta tolong pada ibunya. Lebih parah lagi ibunya langsung pingsan melihat anaknya berdarah-darah, untunglah ada 2 orang tetangganya yang melintas dan memberikan pertolongan, alhasil 4 jahitan harus diterima burung Dirgo dan untungnya lukanya juga tak terlalu dalam, kalau di posisi tegang lukanya tepat di bawah kepala karena memang Dirgo tak pernah pake cd dan pas ketika beling itu menggoresnya burungnya sedang menggelantung ke bawah.
"Bapak ke sawah dulu, Go," pamit bapaknya yang sudah keluar dari halaman rumah.
"Iya, pak." jawab Dirgo singkat, dipandangnya punggung bapaknya yang bergerak menjauh dari pandangan.
Darsono berkulit hitam legam dengan otot-otot kekar khas orang desa, tapi tubuhnya kecil dengan tinggi hanya 160cm, beda sekali dengan Dirgo yang di usia 18 tahun sudah 173cm dengan kulit sawo matang dan atletis. Mungkin Dirgo mewarisi gen ibunya, Atikah sendiri adalah wanita bongsor dengan tinggi 168 dan berat 65, dengan pantat dan dada nampak besar dan kencang, kulit kuning langsat, mata hitam lebar dan bening, hidung sedang gak terlalu mancung tapi jauh dari pesek, bibir penuh dengan deretan gigi putih rapi. Dirgo sendiri sangat bangga dengan kecantikan ibunya karena memang di desanya hanya beberapa saja yang mampu sejajar dengan ibunya, baik itu kecantikan maupun kemolekan tubuhnya.
"Lukamu dah kering, Go?" tanya Atikah, ibu Dirgo, dari ambang pintu dan sapu lidi di tangannya.
"Sudah kok, bu," jawab Dirgo singkat.
Atikah terdiam sesaat, sebenarnya ada ganjalan dalam hatinya yang ingin diungkapkan. Berawal dari percakapan dengan suaminya semalam. Darsono rupanya khawatir kalau luka itu akan mengganggu kinerja dari burung anaknya.
"Kamu liat buk, burung anak kita, masih normal apa tidak," kata Darsono malam itu.
"Liat bagaimana pak, lha wong tak bantu bersihkan lukanya dia tidak mau, tak paksa juga tak mau," jawab Atikah.
"Ya dibujuk pelan-pelan buk, aku lho kuatir kalo burungnya tidak bisa dipake, trus siapa yang akan memberi kita cucu?"
Kata-kata Darsono masih terngiang di telinga Atikah, "Trus siapa yang akan memberi kita cucu?" dan Dirgo adalah anak satu-satunya, sudah beberapa kali sejak musibah itu Atikah meminta untuk membantu merawat lukanya tapi Dirgo dengan tegas menolak, dan rasanya percuma membujuk Dirgo karena Atikah tau betul sifat anaknya; kukuh, ngotot dan keras kepala.
"Kamu mandi dulu sana," kata Atikah dan mulai rutinitasnya membersihkan halaman rumahnya yang kotor oleh daun-daun kecil yang terbawa angin. Dirgo masih duduk di kursi kayu dengan santainya tapi sepintas Atikah tahu kalau anaknya memperhatikanya yang sedang menyapu. Atikah tersenyum dalam hati, akhirnya ia tahu apa yang harus dilakukan.
Dirgo nampak gelisah duduk di kursi, bekas jahitan di burungnya terasa gatal, biasanya dia akan mengelus-elus bekas jahitan itu bila dia sendirian di kamar, tapi ini di teras rumah dan ada ibunya. Mungkin karena melihat ibunya rasa gatal itu muncul, wanita matang yang sedang menyapu itu telah lama menarik perhatian Dirgo, meski dibalut daster panjang semata kaki tapi bulatan dari buah pantat ibunya begitu menggoda, dadanya yang montok dan terlihat berat menggantung menambah rasa geli di burungnya, dan perlahan burung itu bangun dari tidurnya. Dirgo menaikkan kedua kakinya, ia tak mau ibunya melihat tenda di celana kolor yang dipakenya karena memang dia tak memakai celana dalam.
Tak lama kemudian ibunya sudah selesai menyapu, halaman rumah nampak bersih dan rapi meski hanya berlantai tanah.
"Hhehhh.." Dirgo bernafas berat ketika ibunya sudah masuk rumah, dengan cepat ia membetulkan letak burungnya yang tersangkut di kolor. Sejak luka itu mulai sembuh seminggu lalu, ada yang aneh dengan burung Dirgo, sering kali tiba-tiba gatal dan tegang bila melihat wanita dan sialnya di rumah ini ada wanita cantik yang selalu membuat gatal bekas luka itu. Dirgo sebenarnya jengkel juga dengan bu bidan Nurul yang menjahit luka di burungnya, jahitanya buruk sekali, benjol-benjol dan berkedut, parahnya lagi sejak luka itu kering banyak bulu tumbuh di jahitan itu, membuat penampilan burung Dirgo jadi tambah mengerikan.
"Go, bantu ibuk nyuci ya?" ujar Atikah dari ambang pintu.
Dirgo menoleh dan plass... jantungnya seakan berhenti berdetak, ibunya telah berganti baju dan kini hanya mengenakan daster dengan potongan leher rendah, nampak sedikit belahan dadanya yang sesak berhimpitan ditampung oleh beha yang talinya terlihat berwarna hitam. Daster itu juga terlihat begitu pendek, hanya mencapai setengah paha, hingga paha kuning langsat dengan bulu-bulu halus itu terlihat begitu menggoda.
"Kok malah bengong? Ayo bantuin ambil air," ujar Atikah lagi, terselip rasa bangga dalam hatinya melihat betapa anaknya yang muda dan ganteng tampak begitu terpesona melihat tubuhnya.
"I-iya, bu, duluan deh tak habiskan kopi dulu," jawab Dirgo beralasan. Dia hanya tidak ingin ibunya melihat tenda besar di celana kolornya. Dirgo menunggu sebentar ibunya menghilang di pintu dapur kemudian ngibrit ke arah kamarnya, mencari celana dalam dan memakainya.
"Aman deh, kalo gini kan ngaceng gak begitu kliatan," pikir Dirgo sambil tersenyum mesum.
Bergegas Dirgo ke belakang, nampak ibunya sedang merendam baju-baju kotor ke dalam sebuah ember plastik besar. Halaman belakang rumah Dirgo sudah dipagar tembok setinggi 2 meter, dan sebuah sumur dengan kerekan ada di sudut kanan dimana Atikah ibunya sedang mencuci baju disitu, rimbunan pohon mangga membuat tempat itu selalu sejuk walaupun matahari mulai bersinar terik.
"Ini diisi penuh, Go," kata ibunya sambil mengangsurkan 2 ember plastik besar ke arah Dirgo yang sudah memegang tali kerekan sumur.
Dirgo mulai menimba air, ibunya tepat disampingnya hanya terhalang 2 ember plastik. Atikah sendiri duduk di atas dingklik (bangku kecil dari kayu ). Dasternya yang rendah tentu saja tidak dapat menutupi paha mulusnya, kuning langsat dengan bulu-bulu halus, bahkan beberapa kali Dirgo dapat melihat ke arah celana dalam yang sedang dipakai ibunya.
"Sudah, Go, jangan terlalu penuh. Bantu ibuk ngucek ya," kata Atikah.
"Iya, buk," jawab Dirgo singkat sambil menyeret dingklik dan duduk di depan ibunya, ia lalu mengambil kaos kotor di rendaman dan mulai menguceknya dengan sabun. Mereka duduk berhadapan, Atikah duduk di depan anaknya dengan kaki terbuka lebar, paha mulusnya tampak berkilau karena beberapa kali terpercik air sabun.
"Ini gila." bisik suara hati Atikah, ia tahu anaknya bahkan bisa melihat rimbunan rambut di memeknya karena memang celana dalam yang dipakainya juga tipis, ini tabu dan memalukan... tapi ada perasaan aneh membuainya dalam birahi yang memabukkan.
"Sekolahmu kapan masuk, Go?" tanya Atikah sambil menunduk mengucek gamis yang kemarin dipakainya buat arisan PKK.
"Masih seminggu lagi, buk," jawab Dirgo, sekolah memang sedang libur panjang kenaikan kelas. Dirgo begitu terpukau dengan paha paha mulus di depanya, begitu halus, begitu mulus, begitu dekat hanya sejangkauan tangan dan hebohnya, Atikah ibunya tak berusaha menutupi auratnya yang terbuka. Burung Dirgo menggeliat geli dan perlahan mengeras kokoh. Walaupun sudah tertutup cd tetap saja bayangan kontol besarnya tercetak di celana kolornya.
Dirgo membuka kakinya, "Ibu saja gak malu, kenapa aku harus malu?" pikirnya.
Atikah melirik sepintas ke selangkangan Dirgo, tampak senyum kecil di sudut bibirnya, "Anakku masih bisa ngaceng, tapi apa iya sebesar itu?" pikir Atikah karena melihat bayangan mentimun besar di selangkangan anaknya.
"Kamu pacaran sama Dini ya?" tanya Atikah sambil meneruskan ucekan yang tinggal 2 buah sarung milik suaminya.
"Gak, buk, memang ibuk dengar dari siapa?" jawab Dirgo balik bertanya, mata ibunya yang selalu tertunduk pada cucian membuat Dirgo berpesta pora menikmati mulusnya bagian bawah tubuh ibunya.
"Dari ibu-ibu pas belanja di depan," jelas ibunya, depan rumah Dirgo tiap jam 5 pagi memang ada penjual sayur keliling yang selalu ramai dengan ibu-ibu. Dini sendiri adalah adik kelas Dirgo dan juga tetangga berselang 5 rumah.
"Halah, cuma isu, buk. Eh, sarungnya biar Dirgo ucek, ibuk yang bilas."
Atikah menyerahkan sarung yang baru mau diuceknya, lalu berdiri dan mulai membilas pakaian yang telah diucek dengan sabun. Ember yang rendah membuatnya harus membilas dengan posisi menunduk rendah. Dirgo terkesiap, potongan daster yang rendah itu membuat buah dada ibunya seakan mau meloncat keluar, kutang hitamnya seakan tak cukup muat untuk menampung buah dada Atikah yang menggelembung indah. Dirgo mengernyit, ada sedikit nyeri di bekas luka karena kontolnya sudah tegang setegang-tegangnya. Ingin rasanya dia menjangkau dan meremas-remas daging menggiurkan itu.
"Hadeuh, gila bener, mulus dan guede susumu, buk." bisik Dirgo dalam hati.
"Buk, dasternya baru ya?" celetuk Dirgo tiba-tiba.
Atikah terkejut dan sekejap merah mukanya karena malu. "Gak, nak, daster jelek gini, bapakmu yang gak suka kalau ibuk pakai siang hari." jawabnya.
"Bapak katrok sih, ibu pantes dan cantik kalo pake baju ini," jawab Dirgo, sebenarnya dia ingin bilang sexy tapi takut nanti ibunya tersinggung.
"Sebenarnya ibuk juga suka daster ini, gak ribet, juga isis adem. Malah ibuk punya 2, yang ijo ini sama merah di lemari, kainnya juga halus." jelas Atikah.
"Masa sih?" ucap Dirgo setengah tak percaya, ia mengelap tangannya yang berlumur sabun dengan bagian belakang celana kolornya. Kemudian dengan berani menjangkau sisi samping buah dada ibunya dengan pura-pura merasakan kehalusan bahan kain daster itu.
Atikah terkesiap, darahnya berdesir, anak kandungnya berani dan dengan sengaja menjamah susunya, meski hanya bagian samping luar tapi tetap sensasi itu terbawa ke memeknya yang mendadak geli dan mengeluarkan cairan kental hangat. Atikah tahu celana dalamnya telah basah di bagian depan.
Dirgo sendiri sudah tak kuat lagi, selesai ucekan terakhir sarung bapaknya, ia langsung mengakhiri acara cuci mencuci penuh nafsu itu, lantas pergi ke kamar dan mengocok burungnya sambil menghayal ngentot dengan ibunya.
***
"Dirgo gimana, buk?" tanya Darsono pada istrinya. Malam telah larut, di luar hanya terdengar suara jangkrik dan belalang. Darsono sendiri telah berada di atas dipan memeluk tubuh montok istrinya.
"Aku mesti gimana, pak? Aku bantu merawat lukanya, dia gak mau," jawab Atikah lirih, entah kenapa dia berbohong, padahal ia yakin betul bahwa kontol anaknya normal, bahkan lebih dari normal untuk ukuranya.
"Ya bu'e usaha gimana gitu, biar hatiku tenang kalau tahu anak kita masih normal itunya," jawab Darsono sambil meremas-remas lembut susu istrinya.
"Usaha gimana pak caranya?" tanya Atikah pura-pura bodoh, sambil menikmati tangan kasar suaminya yang menjamah bukit susunya.
"kalau misal Dirgo bu'e pameri susumu gimana? Kalo gak ngaceng berarti anak kita impoten,"
Atikah sejenak kaget dengan ucapan suaminya, "Pak'e ini ngawur saja, aku ini ibunya. Wes gak mau aku," jawab Atikah beralasan.
"Lha gimana lagi, buk?" Darsono menggumam lirih.
Atikah terdiam, ia membuka kakinya ketika Darsono menarik ujung bawah dasternya, suaminya menindih. Dapat dirasakanya ujung kontol Darsono mencari jalan ke pintu lembab memeknya dan sleeb, rasa nikmat menjalar dari selangkangannya ketika suaminya mulai mengayuh perahu cinta mereka. Namun tak lama semua berakhir dengan guyuran kental hangat di lobang peranakanya. Darsono terguling ke samping, Atikah sendiri segera bangkit dan membersihkan dirinya di kamar mandi. Ketika balik ke kamar, suaminya sudah pulas. Dengan sedikit jengkel dia pun ikut merebahkan diri di sampingnya.
***
"Gak gerah buk, pake baju kaya gitu?" tanya Dirgo pada ibunya yang berdiri di ambang pintu, bayangan bapaknya yang pergi ke sawah baru saja menghilang ditelan rimbun pohon-pohon di pematang sawah.
"Gerah juga, bapakmu sukanya gini kok," jawab ibunya sambil memandang daster panjangnya yang menutupi mata kaki. "Kamu dah sarapan, Go?" tanya ibunya.
"Belum buk, ibuk sudah?"
"Belum juga, yuk sarapan bareng?" jawab Atikah sambil menggamit tangan anaknya agar berdiri, sekilas dilihatnya guncangan benda besar di kolor anaknya ketika bangkit berdiri.
"Sambelnya ambil dulu di dapur, ibuk tak ganti baju yang enak," ujar Atikah.
Dirgo kemudian melangkah ke dapur, mengambil nasi dan duduk menunggu ibunya di ruang makan. Dia terbelalak ketika ibunya muncul di ruangan itu, dengan daster mini seperti kemaren, hanya sekarang warna merah. Rambutnya yang hitam, panjang, yang tadi diikat ala kadarnya, kini terurai. Rambut Atikah lurus alami, Dirgo baru menyadari betapa indah rambut ibunya, biarpun tak pernah ke salon untuk rebonding tapi rambut ibunya begitu lurus indah alami. Dan yang lebih mendebarkan lagi, tak ada tali kutang di pundak ibunya. Ya benar ibunya tak pake kutang, putingnya nampak membayang di balik kain bajunya. Dirgo melongo.
"Kamu kenapa, nak?" tanya Atikah yang melihat anaknya ternganga. Sengaja ia tadi melepas kutang karena ingat saran suaminya semalam.
"Ibuk cantik banget," jawab Dirgo spontan.
Atikah merasa melambung bangga, ia tahu anaknya memperhatikan susunya yang tak berkutang, tatapan Dirgo seakan menyusuri setiap inchi demi inchi tubuhnya, Atikah tahu, putingnya mengeras dan sekarang tonjolan puting itu begitu kentara membayang di balik kain dasternya. Atikah berlama-lama berdiri dengan alasan membuka tutup nasi dan sayur, ia merasa hangat dengan tatapan buas anaknya di sekujur tubuhnya.
"Biar Dirgo yang ambilin, buk," tawar Dirgo ketika melihat ibunya akan mengambil nasi.
Dirgo bangkit, sontak kontolnya yang ngaceng tegak berdiri membuat tonjolan tenda besar di kolornya yang tipis. Atikah terbeliak kaget, dan dengan mulut menganga matanya memandang lekat tenda besar di kolor anaknya, Atikah yakin kontol anaknya ini 3x lebih besar dari milik suaminya.
"Ada apa, buk?" tanya Dirgo, ada perasaan bangga memamerkan kontol 17cm miliknya, meski masih di balik kolor.
"Gak ada apa-apa." jawab Atikah singkat, mukanya merah karena malu.
Mereka berdua sarapan dengan diam karena larut dengan pikiran masing-masing. Dirgo masih takjub dengan penampilan ibunya pagi ini, ia seperti melihat gadis umur 20 tahun dan bukan ibunya yang sudah 35 tahun.
Selesai sarapan, Atikah memulai aktifitasnya di dapur untuk memasak buat makan siang. Dirgo yang sudah ngaceng berat melihat penampilan ibunya, mengekor dari belakang.
"Kamu kok ikutin ibu terus, gak maen sama sobatmu Joko itu?" tanya ibunya, Joko adalah teman sekelas Dirgo dan juga tetangga mereka. (baca : Ibu Pura-Pura Diam)
"Joko juga jarang keluar, buk. Kalo tak ajak keluar, malas katanya,"
"Ya maen sama Dini pacarmu itu,"
"Males, enakan di rumah sama ibuk,"
"Kok bisa?" tanya Atikah sambil mencuci beras.
"Abis sekarang ibu cantik dan seksi," jawab Dirgo sambil tersenyum mesum.
"Berarti dulu gak cantik donk?" jawab ibunya cepat.
"Ya gak juga.. dulu juga cantik, tapi kan ibuk dulu tertutup terus pakaiannya."
"Kamu suka ya ibuk pake beginian?"
"Suka banget, buk. Dirgo janji, kalau ibuk pake seksi, Dirgo gak akan keluyuran lagi," janji Dirgo karena ingat ibunya selalu marah jika ia keluyuran gak jelas.
"Tapi kalau bapakmu tau ya pasti marah, Go," ucap ibunya sambil menyalakan kompor.
Dirgo dengan cepat mengambil panci yang sudah berisi air, posisi mereka yang berdempetan dan kompor yang agak tinggi membuat sikut Dirgo menempel di susu ibunya, dan ia berlama-lama memegang panci itu.
"Kamu ngapain nyikut-nyikut susu ibu?" tanya Atikah, tapi juga tak berusaha menghindarkan susunya dari sikut anaknya.
"Habis susu ibuk gede banget," jawab Dirgo polos. Kontolnya sudah tegak tegang dan mencucuk-cucuk pantat ibunya. Dirgo sudah tidak tahan lagi, tangannya lalu meraih susu besar ibunya dan meremas-remas lembut.
Atikah kaget dengan keberanian anaknya, tapi ia berusaha berlaku sewajar mungkin tanpa menepis tangan Dirgo, atau pun menghindar dari mentimun besar yang menempel di pantatnya. "Sudah ah, ibuk repot. Kamu ini pegang-pegang susu ibuk, sedang kontolmu sakit ibuk gak boleh liat," ujar Atikah.
"Oh itu.. habis Dirgo malu, buk. Tapi sekarang sudah enggak, buk, kan ibuk juga boleh susunya Dirgo pegang,"
"Aku kan ibukmu, Go, masa sama ibuk sendiri malu? Ibuk kan jadi sedih,"
"Iya, maaf, buk." jawab Dirgo sambil memeluk ibunya dari belakang, hidungnya dibenamkan di leher ibunya yang sedikit berkeringat, sementara kedua tangannya menangkup gundukan lembut nan kenyal di dada ibunya.
"Sudah, Go, sibuk ini," ucap ibunya pelan sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan anak kandungnya.
"Sekarang sudah gak malu lagi, buk," kata Dirgo sambil melepas celana kolornya.
"Astaga," pekik Atikah spontan. Kontol Dirgo kini terbuka dengan gagahnya, coklat tua panjang 18 cm dengan diameter hampir 4c m, sehingga kontol itu terlihat panjang sekali. Atikah melongo teringat kontol suaminya yang kecil mungil.
"Sebenarnya sudah gak sakit, tapi gatal sekali buk bekas jahitanya." Dirgo kemudian duduk di meja dapur. Atikah blank, dia hanya bisa diam terlongong. Di depanya kini tegak menjulang kontol muda yang kokoh dan menggiurkan.
"Pegang donk, buk." perintah Dirgo dan membawa tangan ibunya ke arah kontolnya.
Atikah masih terkesima, kontol itu kini dalam genggamanya, terasa hangat dan berkedut, bekas jahitannya terasa sedikit kasar, dan reflek jari-jari Atikah mengocok kontol anaknya.
"Enak, buk. Terus," lenguh Dirgo yang merasa nikmat.
Atikah seakan sadar dan melepas genggamanya, tapi Dirgo dengan sigap menggenggam tangan ibunya agar tetap melingkari batang kontolnya. "Kalo sudah sembuh ya sudah, nak. Mau apa lagi?" ucap Atikah sambil mengocok pelan-pelan kontol anaknya, dadanya bergemuruh oleh nafsu.
"Buk, Dirgo boleh liat susu ibuk?" pinta Dirgo, tapi tangannya sudah meremas-remas lembut susu ibunya.
Atikah diam, tapi tangan kirinya bergerak menjangkau leher bajunya yang rendah dan ternyata molor, lalu menariknya ke bawah dan meloncatlah dua gunung lunak nan empuk, padat dan halus, putingnya tegak dan sedikit panjang.
"Susu ibuk gede dan montok," puji Dirgo sambil mengusapi dada ibunya.
Atikah menggelinjang, tangan itu begitu halus, beda sekali dengan tangan Darsono suaminya yang kasar karena tiap hari bergelut dengan cangkul.
"Buk, Dirgo boleh pegang memek ibuk?" pinta Dirgo polos seakan tanpa dosa.
"Jangan, nak, aku ini ibumu. Sebenarnya ini sudah terlalu jauh," tolak Atikah, tapi tetap membiarkan tangan anaknya yang terus meremas dan mengusapi kedua susunya.
"Sudah ya, nak, nasinya mau tumpah itu," kata Atikah sambil melepaskan genggaman di kontol anaknya karena melihat beras yang direbusnya sudah mendidih dan sebagian tumpah membasahi kompor.
Dirgo terlihat sedikit kecewa, dia turun dari meja dapur dan keluar dari sana. Masih dengan tanpa celana ia menuju ruang tamu dan mengunci pintu depan, trus kembali lagi ke dapur, dilihatnya ibunya masih sibuk menanak nasi. Dirgo mendekat dan mengusap-usap pantat ibunya dari belakang.
"Ibuk masih sibuk, nak," keluh Atikah, tapi juga membiarkan tangan anaknya bermain-main di bokongnya.
Dirgo tersenyum ketika tanganya menyelinap masuk ke daster ibunya dan merabai pantat bulat itu, ibunya tak pakai celana dalam! Atikah menggelinjang begitu jari-jari anaknya hinggap di permukaan vaginanya dan merabai jembutnya yang rimbun dan lembab.
"Dirgo, sudah dong.. ini ibu, nak," pinta Atikah, tapi juga tak ada gerakan yang menolak perlakuan anaknya yang menjamahi aurat paling terlarang miliknya.
"Gak adil, buk, ibuk kan sudah pegang pegang kontol Dirgo," jawab Dirgo bergetar suaranya oleh nafsu, dengan lembut dia menarik pantat ibunya ke belakang dan mendorong pelan punggung ibunya agar menunduk.
Kini Atikah sudah berdiri dengan posisi menungging dan tangan berpegangan pada meja dapur, "Jangan, nak.. aku ini ibumu," ucap Atikah lemah ketika kaki Dirgo menggeser kaki kanannya agar mengangkang lebih lebar, nanar Dirgo memandang vagina itu, jembut ibunya begitu lebat hingga menutupi pintu nikmat.
Dirgo menyibakkan jembut dan membuka vagina ibunya, merah dan basah, itilnya tegak runcing dan kaku seakan menanti sentuhan jari-jari nakal. Lembut ia mengusap itil itu. Atikah spontan menggeliatkan lututnya seakan lumpuh oleh sentuhan Dirgo, tubuhnya melorot jatuh dan kini ia telungkup bertumpu pada lutut yang terpentang lebar, mengekspose vaginanya dengan vulgar di depan wajah anak kandungnya sendiri.
Seumur hidup Dirgo, baru kali ini ia melihat dan memegang vagina perempuan. Jari-jarinya gemetar ketika perlahan menyusup ke dalam lobang vagina milik ibunya. Dirgo takjub menyadari dari lobang inilah ia lahir ke dunia, tapi kenapa bentuknya begitu kecil dan sempit. Vagina itu juga sangat basah, Dirgo perlahan mendorong jarinya keluar masuk.
"Oowwh, enaknya.." lenguh Atikah parau, sensasi bahwa yang mengerjai vaginanya adalah anak kandungnya sendiri membawa Atikah ke gairah tertinggi yang pernah dirasakan olehnya. Sampai sebuah sensasi aneh membawa gelombang nikmat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Aaarggh.. enaknya tempekku," Atikah terhentak-hentak oleh gelombang nikmat itu, sesuatu yang hangat, basah, kasar, tapi lembut, dan hembusan udara panas terasa membuai selangkanganya, bahkan terasa juga menggelitik lubang anusnya.
Atikah mengernyit nikmat dan penasaran dengan sensasi yang baru dirasakanya seumur hidup, ia mengangkat kepala untuk melihat apa yang telah dilakukan anaknya. "Astaga.. Dirgo! Jangan, nak, tempek ibu kan kotor." ceracau Atikah berusaha menghindari mulut anaknya yang memporak-porandakan vaginanya.
Tapi Dirgo sudah siap dengan menahan punggung ibunya agar tetap pada posisi itu. Atikah mengerang panjang, itilnya terasa pecah oleh nikmat ketika Dirgo menghisapnya. Sumsum di tulang-tulangnya seakan berkumpul menumpuk mencari jalan keluar dan dengan dahsyat menyembur keluar menjadi orgasme yang maha dahsyat
"Aaaarggh.. Ibuk... ke-keluarrr.. uuughh," Atikah menggapai berusaha mencari pegangan. Aliran air maninya seperti bendungan yang tiba-tiba ambrol, dan Dirgo terus menghajarnya dengan sedotan kuat di itil ibunya. Atikah merasa ada angin dingin yang ikut tersedot dari ubun-ubunnya, mengalir lembut dan nikmat sampai ke vaginanya yang terus menyemprotkan cairan nikmat. Atikah lumpuh, tubuhnya, menggelosoh, telungkup dan terhentak-hentak kecil menikmati sisa-sisa orgasmenya.
Dirgo memandang takjub pada tubuh ibunya yang telungkup di lantai dapur, suara desis air mendidih menyadarkanya. Segera dimatikannya kompor itu. Ibunya sudah berbalik terlentang, matanya sayu dengan tatap mata seribu arti. Dirgo menunduk dan melumat bibir ibunya yang disambut dengan lumatan lemah sebuah bibir kenyal. Dirgo membopong tubuh ibunya ke kamar dan membaringkanya di ranjang, lemah dan pasrah, bajunya awut-awutan, sementara kakinya terbuka lebar. Dirgo bergerak menindih ibunya.
"Ibuk masih ngilu, nak," ucap Atikah parau.
"Kontolku gatel, buk.. pingin ngrasain tempekmu," bisik Dirgo di telinga ibunya. Kontolnya diarahkan ke vagina Atikah.
Dirgo yang memang belum pernah bersanggama, nampak kesulitan mencari jalan nikmat di vagina ibunya. Atikah lalu membantu mengarahkan kepala gundul itu ke lobang peranakannya. Sleep.. kepala gundul itu telah masuk ke lobang nikmat miliknya, mata Atikah membeliak, vaginanya seakan mau robek, kontol itu terlalu besar baginya karena memang kontol yang biasa menyusuri lorong vaginanya cuma milik Darsono yang sangat kecil.
"Pelan-pelan, nak.. kontolmu gede banget," bisik Atikah sambil menahan ngilu di vaginanya.
Dirgo merasakan betapa jepitan kuat tapi lembut dan hangat terasa di kepala kontolnya, perlahan dia mendorong kontol panjangnya di peranakan ibunya. Atikah merintih lirih, vaginanya terasa penuh sesak, sensasinya sungguh memabukkan. Jarinya mencengkeram erat sprei kasur dan serr.. serr.. Gelombang orgasme kedua melandanya dengan cepat. Tubuhnya berkelojotan dan terhentak-hentak, Dirgo merasakan betapa jepitan itu semakin kuat, tapi juga lobang itu semakin licin. Dengan sekali hentakan ia mendorong masuk sampai semua batangnya terbenam di vagina ibunya.
“Ahh...” Atikah merintih pelan, matanya terbeliak hingga hanya terlihat putihnya saja. Perutnya terasa sedikit mulas karena kontol Dirgo terlalu jauh masuk di rahimnya. Atikah lemas, rasa nikmat memabukkannya. Pasrah.
"Tempekmu uewnak, buk," bisik Dirgo di telinga ibunya, perlahan ia mencabut kontol di benaman vagina ibunya yang kuat menjepit, mendorongnya lagi, sekali, dua kali, tiga kali, berkali kali sampai Dirgo merasa lancar dan semakin licin.
Dirgo terus menggenjot dengan kecepatan tinggi, cepat dan kasar tanpa jeda. Ia seperti gila dengan lobang vagina ibunya yang begitu nikmat. Atikah sendiri sudah tak berdaya. Bombardir kontol di vaginanya membawa Atikah larut ke alam nikmat yang tak pernah dirasakannya selama ia berumah tangga, tubuhnya lemas dengan hentakan-hentakan kecil orgasme berkepanjangan. Sampai akhirnya tangan anaknya erat mencengkram pantatnya dan menghunjamkan kontol itu sedalam-dalamnya.
“Auwh,” Atikah menjerit, sementara Dirgo menggeram saat gumpalan lengket dan panas meluncur menerpa dinding-dinding rahim ibunya. Bertubi-tubi cairan itu membombardir rahim Atikah.
Atikah menggigit pundak anaknya, memeluknya erat. Orgasme yang panjang benar-benar melumpuhkannya, tubuhnya lemas. Dirgo mencabut kontolnya yang terasa ngilu di jepitan vagina ibunya. Keduanya terdiam meresapi sisa-sisa nikmat. Lelah. Lelap.
***
Malam itu angin bertiup kencang, dingin menusuk tulang. Atikah menemani suaminya menonton tv di ruang tengah, keduanya tampak mesra duduk berdua di sofa dengan tangan Darsono membelai paha Atikah, diam tanpa kata-kata, keduanya larut dalam tontonan sinetron di tv.
"Ciee.. pacaran nih?" celetuk Dirgo tiba tiba dan langsung bergabung duduk di samping ibunya, Darsono langsung menarik tangan dari paha istrinya.
"Di kamar terus ngapain, Go?" tanya Atikah.
"Gak ngapa-ngapain, buk, smsan aja ma temen-temen," jawab Dirgo.
"Kata ibumu kamu pacaran sama Dini, apa sudah kebelet kawin, Go?" celetuk Darsono, bapaknya.
"Boro-boro kawin, pak... lagian, siapa yang pacaran?" jawab Dirgo sambil mencubit bokong ibunya. Atikah terlonjak kaget dengan cubitan itu karena memang dari tadi hanyut dengan cerita sinetron.
"Kenapa, buk?" tanya Darsono heran.
"Nyamuk, pak, nggigit kakiku," jawab Atikah sambil pura-pura menggaruk kakinya.
"Kamu jangan macem-macem Go, sama Dini. Kamu tau ‘kan biarpun jauh, Dini itu masih kerabat juga," kata Darsono lagi.
"Pacaran aja gak, kok macem-macem pak?" jawab Dirgo sewot.
Dini teman sekelasnya, bapak Dini adalah sepupu bapak Dirgo, jadi memang dia dan Dini masih ada hubungan darah yang Dirgo sendiri tidak tahu apa namanya. Dan seperti Dirgo dan Joko, Dini dan Murni juga sahabat karib, bedanya Murni lebih agresif, sedang Dini cewek alim yang pendiam.
Dirgo sebenarnya suka juga dengan Dini, wajahnya yang manis dan gerak-geriknya yang anggun memang selalu jadi impian cowok-cowok di sekolah.
"Kulonuwun...(salam dalam bahasa Jawa)," Lamunan Dirgo buyar seketika ketika suara salam itu begitu keras terdengar dari teras rumahnya.
"Monggo," jawab mereka bertiga serempak, tergopoh gopoh Darsono keluar diikuti istrinya, Dirgo tampak mengekor di belakang.
"Dek Jarwo, dek Likah.. waduh, kok tumben? Mari-mari, silahkan masuk," ucap Darsono kepada tamunya yang ternyata adalah adik iparnya.
Jarwo adalah suami Likah, adik Atikah, ibu Dirgo. Mereka tinggal di desa sebelah, lumayan jauh juga, ada 10 km dari rumah Dirgo. Jarwo berbadan gempal agak pendek, wajahnya tergesan galak dengan bibir tebal dan hidung besar. Sulikah atau biasa dipanggil Likah adalah foto kopi dari Atikah, kakaknya, hanya saja tubuhnya lebih kecil. Mereka sudah 15 tahun menikah tapi sayang belum juga dikaruniai momongan.
"Ada perlu apa dek Jarwo, kok malem-malem tumben dolan kesini?" tanya Darsono membuka pembicaraan.
"Ada perlu apa dek Jarwo, kok malem-malem tumben dolan kesini?" tanya Darsono membuka pembicaraan.
"Anu, kang, cuma mau tanya soal sapi kang Margono yang katanya mau dijual. Aku dengar kang Darsono yang disuruh jual," jawab Jarwo mengutarakan maksud dan tujuannya.
"Bakalan lama nih," pikir Dirgo.
Jarwo, pakleknya itu, memang blantik atau makelar sapi dan biasanya kalau urusan begini pasti akan lama karena pembicaraan akan melebar kemana-mana. Dirgo melihat ibunya bangkit dari duduknya, sedari tadi hanya Dirgo yang diam tak ada yang diajak ngobrol, karena Atikah pun sejak duduk sudah ngerumpi dengan Likah, adiknya, entah apa yang dibicarakan dan begitu ibunya masuk, Dirgo langsung mengekor di belakang.
"Lho, kok ikut ke dapur, Go? Temanin bulekmu sana di depan," ucap ibunya yang melihat Dirgo ikut ke dapur.
"Males, buk, gak tau mau omongin apa sama bulek." jawab Dirgo sambil duduk di kursi kayu di sudut dapur. Ibunya rupanya akan membuat kopi untuk suami dan kedua tamunya.
"Kamu mau kopi juga?" tawar ibunya.
"Iya, buk, belum ngopi tadi,"
Dirgo memperhatikan ibunya yang sedang menyalakan kompor, perempuan matang yang selalu jadi hayalan-hayalan jorok Dirgo setiap hari. Rambut Atikah yang tebal, hitam legam, selalu jadi daya pemikat bagi Dirgo. Perlahan didekatinya ibunya yang sedang mencari gula di rak atas. Lembut diusapnya susu ibunya yang terbungkus kutang. Atikah sejenak kaget, tapi tak menghindar, matanya dengan waspada mengawasi pintu dapur dimana sinar lampu ruang tengah meneranginya dan bila ada orang yang mendekat maka bayangannya akan lebih dulu sampai di depan ambang pintu.Atikah menggeliat kecil saat jari-jemari anaknya lembut meremas-remas susunya. Atikah sadar, dengan usia muda Dirgo, maka akan sulit baginya menahan nafsu birahi. Dalam hitungan detik, Atikah merasakan tonggak keras dan hangat menggesek-gesek pantatnya.
"Sudah, nak, banyak tamu di depan," ucap Atikah pelan, tapi juga tak berusaha melarang Dirgo yang terus memberi rasa nikmat di susunya.
"Kalau tamunya pulang.. mana bisa, buk?" bisik Dirgo di telinga ibunya. Bisikan itu begitu hangat dan basah di telinga Atikah, dan Atikah berpikir memang anaknya benar; kalau tidak ada tamu akan sulit untuk bisa bermesraan dengan anaknya.
"Sudah, nak.. Ehh," rintih Atikah, ia memang mudah terangsang bila susunya diremas-remas, apalagi Dirgo juga memilin-milin putingnya yang mulai mengeras.
Tak sampai disitu, jari-jari Dirgo kini merayap di selangkangan ibunya, daster bawah Atikah kini telah naik karena Dirgo ingin mengusap dan menikmati vagina ibunya tanpa penghalang apapun.
"Buk, celananya lepas ya.."
"Jangan, nak.." cegah Atikah lemah hampir tak terdengar, dirasakanya jari-jari anaknya bergerak liar di balik celana dalamnya, menguak lubang nikmatnya yang mulai basah oleh rembesan lendir nikmatnya.
Atikah menggelinjang, celana dalamnya kini telah melorot ke lutut. Dirgo dengan santai mengait celana dalam itu dengan jari jempol dan menariknya ke bawah hingga menjubel di mata kaki ibunya, lalu dengan lembut dibukanya kaki ibunya agar lebih melebar. Kini Atikah berdiri dengan kaki terbuka lebar, badanya sedikit condong ke depan dengan tangan bertumpu pada meja dapur.
"Sudaaah, nak... jangann," bisik Atikah melarang lemah. Naluri keibuannya mengatakan ini tak boleh dan berbahaya, tapi di sisi lain perasaan was-was takut ketahuan membuat birahinya ibarat gelombang pasang. Dalam sekejap vaginanya telah basah kuyup, cairan putih lengket nampak meleleh di ujung ujung jembutnya dan menetes di lantai dapur.
Dirgo merosot turun duduk di lantai dapur, aroma khas dari vagina basah ibunya membuat lidahnya terasa gatal ingin menikmatinya. "Buk, besok jembutnya dicukur ya?" ucap Dirgo pelan, jari-jarinya sibuk menguak rimbun jembut ibunya yang menutupi jalan surga itu.
"Kamu apain ibu, nak.. Esstt," Atikah menggelinjang ketika lidah Dirgo anaknya terasa panas menjilati itilnya yang tegang memerah, nikmat yang sungguh memabukkan, nikmat yang tak pernah dirasakannya dari Darsono suaminya. Atikah kelojotan oleh mulut anaknya, sendi-sendi kakinya sebenarnya sudah sangat lemas, tapi ia bertahan dengan bertumpu di meja dapur.
"Anak kurang ajar.. kamu apakan tempek ibuk, nak?" rintih Atikah pelan, nikmat yang tak tertahan, nikmat yang tak pernah ia rasakan dari suaminya membuat Atikah lupa dimana dia berada dan dengan siapa mengayuh perahu birahi itu.
"Mbbakyu... kau..."
Sulikah, adik kandung ibu Dirgo, berdiri di ambang pintu dapur, terpana dengan mulut terbuka dan mata membeliak tak percaya dengan apa yang dilihatnya, begitu terkejutnya ia hingga sekejap hanya bisa mematung. Di dapur itu, kakak kandungnya yang selalu dihormati dan dibanggakanya, berdiri setengah telanjang dengan kepala anak kandungnya berada di antara kakinya.
Sejenak sunyi suasana di dapur, Atikah dan Dirgo pun tak kalah terkejutnya, suasana itu seakan sebuah film yang tiba-tiba di pause, dan seluruh adegan berhenti tiba-tiba, sampai akhirnya desis suara air mendidih menyadarkan mereka bertiga.
"Dek Likah.. Sa-saya bisa menjelaskan," ucap Atikah terbata, tapi Sulikah hanya memandang dengan bingung, kemudian berbalik kembali ke ruang tamu.
"Bagaimana, buk?" tanya Dirgo bingung.
Atikah masih diam, wajahnya nampat kalut. Air di dalam teko sudah mendidih ribut dan dengan gemetar dituangkanya ke dalam gelas berisi kopi dan gula. "Bulekmu sudah terlanjur tahu, tapi ibuk yakin dia akan jaga rahasia. Sudah gak papa, nanti biar ibuk yang bicara," ucap Atikah pelan, dari nada suara itu Dirgo tahu ada ketakutan besar disana.
"Aku harus melakukan sesuatu," pikir Dirgo, ia menghempaskan pantatnya di kursi di sudut dapur, terdiam dan berpikir keras.
Dirgo lalu membuntuti ibunya yang membawa kopi untuk suami dan kedua tamunya, ia tak ikut duduk di ruang tamu, Dirgo berjalan ke luar rumah dan memperhatikan buleknya dari jendela kaca.
"Silahkan diminum, dek Jarwo, dek Likah, mumpung masih panas," kata ibu Dirgo mempersilahkan kedua tamunya sembari duduk di samping suaminya.
"Mbakyu ini repot-repot saja, saya gak lama-lama, lha simbok sudah pikun takutnya gak ada orang malah kluyuran kemana-mana." jelas Jarwo pada kakak iparnya, dan simbok yang dimaksud adalah ibu Jarwo yang memang sudah berumur 90 tahun.
"Tapi ya dihabiskan dulu, dek. Ayo, dek Likah, kok diam saja dari tadi?"
"I-iya, mbakyu, kepikiran simbok terus dari tadi." ucap Sulikah beralasan, padahal sejak kejadian yang dilihatnya tadi, pikirannya masih kacau. Sungguh dia tak menyangka kakaknya melakukan hal tabu dan menjijikkan itu.
"Mbakyu sum, kang Darsono, saya minta pamit dulu. Gak enak ninggalin simbok sendiri," ucap Jarwo ketika kopi yang dihidangkan kakaknya itu telah habis.
"Eh iya , hati-hati di jalan.. Likah, mbok ya sering-sering dolan kemari, mbakyumu itu gak punya teman kalo siang hari, Dirgo kerjanya keluyuran saja," kata Darsono pada kedua tamunya.
"Iya, kapan kapan saja, kang. Aku malah gak punya teman di rumah, pamit dulu, kang Dar, mbak Sum,"
Darsono dan istrinya mengantar kedua tamunya sampai di halaman dimana sepeda motornya di parkir di situ. “Lho, bannya kok kempes, dek Jarwo?" ucap Darsono.
Jarwo yang sudah naik buru-buru turun dari motor dan memijit ban depan motornya. "Waduh, iya, kang. Kecoblos paku, ini masih nancap pakunya. Waduh, piye iki, kang.."
"Ditambal dulu, dek Jarwo, di tempat kang guno,"
"Lha simbok ini, kang, yang jadi pikiranku. Tadi juga lupa pintu gak tak kunci," kata Jarwo kuatir sambil berpandangan dengan istrinya yang kelihatan jengkel dengan kejadian itu.
"Bagaimana kalau bulek saya antar dulu, lek Jarwo?" tawar Dirgo yang sedari tadi duduk diam memperhatikan dari sudut gelap teras rumahnya.
"Kamu gak repot ta, Go?" tanya Jarwo pada keponakannya.
"Gak, pak lek," jawab Dirgo singkat sambil menurunkan motornya yang diparkir di teras. "Ayo, bulek, kasian simbok sendirian di rumah."
"Gak papa to, pak, tak tinggal dulu?" kata Sulikah pada suaminya.
"Gak papa, nanti biar kutambal dulu di tempat kang Guno,"
"Ya sudah.. saya pamit dulu, mbak Sum, kang Dar,"
"Iya hati-hati,"
Motor Dirgo berjalan pelan di jalanan desa itu, sudah hampir 1 km dan mereka hanya diam. Jalan kecil di tengah sawah itu tampak temaram dengan penerangan bulan sabit, Dirgo nampak gelisah sedari tadi, ingin bicara tapi bingung mulai darimana.
"Bulek.." ucap Dirgo cukup keras agar terdengar oleh wanita yang diboncengnya. Tak ada sahutan, hanya gerakan tubuh yang gelisah dari wanita di boncengannya.
"Bulek jangan bilang bapak ya," ucap Dirgo agak keras. Tetap tak ada sahutan.
Sulikah sendiri sebenarnya jelas mendengar, tapi dia sendiri gundah harus bersikap bagaimana. Atikah, kakak kandung satu-satunya yang sangat ia sayangi, tapi perbuatannya selingkuh dengan anak kandungnya sungguh tak dapat ia terima, apalagi saat itu Dirgo menjilati vagina kakaknya; saru, tabu, memalukan, tapi anehnya bayangan itu begitu lekat di pikirannya, mungkin karena seumur hidup suaminya tak pernah melakukan yang seperti itu.
"Bagaimana rasanya?" pikir Sulikah, ada rasa hangat dalam tubuhnya mengingat kejadian yang begitu tabu di dapur kakaknya tadi. "Gila.. memalukan saja," pikir Sulikah, tapi tak dapat dipungkirinya ada sesuatu yang asing dan liar muncul dalam dirinya, sampai akhirnya motor itu tiba-tiba berhenti.
Sulikah tersadar, ini bukan berhenti di rumahnya. Tempat itu gelap, di kiri kanan hanya semak belukar dan motor yang dinaikinya kini berhenti di tengah tanah lapang 4x4 meter dengan semak-semak tinggi di sekelilingnya. Sulikah tercekat, gelombang takut tiba-tiba menyergapnya.
"Kita di.. dimana, Go?" tanya Sulikah gemetar, tangannya mencengkeram bahu Dirgo kuat-kuat.
Dirgo tersenyum misterius, semua sudah direncanakannya sejak dari rumah tadi. Dari mencoblos ban motor sampai mengantar bulek Likah naik motornya, kalau memang bulek Likah tadi bisa diajak bicara, tak akan Dirgo membawa buleknya ke tempat ini, tempat yang jauh dari rumah penduduk, tempat di tengah sawah yang tak pernah digarap pemiliknya, tempat dimana ia dan teman-temannya bersembunyi untuk coba-coba minum minuman keras.
"Dirgo, ini dimana? Kamu jangan macam-macam! Antar bulek pulang!!" jerit Sulikah jengkel dan takut sambil mengguncang bahu ponakannya yang masih duduk di sepeda motor.
Dirgo tak menjawab, dengan santai ia turun dan melepaskan cengkeraman tangan buleknya yang ada di bahu. "Salah sendiri kenapa tadi bulek diam saja, bulek kan pasti dengar ucapan Dirgo," ucap Dirgo tenang sambil berdiri di samping motornya, ia memandang bulan sabit yang bersinar redup.
"I-iya, bulek dengar, bulek akan jaga rahasia kamu dan ibumu," ucap Sulikah gemetar, dia buru-buru ikut turun dan memeluk lengan Dirgo erat-erat.
"Apa jaminannya kalo bulek bohong?" bisik Dirgo di telinga Sulikah yang tertutup kerudung, perlahan ia lepaskan lengannya dan memeluk Sulikah dari belakang.
"Dirgo, kamu.. kamu jangan kurang ajar! Aku bulikmu, nak," ucap Sulikah parau.
"Memang kenapa, bulek? Dirgo saja bersetubuh dengan ibu, kakak bulek,"
"Dirgo, jangan.. atau aku akan berteriak," Sulikah gemetar,tangannya menahan jari-jari Dirgo yang kini bergerak mengusap-usap susunya.
"Teriak saja, gak akan ada yang dengar. Maaf bulik, Dirgo harus lakuin ini sebagai jaminan agar bulik jaga rahasia,"
"Jangan, Dirgo.. b-bulik janji akan jaga rahasiamu,"
"Dirgo juga gak akan memaksa bulik kalo gak mau, kita akan disini semalaman sampai bulik mau, mungkin sampai lek Jarwo menemukan kita berduaan disini." ucap Dirgo pelan.
Sulikah terdiam, otak takutnya berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan ponakannya. Dia tersudut, semakin lama disini semakin besar kemungkinan suaminya tahu dan itu adalah masalah lagi. Sulikah benar-benar tersudut, perlahan dilepaskannya pelukan Dirgo, menarik bawahannya ke atas dan dengan cepat melepaskan celana dalamnya.
"Baiklah.. ayo cepat lakukan, anak setan!" ucap Sulikah ketus.
Dirgo terpana melihat adik ibu kandungnya berdiri di depannya dengan menggulung roknya hingga ke perut, paha mulus putih itu seakan bersinar tertimpa cahaya bulan. "Jangan terburu-buru, bulek. Tambal bannya kan jauh, waktu kita masih lama," ucap Dirgo menenangkan buleknya, dan memang rumah kang Guno tukang tambal ban itu cukup jauh dari rumah Dirgo, akan butuh setengah jam jika berjalan kaki.
Dirgo memeluk Sulikah dari belakang, tangannya menyusuri paha halus buliknya dan rimbunan rambut yang tumbuh di selangkangan itu. "Bulek masih ingat kan posisi Dirgo dan ibuk di dapur tadi? Tapi bajunya ini dilepas dulu,"
Sulikah tersentak, ia ingat betul kakaknya berdiri dengan kaki terpentang lebar, tubuhnya membungkuk dengan tangan bertumpu di meja dapur dan kepala anaknya berada diantara selangkanganya. Sulikah bergidik dan seperti tersihir perlahan ia melepas bajunya dan tanpa disuruh kutang dan kerudungnya juga ia lepas. Kini dia berdiri seperti bayi baru lahir tanpa sehelai benang pun.
Dirgo yang sedang melepas celananya, melongo mupeng melihat aksi buliknya yang tak terduga, tanpa disuruh kontol berbulunya langsung tegak berdiri, buru-buru ia melepas celananya sementara buleknya telah memposisikan tubuhnya persis dengan posisi ibunya di dapur tadi, bedanya tangannya bertumpu di jok sepeda motor.
"Jangan buru-buru, bulek," Dirgo menciumi punggung buliknya yang putih di temaram cahaya bulan, tangannya menjangkau susu Sulikah yang menggantung bebas, tak sebesar susu ibunya tapi lebih kenyal dan padat.
Sulikah menggelinjang, semua ini terasa asing, aneh, menakutkan, tapi perlahan remasan lembut di susunya, juga lidah basah dan hangat di punggungnya, membawanya dalam pusaran birahi yang misterius.
"Cepat, Go.. bulek takut," bisik Sulikah lirih dan parau.
Dirgo tak terlalu menggubris ketakutan buliknya, tubuh buliknya yang mulus itu diciuminya dengan rakus, sementara jari-jarinya kini mulai asik merayapi vagina buleknya, vagina yang belum pernah terlewati jabang bayi, vagina yang begitu gemuk dan tebal dengan jembut yang terpotong rapi. Dirgo menguak lobang nikmat itu dan ia tersenyum senang, lobang itu telah basah kuyup. Perlahan ia merosot dan kini mulutnya telah siap di depan selangkangan Sulikah.
"Jangan macem-macem, Go.. cepetan, auuh.. jorok kamu, nak.. i-itu kotor.. ohhh... sstt.." Sulikah laksana tersengat listrik ketika lidah Dirgo melumat itilnya dengan jilatan dalam dan panjang.
"Ooucch.. begini rasanya, anak setan.. pantesan ibukmu mau.. ouhh enaknya.. ja-jangan disedot itilku.. auhh, ampun enaknyahh.." Sulikah menceracau tak karuan, perempuan desa yang tak pernah merasakan oral seks itu kini telah lupa bahwa tadi dia menolak dan mengutuk perbuatan itu.
Dirgo pun semakin bersemangat mengerjai vagina buliknya, dua jarinya kini keluar masuk di lubang nikmat itu, sementara lidahnya menjilati itil yang semakin bengkak mengeras.
"Oohhh.. kamu apain bulek, Go? Aduuuhh.. enaknya.. ja-jangannh.. disedot lagi.. a-ampunn, Go.. bulek keluarr.. ouuuhhh,"
Dirgo merasakan getaran hebat di paha buleknya, kepalanya dijepit dengan kuat oleh kedua paha itu. Dirgo gelagapan tak bisa bernafas, tapi ia bertahan dengan menghisap kuat itil bengkak buliknya untuk memaksimalkan orgasme yang dirasakan buleknya.
Sulikah menggelepar seperti ayam disembelih, vaginanya berkedut ribut menyemprotkan cairan yang mengalir melalui jari-jari Dirgo. Tubuh mulus itu kini lemas telungkup di atas jok motor. Dirgo bangkit dari jepitan paha buleknya, sejenak ditunggunya agar badai orgasme buliknya mereda. Setelah yakin buleknya siap, ia pun memposisikan kontolnya di lobang basah itu.
"Sleep.." Sulikah merasakan kontol Dirgo memasuki dirinya, "Besarnya pasti sama dengan punya kang Jarwo," pikir Sulikah, tapi tunggu dulu.. Kontol itu sangat panjang, hingga menjangkau bagian yang belum pernah dijelajahi kontol suaminya, dan ada rasa yang geli sekali begitu kontol itu mulai bergerak keluar masuk.Sulikah tak tahu bekas luka di kontol Dirgo yang berbulu. Kembali ia mendapat kejutan nikmat dari keponakannya.
"Oouuuh.. geli.. geli.. aduuh.. enak tenan kontolmu, le.. teruss.. ouhh.." Sulikah sudah lupa penolakannya tadi, mulutnya menceracau dengan kata-kata kotor yang dalam sehari-hari tak pernah terucapkan.
Dirgo takjub dengan perubahan pada buliknya ini. Ia pun semakin bersemangat memompa vagina buliknya yang rapat menggigit. "Uenak'e tempekmu, bulek.. ouhh,"
"Terus, Go.. yang dalem.. entot bulek ya.. ya yang itu.. terus, yang kenceng... bulek mau keluar.. ouuuhh.."
Dirgo merasakan kedutan di vagina buleknya makin liar dan seiring lenguhan panjang dari mulut buleknya, vagina itu berkedut cepat dan menyedotnya kuat disertai guyuran kental hangat yang menyirami kepala kontolnya. Dirgo menggeram panjang, menancapkan kontolnya dalam-dalam dan membombardir rahim buleknya dengan rudal-rudal sperma miliknya. Ia pun jatuh tertelungkup memeluk buleknya di atas motor itu. Sejenak mereka meresapi nikmat dalam diam. Lemas.
"Ayo kita pulang," bisik Sulikah pelan.
Dirgo bangkit, kontolnya yang telah layu perlahan dicabutnya. Ada aliran cairan putih ikut keluar bersamanya. Sulikah dengan cepat memakai bajunya,dan ketika tinggal memakai kerudung, motor itu juga sudah dinyalakan.
Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, tapi Dirgo lega tubuh buleknya menempel erat di punggungnya, beda sekali dengan ketika berangkat, jangankan menempel, berpegangan saja tidak.
Rumah itu sepi sekali ketika Dirgo menghentikan motor di halaman. Sulikah turun, ada kesan canggung ketika ia harus berdiri berhadapan dengan Dirgo. "Kamu langsung pulang saja ya, Go," ucap Sulikah pelan sambil menunduk, entah mengapa sekarang ia merasa malu sekali, seperti abg yang baru mengenal pacaran.
"Iya, bulek, makasih ya," Dirgo memutar motornya, ia pun tak mau dalam suasana canggung terlalu lama.
Bulan sabit menerangi jalan desa itu. Ketika akan keluar dari batas desa, Dirgo melihat kerlip cahaya lampu motor di kejauhan. Dirgo berhenti dan bersembunyi di balik gelap rimbunnya pohon, dan tak lama lek Jarwo, suami Sulikah, melintas. Bulan sabit masih bersinar, Dirgo melanjutkan perjalanan dengan riang dan bersenandung..
Aku anak sehat, tubuhku kuat
karena ibuku rajin dan cermat
semasa aku bayi, selalu diberi ASI
hingga gede gini, masih suka ASI
***
Dirgo melemparkan tas sekolahnya di ranjang,melepas sepatu dan melemparnya ke pojokan kamarnya. Di luar panas menyengat dan Dirgo pulang sekolah dengan muka merah terpanggang matahari, bergegas ia mengganti seragam yang dipakainya dengan baju rumah; kaos dan celana pendek berkolor ijo. Tak ada siapa-siapa di rumah.
Dirgo ke kamar ibunya, kosong, dan tak sengaja matanya terantuk pada daster yang tergeletak di atas kasur. Dirgo mengambilnya, "Emm.. wangi, habis dicuci nih." Pikirnya. Tiba-tiba melintas ide di benak Dirgo, ia mengambil gunting di meja rias ibunya dan kembali ke kamarnya dengan senyum mesum.
"Kamu wes maem, Go?" suara Atikah ibunya, terdengar dari luar kamar.
"Belum, buk," jawab Dirgo sambil keluar dari kamar, dilihatnya ibunya sedang meletakkan rantang di meja makan, rupanya baru pulang mengantar makanan untuk bapaknya yang sedang nyangkul di sawah, wajahnya juga merah terbakar matahari.
Atikah melepas kerudungnya, rambutnya sedikit berantakan, membuatnya harus mengikat rambutnya. Dirgo memandang leher belakang ibunya yang putih dengan rambut-rambut halus yang seksi.
"Kenapa, Go?" tanya Atikah yang merasa diperhatikan.
"Gak papa." jawab Dirgo singkat. "Ibuk kenapa gak ganti baju kalau memang sumuk?"
"Iya, nanti saja habis makan, ayo makan dulu." ajak Atikah.
Dirgo menghempaskan pantatnya di kursi, menunggu ibunya mengambilkan nasi, dan tak lama sepiring nasi dengan sayur asem dan lauk ikan lele sudah ada dihadapannya. Tanpa menunggu lagi Dirgo segera menyantapnya.
"Bulekmu semalam gak tanya apa-apa, Go?" tanya Atikah di sela-sela makan.
Dirgo diam sejenak, tak menjawab. Ia masih bingung haruskah berterus terang atau bohong tentang kejadian ia dan bulek Likah semalam. "Ibuk gak usah kuatir, bulek dah janji gak akan bilang siapa-siapa."
"Dia bilang gitu semalem?" tanya Atikah setengah tak percaya, bagaimanapun hubungan Dirgo dengannya adalah tabu, melanggar norma, mungkin akan diarak massa keliling kampung dan diusir kalau sampai tersiar keluar, dan mendadak Atikah dicekam ketakutan. Bulu kuduknya meremang membayangkan telanjang diarak keliling kampung dan setiap orang akan meludahinya.
"Kamu yakin bulekmu bisa jaga rahasia, Go?" tanya Atikah lagi, suaranya bergetar cemas.
"Dirgo yakin, buk, tenang aja." jawab Dirgo santai.
"Tenang gimana, Go.. kalau sampai orang lain tau, kita bisa dimassa, diarak keliling kampung, diusir..."
Dirgo memandang ibunya, ada ketakutan besar di mata bening itu, wajah cantik itu terlihat pucat. Dirgo trenyuh, ia bangkit dan memeluk ibunya dari belakang, mencium pipi kanannya yang halus. "Ibuk percaya sama Dirgo, semua baik-baik saja kok, bulek Likah gak akan bilang siapa-siapa." bisiknya di telinga ibunya.
"Ibuk takut, Go.."
"Percaya sama Dirgo, buk. Lagian kalo ada apa-apa, kita minggat aja buk, ke daerah lain, ke tempat dimana kita tak dikenal. Kita menikah, aku cinta kamu, buk."
"Tak semudah itu, Go.. apa yang kamu lakukan, sampai kamu yakin bulekmu akan tutup mulut?" Atikah menggenggam jari Dirgo yang mulai bermain di susunya.
"Ibuk jangan marah ya, janji?"
Atikah mengangguk pelan.
"Begini, buk, semalam kan Dirgo yang ngantar..."
Dirgo lalu menceritakan semua kejadian semalam, ibunya mendengarkan dengan sungguh-sungguh semua cerita Dirgo, terlihat bibirnya tersenyum ketika Dirgo menceritakan adegan ngentot dengan adiknya.
"Bocah kurang ajar, ibukmu sendiri dientot masih kurang juga, kini bulek sendiri juga dientot ." ucap Atikah gemes sambil mencubit paha Dirgo setelah mendengar semua cerita anaknya.
"Nyubitnya atas dikit lagi dong," ucap Dirgo menggoda sembari jemarinya meremasi susu ibunya.
"Sudah ah.. ibu mau beresin piring-piring kotor ini." ucap Atikah, ia menggelinjang geli karena lidah Dirgo menyapu lobang telinganya. “Sudah, Go.." ucap Atikah lagi, tangannya menggenggam jari Dirgo yang sejak tadi bermain-main di dadanya.
"Biar Dirgo yang nyuci piring, buk.. ibuk ganti baju, tapi jangan pake daleman yah.. O iya, daster ibuk di kamarku." Dirgo dengan cepat membereskan meja makan dan membawanya ke belakang, mencucinya dan menyusunnya di rak setelah semua bersih.
"Suka ya kalo ibuk pakek kaya gini?" tanya ibunya sambil berdiri di ambang pintu dapur.
Dirgo menoleh, takjub. Ibunya berdiri disitu, rambut hitamnya terurai, bibirnya merah bergincu tipis, ia memakai daster yang cukup ketat warna hijau yang mencetak bulatan sempurna susu montoknya dengan puting yang menonjol mungil di depan. Daster itu pendek, bahkan sangat pendek karena bagian bawah jaraknya hanya setelapak tangan dari selangkangan Atikah. Paha putihnya begitu mulus menggoda, bulat dan nampak kokoh, namun halus menggiurkan. Dirgo bengong, tak terasa liurnya meleleh di sudut bibirnya.
"Kok malah bengong, kamu kan yang motong daster ibuk?" ucap Atikah menggoda, jarinya pelan mengangkat sedikit bagian bawah dasternya, sedikit.. tapi itu sudah cukup untuk menampilkan rimbun jembutnya yang terpotong rapi.
"Kok malah bengong, ibuk mau nonton tv aja deh." ujar Atikah sambil melenggang pergi, dalam hatinya tersanjung melihat respon terpesona dari anaknya.
Dirgo tersadar, buru-buru ia mengusap ilernya, mengelap tangannya yang basah dan menutup pintu belakang. Setengah berlari ia pergi ke ruang tengah sambil memegangi burungnya karena memang gak nyaman berjalan cepat tanpa cd dengan burung tegang yang membuat kepalanya tergesek-gesek dengan kain kolor, ngilu.
Ibunya duduk di sofa ruang tengah menonton tv, punggung tegak, kaki rapat dan tangannya memegangi ujung dasternya, berusaha menutupi mulus pahanya yang terbuka. Dirgo duduk di sebelah ibunya tanpa berkata-kata, rasanya aneh situasi itu, ia hanya diam mengagumi paha mulus ibunya, menunggu undangan dari ibunya untuk berbuat lebih jauh.
Semenit, dua menit, Dirgo akhirnya tak betah juga. “Buk.." ucap Dirgo pelan.
"Hemmm," Atikah hanya menggumam.
"Aku ngaceng.." ucap Dirgo polos berterus terang.
Atikah melirik selangkangan anaknya, ada tenda tinggi disitu. Tangannya menjangkau dan memberi remasan-remasan lembut di batang itu. "Enak kalo diginiin?"
Dirgo mengangguk, ia memelorotkan kolornya sampai kontolnya menjulang tinggi. Atikah tersenyum kagum melihat kontol anaknya, kembali diremas-remasnya lembut dan mengurutan-urut halus di sepanjang batang itu. Dirgo bersandar melek merem menikmati lembut jari-jari ibunya. Atikah sendiri sangat menikmati mengocok kontol anaknya, panjang dan urat-uratnya yang menonjol begitu mantap dan menggairahkan, apalagi itu adalah kontol anak kandungnya, sensasinya membuat vaginanya cepat menjadi basah.
"Buk.. diemut dong kontol Dirgo," kata Dirgo tiba-tiba.
"A-apa..? Jangan aneh-aneh, nak.." jawab Atikah gugup.
"Kenapa, buk..? Kontol Dirgo bersih kok,"
Atikah terdiam, ia mengusap-usap bekas luka di kontol anaknya yang kini ditumbuhi rambut halus. "Ibuk gak bisa.. gak pernah." bisik Atikah lirih.
"Bapak gak pernah minta?"
Atikah menggeleng. Dirgo memandang ibunya, disibaknya rambut hitam panjang itu agar wajah cantik sang ibu bisa dilihatnya. "Ibuk coba aja, belajar bentar, nanti juga bisa," ucap Dirgo sambil mengusap-usap leher ibunya.
"Gak usah ya, nak.. ibuk gak bisa." jawab Atikah resah.
"Ayolah, buk.. coba, Dirgo kan sudah ngemut tempek ibuk," Dirgo menekan leher ibunya agar menunduk ke arah kontolnya.
Mula-mula ada penolakan, tapi akhirnya ibunya menurut dan perlahan mulutnya mendekati kepala botak kontol anaknya. Dirgo berdebar kencang melihat lebat rambut ibunya menutupi selangkanganya, merasakan hangat nafas ibunya yang memburu.. dan ooh... hangat, basah dan nikmat ketika kontolnya memasuki rongga mulut ibunya. Tapi..
"Aduuh.. hati-hati, buk, jangan kena gigi,"
Atikah melepaskan kontol itu dan kembali duduk di kursi, tertunduk dan merasa bersalah. "Kan sudah ibuk bilang, nak, ibuk gak bisa," kata Atikah lirih.
Dirgo tersenyum merangkul leher ibunya dan mengacak-acak rambutnya. "Sebentar, buk,"Dirgo bangkit menuju kamarnya dan sekejap kemudian sudah kembali dengan Hp di tangannya. Ia membuka simpanan file videonya, memilih mp4 jepang dimana seorang cewek sedang asyik memberikan blowjob.
"Nah, ibuk lakuin kayak gini," ucap Dirgo sambil menunjukkan video itu ke ibunya.
"Iihhh.." Atikah sejenak malu melihat video itu, seumur-umur ia tak pernah melihat semacam itu. Atikah hanya wanita desa, pendidikan juga cuma SD, desanya yang terpencil di pinggir hutan jauh dari jangkauan teknologi. Wanita di video itu begitu menikmati kontol yang diemutnya, Atikah terhanyut, ludahnya terasa mencair, ia melirik kontol anaknya.
"Bisa kan, buk?" tanya Dirgo, ia merangkul pinggang ibunya dengan tangan kiri yang memegang hp, sementara tangan kanannya dengan lembut meremas-remas susu ibunya, terkadang juga memelintir puting ibunya yang telah mengeras.
"Ayo dong buk, dicoba.." bisik Dirgo di telinga ibunya dan memberikan jilatan-jilatan basah di lobang telinga itu. Atikah menggelinjang geli, diambilnya hp di tangan Dirgo dan nampak asyik dengan adegan nyepong di video itu.
"Suka ya, buk?" tanya Dirgo sambil mengelus puting ibunya yang mengacung keras. Atikah hanya menoleh sambil tersenyum malu-malu. Dirgo dibuat gemes dengan tingkah ibunya dan memijit hidung ibunya yang kembang-kempis.
"Sakiit.." rengek Atikah, dia kembali asik dengan hp di tangannya.
"Terus giliran Dirgo kapan?" bisik Dirgo lagi di telinga ibunya, tangannya mengusap-usap jembut ibunya yang rimbun hitam.
Atikah serta merta membuka pahanya agar jari Dirgo lebih leluasa mengakses vaginanya. "Kamu dapat darimana ginian ini?" tanya Atikah lirih.
"Di internet banyak kok, buk.." jawab Dirgo santai, jemarinya menyusuri lipatan di selangkangan ibunya yang ternyata sudah basah kuyup. Atikah sendiri tidak tahu apa itu internet, tapi ia enggan bertanya sekarang, jemarinya meraih kontol anaknya dan memberi urutan-urutan lembut di batang tegang itu.
"Ayo, buk.. dicoba sekarang, ibuk duduk di bawah kayak film itu," Dirgo sudah tak sabar lagi, dengan sedikit tenaga ia membawa ibunya agar duduk bersimpuh di depannya.
Atikah akhirnya menurut, ia duduk di lantai. Tepat di depan mukanya menjulang tinggi kontol anaknya yang perkasa. Dengan lembut digenggamnya batang itu, tampak lendir bening keluar dari lubang kencingnya, ia mendongak memandang anaknya yang nampak tegang menunggu aksinya. Ia menjilat cairan bening itu dengan mata tetap saling bertatapan.
“Ahh..” Dirgo mengerang, sensasi bahwa ibu kandungnya sedang menjilati batang kencingnya sungguh liar.
Atikah sendiri berusaha menghayati sepongan itu, semua yang dilihatnya di film hp tadi sebisa mungkin ditirunya, dan rasanya tidak terlalu buruk, bahkan Atikah suka dengan aroma dan rasa dari cairan pelumas anaknya.
"Enaknya, buk.." erang Dirgo keenakan ketika kepala kontolnya diemut-emut dan dihisap ibunya.
Jari-jari Atikah menggenggam lembut kantung telur anaknya, kadang diusap, kadang diremasnya lembut. Dirgo kelojotan, seumur-umur baru kali ini kontolnya diemut demikian, hebatnya lagi yang ngemut adalah ibunya sendiri.
"Aduh, buk.. enak banget.. teruss.. sedot, buk.." erang Dirgo, ibunya pun dengan senang hati menyedot kepala kontolnya, kemudian mengocok keluar masuk di mulutnya.
Dirgo memejamkan matanya sambil bersandar di sofa. Nikmat yang sangat berbeda dengan nikmat ngentot, apalagi ini..? Kantung telurnya terasa hangat basah. Ngilu tapi sungguh nikmat. Dirgo menunduk melihat ibunya yang ternyata sedang mengulum kedua biji telornya, sementara jari-jemarinya merayap lembut memberi kocokan di batang kencingnya.
Dirgo mengerang, ini terlalu nikmat, semua cairan di tubuhnya seakan berkumpul mencari jalan keluar. "Dirgo gak kuat, buk.. sedot.. sedot kontol Dirgo, buk.. "
Atikah melepaskan emutan di telur anaknya dan berpindah memasukkan batang kencing ke mulutnya, menghisap kepalanya dengan ribut dan kocokan cepat di batangnya.
"Ueenake, buk.. a-aku keluar.. uhh.. uhh.."
Atikah panik ketika tiba-tiba mulutnya dihujani cairan kental panas, ia ingin menghindar tapi Dirgo memegangi belakang kepalanya. Atikah pasrah, bertubi-tubi mulutnya dibombardir rudal pejuh anaknya hingga sebagian meleleh di sela bibirnya dan menetes di lantai. Dirgo melepaskan ibunya ketika kejutan-kejutan nikmatnya mereda, bersandar di sofa dengan ekspresi penuh kepuasan, sementara itu Atikah masih terdiam dengan tatapan bingung dan mulut penuh pejuh anak kandungnya.
alah..ngawur.
ReplyDelete