rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Wednesday, 16 September 2015

Anak Nakal 7

BAB 7 - PEMBALASAN UNTUK LAURA

Kejujuran kepada Kak Vidia dan Nur tentang Anisa membuat keduanya sedikit cemburu. Mereka ngambek. Mereka tak rela kalau anak dari musuh bunda malah ingin aku nikahi. Tapi aku meyakinkan kalau aku melakukan ini untuk membalas Laura dan aku berjanji akan melakukannya.
"Pah, ini gila, pah. Aku tak setuju papah menjalin hubungan dengan anaknya si pelacur itu. Tidak, mamah ndak setuju," kata Kak Vidia.
"Kalau Kak Vidia tidak setuju, Nur apalagi. Apa papah lupa perbuatannya ke bunda? Nur sangat bersedih kalau sampai papah menikah dengannya," kata Nur.
"Tunggu dulu, aku ingin jelaskan semuanya dulu, kalian jangan sewot begitu dong," kataku.

"Jujur selama ini aku diam pah dan sabar ketika papah lebih mencintai bunda daripada kami, tapi kalau sampai papah melakukan hal itu juga kepada cewek itu, mamah ndak rela," kata Kak Vidia. "Kalau sampai papah menikah dengannya, jangan sampai ia menyentuhkan kakinya ke rumah kita. Mamah ndak rela. Mamah ndak mau melihat wajahnya."
"Mamah juga begitu, ndak suka. Papah lebih baik menghamili tetangga kita Bu Dian itu daripada harus menikah dengan Anisa itu!" kata Nur sewot. Oh iya, ia tidak tahu kalau aku sudah meniduri Dian, tetanggaku sendiri. "Pokoknya mamah ndak setuju."
"Dengarkan dulu, semua ini aku lakukan untuk membalas perbuatan Laura. Aku ingin menghukumnya dan Anisa tahu hal ini. Ia pun mendukungku!" kataku.
Semuanya diam. Kak Vidia menoleh ke arahku. Nur pun demikian. Mereka agak kaget dengan kalimatku.
"Membalas si pelacur itu?" Kak Vidia tak mengerti.
"Ya, aku akan membalasnya terhadap apa yang dilakukannya terhadap bunda. Aku akan buat dia menyesal seumur hidupnya," kataku.
"Caranya?" tanya Nur.
"Aku sudah melakukannya, aku menghamili Anisa," jawabku.
"Apaa?" mereka semua kaget.
Kak Vidia lemes, ia pun duduk di samping Nur. Nur menutupi wajahnya. Ia tak percaya terhadap apa yang barusan terjadi. Rasanya dunia sudah hampir kiamat, pikirnya.
"Ini baru tahap pertama aku menghancurkan kehidupan mereka. Aku masih terus melakukannya, kuharap kalian mau membantuku," kataku.
"Tapi... tapi kenapa harus menghamili cewek itu?" Nur seakan-akan tak percaya. "Apakah tak ada cara lain? Aku... tak percaya papah mau melakukan hal itu dengannya."
"Aku telah menceritakan keadaan kita kepadanya dan dia rela menerimaku apa adanya. Ia rela menerima kalian sebagai saudara, Laura akan menderita setelah ini, aku yakin itu," kataku. "Aku akan tetap melakukan rencana ini, tanpa kalian setujui atau tidak."
Setelah itu aku pun pergi. Aku tak tahu bagaimana perasaan Nur dan Kak Vidia setelah itu. Aku seperti mengkhianati cinta mereka dengan melakukan hal itu bersama Anisa. Tapi mau bagaimana lagi, ia ternyata mau juga denganku dan tergila-gila kepadaku. Aku sudah rencanakan semuanya. Aku ingin Laura merasakan penyesalannya seumur hidup.

***
Laura sebenarnya mengetahui kedekatan Anisa denganku. Ia juga sering memergoki Anisa BBM-an denganku. Bahkan ketika membaca buku harian anaknya sedang dekat dengan seseorang maka kemudian Laura mulai curiga, siapakah pria yang mendekati anaknya itu. Rasa penasaran Laura pun makin menjadi ketika anaknya pergi liburan ke luar pulau. Anisa beralasan liburan dengan teman-temannya. Tapi sebagai naluri seorang ibu, ia tak akan mungkin percaya begitu saja. Akhirnya, setelah pulang dari liburan itu Laura mencerca anaknya dengan banyak pertanyaan. Terjadi perang mulut hebat antara dia dengan Anisa, ketika Laura mengetahui bahwa anaknya dekat denganku.
Akhirnya pertengkaran itu membuat Anisa harus dikurung di kamar tidak boleh keluar menemui siapapun. Suaminya menasehati Anisa bahwa terlalu keras menghukum anaknya. Laura lagi-lagi melakukan pembelaan bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Suaminya pun akhirnya tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin dia tipe suami yang mematuhi apa kata istrinya.
Laura ini lebih tua dari aku, kurang lebih usia kami terpaut 14 tahun. Usiaku sekarang adalah 25 tahun, Jadi sekarang usianya sudah 39. Tapi ia masih terlihat kencang dan cantik. Kulitnya putih, matanya agak sipit, bahkan ia sempat dianggap sebagai keturunan Chinese. Namun ia itu pribumi tulen. Perawatan tubuhnyalah yang membuatnya seperti itu.
Aku kemudian mengetahui bahwa Anisa dikurung di kamarnya. Kutelepon Laura agar jangan menghukum Anisa karena ini adalah urusan antara aku dan dia. Aku sempat adu mulut dengannya. Ia mungkin tipe wanita yang harus mendapatkan apa yang ia maui dan ingin menang sendiri. Namun aku tak bisa menang melawannya dalam adu mulut. Alasan apapun yang aku utarakan pasti ia mentahkan. Akhirnya aku tutup teleponnya. Aku kemudian menghubungi salah seorang pesuruh yang bisa  aku suruh apapun. Pembalasan harus segera dilaksanakan.
Seminggu setelah itu, ketika Laura bersama suaminya jalan-jalan ke mall, mereka mengunjungi sebuah stand. Stand itu sedang ada promo yang digelar oleh salah satu produk. Dan ia kemudian coba-coba untuk dapat peruntungan, dan akhirnya ia mendapatkan hadiah jalan-jalan ke Bangkok. Betapa bahagianya si Laura ini. Ia dapatkan tiket plus uang saku. Hanya saja tiket itu untuk satu orang saja. Ia sangat senang dan di hadiahnya itu tertulis bahwa tiket tersebut bisa digunakan kapanpun sampai setahun. Apabila telah lewat setahun maka hangus.
Siapa yang tak senang mendapatkan liburan itu? Laura pun merencanakan liburannya. Ia minta ijin suaminya untuk pergi. Suaminya memperbolehkan dan berjanji akan mengirimkan foto-foto dari Bangkok. Namun ternyata keberangkatannya harus bersama rombongan dari tim pemberi hadiah, maka dari itu Laura tidak menaruh curiga terhadap hal ini. Ia ikuti saja, ketika diajak makan bersama kru sebelum berangkat pun ia diam ikut saja tak menaruh curiga. Dan akhirnya ketika di mobil menuju bandara ia tak ingat apapun. Ia hanya ingat rasanya mengantuk dan lelah.
Butuh waktu lama mempersiapkan ini semua. Aku menyewa orang satu kru sebuah produk minuman ringan. Aku tahu kebiasaan Laura yang sering pergi ke mall. Maklum suaminya tajir. Dan ia sangat suka promo sebagaimana kebanyakan wanita lainnya. Dan aku tak kebingungan menyiapkan ini semua. Orang-orang suruhanku kebanyakan adalah teman-teman gengku dulu. Dan mereka sangat senang kuberikan pekerjaan seperti ini. Tak sia-sia kalau dulu pernah bergaul dengan anak berandal. Rencana jahat ini pun sukses. Bahkan aku merencanakan yang lebih jahat lagi dan itu sudah kusiapkan.
Laura sekarang tak berdaya. Dia berada di atas ranjang. Ia berada di sebuah rumah yang aku beli beberapa waktu lalu. Rumah itu cukup jauh dari keramaian. Aku tak pernah memperkosa orang sebelumnya, yah, kalau misalnya apa yang kulakukan dengan bunda atau ke kak Vidia dianggap memperkosa, bisa aja sih. Tapi mereka toh juga mencintaiku. Tapi ini tidak. Ia sangat benci aku.
Tubuh Laura terikat, tangannya di belakang terikat erat oleh tali plastik yang sering dipakai untuk packing kardus. Kakinya pun terikat. Aku tak perlu menunggu dia siuman. Aku akan biarkan dia di sana seharian sambil aku awasi dia melalui kamera pengawas yang ada di kamarnya. Dinding-dinding kuberi wallpaper sehingga kalau misalnya ia berteriak suaranya tak akan keluar. Perfect. Dan sisanya, sudah aku siapkan kejutan untuknya.

***
Laura terbangun keesokan harinya karena memang obat bius yang diberikan ke makanannya cukup tinggi dosisnya. Ia sedikit pusing. Ketika tahu tangan dan kakinya terikat ia pun berteriak minta tolong. Tapi tak akan ada yang mendengarkan suaranya. Aku saat itu ada di kantor mengawasinya dari komputerku. Aku senyum-senyum sendiri. Hari itu aku konsen dengan pekerjaan.
Hari itu juga aku sempat makan malam bersama seluruh keluargaku di rumah bunda yang sekarang sepi. Makan malam kami luar biasa nikmat. Aku juga sampai kenyang. Anak-anakku sudah mulai ngoceh sendiri dan menirukan orang bicara. Aku sangat bahagia melihatnya. Kedua istriku tak tahu apa yang aku rencanakan. Dan memang aku rahasiakan dulu.
"Aku besok ingin keluar kota beberapa hari, ada orang yang ingin bekerja sama dengan waralaba kita, katanya mau buka untuk beberapa outlet," kataku.
"Wah, pengusaha gedhe ya, pah?" tanya Nur.
"Iya, ya semoga lancar," kataku.
"Semoga saja. Iya kan, Zahir?" Kak Vidia yang memangku anaknya mengajaknya bicara juga. Zahir memelototkan matanya sambil bergumam bahasa bayi. Ia sudah bisa merangkak. Aku menikmati untuk sejenak suasana ini. Karena aku jarang sekali mendapatkan suasana seperti ini di rumah. Terlebih lagi, setelah ini mungkin aku akan kembali melakukan hal yang sangat jahat kepada orang lain.
Malam harinya setelah menidurkan anak-anak kami. Aku masuk ke kamar Kak Vidia. Nur mengetuk pintu. Ia juga masuk ke kamarnya Kak Vidia. Mereka berdua memakai baju tidur. Dan aku agak kaget juga kenapa Nur ikutan masuk. Lalu pintu kamar ditutup. Sepertinya mereka ingin bicara denganku.
"Pah, kami sudah merundingkan sesuatu," kata Nur.
"Merundingkan apa?" tanyaku.
"Terus terang kami tak mau papah menikah dengan wanita lain. Terlebih lagi ia anak si rubah betina itu. Terus terang hati kami sakit, pah," kata Nur. "Biar pun bunda adalah orang yang papah cintai, tapi sesungguhnya Kak Vidialah orang yang sangat mencintai papah. Dia sudah banyak berkorban buat papah. Mulai dari rela diperistri oleh papah, rela tidak meniti karirnya, rela juga aku menjadi istri papah. Namun tadi kak Vidia mengatakan sesuatu hal yang tidak pernah Nur bayangkan sebelumnya."
Aku menyimak.
"Sebaiknya Kak Vidia sendiri yang bicara," kata Nur.
"Aku akan menghormati segala keputusan suamiku, kalau papah ingin menikahinya, mamah ndak masalah. Karena mamah kasihan ama anak yang dikandungnya itu. Itu juga adalah keluarga kita juga. Aku pasrah pah, tapi kalau ia memang mencintai papah juga, maka ia harus bersaing dengan kita. Malam ini kami akan menggempur papah, hingga papah nggak akan pernah lupa kepada kami selamanya," kata Kak Vidia.
Aku tak tahu apa maksudnya, tetapi ketika Kak Vidia dan Nur kemudian maju lalu memelukku aku jadi mengerti bahwa mereka akan menyerangku malam ini. Aku segera dirubuhkan ke atas ranjang. Nur segera melucuti pakaianku, ternyata mereka berdua tak memakai daleman. Dua tubuh bidadari yang mulus sekarang terpampang dihadapanku tanpa sehelai benang pun yang menutupi. Rambut mereka terurai, dua saudari yang wajahnya hampir mirip itu kini ada di atasku. Kaosku pun ditarik oleh mereka. Aku sudah tak berbusana dalam hitungan detik.
Nur langsung ke perutku menciuminya, menghisapnya, lalu menuju ke bawah pusarku. Aku lupa belum mencukur rambutku, tapi itu tak masalah bagi Nur. Ia sudah menyapukan lidahnya di sana. Dan senjataku yang masih tidur langsung menegang dengan perlakuannya itu. Tak ada sedetik kemudian kepala rudalku sudah ada di dalam mulutnya. Kak Vidia menyerangku dari atas. Dihisapinya leherku, dan jemari tangannya menggelitiki putingku. Ouuwwhh...
"Kalian??..." aku tak bisa berkata-kata ketika sebuah ciuman ganas langsung mendarat di bibirku. Mulut Kak Vidia serasa panas. Nafasnya memburu menghisap lidahku.
"Pah, kami benar-benar akan bikin papah puas. Akan bikin papah kering malam ini," kata Kak Vidia.
Ia kemudian menduduki perutku dan menciumiku. Dadanya yang montok itu kini diarahkan ke wajahku, kemudian ia geser kiri kanan sehingga aku seperti ditampar oleh dua kantung susu itu. Aku mencoba menangkap putingnya, tapi ia selalu menghindar. Kak Vidia menggodaku.
Aku terangsang hebat dari atas dan bawah. Nur menjilati kepala penisku dengan gaya lidah yang aku tak pernah merasakannya sebelum ini dari dia? Apakah bunda mengajarinya? Aku bisa rasakan ia mengulum penisku, menyedotnya, sedangkan kulit penisku ditekan sampai ke pangkal, lalu lidahnya menari-nari di pinggiran kepalanya. Owwhh.... apalagi Kak Vidia menggelitiki putingku dengan jemarinya, dengan kedua buah dadanya menyapu wajahku. Nur kemudian mengocok rudalku dengan cepat. Tidak, aku bisa jebol kalau mendapat serangan mendadak seperti ini.
"Sebentar dong, aku ndak bisa nafas nih... bisa jebol nanti." kataku.
Tapi itu tak dihiraukan oleh mereka berdua, kini kak Vidia beranjak turun, kemudian menciumi dadaku, putingku dijilatinya, kemudian pinggangku. Aku sangat geli, geli atas bawah. Nur sangat jago dalam mempermainkan lidahnya aku bisa merasakan sekarang lidahnya sudha ada di bawah pelerku. Menjilati area di antara zakar dan duburku. Lalu buah zakarku disapu dengan lidahnya dan dihisap-hisap. Maaakkk... itu ia lakukan sambil mengocok batangku. Tanganku ditindih oleh Kak Vidia dengan kedua tangannya. Aku seperti orang yang diperkosa, dipaksa menikmati apa yang mereka lakukan. Aku tak diberi kesempatan untuk bisa menyentuh mereka berdua.
"Sudah dong, pliss... aku mau keluar nihhh!!!" kataku.
Benarlah, aku pun mau keluar. Penisku menegang maksimal. Kocokan Nur makin kencang. Dan... aku akan keluar.
"Aku keluaarrrr....!!!" seruku.
Nur langsung berhenti. Tangannya tetap menggenggam penisku. Batangku berkedut-kedut, tangan kiri Nur meremas zakarku. Pinggangku tiba-tiba digigit oleh Kak Vidia. Puncak orgasmeku tiba-tiba buyar sudah. Beneran nih, mereka ingin menyiksaku. Aku benar-benar ingin keluar tapi tertahan dan tidak jadi.
"Udah dong jangan siksa aku!" aku memohon. Tapi rasanya percuma. Kini gantian. Kak Vidia turun ke bawah, Nur naik ke atas.
Nur langsung memanggut bibirku. Dadanya menempel di dadaku, membuat darahku berdesir. Kak Vidia memainkan lubang kencingku yang sekarang keluar cairan sedikit berwarna bening dengan lidahnya sebentar. Ia lalu menciumi kepalanya dan mengusap-usapnya dibibirnya lalu di pipi. Aku lalu merasakan kehangatan ketika penisku masuk ke mulutnya. Ia menghisapnya kuat-kuat sambil kepalanya naik turun. Tak hanya begitu, buah pelerku diremas-remas dan pangkal penisku ditekan, sensasinya bikin aku kelonjotan.
Apalagi Nur yang walaupun sudah beranak satu tapi wajahnya masih imut ini, menciumi wajahku, leherku dan memberikan cupangan-cupangan hangat di leherku. Ia melakukan hal yang sama dengan Kak Vidia, mengerjaiku. Mereka berdua melakukan hal yang serupa hanya berganti posisi.
"Gimana, pah? Aku yakin Anisa ndak pernah beginiin papah kan?" tanya Nur.
Aku cuma mengangguk. Rangsangan demi rangsangan yang mereka lakukan benar-benar memabukkan aku. Penisku makin tegang dan terus disiksa oleh Kak Vidia. Sebentar-sebentar toketnya yang paling aku suka itu menjepit batangku. Batangku berkedut-kedut sampai ketika nyaris keluar, pahaku ditindih oleh tubuh kak Vidia dan lagi-lagi ia meremas buah zakarku. Nur pun demikian, ketika tahu aku mau keluar ia mencubit pinggangku. Akhirnya ndak jadi lagi. Sepertinya mereka benar-benar ingin mengosongkan isi testisku.
Saat aku tak bisa apa-apa itulah. Kemudian Kak Vidia memposisikan tubuhnya di atas selakanganku. Ia gesek-gesekkan penisku di bibir vaginanya yang sudah basah. Sementara itu Nur memposisikan pantatnya di depan wajahku.
"Pah, jilatin mamah ya!" kata Nur. Aku pun mengikutinya. Kujulurkan lidahku untuk menari-nari di bibir vaginanya. Sementara itu Kak Vidia sudah memasukkan batangku yang super tegang ke dalam memeknya.
Aku tak pedulikan rasa asin-asin gurih dan bau buritnya. Karena otakku sudah benar-benar terkontaminasi oleh resapan rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh gesekan kemaluan Kak Vidia. Nur berpegangan kepada tangan Kak Vidia dan mereka berciuman hot. Tanganku berada di paha Nur, lidahku terus memberikan rangsangan-rangsangan ke klitorisnya. Nur mendesah dan melenguh menerima perlakuanku, ketika lidahku menyentuh titik-titik sensitif di klitorisnya, pantatnya diangkat-angkat.
"Ohh... iya, pah... enak... mamah mau keluar.... terus, pahh... teruuusss...!!" kicau Nur. Memeknya makin banjir. Kak Vidia makin cepat memompa keluar masuk batangku.
"Pah... mamah juga nih... penis papah enak banget....!" kata Kak Vidia.
Aku pun ikut menggoyangkan pantatku. Pantat Kak Vidia tiba-tiba menekan penisku dalam-dalam. Ia mendongak ke atas, pahanya menutup mengapit pinggangku. Jemari tangannya menyatu dengan jemari Nur. Nur pun demikian ia juga menekan pantatnya ke wajahku sambil ia menggoyang-goyang sendiri membuatku tak bisa bernafas. Ia pun keluar. Bersamaan dengan Kak Vidia yang ambruk. Mereka kemudian terkapar di sampingku. Kak Vidia tampak sedang menikmati sisa-sisa orgasmenya.
"Pah, papah enak?" tanya Kak Vidia sambil mendekap dan menciumi pipiku.
"Sekarang gantian yah!" kataku.
Kak Vidia tertawa kecil, aku kemudian menciumnya dan bangkit dari posisiku. Aku memiringkan Kak Vidia sehingga Nur berhadapan dengannya. Nur beringsut maju dan mendekat ke kak Vidia mereka lalu berciuman, aku ada di atas tubuh Kak Vidia dan menyiapkn senjataku yang sudah siap untuk mengocok memek Kak Vidia. Sebelum beraksi aku menyusu sebentar, kuciumi dan kuhisapi puting susunya yang menggemaskan itu. Kemudian dengan satu sodokan batangku sudah amblas masuk ke sarangnya. Kak Vidia memejamkan mata menikmati sensasi gesekan kulit kemaluan kami.
Nur kemudian menciumi dada kakaknya dan menjilati puting kakaknya. Aku ibaratnya disuguhi pemandangan lesbi yang merangsang dengan menyodokkan penisku ke rahim Kak Vidia. Tangan Kak Vidia menggapaiku dan ku pegang dengan tangan kanannku. Tangan sebelah kiri meremas-remas pantatnya.
Dari kedua tubuh saudariku ini, aku paling suka tubuh montoknya Kak Vidia. Maka dari itulah sebenarnya frekuensiku bercinta antara Kak Vidia dan Nur lebih lama Kak Vidia. Setiap berdekatan dengan Kak Vidia pasti kepingin ngentot. Parfumnya benar-benar menggodaku, mirip parfumnya bunda. Oleh karena itulah Kak Vidia adalah istriku yang paling kucintai daripada Nur.
Namun Nur punya kelebihan selain Kak Vidia. Tubuh Nur itu kecil, dan memeknya lebih sempit daripada Kak Vidia. Dan ia paling ngikut terhadap apa yang aku inginkan. Hanya saja kali ini aku mendapatkan surprize dari mereka.
"Ohh... Kaaakkk... enak, kak?" kataku.
"Iya... enak, deek... ooowwhhh," kata Kak Vidia.
Ranjang kami bergetar seiring goyanganku. Pantat Kak Vidia benar-benar memabukkan. Selakanganku serasa nikmat dan ingin selalu membenturkannya ke sana. Penisku makin keras saja menusuk-nusuk. Kak Vidia menggeleng-geleng nikmat.
"Dek... ohh... Kakak keluar... keluar... lagi..." katanya.
"Aku belum, kak..." kataku.
"Ohh... udah, deek... hhhmmmhh... aaaaaahhhkkk!!" jeritnya.
Aku lalu mempercepat goyanganku. Posisiku yang berlutut ini kubuat senyaman mungkin agar jangan sampai mengganggu kenikmatan kami berdua. Kulihat penisku yang keluar masuk itu telah mengkilat terkena cairan pelumas dari liang kenikmatan Kak Vidia. Kak Vidia sudah keluar pastinya. Kedua tangannya memegang tanganku erat-erat, ia hanya pasrah menunggu aku keluar. Aku makin percepat goyanganku dan aku hampir meledak. Lubang kencingku serasa gatal, sesuatu akan keluar dari sana. Sepertinya ini adalah orgasmeku yang paling hebat, karena aku harus menahan dua orgasme sebelumnya.
"Kak Vidiaku yang seksi... mau keluar di mana?" tanyaku.
"Terserah deh..." katanya. "Hamilin aku lagi, pah... aku ingin punya banyak anak darimu, aku ndak mau kalah dari Anisa...."
Aku lalu melentangkan tubuh Kak Vidia. Posisinya yang miring aku lentangkan. Dan Ia menerima goyanganku lagi tanpa mencabut penisku. Buah dadanya yang naik turun itu dihisap-hisap dan dicupangi oleh Nur. Nur melakukan aktivitas itu sambil memuaskan dirinya sendiri. Tangannya juga mengocok-kocok memeknya yang banjir tadi.
"Ohh... Vidia... Vidia... ohh... aku keluar lagi. Banyak... banyak banget... tubuhmu seksi, nagih banget. Jadilah ibu dari anak-anakku lagi... ohh... kakak... ahhhkkh... aaaakkhh!" racauku di saat-saat ledakan dahsyat spermaku sudah di ujung.
Tak butuh waktu lama untuk penisku menyemburkan benih-benih anakku ke rahimnya. Benar apa yang kuduga. Orgasme yang ditahan tadi mengakibatkan aku menyemprot sangat banyak. Aku menindih kak Vidia sambil mendekapnya erat. Sementara itu kedua kakinya melingkar di pinggangku rasanya tak ingin melepaskan aku. Kami berciuman sangat panjang dan lama sambil saling menghisap ludah masing-masing.
Kedutan penisku rasanya tak berhenti. Entah berapa kali, tapi sangat banyak dan lama. Kak Vidia lemas. Ia dilanda orgasme lagi ketika aku semprot barusan. Maka dari itu ia lama memelukku dan pantatnya bergetar. Aku melepaskan ciumanku dan mencabut penisku yang menyusut sedikit. Lendir kami yang bersatu mengakibatkan penisku seperti menarik benang putih terjulur panjang keluar dari memeknya. Sebagian spermaku keluar ketika aku cabut penisku. Kak Vidia memejamkan mata, menikmati sisa-sisa orgasme.
Nur yang menungguku ia sudah siap. Penisku masih On, walaupu sudah menyusut sediki, tapi masih bisalah untuk main lagi. Aku langsung menyuruh Nur untuk menungging. Aku tak beri kesempatan Nur untuk mengatur posisi, begitu ia nungging langsung aku sodok masuk ke lubangnya yang licin.
"Aaahhkkh... Kaaak... enak, kak!" kata Nur.
Kupegang kedua lengannya dan aku bergoyang menyodok bokongnya yang cukup berisi. Aku seperti menarik tali kekang kuda dengan posisi seperti ini. Rasanya nikmat banget memeknya Nur ini. Walaupun ia sudah beranak, tapi memeknya masih sempit dan masih bisa mengerjaiku. Bagian tubuh Nur yang kusukai adalah memeknya, karena imut dan belahannya berwarna kemerahan. Disamping itu ia yang paling rajin merawat bagian tubuhnya yang paling sensitif itu.
"Nuurr... memekmu enak banget," kataku.
"Kaak... ohhh... kakakku ngentotin aku lagi... enak... terus, kak," katanya.
"Nuurr... ohh...!" kataku.
Aku terus bergoyang dengan kecepatan yang terus aku tambah setiap menitnya. Seolah-olah aku sudah bisa menebak bahwa menit demi menit, detik demi detik adalah waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menghajar memeknya. Aku makin keras ngentotin dia. Penisku penuh masuk ke dalam rahimnya. Nur menggeleng-geleng dan terus menjerit nikmat.
"Kaak... hamilin Nur juga yah!" pintanya.
"Iya dong... a-aku... akan hamilin ka....muu," kataku.
"Kak, keluar yuk, Nur ndak kuat lagi," katanya.
"Iya, keluar bareng yak," kataku.
Goyanganku makin cepat, demikian juga Nur yang memaju mundurkan pantatnya. Aku lalu menekannya kuat-kuat saat maniku menyembur. Aku memegang toketnya dan meremas kuat-kuat. Aku lalu menindihnya jadi Nur dalam keadaan tengkurap karena pegangannya lepas, dan aku berada di atasnya merasakan penisku berkedut-kedut menyiramkan cairan sperma. Butuh beberapa saat agar penisku berhenti menyembur. Aku lalu berbaring di antara mereka. Kak Vidia dan Nur beringsut mendekatiku dan mereka berdua memelukku.
"Pah... papah hebat malam ini, Mamah kewalahan," kata Kak Vidia.
"Iya, papah nafsu banget ama mamah," kataku.
"Kalau aku?" tanya Nur, tampaknya ia agak cemburu.
"Iya, aku juga nafsu. Memekmu nafsuin banget," kataku.
Setelah itu kami semua saling berciuman dan terlelap dalam pelukan.

***
Setelah bertempur threesome malam harinya. Kami dibangunkan oleh tangisan anak-anak kami. Segera mereka berdua menyusui anak-anakku, tanpa memakai baju dulu. Aku kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat. Yang sebenarnya aku mempersiapkan diri untuk menemui Laura. Setelah sarapan dan berciuman hot dengan kedua istriku, aku pun pergi.
Siangnya aku sampai di rumah kosong itu. Mobil aku masukkan ke pagar. Tampak tiga orang yang kusuruh menjaga, sedang berjaga-jaga sambil nonton tv di ruang tamu. Mereka adalah teman-teman gengku. Bejo, Tanto dan Parto. Mereka dulu adalah teman SMAku. Profesi mereka beragam. Bejo adalah seorang sekuriti di salah satu bank swasta sekarang. Ia meminta cuti untuk membantuku. Tanto adalah seorang anggota kepolisian. Ia mau membantuku untuk membalaskan dendam ini. Sekalipun ia polisi kenakalannya pas remaja belum pernah ia tinggalkan, makanya aku sangat berani dan mau saja melakukan ini. Yang terakhir Parto. Ia adalah seorang pelaut. Badan mereka tegap-tegap dan kekar. Mereka kubayar mahal untuk menjaga Laura dan melancarkan rencanaku.
"Siang, bos!?" seru Bejo.
"Halah, pake panggil bos segala. Kita kan fren, iya ndak?" kataku.
Mereka semua tertawa.
"Bagaimana keadaannya?" tanyaku.
"Tenang aja, ndak kami sentuh sedikit pun," kata Tanto. "Semuanya sudah diatur."
"Bagus, kalian akan dapatkan bagian kalian nanti," kataku.
"Cepetan digarap, Bro! Udah ndak sabar nih," kata Parto.
"Belom dapat jatah dari istri lo?" tanyaku.
Parto meringis, "Belum, hehehehe..."
Kami semua bilang, "Huuuu...."
"Tenang saja, aku akan kasih ke kalian nanti, sabar dikit!" kataku.
"Tenang saja, bro. Selama ini kita fren. Lo sekarang bosnya, jadi kami ngikut saja. Ndak dikasih juga ndak masalah, bayaran elu bisa buat kita makan setahun," kata Parto disambung dengan tawanya.
"Oke, aku mau masuk dulu," kataku.
Aku kemudian naik ke tangga. Laura ada di lantai atas. Di lantai atas ada 3 kamar. Aku lalu masuk ke sebuah kamar. Kamar itu kosong, tapi sudah ada tempat tidur dan lemari. Koper yang aku bawa langsung aku letakkan begitu saja di kamar itu. Aku kemudian mencuci muka di wastafel. Aku sudah siap untuk bertemu dengan orang yang kubenci itu. Ia ada di kamar sebelah. Kemudian, aku pun beranjak meninggalkan kamar dan masuk ke kamar tempat Laura berada.
Ketika aku masuk, kudapati tubuh seorang wanita yang terikat. Ia masih memakai baju terakhirnya tapi wajahnya sangat awut-awutan. Aku ambil sebuah kursi dan kemudian duduk. Kuambil sebatang rokok GG Mild yang tinggal sebatang dari dalam kotak rokok yang ada di sakuku. Sebenarnya aku sudah tidak merokok sejak lama, tapi kali ini aku ingin merasakannya sekali saja. Kutaruh batang nikotin itu ke mulutku dan kunyalakan apinya dengan korek api. Suara korek api yang kunyalakan itu membuat Laura yang sedari tadi tak sadar, kemudian terbangun.
Kunikmati ekspresi wajahnya yang melihatku. Ia terbelalak.
"K-kau... kurang ajar! Bangsat! Lepaskan aku!" ia meronta-ronta dan semua sumpah serapah keluar dari mulutnya.
"Teriak saja, ndak bakal ada yang dengar," kataku.
"Lepasin! Cepet lepasin!" katanya.
Dengan tenang aku taruh rokokku di sebuah asbak yang berada di atas buffet. Aku perlahan-lahan melepaskan seluruh pakaianku.
"Mau apa kau? Lepasin! Dasar anak penyuka ibunya sendiri!" umpatnya lagi.
Aku makin benci kepadanya. Aku menikmati saat dia mengumpat-umpat diriku. Hingga kemudian aku telanjang. Kudekati Laura yang meronta-ronta. Kemudian aku tampar wajahnya sekuat-kuatnya. Laura pun diam. Aku bisa melihat pipinya berwarna merah akibat tamparanku. Kuambil cutter untuk melepaskan tangan dan kakinya.
Laura agak bingung mungkin dengan perlakuanku. "Lo mau apa?"
"Emangnya aku mau apa?" tanyaku.
"Lo mau ngontolin gue kan? Aku tak sudi!" katanya.
"Dengar, lo di sini ada pada kekuasaanku. Lo tak bisa ngapa-ngapain. Mau kabur? Kabur kemana? Kamar ini terkunci. Dan di luar sana ada preman-preman yang menjaga. Sekali elu keluar tanpa ijinku, elu mati. Mau bunuh diri? Saat ini anakmu dalam bahaya, apa kamu mau mengorbankan anakmu?" dengan ancamanku itu, raut muka Laura berubah. Ia menjadi sangat takut.
"Lepasin, aku kumohon... Don, kumohon, lepasin aku. Lepasin Anisa, kumohon lepasin dia. Dia tak bersalah," katanya.
"Lo tahu kenapa lo ada di sini?" tanyaku.
Laura diam. Ia berpikir keras. Tapi karena rasa takutnya, ia tak bisa berpikir.
"Tahu ndak?" tanyaku.
Ia menggeleng.
"Kepingin tahu?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Isep otongku dulu, baru akan kukasih tau," kataku.
"Apa? Aku tidak sudi," katanya.
"Ya terserah sih, ingat engkau dan anakmu ada pada kekuasaanku, dan bagaimana kau bisa keluar dari sini kalau tak melakukan ini?" tanyaku.
Laura mulai bimbang. Tangan Laura memang sudah bebas. Tapi ia masih berbaring. Aku kemudian perlahan-lahan membuka seluruh bajunya. Kancing bajunya aku lepaskan satu-satu. Ia benar-benar takut, bibirnya gemetar. Saat aku turunkan roknya ia masih diam. Kulepaskan seluruh bajunya hingga tertinggal celana dalamnya. Aku lalu menindihnya dengan cara menduduki perutnya. Laura tampaknya pasrah. Kulitnya yang putih, mulus sepertinya selalu melakukan perawatan. Aku tak melihat lemak di perutnya. Penisku sudah mulai menegang.
"Ayo isep!" kataku.
Buah pelerku menempel di atas buah dadanya dan penisku mulai maju ke arah mulutnya. Laura agak ragu, kemudian membuka mulutnya. Ia memasukkan penisku ke mulutnya. Ia mulai menghisapnya, tapi agak kasar.
"Bangsat, kamu bosan hidup? Ingat saat ini kau berada di mana!? Isep seperti kamu ngisep suamimu!" kataku.
Laura pun akhirnya menjilati kepala penisku. Dihisapnya kepala penisku, lalu ia mengulumnya. Kemudian ia memasukkan ke dalam mulutnya, mengemutnya dan menggelitikinya dengan lidahnya. Ohhh... nikmat sekali. Entah kenapa aku bisa merasakan nikmat dari pelacur ini.
"Tanganmu jangan diem aja, aktif juga!" bentakku.
Tangannya pun mulai membelai perutku, lalu membantu mengocok-kocok batangku. Kupegang kepalanya dan aku menggerakkan pinggulku maju mundur. Laura gelapan. Beberapa kali penisku yang panjang itu menyodok tenggorokannya hingga ia tersedak. Berkali-kali ia menahan agar jangan sampai terlalu dalam aku menyodok penisku. Kupercepat goyangan pantatku dan kulakukan deepthroat. Hingga ia hampir muntah. Lalu kucabut. Ia terbatuk-batuk. Antara bibir dan kepala penisku ada benang lendir yang panjang.
"Sialan, enak juga mulutmu," kataku.
Laura diam. Ia beberapa kali menelan ludah dan terbatuk-batuk. Aku kemudian berbaring di sebelahnya. Laura tatapannya kosong. Ia lalu menoleh ke arahku.
"Aku sudah melakukannya, sekarang katakan, kenapa kau melakukan ini?" tanyanya.
"Aku ingin balas dendam kepadamu. Karena kau telah membuat bundaku meninggal. Dan itu adalah luka yang tak akan bisa terhapus begitu saja," jawabku.
Terbelalaklah mata Laura. Ia sama sekali tak mengira aku akan melakukannya.
"Doni... Doni, maafkan aku, maafkan aku," katanya.
"Aku bisa memaafkan kamu, asalkan satu hal," kataku. Tanganku kutaruh di dadanya yang cukup montok untuk orang seumuran dia. Kemudian putingnya aku jepit agak keras, hal itu membuatnya sedikit begidik.
"Apa itu?" tanyanya.
"Kau jadi pelayanku seumur hidup..." kataku berhenti sejenak.
Mata Laura berkaca-kaca, ia sadar ia tak akan bebas dari tempat ini.
"Atau... kau mau memenuhi 3 syarat dariku," kataku. "Pertama, kau bolehkan aku menikah dengan anakmu. Kedua, aku ingin kau meminta maaf kepada kedua istriku, Ketiga, aku ingin menghamilimu dan kau pergi selamanya dari hadapanku. Jangan menemuiku, jangan menemui anakmu, jangan menemui siapapun dari kami."
Laura lalu bangun dan menutup wajahnya. Ia menangis. Rambutnya yang lurus itu tampak makin awut-awutan.
"Bagaimana?" tanyaku.
"Aku tidak mau," kata Laura. "Apa tidak ada cara lain? Aku akan minta maaf kepada kalian semua. Aku minta maaf, ku akan bersujud kepada kalian semua."
"Enak saja," kataku. "Kau sudah membuat bunda menderita lalu kau seenaknya saja minta maaf?"
Laura lalu berdiri dan berjalan ke kursi sofa yang ada di kamar. Ia berkali-kali menutupi wajahnya, mengusap lali kembali berdiri. Melihatnya berjalan berlenggak-lenggok saja membuat penisku berdiri. Pantes ayah dulu nafsu banget ama orang ini. Pantatnya bergeal-geol, berjalan kesana-kemari. Ia tampak berpikir keras.
"Tiga syarat? Ataukah kau mau menjadi pelayanku seumur hidup?" tanyaku.
"Baiklah, aku akan jadi pelayanmu seumur hidup!" jawabnya. Ia lalu menghampiriku dan berlutut di hadapanku. "Kumohon lepaskan aku."
"Melepaskanmu? Yang benar saja. Jadi pelayanku maka kau tak bisa aku lepaskan!" kataku.
"Kumohon, aku akan oral lagi penismu, aku akan hisap dan berikan oral terbaik, tapi kumohon lepaskan aku. Aku tak akan mungkin hamil anakmu. Kumohon, aku masih mencintai keluargaku. Donnnn... lepaskan aku," Laura menangis meraung-raung.
"Aku tak peduli, itu syaratku. Kau harus pilih!" kataku.
"B-baik... baik, aku akan jadi pelayanmu," katanya.
"Deal?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Ingat, aturan kau menjadi pelayanku, kau tak akan bisa bebas dan harus melayaniku baik kau bisa atau pun tidak. Mengerti?" tanyaku.
Laura mengangguk.
"Dasar perek, padahal kalau kamu pilih yang pilihan satunya hidupmu tidak akan menderita," kataku.
Aku lalu bangun, kemudian aku tarik dia. Tinggi Laura adalah setelingaku. Dada kami bertemu. Terus terang Laura tampak menahan diri untuk tidak terangsang. Tapi aku berusaha bersabar. Kemudian ku sosor saja bibirnya. Bibir yang dulu mungkin sudah pernah dinikmati oleh ayahku ketika berselingkuh dengan keponakannya sendiri. Sepupuku ini cukup menggoda sebenarnya. Aku coba untuk menikmatinya saja. Ku hisap lidahnya. Awalnya Laura diam saja. Ia pasif. Aku pun mulai aktif meremas buah dadanya, putingnya aku pilin-pilin. Hal itu membuat ia akhirnya mau tak mau harus mengimbangi hisapanku. Tanganku yang lain mulai aktif membelai pinggulnya, kemudian dengan kasar aku tarik CD-nya hingga robek.
Kini Laura tak punya CD lagi. Rambut memeknya ternyata bersih dan mulus. Aku tak menyangka ia begitu sangat merawat bagian pribadinya itu. Aku makin gemas akhirnya kuremas lalu kumasukkan jari tengahku ke bibir vaginanya. Mendapatkan perlakuan itu, sontak ia melotot dan makin memelukku. Ia memejamkan mata berusaha menahan agar tak takluk olehku tapi sia-sia. Tubuhnya menyerah pasrah. Ia memundurkan pantatnya tapi aku terus kejar, ku gesek-gesek klitorisnya, lalu kukocok vaginanya dengan cepat.
"Oh... Don... aaahhkk, jangan! Mmaaf... jangan... pliiissss!" ia memohon.
Aku makin cepat mengocoknya. Detik demi detik tak kubiarkan memeknya beristirahat dari kocokanku. Tanganku sudah seperti mesin mobil yang melakukan pembakaran. Makin banjir saja itu memek Laura, dan ia makin erat melingkarkan tangannya ke leherku. Pantatnya yang tadi mundur sekarang maju. Tubuhnya melengkung, matanya terpejam dan mulutnya menganga.
"Don... sudah... aku mau keluar... aku... keluaaaarr!!" Laura menjerit sekeras-kerasnya. Dari memeknya ia squirt! Menyemprot berkali-kali. Aku lihat cairan bening menyembur. Cairannya sebagian mengenai tanganku dan sisanya berceceran di lantai.
Laura mau ambruk, aku pun menangkapnya. Langsung ia kusosor lagi. Kuciumi, kuhisapi lehernya hingga bercupang, kemudian aku dorong dia ke tempat tidur. Ia sudah pasrah. Pikirannya sekarang hanya ada birahi. Aku bisa merasakan dari tatapan matanya yang pasrah. Ia mulai reaktif dengan ciumanku. Laura mulai mau memegang penisku yang menegang, sedangkan aku menyusu kepadanya. Kuhisap puting susunya sekuat tenaga. Laura menggelinjang, kumainkan lidahku di sana, lalu kuhisap lagi dengan kuat. Laura meringis, entah nikmat entah kesakitan. Kuberi juga cupangan-cupangan di buah dadanya yang cukup montok itu. Dadanya yang putih kini ada bekas-bekas cupangan. Saking kuatnya Laura memelukku dan tangan yang satunya meremas penisku dengan kuat. Sampai ngilu rasanya. Saat aku membuka kakinya, ia melihatku. Mata kami beradu. Ada rasa penyesalan di dalam tatapan matanya itu.
Ia pasti tegang sekarang, tangannya masih meremas-remas penisku. Aku lalu tuntun ia untuk pasrah. Tangannya sekarang ke atas. Ketiaknya yang putih terlihat. Makin membuatku terangsang saja ini cewek. Kemudian aku gesek-gesek penisku di belahan vaginanya, sesekali klitorisnya kusentuh dengan ujung penisku.
"Ohhh... Donn... pelan-pelan!" kata Laura.
"Kamu suka dientot olehku Laura?" tanyaku.
Laura diam. Ia tak menjawab. Ia hanya menggigit bibir bawahnya. Aku memukul pantatnya, sehingga ia kaget. "I-iyaa... aku suka dientot olehmu."
"Kontolku sama kontol suamimu lebih besar mana?" tanyaku.
"Besar... besar kontolmu," katanya.
"Beneran?" tanyaku.
"I-iya... beneraan. Aooww... aduh... Don, jangan permainkan aku. Kalau kau mau masukin, ya masukin saja. Puaskan dirimu. Aku siap... aaahkkk..." katanya.
"Puaskan diriku? Yang benar saja," kataku. Aku lalu lebih cepat menggesek-gesekkan kepala penisku di bibir vaginanya sampai ke klitorisnya. Ia menggeliat-geliat dan memegangi tanganku untuk menghentikan aktivitas itu.
"Jangan... jangan... kalau kau teruskan, aku keluar lagi!" katanya.
Aku makin percepat gesekan-gesekanku di bibir vaginanya. Ia pun mengapit pinggangku. Memaksa pinggangku maju dan BLESS. Saat Laura orgasme, saat itu pula penisku masuk. Ouucchh... licin sekali. Vagina Laura meremas-remas, Laura pun terbelalak. Ia kaget entah karena ukurannya entah karena efek syarafnya yang secara langsung mengejutkannya. Mungkin juga keduanya. Mata kami sekarang beradu. Kami saling berpandangan. Laura melirik ke bawah. Penisku benar-benar habis ditelan oleh liang senggamanya.
"Don... ayo lakukan, jangan diam saja!" kata Laura.
"Lakukan apa?" tanyaku.
"Ngentot, entotin aku, entotin aku!" katanya.
"Entot pake apa?"
"Entot pake kontol, kontolmu... ohhh... gedhe... hhmmm... tolong jangan siksa aku! Pliiss!" katanya.
Aku tertawa penuh kemenangan.
"Dasar lonte kamu, Laura!" kataku. "Dulu ayahku pernah nyicipin kamu, sekarang anaknya pun masuk ke sini juga."
Aku lalu memaju-mundurkan pinggangku. Laura tampak merasa nikmat. Ia meremas sprei ranjang. Setiap kali aku hentakkan penisku, buah dadanya pun naik turun. Sungguh pemandangan yang tidak biasa. Sekali lagi anggota keluargaku sendiri aku gagahi. Aku bertumpu kepada kedua tanganku dan bergaya misionari melesakkan batang berototku ke dalam ruang lunak, lembab, basah dan cukup seret. Setiap goyangan kunikmati buah dadanya dengan hiasan cupangan itu naik turun. Pentil Laura berwarna coklat kemerahan, sekarang benda multifungsi itu mulai mengeras. Aku cukup lama dengan gaya misionari, mungkin karena malamnya aku bermain threesome dengan saudari-saudariku.
Kucabut batangku, kemudian aku suruh dia nungging. Langsung ia kusodok lagi. Pantatnya cukup bahenol dan bisa bikin penisku ereksi maksimal di dalam memeknya. Aku goyang lagi. Kurasakan sensasinya. Dalam bercinta kali ini aku tak berfantasi apapun. Aku ingin benar-benar bisa menikmati memeknya dan membuatnya tersiksa. Laura sebenarnya sudah orgasme lagi. Berkali-kali mungkin sekarang memeknya sedang ngilu-ngilunya.
"Don, sudah, sudah! Memekku ngilu, aku... tak... kuat lagi... kalau kau giniin terus... sss!" katanya.
"Bentar yah, habis ini kukeluarin!" kataku.
Aku cepatkan goyanganku. Aku remas buah dadanya dan kuhujamkan kuat-kuat penisku hingga mentok. Penisku serasa gatal sekali. Tapi belum juga keluar. Aku cabut lagi penisku dari posisi doggy style. Aku kemudian duduk di ranjang. Kutarik tubuhnya, dan kubalik. Laura pasrah, menurut dan tubuhnya seperti tak bertenaga lagi. Kini Laura berhadapan denganku. Ia kupangku, penisku masuk lagi ke sarangnya. BLESS...Laura tersentak. Lagi-lagi ia kaget dengan seranganku. Kini kami berusaha lagi mereguh kenikmatan-kenikmatan yang tak bisa dibayangkan lagi dengan kata-kata. Aku menaik turunkan tubuh Laura yang sudah tak bertenaga. Pantatku kugoyangkan ke atas. Laura menyandarkan dagunya ke pundakku. Sisa-sisa tenaganya digunakannya untuk memelukku.
"Ohh... Laura... enak banget memekmu," kataku.
"Udah... Don... aku tak kuat lagi," katanya.
Aku sesekali berhenti sejenak untuk mengenyot puting susunya. Lalu aku menaik turunkan lagi tubuhnya. Makin lama, Laura mulai mempunyai tenaga lagi walaupun lemah, ia berjongkok dan naik turunkan pantatnya. Masih dengan memelukku ia pun mengeluh keras ketika penisku keluar masuk. Laura kehabisan nafas. Aku bisa rasakan nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Ia benar-benar becek, bahkan penisku pun bermandikan lendir. Aku kemudian membaringkannya. Penisku kucabut. Kuambil tissue yang ada di meja dekat ranjang. Kubersihkan lendir-lendir yang ada di batangku, agar lebih nikmat lagi nantinya kalau masuk. Begitupun Laura, kukeringkan bibir vaginanya yang becek. Entah berapa tissue kuambil.
Laura sudah tak ada energi lagi sepertinya. Iyalah, dia belum makan dari kemaren, gimana ada energi buat ngesex? Emang sengaja ia tak kuberi makan biar tak ada perlawanan yang berarti. Aku dengan agak sedikit kasar kembali menghujamkan penisku dengan gaya misionary.
"Ugghh..." Laura mengeluh. Tangannya menempel di dadaku.
Aku lalu bergoyang lagi. Kali ini aku sudah rasakan penisku mau meledak sepertinya. Kembali rangsangan-rangsangan itu kunikmati. Benar-benar akibat pertempuran kemarin testisku kering, makanya aku keluar agak lama dari biasanya. Kini aku sudah benar-benar seperti orang kesetanan, pantatku maju mundur seperti drill. Aku peluk Laura, dengan lemah ia pun memelukku.
"Ohh... ahh... aahhh... ahhh... Laura, kontolku ngilu banget, mau keluar nih," kataku.
"I-iyaaa... Don... keluarin saja," katanya.
Penisku pun menyemburkan sperma. Orgasme itu benar-benar membuat kepalaku plong. Laura hanya mendongak sedikit, kemudian kembali lemas. Spermaku kubenamkan dalam-dalam ke rahimnya. Setelah kuyakin tak keluar sperma lagi, kucabut perlahan. Kunikmati hasil kerja kerasku di memeknya, kulihat spermaku meleleh keluar. Laura udah tak berdaya lagi. Nafasnya mulai teratur setelah pertempuran kami. Aku kemudian keluar kamar sebentar. Aku kemudian turun ke dapur. Melihatku tanpa pakaian, tampak ketiga orang yang menunggu di bawah bengong melihatku.
"Gimana, bro? Mantab?" tanya Bejo.
"Iya, bentar ye. Mau cari makanan dulu, kayaknya dia kelaparan," kataku.
"Oh, pizza masih banyak di dapur, kami beli banyak tadi," ujar Tanto.
Aku ke dapur melihat kulkas. Mengambil sebotol air mineral dan mengambil sekotak pizza. Kemudian kubergegas naik lagi ke atas. Aku masuk lagi ke dalam kamar. Tampak Laura sudah mulai mengumpulkan kekuatannya. Ia berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar itu. Ia membersihkan tubuhnya sebentar. Aku menunggu dia sambil minum air dan makan pizza. Setelah lima menit di kamar mandi Laura pun kembali lagi. Ia tampak mencuci mukanya dan membersihkan memeknya. Tubuhnya kini terbungkus handuk.
"Kau dari kemarin belum makan bukan? Makan aja!" kataku.
Laura duduk di ranjang. Ia agak ragu mengambil pizzanya.
"Ndak usah takut, ndak aku racunin koq. Tenang aja, kau tak akan aku bunuh. Ndak ada gunanya," kataku.
Laura makan dengan lahap. Ia habiskan kurang lebih tiga potong pizza. Kemudian ia minum air putih lumayan banyak. Perutnya kini sudah kenyang. Aku cukup lama diam menyaksikan dia makan. Aku lalu ke kamar mandi membersihkan tubuhku yang lengket dengan keringat hasil pertempuran tadi. Kemudian setelah selesai aku keluar kamar mandi. Laura masih terbengong dengan tatapan mata kosong.
Aku kemudian memakai pakaianku. Laura hanya menatapku saja. Ia dalam kondisi yang aneh sekarang. Ia baru saja diperkosa oleh sepupunya dan sangat menikmatinya.
"Ingat, kau jadi budakku sekarang. Karena jadi budakku maka kau harus patuh. Kau tak boleh keluar dari kamar ini! Mengerti?"
Laura mengangguk.
"Bagus," kataku. "Option yang lainnya masih terbuka lho. Aku mau jalan-jalan dulu. Mau refreshing, sementara itu... aku ingin kau mau melayani tiga orang lagi."
Wajah Laura berubah. "A-apa kau bilang?"

1 comment: