rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Thursday 2 October 2014

Penjaga Malam

Aku sempat melihat ekor gerakan sesosok bayangan melintas di samping rumah. Tempias cahaya lampu taman membantu mataku untuk melihat sosok itu melompat pagar rumah tuanku. Namun, hujan yang turun deras membuat malam makin kelam, hingga aku kehilangan jejak orang yang mencurigakan itu. Kuedarkan pandanganku. Tapi, orang itu terlalu sigap menyelinap. Aku mencoba menakutinya dengan menggonggong sangat keras. Kuharap orang itu panik, dan kabur dengan sendirinya. Tapi aku kecewa. Beberapa gonggongan panjang yang kulepas tak mendapatkan reaksi apa-apa. Malam tetap terbungkus kesunyian. Dan aku merasa menggigil sendirian. Jejak bedebah itu tak kulihat lagi. Aku pun bergidik. Bayangan kengerian mengepungku: orang itu menjeratku dengan kawat baja dan mengantarkan tubuhku di penjual tongseng, seperti ratusan bahkan ribuan kawan-kawanku. Kantuk yang menggelayut di mataku keempaskan. Tatapan mataku terus kebelalakkan. Begitu orang itu tampak, akan langsung kuterkam. Gigi dan taringku rasanya sudah tidak sabar mengoyak urat nadi di lehernya. Awas! Waspadalah hei bedebah! Aku menggonggong lagi. Sangat keras. Kukatakan, aku sangat tidak senang kepada tamu yang tidak sopan, yang datang malam-malam dan menambah pekerjaaanku. Semestinya aku sudah tidur, bermimpi bisa bertemu dengan Moli, anjing tetangga yang lama kutaksir itu. Aku sangat ingin bercinta dengannya, dalam mimpiku malam ini. Tapi cita-cita itu telah digugurkan oleh orang yang tidak tahu diri itu. Dasar tidak manusiawi! Mendadak kudengar sebuah benda jatuh di depanku. Kuamati. Ternyata segumpal daging sapi segar. Aku sangat hafal baunya. Tuanku setiap pagi dan sore memberiku daging seperti itu. Si pelempar itu mungkin menduga aku langsung menyantap daging itu. Aku tersenyum masam. Daging itu hanya kulihat lalu kutinggalkan. Aku bukan anjing bodoh yang tidak bisa membedakan mana daging segar dan mana daging penuh racun. Orang itu juga terlalu meremehkan. Dia mengira aku bisa diakali hanya dengan segumpal daging. Bukannya sombong. Pengalamanku menjadi anjing belasan tahun membuat aku sangat terlatih untuk membedakan mana pemberian yang tulus dan mana pemberian yang basa-basi, penuh pamrih bahkan ancaman. Melihat caranya memberikan daging saja aku sudah sangat tersinggung. Betapa orang itu tak punya sopan santun. Aku memang sangat mengharap pemberian orang, tapi aku bukan pengemis. Meskipun anjing, aku tetap punya harga diri. Martabat anjing harus kujunjung tinggi. Mungkin orang itu kecewa, melihat aku acuh tak acuh. Tapi dia tidak menyerah. Ini usaha yang sangat kuhargai. Ia melemparkan lagi segumpal daging. Kali ini lebih besar. Namun, aku hanya menatapnya sebentar, lalu berlalu. Aku memang sengaja mengaduk-aduk perasaannya, biar dia kecewa dan mengurungkan niat buruknya untuk mencuri. Sengaja kupakai cara yang lebih manusiawi agar tidak jatuh korban. Aku tak ingin lagi melihat ada maling babak belur bahkan mati dihajar massa gara-gara tertangkap. Aku sangat sedih dengan nasib manusia yang celaka itu, meskipun hal itu membuat aku bersyukur: ternyata menjadi anjing seperti aku jauh lebih beruntung daripada menjadi orang miskin. Sungguh, aku mensyukuri rahmat ini. Lama tak ada reaksi. Aku menduga orang itu kecewa, lalu pergi begitu saja. Diam-diam aku pun bersyukur, malam ini ada orang telah mengurungkan niat jahatnya. Bagiku ini sebuah prestasi. Meskipun aku ini hanya anjing, binatang yang sering dicerca dan dinistakan, aku toh masih punya niat baik. Namun, kebanggaan yang diam-diam menggumpal dalam rongga dadaku itu, akhirnya pudar. Ketika aku mengitari rumah tuanku, aku melihat orang itu duduk di pojok halaman di bawah pohon rambutan. Aku mundur beberapa langkah, siap-siap melawan jika orang itu menyerangku. Kepada sesama anjing, aku bisa menduga niatnya. Tapi kepada manusia? Ah, hati manusia tak bisa dijajaki. Penuh misteri. Mereka bisa saja menyimpan rapi kekejaman di balik senyum ramahnya. Aku harus waspada. Awas! Orang itu tetap saja diam. Aku mencoba mendekat. Ia tetap diam. Kuberikan gonggongan lirih, seperti berbisik. Tapi dia memberikan isyarat agar aku diam. Aku pun menurut. Kudekati dia. Kuamati orang itu. Dari tempias cahaya lampu, tampak wajahnya lebih tua dari usianya, penuh kerut-merut. Melihat urat-uratnya, ini pasti orang susah! Urat orang susah sangat tidak teratur dan membentuk garis yang serba melengkung. Aku tahu itu, karena dulu, aku cukup lama bergaul dengan para gelandangan yang mendiami gubuk-gubuk di pinggir sungai, sebelum aku dipungut sebagai anjing piaraan tuanku. Ya, Tuhan, dia menangis. Baru kali ini kulihat ada calon maling begitu cengeng. Tapi sebentar… tangisnya sangat dalam. Ya sangat dalam. Dan tanpa sadar aku jadi terharu (baru kali ini ada anjing yang terharu). Tapi, aku selalu waspada. Siapa tahu itu tangis buaya. Bisa saja diam-diam ia menyimpan pisau, dan siap dihunjamkan di perutku. Maka, kuambil jarak beberapa depa. Kulihat apa reaksi selanjutnya. Orang itu tetap asyik dengan tangisnya. Ia menyebut empat anaknya yang tidak bisa bayar sekolah dan hendak dikeluarkan gurunya. Ia menyebut anak gadisnya yang kini harus dirawat di rumah sakit karena diperkosa oleh tetangganya. Ia menyebut nama istrinya yang hamil lagi (untuk yang terakhir ini aku terpaksa tidak bisa terharu). Semula kupikir dia sengaja menjual iba kepadaku. Bukankah kebanyakan manusia itu tukang main drama yang ujung-ujungnya hanya menelikung pihak lain? Tapi, sebagai anjing yang terbiasa membedakan mana yang tulus dan mana yang basa-basi, aku berani menyimpukan bahwa kesedihan orang ini cukup meyakinkan. Entah kenapa, naluriku memaksaku berpikiran begitu. Aku pun mulai menimbang-nimbang untuk memberikan kebebasan orang ini bisa masuk rumah tuanku, mengambil sedikit barang-barang agar tangis anak istrinya berhenti. Kukibaskan ekorku, mengenai kakinya. Dia memandangku. Kulihat sumur penderitaan yang begitu dalam dan gelap. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Kubalas sentuhan itu dengan kibasan ekorku yang menyentuh kakinya. Rupanya ia tanggap. Ia pelan-pelan bangkit, menyiapkan berbagai peralatan, ada besi pengungkit, drei, pukul besi, alat pemotong besi, alat pemotong kaca, linggis kecil dan masih banyak yang lain. Ternyata perlengkapan maling jauh lebih lengkap dan canggih daripada bengkel. Aku terharu sekaligus bangga dengan usahanya untuk menjadi maling beneran. Maling pun tetap harus serius, agar tidak konyol dicincang massa. Pelan-pelan ia menyelinap ke pepohonan. Hujan turun makin deras. Aku terpejam dan tidak ingin membayangkan apa yang dilakukan orang itu di rumah tuanku. Diam-diam aku merasa berdosa atas pengkhianatanku, namun aku juga berdoa semoga orang itu selamat. Yang kubayangkan hanyalah tangis anak istrinya di rumah. Dan ternyata apa yang terjadi di dalam melebihi semua bayanganku. Bukan saja mendapat harta curian, orang itu juga memperoleh kepuasan dari istri tuanku yang selama ini memang tidak pernah puas. Ini kuketahui saat aku mengintip setengah jam kemudian setelah orang itu tak kunjung keluar. Dari jendela kamar, bisa kulihat orang itu dan istri tuanku sedang bergumul rapat di meja dapur. Sementara tuanku yang tukang tidur molor di kamar sendirian tanpa pernah mengetahui perbuatan istrinya. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kalau aku boleh menebak, istri tuanku pasti terbangun saat mendengar suara seseorang yang masuk ke dalam rumahnya. Atau kalau tidak, dia yang baru balik dari kamar mandi, memergoki pencuri itu di ruang tengah. Sempat terjadi pergumulan sejenak, tapi istri tuanku yang sehari-hari berjilbab itu kalah tenaga. Ia dengan mudah diringkus. Si pencuri yang tidak kukenal, demi melihat kemolekan tubuh istri tuanku, perlahan tergiur. Melihat kesempatan yang amat terbuka, iapun memperkosanya. Tapi dasar istri tuanku yang memang gila seks, diperkosa bukannya berteriak malah menikmati. Dikasih satu malah minta nambah. Jadilah pencuri itu tidak kunjung keluar dari rumahnya, malah kini sibuk memuaskannya. Jilbab yang sehari-hari ia kenakan hanya berfungsi untuk menutupi hasrat bejatnya ini. Wanita itu membalas ciuman si pencuri dengan sangat ganas dan bernafsu, bukti bahwa dirinya sudah terbakar nafsu birahi yang amat sangat. Bahkan tangannya sudah berani meremas dan mengocok penis orang tak dikenal yang sudah masuk ke dalam rumahnya ini. Orang itu memutar badannya sehingga kepalanya yang tadi berada di atas, kini menghadap ke vagina istri tuanku. Aku yang sudah sering menjilatinya bisa membayangkan bagaimana bentuk benda itu. Kalau sudah terangsang seperti ini, vagina istri majikanku itu akan mekar sempurna dengan permukaan mengkilat basah oleh cairan. Baunya akan semakin kentara, keluar dari lorongnya yang terus berkedut-kedut pelan seiring dengan desah nafasnya. Pencuri tua itu merengkuk pantat istri tuanku yang montok, yang sehari-hari tertutup oleh gamis panjang untuk menyembunyikan kemolekannya. Dia meremas-remasnya sebentar sebelum lidah dan bibirnya mulai mempermainkan vagina istri tuanku yang berada tepat di depan mukanya. Jilatannya yang agak berbeda, yang aku yakin masih lebih enak jilatanku, ternyata sanggup membuat istri tuanku melenguh. “Ouh… ouh… aku tak tahan… aku tak tahan… ouhh...” erangnya. Tapi orang itu tak mempedulikannya, ia terus menjilat dan menghisap dengan begitu rakus. Bahkan terkadang menusukkan lidahnya ke dalam liang vagina istri tuanku yang beraroma harum. Gerakan pantat wanita itu jadi semakin tak karuan. Sebagai balasannya, bibirnya mulai melumat penis pencuri itu dengan penuh nafsu. Jilatan dan hisapannya tampak bervariasi, tanda kalau sudah sering melakukannya. Bukan kepada suaminya, tapi kepada penisku. Anjing penjaga rumahnya! “Ouhh…” orang itupun melenguh nikmat. Kembali ia berkonsentrasi mengoral vagina perempuan cantik itu. Kali ini dengan ganas dan cepat, sampai istri tuanku jadi menjerit-jerit karenanya. Untung suaminya tidak bangun. “Aah… Pak! Aku tak tahan… aku tak tahan... masukkan… masukkan sekarang... auh!!” Tak mempedulikan permintaan itu, pencuri itu semakin bersemangat mengoral vagina indah yang tersaji di depannya. Sampai akhirnya badan istri tuanku menghentak, lalu menggulingkan tubuh di atas meja untuk bertukar posisi. Kini si pencuri yang berbaring, sementara ia sendiri duduk berjongkok dan mengarahkan penis si pencuri yang sudah berdiri tegak ke arah liang vaginanya yang sudah sangat basah, lalu perempuan itu menekan pantatnya ke bawah sampai… ”Blessshh…!!” penis pencuri itu mulai memasuki liang vaginanya perlahan-lahan. Mata istri tuanku tampak nanar berkunang-kunang merasakan kenikmatan yang sukar untuk dilukiskan tersebut. Perlahan-lahan pantatnya mulai bergerak turun naik, sementara kedua tangannya merengkuh pundak si pencuri sambil bibirnya dengan penuh nafsu menciumi dan menghisap bibir laki-laki tua itu. Semakin lama, gerakan pantatnya menjadi semakin cepat. Kepalanya sudah terdongak dengan deru nafas mendengus seperti orang yang sedang berlari. “Ehh... euh… hekks… hekss… euh…” dengusan itu terus menerus keluar seiring dengan hempasan pantatnya yang menekan selangkangan si pencuri. ”Ahh... ahh... auh...” laki-laki itu ikut mendengus merasakan penisnya seperti dikocok-kocok, dipelintir dan dihisap-hisap dengan sangat nikmatnya. Matanya terbuka dan menutup untuk menahan nikmat yang tak terperi. Dengan suara seramai itu, tuanku masih saja tidur. Tidak heran sih, karena sering juga aku menindih tubuh istrinya tepat di sebelahnya, dan dia masih saja tidur. Dia kalau tidur memang seperti orang mati. Karena itulah dia memeliharaku untuk menjaga rumahnya. Namun kali ini aku melalaikan tugas mulia tersebut. Maafkan aku, Tuan. Merasa kakinya kurang nyaman, istri tuanku segera meluruskan kakinya sehingga dia jadi telungkup menindih tubuh orang tak dikenal itu. Tangannya masih meraih pundak si pencuri sebagai pegangan dan buah dadanya ditempelkan pada dada laki-laki itu. Kemudian kembali ia memaju mundurkan pantatnya agar vaginanya dapat bergesekan dengan penis pencuri itu. Gerakannya menjadi semakin cepat, kedua kakinya mulai kejang-kejang lurus dan erangannya juga semakin memburu. “Ouh… hekss… heks… heks…” Dan akhirnya, dia menjerit panjang, “Aaaaaahhhhkkkks…” Badannya kembali melenting terdiam kaku, mulutnya menggigit pundak pencuri itu dan kedua tangannya menarik pundak laki-laki itu dengan sangat keras. Beberapa detik kemudian keluar helaan nafas panjang darinya seperti melepas sesuatu yang sangat nikmat. ”Ouhhhhhh…” Pantatnya berkedut-kedut, dan terjadi konstraksi yang sangat hebat di dalam vaginanya. Si pencuri merasakan cengkeraman yang sangat kuat di seluruh batang penisnya dan diakhiri dengan kedutan-kedutan dinding vagina istri tuanku yang seperti memijit-mijit ringan, membuatnya jadi melenguh menerima sensasi yang sangat nikmat ini. “ohh…” keluhnya. Kedutan pantat istri tuanku semakin lama semakin melemah dan akhirnya tubuhnya ambruk menindih tubuh si pencuri. Cukup lama dia menikmati sensasi orgasme sambil telungkup lemas di atas tubuh laki-laki itu, sebelum kemudian matanya terbuka menatap sambil berkata, “Sudah sangat lama aku tidak merasakan orgasme yang demikian nikmat… makasih, Pak!“ katanya sambil mengecup bibir pencuri itu. Laki-laki itu hanya tersenyum manis padanya sambil membalas kecupannya dengan menghisap bibir istri tuanku dalam-dalam. Kedua tangannya memeluk erat sambil kembali menggerakkan pinggangnya ke atas dan ke bawah, membuat penisnya yang masih tegang menancap kembali menggesek dinding-dinding vagina istri tuanku. Gesekan itu memberikan kenikmatan pada mereka berdua. “Ouhhh… ouhh…” lenguh pencuri itu saat penisnya dengan lancar keluar masuk di liang vagina yang masih tetap sempit menjepit dan meremas-remas begitu ketat itu meski sudah dua kali orgasme. Begitu juga istri tuanku. Kenikmatan yang mulai kembali menjalari seluruh urat syarafnya membuatnya mendengus nikmat. “Ouhhh… ouhh…” Gerakan pencuri itu membangkitkan kembali gairahnya yang baru saja mendapatkan orgasme. Gesekan-gesekan ini memberikan kenikmatan padanya sehingga akhirnya pantatnya kembali bergerak maju mundur dan ke atas ke bawah untuk meraih kenikmatan yang lebih. Dia kembali memompakan tubuhnya di atas tubuh si pencuri, dan gerakannya semakin lama menjadi semakin cepat, sambil kembali erangan nikmatnya yang khas keluar dari mulutnya yang tipis. “Ehh... euh… hekks… hekss… euh…” dengusan itu terus menerus keluar seiring dengan hempasan pantatnya yang menekan selangkangan si pencuri, dan tak lama kemudian kembali kedua kakinya kejang-kejang lurus dan erangannya semakin cepat memburu “Ouh… hekss… heks… heks…” Dan akhirnya, dia kembali menjerit panjang, “Aaaaaahhhhkkkks…” Badannya kembali melenting terdiam kaku, mulutnya menggigit pundak si pencuri dengan pantatnya berkedut-kedut ringan. Semakin lama semakin melemah dan akhirnya tubuhnya kembali ambruk menindih tubuh si pencuri untuk kesekian kalinya. Kali ini tidak bisa bergerak lagi karena sudah kehabisan tenaga. Dia menggelosorkan tubuhnya ke samping. Sambil berbaring miring, mereka saling berhadapan dan berpelukan. Istri tuanku berkata kepada laki-laki itu dengan suara tersengal-sengal kehabisan napas. “Pak, aku sangat lelah… namun sangat puas… tapi kepuasanku belum sempurna kalau vaginaku belum disemprot oleh ini.” katanya sambil meraih penis si pencuri yang masih tegang menantang. Memang luar biasa besar nafsu seks yang dimiliki oleh istri tuanku ini, bahkan aku sendiri kadang juga kewalahan menghadapinya. Jilbab lebar yang sehari-hari ia kenakan telah dengan sempurna menyembunyikan tabiatnya yang satu ini. Si pencuri yang belum mencapai puncak, tidak ingin berlama-lama istirahat. Takut nafsunya surut dan penisnya melemah, maka mulai ia menindih tubuh molek istri tuanku. Kembali tangannya meremas-remas buah dada indah milik perempuan cantik itu serta memilin-milin putingnya yang menjulang menantang. Kemudian kembali bibirnya menciumi bibir istri tuanku dengan penuh nafsu sambil mendorong pantatnya begitu kepala penisnya tepat berada di depan liang vagina. Blessh… penisnya kembali menusuk dan menjelajahi liang sempit yang sudah sangat basah milik istri tuanku itu. Mereka melenguh berbarengan menahan nikmat. Pantat orang itu mulai mengayuh agar penisnya bisa lancar keluar masuk menggesek-gesek dinding vagina istri tuanku yang selalu tidak pernah puas. Gerakannya semakin lama menjadi semakin cepat dan berirama. Di sisi lain, pinggul istri tuanku juga mulai bergerak membalas setiap gerakannya sehingga lenguhan dan erangan nikmat mereka terdengar saling bersahutan. “Ouh… ohhh… enak banget, Mbak… ohhhh…” dengus orang itu. “Auh… auh… makasih, Pak! Oouh… nikmatnya… ohhh…” erang istri tuanku. Gerakan pinggulnya kini sudah tak beraturan lagi sehingga terdengar suara yang cukup keras dari beradunya alat kelamin mereka berdua. Demikian pula dengan gerakan pinggul orang itu, juga semakin keras dan kuat. Hingga akhirnya mulutnya mulai meracau, ”Ouh… Mbak, a-aku… mau… keluar... ouh…” Dan istri tuanku juga meracau sambil menarik-narik tubuh pencuri itu dengan sangat keras. “Ayo, Pak… bareng-bareng…” Dan akhirnya secara bersamaan mereka menjerit bersahutan melepas nikmat mencapai orgasme. Badan pencuri itu dan badan istri tuanku melenting sambil terkejang-kejang pelan. Sperma kental pencuri itu terpancar beberapa kali membasahi seluruh rongga vagina istri tuanku ini, yang dibalas olehnya dengan kontraksi dan kedutan-kedutan yang hebat di dalam liang vaginanya, menandakan mereka mendapat puncak orgasme yang tak terlukiskan nikmatnya secara hampir bersamaan. Lalu badan pencuri itu ambruk jatuh menimpa tubuh istri tuanku. Wanita itu segera menggesernya ke samping agar tidak membebaninya. Mereka berbaring sejenak sambil berpelukan untuk merasakan sisa-sisa orgasme yang masih melanda. Tak lama kemudian, mata istri tuanku terbuka. Ia memandang pencuri itu dengan tatapan penuh kepuasan sambil berkata lemah. “Baru kali ini aku dapat merasakan berkali-kali orgasme yang luar biasa nikmatnya dalam satu kali persetubuhan... huh, benar-benar melelahkan namun sangat memuaskan dan tak mungkin terlupakan…” katanya sambil mencium mesra bibir laki-laki itu. Lalu sambungnya lagi, “Kalau tahu senikmat dan sepuas ini yang kudapat dari Bapak... tak perlu pake diancam tadi.” katanya sambil tersenyum. “Dan aku rela menanggung segala akibatnya asal aku bisa mendapatkan nikmat seperti ini dari Bapak…” kata istri tuanku mulai melantur. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.30 malam, sudah cukup larut. Pencuri itu harus segera pulang. Maka segera ia berdiri dan mengenakan pakaiannya kembali. Ia bertanya kepada istri tuanku sebelum pergi. “Apakah kita bisa mengulanginya lain waktu?” “Tentu, Pak. Bahkan malah aku yang meminta pada bapak untuk bisa memberikan kenikmatan seperti tadi lagi dan lagi.“ katanya sambil mencubit mesra pinggang laki-laki itu. Kemudian dia juga mengenakan pakaiannya kembali lengkap dengan jilbab lebar dan baju panjangnya. Tidak lebih dari lima menit, orang itu telah keluar membawa bungkusan. Aku hanya berdoa semoga saja dia bukan maling yang rakus dan hanya mencuri arloji, hand phone, atau benda lainnya. Dengan langkah yang gagah, ia menjumpaiku. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Segaris senyuman kini terpahat di bibirnya. Aku menunduk. Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba kesedihanku pun jebol. Aku menangis dengan suara ringkikan kecil. Orang itu merasa serba salah. Ia merengkuh tubuhku dan hendak memangku aku. Tapi aku menolak dengan halus. Ia mencoba memberiku segumpal daging. Dengan bahasa isyarat, ia meyakinkan bahwa daging itu murni, bukan seperti yang dilemparkannya sebelumnya. Tapi aku merasa kehilangan selera makan. Tiba-tiba kudengar kegaduhan dari dalam rumah. Tuanku menjerit-jerit histeris, rupanya ia sudah mengetahui kalau rumahnya dibobol. Kudengar ia menyebut kalung berlian milik istrinya yang hilang. Laki-laki gendut itu berteriak-teriak sambil berlari keluar, diiringi letusan senapan yang membabi buta. Kata "maling" diteriakkan berulang-ulang. Aku memukul kaki orang itu dengan ekorku, dan berharap ia segera berlari. Ia tampak panik, dan canggung. Mungkin ia merasa berat berpisah denganku. Tapi aku terus memaksanya untuk segera lari. Aku sangat panik. Kulihat tuanku berlari makin mendekati tempat pertemuan kami. Senapannya terus menyalak. Aneh, maling itu tetap diam. Aku memaksanya lari. Tapi ia hanya berlindung di balik pohon rambutan. Sial, muncul kilat. Tempat kami mendadak terang dalam sekejap. Kontan tuanku langsung melepas timah panas. Orang itu tumbang, rebah ke tanah. Muncrat darah merah dari dadanya. Aku menggonggong sangat keras. Aku marah kepada tuanku yang sangat kejam. Tapi tuanku justru mengelus-elus kepalaku. Dia merasa bangga punya anjing piaraan yang telah menyelamatkan hartanya dari jarahan maling malang itu. Aku menggonggong makin keras. Makin keras, hingga orang-orang pun keluar rumah. Mereka mengelu-elukan aku. Hampir tak ada yang peduli dengan mayat maling malang itu yang membujur kaku… Mata maling itu tetap saja melotot, seperti menatapku. Terus menatapku. Aku masih mendengar tangisnya, tangis anak dan istrinya. Tangis itu sangat panjang dan dalam, penuh kesunyian.

No comments:

Post a Comment