rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Sunday 2 August 2015

Ibu yang Pura-pura 4



"Go, bangun! Heh.. sudah sore." Suara itu cukup keras hingga membuat Dirgo membuka matanya yang masih terasa berat.
"Ayo bangun, sudah jam 4. Ayam-ayam kamu beri makan dulu sekalian masukkan kandang." lanjut bapak Dirgo yang masih berdiri di ambang pintu kamar, laki-laki itu kemudian berlalu dari situ ketika melihat Dirgo sudah bangun dan dengan malas melangkah keluar.
Di dapur, Dirgo melihat ibunya yang sedang merebus air. Atikah tersenyum melihat anaknya yang masih terlihat ngantuk berat. "Ayo, jangan malas gitu. Nanti ibuk buatin kopi." ucap Atikah sambil mengelus rambut anaknya yang terlihat acak-acakan.
Dirgo tersenyum kecil. Melihat ibunya, ngantuknya langsung sirna, teringat dengan kejadian tadi yang begitu nikmat. "Iyah, kopinya agak pahit ya, buk," ucapnya sambil melangkah keluar dapur melewati ibunya. Dengan pura-pura tak sengaja tangannya merabai bokong ibunya yang terlihat bulat dalam balutan daster lusuh.
Atikah geleng-geleng kepala dengan keisengan anaknya, tapi rasa bangga itu selalu ada setiap Dirgo berulah jahil. "Aku masih menarik.." desis Atikah sambil tersenyum.


***
Malam yang dingin, Dirgo membungkus tubuhnya dengan sarung, ia baru saja menyelesaikan tugas sekolahnya. Ketika akan keluar kamar, dilihatnya hape di atas kasur nampak bergetar lembut. Ia meraihnya dan membuka beberapa sms yang masuk sambil keluar kamar.
"Sudah belajarnya, Go?" tanya Atikah yang melihat anaknya muncul, ia sedang duduk di ruang tengah nonton tv dengan sang suami.
"Sudah, buk," jawab Dirgo singkat, ia ikutan duduk di samping ibunya. Kursi itu sedikit berderit ketika Dirgo menghempaskan pantatnya.
"Eh, pelan-pelan, Go.." ucap bapak Dirgo yang sedikit terganggu dengan ulah anaknya. Dirgo hanya terkekeh pelan menanggapi dan masih asyik dengan hape di tangannya.
Tv sedang menayangkan sinetron kesukaan Atikah. Dirgo sendiri kurang suka sinetron, ia ikut nimbrung karena pengen dekat dengan ibunya. Sesekali kakinya menggesek-gesek kaki ibunya yang yang kuning mulus. Atikah jadi sering melirik suaminya yang duduk di sebelahnya karena kuatir sang suami melihat perbuatan iseng anaknya.
"Kamu mainan apa sih?Dari tadi hape mulu.." tanya ibunya pelan. Atikah melihat suaminya terkantuk-kantuk, jadi dibiarkannya saja ketika tangan Dirgo mengusap-usap pahanya. Atikah baru menepis tangan anaknya ketika mulai menggerayangi lubang kemaluannya.
"Ambilkan selimut di kamar ibuk, Nak. Banyak nyamuk nih." ucap atikah sambil menggaruk-garuk paha dan menarik ujung dasternya memamerkan kulitnya yang putih mulus.
Dirgo segera tanggap, dengan cepat ia bergerak ke kamar ibunya mengambil selimut, lalu ke kamarnya dan mengganti celana kolornya dengan sarung. "Ini, buk," ucap Dirgo pelan, ia mengangsurkan selimut itu pada Atikah, ibunya.
Tanpa banyak cakap, Atikah memakai selimut itu untuk menutupi bagian depan tubuhnya dari pundak hingga ujung jari kaki. Ujung atas selimut ia sampirkan di kedua pundaknya dan ditindih di punggung, sementara ujung bawah diinjak kedua kakinya sehingga menciptakan ruang kosong antara pundak dan lutut Atikah.
Dirgo tersenyum kecil nan mesum, sejenak ia melirik bapaknya yang ngorok terlelap, kemudian perlahan tangannya mulai menjalari paha mulus ibunya. Atikah meremang bulu kuduknya, terasa sekali jemari anaknya di sisi dalam pahanya, terasa begitu geli nikmat. Atikah yang terlena dalam balutan selimut birahi semakin membuka pahanya lebar-lebar ketika Dirgo anaknya sedikit mendorong paha mulus itu.
"Pahamu halus, buk." bisik Dirgo di telinga ibunya.
Atikah hanya diam dengan pandangan masih tertuju ke layar tv, sebisa mungkin ia bertahan untuk tidak merintih ketika jemari anaknya mulai menjamah celah kemaluannya yang masih terbungkus celana dalam. Atikah menggigit bibirnya ketika jari-jari itu mulai mengusapi sepanjang tepian vaginanya dan tanpa melihat atau meraba, Atikah tahu kalau celana dalamnya telah basah oleh cairan birahi.
"Buk, jembutmu dicukur ya?" tanya Dirgo pelan sambil menyibak celana dalam ibunya dan menyusuri celah basah nan hangat milik ibunya.
Atikah mengangguk kecil, sekilas ia melirik suaminya memastikan bahwa dengkur yang didengarnya memang dari mulut suaminya. "Ssstt.. Ehhh.." Atikah merintih lirih, tak kuasa menahan nikmat ketika itilnya diusap pelan oleh jari-jari anaknya. Apalagi kini tangan kanan Dirgo mulai merayapi dadanya dan meremas-remas lembut payudara besarnya yang masih terbungkus beha.
"Buk... emmmh.. behanya dilepas donk," pinta Dirgo lembut dan manja.
Atikah sejenak menghela nafas mendengar permintaan anaknya. Ia sekilas melirik suaminya yang tertidur di sebelahnya. Atikah melengkungkan punggungnya ke depan dan sedikit mengangkat pinggulnya. Pundaknya tetap menahan ujung selimut di sandaran kursi agar tetap menutupi bagian depan tubuhnya dan dengan lincah tangannya bergerak di bawah selimut. Sekejap tangannya sudah keluar dengan beha warna putih yang segera Atikah lempar ke bawah kursi yang diduduki oleh mereka bertiga.
Dirgo tersenyum senang dan tanpa menunggu lama tangannya mulai bergerilya di bawah selimut. Atikah melenguh menahan rintihan merasakan nikmat usapan lembut di dada dan vaginanya.
"Tempekmu basah kuyup, buk," bisik Dirgo di telinga ibunya.
Atikah tersipu, wajahnya memerah. Ia tak menjawab, hanya tersenyum malu-malu sambil melirik kecil ke anaknya. Dirgo sudah gemes banget dengan ekspresi ibunya, nafsunya sudah di ubun-ubun.
"Buk, pindah ke kamarku yuk.." ucap Dirgo sambil menggelitik puting susu ibunya.
Atikah menggelinjang lembut, kembali melirik suaminya sambil erat-erat memegangi tepi selimut. "Malam ini bapakmu dapat giliran jaga di Poskamling. Sabar, nanti aja," bisik Atikah pelan dan sedikit terengah-engah karena Dirgo memasukkan dua jari ke vagina miliknya dan mengocoknya perlahan.
Atikah melenguh lirih dan reflek membuka lebih lebar pahanya, sementara tangannya bergerak mencari kontol anaknya dan meremas-remas benda lunak yang terasa panas di dalam genggamannya.
"Kulonuwun..!" suara salam dalam bahasa Jawa terdengar keras dari arah depan rumah, dan reflek Atikah serta Dirgo menjawab bersamaan.
"Monggo.." Atikah serentak bangkit menuju ruang depan dan mendapati Wiryo, adik dari ibunya, berdiri di teras rumah.
"Ohh.. Lek Wiryo. Monggo, Lek, silahkan masuk," sapa Atikah pada pamannya. "Sebentar, bapak'e Dirgo ketiduran lihat tivi." jelas Atikah. Pamannya memang tetanggaan dan punya giliran jaga ronda kampung di malam yang sama.
"I-iya, Tik," jawab Wiryo tergagap, usianya 45 tahun dan melihat penampilan keponakannya sungguh membuat jantungnya berdebar. Ia setiap hari melihat Atikah berkerudung dan tertutup rapat, tapi malam ini rambutnya yang tebal hitam tergerai indah dan astaga... jelas sekali Atikah tak memakai beha di balik daster itu.
Wiryo meneguk ludah, tapi pemandangan indah itu hanya sekejap karena Atikah buru-buru masuk ke dalam dan Wiryo hanya bisa menikmati goyang bulat pantatnya yang mengundang birahi.
Tak lama Darsono keluar menemui tamunya, jelas sekali ia masih sangat mengantuk. "Berangkat sekarang, Lek?" tanya Darsono pada tamunya.
"Ayo." jawab Wiryo singkat.
"Buk, kuncinya taruh di atas angin-angin ya," teriak Darsono sambil menutup pintu depan rumahnya.
"Iya, Pak!" jawab Atikah cukup keras dari ruang tengah, ia berusaha melepaskan pelukan Dirgo yang rupanya sudah tak sabar ingin menikmati tubuh mulus ibunya.
"Sabar, Nak, ibuk tak ngunci pintu dulu." ucap Atikah sambil melepaskan dekapan Dirgo yang jari-jarinya sudah kelayapan di dada.
"Jangan lama-lama, buk." ucap Dirgo dengan nada tak sabar.
Atikah lalu bergegas ke ruang depan, menguncinya dan menaruh kuncinya di lobang angin-angin. Ia kembali ke ruang tengah dan mendapati Dirgo anaknya sudah telanjang bulat sedang duduk di kursi panjang. Atikah memerah mukanya melihat kontol anaknya yang tanpa penutup nampak tegang dan keras.
"Ayo, ibuk juga harus bugil," ucap Dirgo yang melihat ibunya masih berdiri canggung.
"Begini aja, Go. Malu ibuk.." jawab Atikah pelan sambil tertunduk, tangannya erat memegangi ujung bawah dasternya.
"Ayolah, Buk.." Dirgo bangkit dan memeluk ibunya dari belakang, "Ayo dilepas, aku pengen liat susumu yang gueede ini loh.."
Atikah masih malu-malu ketika Dirgo mengangkat dasternya dan meloloskannya melewati kepala. Selama ini hanya di kamar tidur dan kamar mandi ia telanjang, tapi ini di ruang tengah ditonton oleh anak kandungnya sendiri dan itu adalah sensasi baru buat Atikah.
Dirgo duduk di kursi sementara Atikah berdiri canggung di depannya, berusaha menutupi payudaranya yang menggantung telanjang. "Jangan ditutupin donk, buk." ucap Dirgo protes sambil menyingkirkan lengan ibunya yang menutupi payudara.
"Malu, Nak.." bisik Atikah pelan sambil menundukkan wajah seperti gadis kecil yang lugu.
Dirgo nanar menatap tubuh ibunya yang berdiri polos di depannya, dada Atikah yang bulat besar dan montok meski sedikit menggantung sama sekali tak mengurangi keindahannya. Turun ke bawah, perut ibunya terlihat rata tanpa kesan berlemak, khas wanita desa yang memang terbiasa bekerja keras. Di bawah perut itu nampak gundul tanpa selembar bulu di vagina Atikah.
"Sini, buk.." ajak Dirgo agar ibunya duduk di sebelahnya.
Atikah menurut saja, masih terlihat canggung ketika anaknya merangkul dan menghujani bibirnya dengan ciuman panas dan gigitan-gigitan kecil. Lidah keduanya dengan cepat saling membelit dan menjilat, dalam sekejap Atikah telah hilang rasa canggungnya dan melayani aksi Dirgo yang menggebu-gebu.
Dirgo tiba-tiba merosotkan tubuhnya, ia duduk di lantai diantara kedua paha mulus ibunya dan mengarahkan kedua kaki perempuan itu agar naik ke atas kursi. Atikah merasa sangat porno, mukanya merah menahan nafsu. Ia yang seorang ibu kini dipaksa duduk di kursi telanjang bulat dengan paha terpentang lebar mengekspose dengan bebas liang vaginanya tepat di depan hidung anak kandungnya sendiri.
“Hhh...” Atikah mengerang lirih ketika lidah Dirgo mulai menyapu bibir vaginanya, dan erangannya pun kian menjadi-jadi ketika Dirgo semakin buas memakan vagina ibunya.
"Ooouhh.. tempekku kamu apakan, nak? Ouhh.. uenake, Go.." Atikah menceracau tak karuan. Matanya membeliak, bibirnya bergetar, tangannya menggapai-gapai mencari pegangan, bulir-bulir keringat nampak menitik di kening dan ujung hidungnya.
Setiap sapuan lidah membawa sensasi nikmat yang Atikah jarang rasakan. Anaknya begitu bernafsu menjilati setiap inchi dari liang vaginanya. Atikah mengerang menahan nikmat, tapi semakin ditahan gelombang itu semakin besar.. semakin dahsyat dan Atikah tak kuasa menahan gelomban nikmat itu.
"Aaargggh... Ibuk keluar, Go!! Ouuh... uenake temppekku.." Atikah terhentak-hentak saat orgasme pertama yang dahsyat meluluhlantakkan tubuhnya.
Dirgo memberi kesempatan ibunya untuk menikmati sisa-sisa orgasme itu. Setelah dirasa cukup, baru dia bangkit dan memposisikan ibunya agar berbaring. Kontolnya sudah sangat tegang, perlahan ia menindih tubuh mulus ibunya dan mulai memasuki vagina panas Atikah yang sudah basah kuyup.
"Pelan-pelan, nak. Masih ngilu," rengek ibunya pelan ketika Dirgo mulai mengayuh batangnya di lubang kemaluan yang terasa sempit menggigit.
Mula-mula pelan, tapi kemudian dengan cepat dan mantab ia mengebor lubang kenikmatan milik ibunya. Ruangan kembali dipenuhi oleh erangan nikmat Atikah dan tak lama orgasmenya yang kedua kembali datang seperti gelombang tsunami. Kembali Atikah mengejang nikmat dan kali ini Dirgo tak memberi kesempatan ibunya untuk beristirahat. Dengan mantap ia terus mengeluarkan-masukkan batangnya di lobang yang semakin licin itu. Atikah hanya bisa merintih dan merintih. Orgasmenya berulang-ulang datang meluluhlantakkan sendi-sendi tubuhnya. Atikah pasrah dalam nikmat gempuran kontol anaknya. Sampai di suatu titik, Dirgo tak kuasa menahan nikmat yang telah menggumpal dan menjebol benteng pertahanannya.
"Aaaargghh... aku keluar, buk.. Ooohh.." Dirgo mengerang panjang dan membombardir rahim ibunya dengan cairan kental panas yang membuat Atikah orgasme untuk yang kesekian kalinya.
Kedua insan itu kini diam tak bersuara, hanya aroma keringat dan deru napas lelah yang terdengar memenuhi ruangan. Mereka tak sadar sepasang mata mengikuti persenggamaan mereka dari sebuah lubang di papan dinding rumah itu. Wiryo, paman Atikah, perlahan mundur menjauh dari lobang di dinding rumah keponakannya. Sebuah senyum kecil nampak tergurat di bibirnya yang keriput.

Bersambung 

No comments:

Post a Comment