Wednesday, 16 July 2014
Gaby, Istri yang Ternoda: Awal Perbudakan
Gaby, Istri yang Ternoda: Awal Perbudakan
Gaby
Namaku Gaby. Aku adalah istri dari seorang pegawai rendahan bernama Mas Hendra. Secara fisik, penampilanku termasuk di atas rata-rata, tubuhku tidak tinggi namun sintal dengan payudara 34B, rambutku yang sedikit bergelombang biasa kubiarkan terurai hingga dada, Pernikahan kami sudah berjalan selama dua tahun, namun kami masih belum dikaruniai momongan. Itu bukan karena kami sengaja menundanya, melainkan karena Mas Hendra mengalami disfungsi ereksi. Meski demikian, kami menjalani hidup dengan bahagia di sebuah rumah kontrakan sederhana. Sebenarnya aku dan Mas Hendra sering bercinta, tapi sepertinya sperma Mas Hendra tidak sampai masuk ke rahimku sehingga aku sulit hamil. Saat penisnya baru masuk setengahnya, ia sudah keluar duluan. Untuk masalah ini, aku harus benar-benar bersabar, sebab gairah seksualku terbilang tinggi. Mas Hendra tidak sanggup mengimbangiku. Meski demikian, aku tetap sayang dan mencintai Mas Hendra apa adanya. Namun ada satu hal yang membuat kebahagiaan kami terusik. Di belakang rumah kami tinggal seorang preman yang suka bersikap semaunya, termasuk kepada kami. Namanya Cakra, tapi orang-orang biasanya memanggilnya Ceker. Usianya mungkin dua tahun di bawahku. Dia belum menikah, dan tinggal bersama neneknya yang sudah tua. Orangtuanya entah ke mana. Mas Hendra sangat takut kepada Ceker. Pernah dulu saat kami sedang jalan berdua, kami berpapasan dengan Ceker. Mas Hendra mencoba bersikap sopan kepadanya. Namun, Ceker malah membentaknya dan bersikap kasar. Dia mengeplak kepala Mas Hendra di depan mataku. Ceker meminta uang (memalak) kami. Mas Hendra buru-buru menyerahkan uang 50 ribu yang ada di kantongnya. Beruntung Ceker segera pergi. Sejak saat itu Ceker sering bersikap semena-mena terhadap Mas Hendra. Sudah terhitung lagi Cakra memalaknya. Mas Hendra tidak berani melawan, ia memang seorang yang lembut dan tidak suka cari ribut. Tubuh Cakra begitu kekar, dan Mas Hendra merasa tidak akan menang melawannya apalagi ia bukan orang yang suka berkelahi. Kabarnya dulu Cakra bekerja di pedalaman Kalimantan selama beberapa tahun. Mungkin itulah yang membuat tubuhnya kekar dan berisi.
Pada suatu pagi, Cakra lagi-lagi berbuat ulah. Saat itu hari libur. Aku dan Mas Hendra sedang asyik bersantai di rumah. Tiba-tiba Cakra masuk, lalu memaksaku untuk ikut dengannya menghadiri acara pernikahan temannya. Katanya ia tidak mau pergi sendiri. Mas Hendra dan aku mencoba menolaknya dengan halus, tapi Cakra malah berkata dengan kasar, bahkan hampir memukul Mas Hendra. Akhirnya aku buru-buru menyanggupinya sebelum Mas Hendra terluka. Aku pun segera masuk ke kamar untuk berganti baju. Ah, sial. Pakaianku banyak yang masih belum kering. Yang tersisa di lemari hanya baju batik terusan tanpa lengan dengan bagian bawah tidak sampai mencapai lutut. Jika tanganku terangkat sedikit, maka ketiakku langsung terlihat. Ah, aku malu, sebab ada bulu-bulu halus di ketiakku. Aku belum sempat mencukurnya lagi. Tapi tidak ada pilihan lain, aku terpaksa memakai baju seksi tersebut. Aku sempat melihat Cakra terperangah melihatku keluar kamar. Mungkin ia terpesona dengan keseksian dan kecantikanku. Belahan dadaku juga terlihat sedikit. Mas Hendra melepas kepergianku sambil mengecup keningku. Ia meminta maaf karena tidak bisa beruat apa-apa. Aku mengatakan tidak masalah, sebab hanya pergi sebentar. Aku berusaha menghiburnya supaya dia tidak terlalu merasa bersalah. Aku membonceng motor RX King milik Cakra dengan posisi mengangkang. Tadinya aku ingin duduk dengan posisi menyamping, tapi hal itu tidak mungkin dilakukan, sebab bentuk jok motornya terlalu menyulitkan. Berkali-kali aku berusaha menutupi paha mulusku yang tersingkap karena rokku terangkat. Tapi percuma saja. Akhirnya aku terpaksa membiarkan para pria hidung belang di jalan melihat pahaku yang putih dan padat itu. Sebagian jalanan yang kami lewati begitu buruk. Aku terpaksa berpegangan pada bahu Cakra supaya tidak terjatuh. Luar biasa, bahunya terasa kokoh sekali. Benar-benar bahu seorang pria sejati. Tapi aku segera menepis kekaguman itu setelah mengingat bahwa Cakra adalah preman yang sering mengganggu kehidupanku dan suamiku. Aku dan Mas Cakra tidak berlama-lama berada di acara pernikahan. Setelah bersalam-salaman dan menikmati hidangan yang ada, kami langsung pulang. Baru setengah jalan, tiba-tiba Cakra berhenti, lalu menelepon seseorang.
“Ndes, kamu di mana? Aku pinjem kontrakanmu, ya? Kuncinya di tempat biasa, kan?” ujar Cakra dengan temannya di ujung telepon sana.
Setelah itu, ia menutup telepon, lalu melanjutkan perjalanan. Di sebuah persimpangan, ia membelokkan sepeda motor ke arah lain.
“Kita mau ke mana, Mas?” tanyaku dengan jantun.g berdebar-debar.
“Sudah, ikut aja! Nggak usah banyak tanya!” bentak Cakra. Aku langsung terdiam karena takut.
Setelah beberapa lama, kami tiba di rumah sederhana. Kanan-kirinya hanya ada kebun jagung. Cakra mengambil kunci di bawah keset, lalu membuka pintunya. Ia menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke dalam. Aku sempat memberontak. Tapi, Cakra terlalu kuat sehingga ia bisa menarikku ke dalam. Rumah itu ternyata hanya sebuah kamar berukuran 5x4 m yang dilengkapi dengan kamar mandi. Di kamar itu ada sebuah kasur tanpa tempat tidur. Aku duduk di situ dengan takut-takut. Setelah menutup pintu, tiba-tiba Cakra membuka bajunya. Sesaat aku terpesona melihat dadanya yang begitu bidang dan perutnya yang kotak-kotak. Cakra memelukku hingga aku terjatuh ke kasur, lalu berbisik,
“Gaby, ayo layani aku. Jangan teriak!”
Aku tersentak dan berusaha memberontak. Pikiran negatifku terbukti, ia hendak memperkosaku! Tapi, aku tidak berani teriak. Cakra berusaha menciumku, tapi aku menolaknya dengan menggeleng-gelengkan kepala.
“Jangan Mas...jangan...kumohon!!” aku menghiba dan terisak
Tanpa mempedulikan permohonanku ia terus berusaha menyosor bibirku. Pada sebuah kesempatan, akhirnya ia berhasil melumat bibirku. Tangannya yang kasar itu mulai meraba-raba dadaku. Ia melakukannya dengan tegas khas lelaki yang kuat. Sesekali ia juga melakukannya dengan lembut. Aku benar-benar dibuat belingsatan. Aku mati-matian berusaha menahan nafsu yang mulai melandaku. Tapi, aku tidak bisa menipu diri sendiri. Entah kenapa lama-lama aku mulai membalas ciuman Cakra yang menggairahkan itu. Bahkan ketika Cakra memelorotkan baju batik yang kupakai, aku tidak menolaknya sama sekali! Cakra mengangkat kedua tanganku, lalu ciumannya mengarah ke ketiakku. Ia melepas BH-ku hingga kedua buah dadaku yang padat dan kencang itu tersingkap. Cakra meremas-remas dadaku sambil tetap menjilati ketiakku. Sesekali tangannya juga meraba-raba puting susuku dengan lembut. Oh, rasanya nikmat sekali. Aku menggigigit bibir bawahku karena keenakan.
“Mas Hendra...maaf, aku tidak sanggup lagi” tangisku dalam hati
Aku merasa bersalah sekali. Aku telah membiarkan orang lain yang bukan suamiku menjarah tubuhku, mencumbuiku serta menikmati dadaku. Padahal, selama ini yang bisa melakukannya hanya Mas Hendra, suamiku. Tapi, aku membela diri bahwa aku tidak punya pilihan lain. Jika memberontak, bisa saja Cakra membunuhku di tempat yang sepi itu. Nafsu pun semakin menguasaiku. Aku meremas-remas kepala Cakra sambil mendesah-desah.
Cakra/ Ceker
Ciuman Cakra terus turun hingga mencapai perutku. Aku mengerang keenakan. Tangannya yang kokoh itu mencoba melepaskan celana dalam warna pink yang kupakai. Bukannya menolaknya, aku malah mengangkat tubuhku supaya celana dalamku mudah dilepas. Kini aku benar-benar telanjang bulat. Cakra membuka kedua pahaku, lalu mengamati vaginaku yang ditumbuhi bulu-bulu yang agak lebat itu. Rupanya vaginaku sudah sangat basah. Aku merasa malu sekali. Cakra adalah orang pertama yang melihat kemaluanku selain suamiku sendiri. Tiba-tiba, kepala Cakra masuk ke pangkal pahaku, lalu mencium dan menjilati vaginaku.
“Aaakhhh...ssshhh” aku menjerit kecil sambil menggigit bibir.
Baru kali ini aku dioral. Bahkan Mas Hendra pun belum pernah melakukannya sama sekali. Aku serasa terbang di awang-awang. Rasanya sungguh nikmat! Cakra sepertinya tahu di mana titik-titik sensitif seorang wanita. Saat itu aku benar-benar tidak mempedulikan statusku lagi sebagai istri Mas Hendra. Aku di bawa ke langit ketujuh oleh Cakra. Aku mengencangkan kedua pahaku hingga kepala Cakra jadi agak terjepit. Meski demikian, hal itu tidak menganggu aktivitasnya. Ia tetap mengoralku, sementara tangannya meremas-remas dadaku. Aku tidak bisa membayangkan, apa yang terjadi jika Mas Hendra melihatku dalam kondisi seperti ini. Apakah ia akan diam saja atau melawan Cakra? Ah, aku tidak bisa mengira-ngiranya. Beberapa lama kemudian, Cakra berhenti mengoralku. Ia melepas celana panjang dan celana dalamnya dengan cepat. Astaga, penis Cakra besar sekali! Tegak dan benar-benar terlihat kokoh, sangat serasi dengan tubuhnya yang kekar itu. Cakra membangunkanku, lalu memaksaku untuk mengoralnya. Aku pun menuruti kemauannya dengan setengah terpaksa. Lagi-lagi ini adalah pengalaman pertamaku. Aku mencium penis Cakra dengan canggung, lalu mulai mengoralnya. Rasanya asin. Cakra sepertinya suka sekali dengan caraku mengoralnya. Tangannya meremas kepalaku, dan sesekali menyingkirkan rambutku yang panjang itu dari mukaku. Tiba-tiba saja aku merasa hina. Aku adalah seorang istri baik-baik, tapi sekarang malah mengoral seorang preman, bahkan seorang yang sangat kubenci karena sering menindas aku dan suamiku. Cakra menarik penisnya dari mulutku, lalu melumat bibirku. Aku membalas ciumannya itu dengan penuh gairah. Lidahku dan lidahnya saling terpagut. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku, semuanya berjalan begitu saja. Tanganku secara spontan merangkul kedua lehernya. Siapapun yang melihat kami pasti sepakat bahwa adegan itu bukan merupakan sebuah pemerkosaan. Cakra menidurkanku, lalu membuka kedua pahaku yang sintal dan padat berisi itu. Vaginaku pun terbuka lebar. Bulu-bulu hitamnya tampak kontras dengan pahaku yang putih. Aku sudah benar-benar pasrah. Ia menjilati leher dan ketiakku, lalu perlahan-lahan mulai memasukkan penisnya ke vaginaku.
“Jangan… jangan… jangan….” di mulut aku menolak dan tubuhku meronta untuk menghindari disetubuhi olehnya, namun vaginaku terasa gatal sekali. Di satu sisi aku ingin segera menikmati penis besar Cakra yang nampak lebih perkasa dari milik Mas Hendra itu, tapi di sisi lain hati nuraniku berkata untuk menjaga kesucianku sebagai istri Mas Hendra.
“Aaaaaaah….” Aku menjerit kecil saat penis Cakra berhasil masuk ke liang kenikmatanku.
Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan membusungkan dadaku. Nikmatnya sungguh tidak terkatakan! Selanjutnya Cakra mulai menyetubuhiku. Aku mendesah-desah dengan penuh gairah saat Cakra menggenjotku. Tubuhnya bersimbah peluh. Begitu pula dengan tubuhku. Aku meraba-raba dadanya yang bidang dan gagah itu. Saat itu pula aku sudah tidak bisa mendengarkan nuraniku lagi, aku pun larut dalam nikmatnya birahi. Setelah beberapa lama, kami pun berganti posisi. Dia menyuruhku nungging, lalu mulai menggenjotku dari belakang. Tangannya mencengkeram kedua pinggangku. Aaah, Cakra benar-benar pintar bercinta. Desahanku pun semakin keras saja. Aku tidak peduli bila sampai ada orang yang mendengarnya. Tubuhku meliuk-liuk tak beraturan. Setelah beberapa lama, kami berpindah posisi lagi. Kali ini aku kembali berada di bawah, sementara Cakra menggenjotku dari atas sambil mengamati wajahku yang terlihat memerah karena keenakan. Aku merasa malu sekali dipandangi dalam keadaan seperti itu. Tapi, aku sudah tidak peduli lagi. Aku hampir keluar, dan Cakra masih terus menggenjotku.
“Lebih cepat lagi, Mas… lebih cepat lagi….” Ujarku, lirih. “Tolong nanti dikeluarin di luar, Mas.” lanjutku lagi.
Tak disangka, Cakra malah memperlambat genjotannya. Hal ini membuatku belingsatan.
“Ayo Mas, dicepetin lagi….” aku menatap Cakra dengan pandangan sayu sambil memohon kepadanya, sungguh aku benar-benar merendahkan harga diriku sendiri.
“Aku mau ngeluarin di dalem. Boleh, kan? Aku mau menghamili kamu,” kata Cakra sambil menyeringai.
Aku tersentak kaget. Ucapannya benar-benar kurang ajar.
“Jangan, Mas! Aku mohon, keluarin di luar aja,” ucapku, sambil berusaha menggoyang-goyangkan pinggulku sendiri, sebab genjotan Cakra menjadi sangat lambat.
Cakra diam saja, lalu benar-benar menghentikan genjotannya.
“Mas, ayo mas… plis….” aku benar-benar memohon kepadanya supaya dia melanjutkan genjotannya. Seperti ada sesuatu yang mau meledak di dalam vaginaku, tapi tertahan sehingga membuatku gelisah.
Cakra masih diam. Aku sudah tidak tahan lagi, lalu berkata dengan lirih dan pasrah kepadanya, “Ya udah Mas, keluarin di dalem.”
“Apanya? Ngomong yang jelas!” seru Cakra.
“Keluarin di dalem aja supaya aku hamil! Mas Cakra boleh menghamiliku! Ayo Mas, hamili aku!” aku setengah berteriak.
Aku kaget mendengar ucapanku sendiri. Rupanya aku benar-benar sudah dikuasai nafsu sehingga mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh itu, betapa murahanya aku menyadari diriku menjadi seperti ini. Cakra tersenyum penuh kemenangan, lalu kembali menggenjotku. Aku mendesah-desah tak karuan. Tanganku menggapai-gapai benda apa pun yang bisa kugenggam.
“Sedikit lagi… sedikit lagi… ayoo….” aku terus menyerocos. Aku mulai mendekati puncak kenikmatan. Belum pernah aku merasakan proses yang demikian hebat itu, sebab selama ini Mas Hendra tidak mampu mengimbangiku.
Sepertinya Cakra juga mau keluar. Ia memelukku dari atas, lalu melumat bibirku. Aku membalas ciumannya dengan panas. Aku pun memeluk punggungnya dengan erat. Dadaku menempel dengan erat di dadanya yang kekar. Cakra semakin mempercepat genjotannya. Desahanku semakin keras, tapi tidak terdengar jelas karena bibirku sedang dilumat oleh Cakra. Beberapa detik kemudian….
“AAAaaahhhh!!!” aku menjerit sambil membusungkan dada.
Tubuhku melengkung ke atas. Pangkal pahaku bergetar hebat. Jari-jari tanganku mencengkeram punggung Cakra dengan kuat. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Aku benar-benar terbang ke puncak kenikmatan dunia. Tubuh Cakra juga terasa bergetar. Rupanya kami orgasme bersama-bersama. Sperma milik preman itu memancar dengan kuat dan membanjiri liang kehormatanku. Aku telah membiarkan cairan lelakinya masuk ke dalam vaginaku. Kami sama-sama diam, mungkin masih menghayati sisa-sisa kenikmatan yang ada. Napas kami terengah-engah. Tiba-tiba aku ingat bahwa aku sudah terlalu lama pergi. Mas Hendra pasti mencariku. Aku pun segera bangkit dari kasur, membawa semua pakaianku ke kamar mandi, lalu membersihkan diri. Aku keluar dari kamar mandi setelah selesai berpakaian. Setelah itu gentian Cakra yang membersihkan diri di kamar mandi. Setelah semuanya beres, kami bergegas pulang. Dalam perjalanan, aku hanya diam, sebab masih terpesona dengan kenikmatan luar biasa yang baru saja aku rasakan.
****
“Gaby, makasih, ya,” ujar Cakra sambil menyeringai saat menurunkanku di depan rumahku.
Aku tidak menjawab apa-apa. Setelah itu ia langsung pergi dengan RX King-nya. Mas Hendra menyambutku dengan riang.
“Kok lama sayang?” tanya Mas Hendra.
“Iya Mas, tadi Mas Cakra ngobrol lama sama teman-temannya,” jawabku, berbohong.
Mas Hendra tersenyum lembut, lalu menyuruhku masuk. Katanya dia sudah menyiapkan teh hangat untukku. Aku terharu, lalu buru-buru masuk ke rumah dan pamit mau mandi. Aku tidak mau melihat Mas Hendra melihatku menitikkan air mata.
“Mas Hendra, seandainya kamu tahu.... Istrimu tercinta ini baru saja dinodai orang. Di dalam rahim istrimu ini ada benih-benih preman yang selama ini sering memalakmu. Maafkan aku, Mas....” aku membatin sambil berusaha menahan tangis
####
Pagi itu aku sedang sibuk di dapur mempersiapkan makanan, ketika sedang membasuh sayuran tiba-tiba kurasakan remasan pada pantatku.
”Eeehh...Mas, pagi-pagi udah genit ya” seruku sedikit kaget
Mas Hendra tertawa dan mendekap tubuhku dari belakang, tangannya meraba buah dadaku dengan lembut.
“Iiihhh...jangan ah...aku kan lagi kerja nih!” kataku menepis tangannya.
“Hahaha...ayo dong say, kan masih cukup waktu, masih sempat kok sebelum ngantor nih.” Mas Hendra menggesekkan selangkangannya yang sudah menegang pada pantatku menggodaku
“Dasar, baru bangun juga udah omes gitu” candaku sambil tertawa.
Aku pun pasrah meletakkan selada yang sedang kucuci pada wadah untuk menikmati perlakuannya padaku. Tangan Mas Hendra menaikkan rokku dan merabai pahaku naik hingga ke vaginaku yang masih tertutup celana dalam. Mau tidak mau, aku pun mulai hanyut karena sentuhan erotisnya, kurasakan vaginaku mulai basah.
Mas Hendra mengecup telingaku dan berkata, ”Punya istri secantik dirimu, siapa yang akan pernah bosan!” sambil mencium pipiku
Ketika aku menengokkan wajahku, ia langsung melumat bibirku lembut. Aku mengeluarkan lidahku membalas lidahnya yang menjilati bibirku, kulingkarkan tanganku ke lehernya. Karena sudah terbakar nafsu, aku pun tak perlu waktu lebih lama untuk mengimbanginya. Sebentar saja kami sudah beradu lidah dengan liarnya, tanganku yang satu menjulur ke belakang bawah meraba selangakannya yang sudah mengeras. Tangan Mas Hendra dengan cekatan mempreteli kancing gaun tidurku, payudaraku langsung menyembul keluar karena tidak memakai bra. Dengan gemas ia memilin dan meremas puting payudaraku, sambil tangan kanannya merogoh masuk ke dalam celana dalamku. Aku sendiri tidak bersikap pasif seperti patung, tanganku meraih resleting celana Mas Hendra dan menurunkannya, celana panjang yang dikenakannya agak gombrong sehingga tidak sulit bagiku meraih penisnya dari balik celana dalam.
“Bentar...bentar say...” ia berhenti sejenak meremas payudaraku untuk membuka gesper dan kaitan celananya, “ntar kalo kejepit kan berabe”
Aku tertawa dengan tingkahnya itu, “hihihi...sendirinya yang pengen cepet-cepet, bangun-bangun udah minta gituan”
Celananya pun melorot ke lantai dan ia turunkan celana dalamnya hingga lutut. Tangaku meraih batang penisnya yang sudah menegang dan mulai kukocok perlahan, naik turun dengan begitu lembut. Ia juga meneruskan remasannya pada payudaraku dan mulutnya mengecupi lembut pundak dan leherku. Tangannya yang satunya mengobok-obok di balik celana dalamku.
“Ssshhh...say...” desahku lirih sambil memejamkan mata menikmati sentuhan jarinya pada bibir vaginaku, kurenggangkan pahaku agar tangannya lebih leluasa merambahi wilayah kewanitaanku. Kurasakan jarinya mulai masuk ke dalam, satu jari, lalu disusul satu jari lagi, uuhhh...nikmatnya, aku menyukai gayanya yang lembut ditambah lagi gelora cinta di antara kami berdua.
“Wah, cepet banget basahnya say” kata Mas Hendra sambil tersenyum menatap wajahku yang sudah memerah sayu dari samping belakang.
“Makanya cepetan dong, ntar telat nyalahin gua lagi!” kataku tak sabar.
Mas Hendra langsung mendudukkan tubuhku di tepi meja dapur, tapi bukannya langsung to the point, ia malah mengarahkan mulutnya ke arah payudaraku yang membusung tegak. HAP! Mulutnya pun mencaplok yang kanan. Disedotnya putingku yang sudah menegang kuat-kuat, lidahnya menari lincah di atas sana.
“Mas...aahhh....eeemmhhh” aku mendesah dan meremasi rambutnya, sensasi geli ini sungguh membuaiku, tapi aku menyukainya. Kubiarkan Mas Hendra terus menyusu dari payudaraku ini.
Tak lama, mulutnya pindah ke yang kiri. Hhhmmm...kali ini hisapannya terasa lebih kuat. Sambil menjilat, beberapa kali giginya ikut bermain dengan menggigit perlahan putingku yang kini semakin mengeras saja.
“Owhh, sssshh!” aku hanya bisa mendesis menerima semua perlakuan itu. “Sekarang dong say...tusuk memekku.” bisikku lirih. “aku sudah kepengen banget nih!”
“Of course say” kata Mas Hendra menganggukkan kepala.
Ditariknya celana dalamku hingga lepas sehingga vaginaku kini mekangkang ke arahnya. Tangannya masih saja menggerayangi tubuhku, terutama sepasang gunung kembarku yang merupakan anggota tubuhku yang ia sukai. Ia terus memijit dan meremas-remasnya penuh nafsu. Sambil bibir kami tetap berpagutan aku merasakan penis suamiku itu berada tepat gerbang vaginaku, ia menggesek-gesekkan benda itu ke bibir vaginaku yang sudah becek dengan penuh perasaan.
“Ayo cepet, sekarang Mas!” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa ditahan lagi, dengan perlahan Mas Hendra pun mulai mengarahkan kepala penisnya ke arah vaginaku. Digesek-gesekkannya ujung batang penis itu di luar bibir kemaluan Lucia. Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vaginaku yang berleleran di sana sebagai pelumas. Setelah dirasa cukup licin Mas Hendra pun siap menusukku.
”Okay say, kumasukin sekarang ya!” bisiknya sambil mengecupku dengan lembut.
Kurasakan kepala penis Mas Hendra melesak masuk dan dijepit oleh dinding vaginaku yang berdenyut-denyut.
“Ooohhh yaaahh Mas” erangku mengiringi proses penetrasi
Rasanya begitu hangat, kenyal, namun keras saat batang penis suamiku memenuhi liang senggamaku. Sambil tetap meremas-remas payudara kiriku, Mas Hendra mendorong batang penisnya hingga benda itu menancap seluruhnya. Kedua alat kelamin kami pun akhirnya menyatu dan saling mengisi satu sama lain.
“Uhh,” aku mendesah pelan sambil memejamkan matanya rapat-rapat.
Walau sudah terbiasa dengan ukuran penis Mas Hendra, namun tetap saja, ada sedikit rasa nyeri yang timbul. Namun aku berusaha mengabaikannya, rasa nyeri itu akan segera berubah menjadi rasa nikmat kalau Mas Hendra sudah menggenjotku. Ia menggeser-geser posisi tubuhnya, berusaha mencari posisi yang paling nikmat dalam persetubuhan kami pagi itu. Perlahan, batang penisnya mulai ia gerakkan maju-mundur. Denyut-denyut kejantanan Mas Hendra dapat kurasakan sehingga membuat organ kewanitaanku semakin membanjir, sebagian cairan kewanitaanku bahkan mulai meleleh membasahi bibir meja dari bahan marmer ini saking banjirnya. Tak peduli dengan semua itu, Mas Hendra terus menggerakkan pinggulnya maju mundur, bahkan ia terlihat begitu menikmatinya. Malah semakin lama, tusukannya menjadi kian cepat dan dalam hingga terdengar bunyi berdecak akibat tumbukan alat kelamin kami ditambah beceknya vaginaku.
“Enak gak sayang?” tanya Mas Hendra sambil terus menggenjot vaginaku.
Saking enaknya, aku hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Aku tersenyum mendesis sambil berusaha menganggukkan kepala. Aku hanya bisa melenguh keenakan saat gelombang kenikmatan itu perlahan datang, membuat jantungnya berdetak semakin cepat dan nafasnya menderu tak kalah berat.
“Shhhh, aku mau keluar, Sayang. Ayo, tusuk memekku lebih dalam.” desahku menyemangati suamiku.
Tanpa harus disuruh lagi, Mas Hendra semakin mempercepat sodokan penisnya. Begitu cepatnya hingga tubuhku jadi terhentak-hentak karenanya.
“Aaahhh...aahhhh...terusss...mas terusss...enak gitu!!” mulutku makin menceracau tak karuan
‘Trang!’ panci yang akan kupakai untuk merebus sayuran yang sudah kuisi air sepertiganya itu tersenggol olehku hingga jatuh dan airnya pun tumpah membasahi lantai.
“Shhh... oughh... dikit lagi! Sshh... arghhh iya terus!” aku terus mengerang tanpa mempedulikan panci yang terjatuh itu.
Dinding vaginaku semakin berkedut-kedut hingga akhirnya cairan kental membanjir dari dalam sana. Mas Hendra mengimbangi dengan semakin mempercepat goyangannya, dan tak lama kemudian...
“Uuuhhh...gggrrhh” ia melenguh dengan mata membelakak, penisnya ia tekan sedalam mungkin ke vaginaku.
Sesaat kemudian cairan hangat menyemprot beberapa kali dari ujung batang penisnya mengisi vaginaku. Akhirnya pagi ini aku berhasil merengkuh kenikmatan bersama pria yang kucintai. Kinerja Mas Hendra dalam hubungan seksual memang naik turun, kadang ia mudah lelah sehingga keluar duluan di saat aku belum puas, dan ini yang sering terjadi, tapi di kala kondisinya prima kami mampu meraih kepuasan maksimal seperti pagi ini. Sebagai istri aku mengerti tenaga dan pikirannya banyak tercurah di kantor sehingga kadang stress dan tentunya berpengaruh pada performanya, namun sebagai wanita aku pun menginginkan kepuasan dalam bercinta dan jujur saja seringkali aku kecewa kalau Mas Hendra ejakulasi duluan dan meninggalkanku dalam kondisi nanggung. Terus terang aku meraih kepuasan lebih ketika bercinta dengan Cakra tempo hari lalu. Ooohhh...tidak, mengapa aku berpikir begitu? Preman itu memaksaku kenapa aku sampai berpikir seperti itu, sungguh dilema bagiku.
“Ahhh...aku sayang banget sama kamu!” ucapnya sambil mengecup bibirku, penisnya masih menancap di vaginaku dengan semprotan makin lemah, benda itu juga mulai menyusut di antara himpitan dinding vaginaku
“Sama Mas, aku juga!” jawabku lalu balas memberikan ciuman ringan di bibirnya.
Setelah merasa lebih segar kami pun mulai berbenah diri. Aku mengancingkan kembali gaun tidurku dan memakai celana dalamku lagi, demikian juga Mas Hendra. Kami menikmati sarapan sambil mengobrol ringan.
“Sampai nanti yah sayang!” Mas Hendra mendekapku dan mengecup dahiku setelah menyelesaikan makannya.
Aku mengantar kepergiannya hingga ke gerbang rumah kami. Setelah sosoknya tidak terlihat lagi aku pun kembali ke dalam.
Hari itu sudah empat hari sejak “perkosaan” itu terjadi. Selama itu pula Cakra tidak terlihat di rumahnya yang berada tepat di belakang rumahku, hanya dipisahkan oleh pekarangan tak bertuan sejauh 20 meter. Kabarnya ia sedang berada di luar kota. Ada yang bilang bahwa ia merupakan anggota penjahat bajing loncat. Karena itulah ia sering pergi ke luar kota untuk “bertugas”. Entah kenapa aku merasa seperti ada yang kurang selama 4 hari itu. Apakah aku berharap bisa bertemu dengan Cakra? Ah, aku buru-buru menepis anggapan itu. Cakra adalah preman, dan ia telah memperkosaku. Sungguh aneh bila aku merindukannya. Tapi, harus kuakui bahwa jauh di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat mengharapkan kenikmatan yang dulu kudapat saat disetubuhi Cakra. Aku tidak bisa mendapatkannya dari Mas Hendra. Karena itulah, ketika mandi sore itu aku tanpa sadar melakukan masturbasi di bawah shower membayangkan kokohnya dada Cakra yang bidang, perutnya yang sixpack, dan penisnya yang keras. Membayangkan diriku disetubuhi lagi olehnya. Pada hari kelima di siang hari, aku sedang sibuk menyapu rumah. Mas Hendra seperti biasa sedang sibuk di kantor. Tadi dia sempat SMS mengatakan kalau nanti akan pulang malam karena harus menyelesaikan lembur di kantor. Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Sebuah nomor asing tertera di layar ponselku.
“Halo...,” aku menyapa seseorang di ujung telepon sana.
“Gaby, ini aku, Cakra,” ujarnya, singkat. Seketika jantungku langsung berdebar-debar.
“Iya mas, ada apa?” tanyaku, agak gemetar.
“Nanti malam jam satu, datanglah ke rumahku lewat belakang. Datanglah tanpa pakaian. Saat aku melihatmu keluar dari pintu belakang rumahmu, kamu harus sudah telanjang. Awas kalau kamu tidak melakukannya. Aku akan menculik suamimu dan membunuhnya!” ancam Cakra, lalu langsung menutup teleponnya.
Aku ternganga. Aku harus berjalan menyeberang pekarangan belakang rumah sejauh 20 meter malam-malam tanpa pakaian satu pun? Preman ini benar-benar gila! Aku benar-benar takut dengan ancaman Cakra. Ia punya banyak teman sesama preman yang sewaktu-waktu bisa menyakiti Mas Hendra. Aku tidak mau terjadi karena aku yakin Mas Hendra tidak akan menang melawan mereka. Mau tak mau aku harus menuruti kemauan Cakra. Aku berdebar-debar saat membayangkan diri pergi ke rumah Cakra malam-malam tanpa pakaian sehelai pun. Bagaimana jika ada yang melihatku? Apa yang hendak Cakra lakukan kepadaku? Saat sedang merenung itu, tiba-tiba aku sadar bahwa vaginaku sudah basah, aku menginginkan hal itu terjadi lagi padaku mengingat tadi pagi ketika bercinta dengan Mas Hendra di kamar mandi aku gagal meraih kepuasan, Mas Hendra keluar duluan seperti biasanya, aku ingin menyelesaikan birahiku yang belum tuntas ini....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment