rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Wednesday, 16 July 2014

Slutty Wife Tia 9: Hujan dan Kilat (Final)

ringkasan cerita sebelumnya- Tia mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram suaminya, menjadi lebih seksi dan binal. Mang Enjup, atasan Bram, mengetahui perubahan Tia dan mempengaruhi Tia lebih lanjut menggunakan ilmu hipnotis. Kemudian Mang Enjup mengumpankan Tia kepada Pak Walikota, dalam persaingan tender proyek besar. Bram menyadari apa yang telah dilakukan Mang Enjup, dan segera bergegas mencari Tia… ***** Jam berapa sekarang…? Di tengah himpitan dan hentakan, Shenny malah memikirkan waktu. Dia sudah lelah melawan nafsu liar kumpulan manusia buruk rupa yang menjadi tamu istimewa pesta gila Pak Walikota di kamar Hotel V. Jadi dia sudah tak peduli lagi ketika untuk kelima kalinya ada seseorang di antara mereka yang menindih dan menyetubuhinya. Yang dia pikir hanya ‘kapan semua ini akan selesai’. Mata sipitnya kini menatap kosong berkeliling ruangan. Dilihatnya pelacur impor itu, Gaby, masih saja aktif melayani orang-orang di sana. Perempuan Latino itu berlutut di depan seseorang, dan dari belakangnya Shenny melihat kepala Gaby yang berambut coklat bergelombang bergerak-gerak di depan selangkangan orang itu. Masih kuat nyepong, dia… Tapi ketika Shenny mencari dua orang lagi, Tia dan Pak Walikota, keduanya tidak ada di sana. Ke mana mereka? Dia tidak melihat mereka keluar kamar. Tadi memang Pak Walikota menarik tangan Tia dan mengajaknya ke arah belakang, lalu mereka tidak terlihat lagi. Apa Tia ada di satu kamar di belakang… Lamunan Shenny terhenti ketika gigitan dan jilatan orang yang menyetubuhinya pada payudaranya yang kecil tapi kencang membuatnya nyaris klimaks lagi. Dia benci situasi itu. Pikiran dan harga dirinya tak suka mesti melayani manusia-manusia jelek ini, tapi tubuhnya berkhianat dan mau saja diajak menikmati sensasi. “Ohh~” jerit Shenny, berusaha menahan rasa malu. Dengan segala cara dia menyangkal bahwa apa yang dialaminya sekarang itu nikmat. Dia gengsi kalau pertahanannya dibobol lagi seperti beberapa menit lalu, ketika dia orgasme sesudah disetubuhi tiga orang. Aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari sini… ***** “Makasih buat kerjanya,” kata si manajer kepada kedua teknisi yang baru melapor. “Emang kerjaan rutin sih, tapi kita tetap harus jamin sistem alarm kebakaran kita berfungsi.” “Sama-sama, bos,” kata salah seorang teknisi itu. “Jangan lupa jadwal pemeriksaannya tiap enam bulan ya.” Dua teknisi dari perusahaan alarm kebakaran meninggalkan kantor manajer pemeliharaan gedung Hotel V. Ketika menunggu lift, salah satunya nyeletuk. “Kita lupa periksa semua yang di lantai lima…” “Lho, kan udah tadi?” temannya menanggapi. “Kamu baru sekali ya ke sini? Dulu saya ikut pas pertama kali hotel ini pasang alarm. Nah, di lantai lima itu kan kamar-kamar suite-nya. Tadi emang kita masuk ke beberapa yang kosong kan. Tapi ada yang kita nggak bisa periksa karena lagi ada isinya. Di kamar-kamar di sana, ada satu yang bertingkat.” “Bertingkat? Maksudnya gimana?” “Itu kamar masuknya dari lantai lima, tapi di dalamnya ada tangga sendiri ke kamar lain di atas… di atap, lantai 6, kamar penthouse. Harusnya di sana ada sambungan alarm kebakaran dan pipa air juga. Tapi kita nggak periksa kamar itu, soalnya tadi kamar-kamar yang kita masukin nggak ada yang ada tangga ke lantai 6-nya.” “Apa sebelum pulang kita periksa penthousenya dulu? Biar tuntas kerjaan kita…” “Kita bisa sih naik ke atap lewat tangga darurat, cuma kita ga bisa masuk ke kamar itu dari luar. Mesti dari kamar induknya di lantai lima. Nah, tadi kamu lihat juga kan? Di depan pintu kamar itu ada orang. Kayaknya pengawal. Barangkali lagi ada orang penting di dalamnya. Makanya tadi kita nggak masuk ke sana.” “Ooo…” “Besok-besok lagi aja kita periksa yang di sana, kalau lagi nggak ada orang.” “Eh, Bang… Kenapa mesti ada kamar yang bentuknya aneh kayak gitu ya?” “Yah… Kayak ga ngerti aja kamu. Pemandangan di atas kan bagus, lumayan ga kehalang bangunan lain, cocok tuh buat…” “Buat apa?” “…Kamu kayak ga tau aja ini hotel apa.” “Oh.” Pintu lift terbuka dan mereka turun. Samar-samar tercium wangi parfum perempuan dalam lift. Bekas seorang perempuan yang baru naik ke lantai lima bersama adiknya. ***** Bram dan Citra melangkah keluar dari lift yang sepi. Sesudah mereka meninggalkan lift, lift itu akan turun lagi dan dimasuki dua teknisi di lantai di bawahnya. Bram celingukan melihat koridor hotel yang sepi. Lampu temaram, kertas dinding bercorak ramai, karpet yang mulai usang. Citra sebaliknya, berjalan di sana ibarat berjalan di dalam rumahnya sendiri. Dulu ketika kehidupannya lebih liar daripada sekarang, Citra mungkin bisa seminggu 3-4 kali keluar-masuk berbagai hotel, menemui laki-laki yang berbeda tiap hari. Di ujung koridor terdapat pertigaan. Citra memberi isyarat kepada Bram agar tidak buru-buru. Dia tahu ada apa di situ. Koridor tempat mereka berada berakhir di satu dinding, bertemu koridor lain yang merentang ke kanan dan kiri. “Sebelah kanan, ada tangga ke bawah. Ke sebelah kiri, di ujung koridor, ada pintu ke kamar suite. Kalau perkiraanku benar, Tia pasti ada di dalam situ.” Di ujung koridor, tepat sebelum pertigaan, Citra mengeluarkan tempat bedak yang bercermin dari dalam tasnya. Dia berdiri membelakangi dinding di sebelah kiri, membuka cermin, lalu mengintip ke arah ujung lorong sebelah kiri. Bram ikut melihat. “Kaca spion” itu menunjukkan seorang laki-laki berambut cepak berdiri di depan pintu kamar suite. “Ada yang jaga,” kata Citra. “Gimana cara kamu ngelewatin dia?” Bram memikirkan kemungkinan dia melumpuhkan si cepak. Citra bisa membaca pikiran adiknya. “Kamu yakin bisa menang berantem sama begituan? Itu bodyguard, Bram. Bisa aja kamu menang, tapi ga gampang. Lagian kamu cuma bisa datang dari depan. Nggak bisa sergap dia dari belakang.” “Terus… Gimana kita bisa singkirin dia Kak?” “Aku bisa bikin dia pergi dari sana,” kata Citra yang sekarang menggunakan cerminnya untuk mengecek penampilan. “Tapi aku ga tau gimana caranya supaya kamu bisa masuk ke sana.” Mata Bram melihat ke sekelilingnya. Kertas dinding, karpet, hiasan, langit-langit. “…bisa nggak, ya?” katanya seperti melamun sendiri. Citra senyum. “Kamu ada ide?” tanya Citra. “Nggak tau bakal mempan atau enggak,” kata Bram, wajahnya lebih cerah dari tadi. “Kalau berhasil, aku nggak perlu dobrak pintu buat ngambil Tia dari dalam sana. Tapi aku tetap perlu bantuan Kakak buat nyingkirin bodyguard itu.” ***** PENTHOUSE Pak Walikota duduk selonjor di atas tempat tidur king size, mengenakan kimono. Terdengar suara percikan air dari kamar mandi. Di depan tempat tidur terdapat jendela lebar yang gordennya dibuka, menampilkan pemandangan langit menjelang sore dan gedung-gedung bertingkat di kota. Kota-nya. Kalau hanya melihat penampilan luar, semua orang akan merasa Pak Walikota sudah mengecap hidup yang sempurna. Karier yang lancar dan terus menanjak, dari aparat menjadi pejabat, dengan kekuasaan dan kemakmuran yang makin lama makin besar. Semua laki-laki pasti mendambakan apa yang telah didapatnya. Namun di balik penampilan penuh kejayaan, selalu saja ada yang tidak sempurna. Kadang kekayaan dan kekuasaan tidak juga bisa mendatangkan kebahagiaan bagi pemiliknya. Karena acap kali kebahagiaan terletak pada hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan dua itu. Itulah yang dirasakan Pak Walikota. Meski dia boleh dikata bisa mendapat segalanya, sebenarnya ada hal-hal yang tak bisa dia dapatkan, meski dengan segala jabatan dan hartanya. Makanya dia terus terobsesi oleh sesuatu. Tia. Pesta seks antara tiga perempuan dan kumpulan orang jelek membuatnya yakin bahwa dia tak akan dikecewakan. Kini tinggal langkah terakhir. Dia tadi mengulurkan tangannya ke Tia. Dia membawa Tia menuju satu pintu di kamar suite itu. Di balik pintu terdapat tangga ke atas, menuju satu kamar khusus di lantai enam. Kamar itu adalah kamar istimewa yang tersendiri, dengan pemandangan kota dari atas. Tiada yang mengganggu. Dua perempuan lainnya, Gaby dan Shenny, biarlah melayani orang-orang suruhannya sampai mereka puas. Tia Tia tak banyak bicara, tapi terus tersenyum selagi dia dituntun Pak Walikota menaiki tangga menuju kamar lantai 6 itu. Kamarnya indah dan luas, sama seperti kamar induknya di bawah. Sesudah membukakan pintu, Pak Walikota berbalik badan dan menatap Tia. Pemandangan yang membuatnya sekali lagi menahan nafas. Ketika diajak ke atas tadi, Tia sedang telanjang bulat, dan Tia tidak mengenakan lagi pakaiannya. Dalam keadaan habis disetubuhi itu, entah kenapa, Tia tampak lebih menggairahkan bagi Pak Walikota. Rambut panjangnya sudah dia gerai. Wajah dan bentuk tubuhnya lebih mengatakan keanggunan, beda dengan keseksian Gaby dan Shenny. Sikapnya yang tenang namun berani tadi juga beda dengan Gaby yang terkesan hanya bekerja memuaskan nafsu atau Shenny yang tak rela. Pak Walikota menikmati sosok Tia di hadapannya. Tubuh Tia yang ramping tapi berisi, dengan payudara berukuran sedang dan pinggul montok, dan kaki panjang indah. Tia melihat di sana ada kamar mandi. “Ehm… Pak… Boleh saya mandi dulu?” pintanya. “Silakan,” Pak Walikota mengizinkan. Tia pun berjalan ke kamar mandi. Pak Walikota mendengar shower dinyalakan dan tirai ditarik. Dia sendiri kemudian duduk santai di atas tempat tidur. Dan selagi Tia membersihkan tubuh, Pak Walikota memejamkan mata, membayangkan betapa bergairahnya Tia tadi di bawah, dan apa yang mau dia lakukan kepada Tia… Lamunannya berhenti ketika Tia keluar dari kamar mandi, berbungkuskan handuk. “Ayo ke sini,” panggil Pak Walikota. ****** KORIDOR Bram berdiri menunggu di dekat pertigaan lorong sementara Citra menjauh dari sana, menelepon seseorang. Si bodyguard masih berdiri mematung di depan pintu yang harus dijaganya. Beberapa lama kemudian, Citra selesai menelepon dan kembali mendekati Bram. “Oke. Kamu cari tempat sembunyi dulu, jangan sampai kelihatan di sepanjang koridor ini. Kakak mau singkirin orang itu.” Citra tersenyum mantap. “Hati-hati, Kak,” pesan Bram selagi dia menjauh ke ujung koridor, pindah ke bagian yang tak terlihat dari dekat pertigaan. Mereka sudah menyusun rencana dan sekarang saatnya beraksi. Citra menyelipkan sebatang rokok ke bibirnya lalu melangkah ke pertigaan koridor. ***** “Punya korek, nggak?” Si pengawal pribadi Walikota yang sedang berdiri menjaga pintu kamar sewaan atasannya terperangah melihat seorang perempuan cantik berjalan keluar dari koridor sebelah menuju tempatnya berdiri. “Bang,” ulang Citra, “Punya korek nggak?” Kalau perempuan lemahnya dengan kata-kata, laki-laki lemahnya dengan penampilan. Si pengawal yang memang sedang bosan karena disuruh menjaga di luar jadi melongo memandangi Citra di hadapannya. Dengan rok pendek dan blus ketat serba hitam, Citra tampak menawan. Dia pasang tampang bosan sambil berkacak pinggang di depan si pengawal. “Emh,” si pengawal merogoh ke dalam kantong dan mengeluarkan korek gas, lalu menyodorkannya ke Citra. Tapi Citra tidak bergerak. “Sini dong,” panggilnya. “Nyalain,” katanya sambil memberi isyarat ke arah rokok yang terselip di bibir merahnya. Citra sangat percaya diri dengan kemampuannya menguasai laki-laki. Pegang nafsunya, dan laki-laki paling kaya, paling pintar, paling perkasa pun takluk. Dia menunggu pesonanya bekerja. Benar, si pengawal menurut. Pemuda tegap itu maju mendekati Citra dan menyalakan korek api untuk menyulut rokok Citra. “Makasih,” kata Citra sambil mulai mengisap rokok. “Eh… lagi bosen yah?” “Hehe, iya,” celetuk si pengawal. “Mau bantuin aku gak?” celetuk Citra. “Bantu apa nih?” kata si pengawal. Si pengawal jadi bersender di dinding di sebelah Citra. “Barusan abis dibooking ama om-om nih aku,” kata Citra, “Nggak sampai lima menit dia udah crot, lagian itunya kecil banget cuma segede jempol. Cuma, dia jago ngegini giniin,”—sambil Citra menjulurkan lidahnya, menjilat-jilat udara di depan mulutnya—“bisa sampai aku nyaris keluar, tapi terus dia malah pengennya ngentot aja.” “Terus?” tanya si pengawal. “Kentang nih,” kata Citra. “Bisa bikin aku keluar gak?” Si pengawal bengong disodori tawaran seperti itu. “Itu om-om udah pulang, nggak bisa bangun lagi burungnya. Tapi kamar bekas aku sama dia masih bisa dipakai. Mau nggak? Di sebelah sana… Sebentar aja deh.” “Euhm… Beneran nih?” si pengawal tak percaya. “Iyalah… Kenapa? Ga doyan cewek ya?” goda Citra. “Hahaha… Siapa takut?” kata si pengawal. Citra mendekat lalu merangkul pinggang si pengawal. “Badan kamu gede…” puji Citra. “Itunya gede juga nggak?” Sambil tangan Citra nakal menyentuh permukaan celana bagian selangkangan. Si pengawal mulai merasa panas dingin menghadapi godaan Citra. Tugasnya untuk menjaga pintu mulai terlupakan. “Ohhh…” desah Citra. “Ayo… ke kamar yuk?” “Eng, tapi…” “Ayoooo~” pinta Citra dengan manja. Dia menarik lengan si pengawal. Awalnya lengan kokoh itu tak bergerak. Namun digerayangi terus oleh Citra, luluh juga pertahanannya. Dia mulai melangkah mengikuti Citra. Citra tadi menelepon pegawai hotel kenalannya. Minta disediakan kamar kosong; yang belum dibereskan juga tidak apa-apa. Mengingat kamar-kamar hotel itu lebih sering dipakai short time, kamar dengan keadaan seperti yang dimintanya kebetulan tersedia. Di lantai yang berbeda memang. Tapi si pengawal itu mau saja diajak Citra meninggalkan posisinya. Keduanya berjalan menyusur koridor menuju tangga ke bawah. Di depan tangga, Citra berbalik, berjinjit supaya bisa menjangkau ke atas, dan memberi french kiss kepada si pengawal. ***** Sepuluh menit lebih Bram menunggu di ujung koridor yang jauh dari pintu kamar Pak Walikota. Dia bertanya-tanya, apa kakaknya sudah berhasil menyingkirkan si pengawal? Bram merasa waktunya sudah cukup lama, dan dia berjalan mendekat ke pertigaan. Sepi. Tidak ada suara. Tidak ada orang? Bram memberanikan diri untuk melongok ke arah pintu kamar Pak Walikota. Kosong! Citra sudah berhasil menyingkirkan si pengawal. Artinya kakaknya itu berhasil merayu si pengawal untuk pergi ke— Bram menghentikan pikirannya di situ, tidak mau membayangkan kakaknya mau apa dengan si pengawal. Bram kemudian mendekat ke pintu itu. Sampai merapat ke pintu. Dicobanya mendorong pintu. Tidak bergerak. Dilihatnya ke arah gagang pintu. Di sebelah gagang pintu ada slot kartu. Terkunci dengan kartu. Bram ganti memperhatikan lantai. Tidak terlihat apa-apa di karpet di depan pintu. Tidak ada barang jatuh. Tidak ada kartu kunci. Andai rencana mereka itu melibatkan mencopet kunci dari si pengawal, Citra jelas tidak berhasil melakukannya. Pintu itu terlihat kokoh. Dobrak? Tapi memang bukan itu rencananya sejak awal. Tentu saja pintu itu akan terkunci. Dan apakah membukanya, dengan kunci ataupun dengan paksa, itu strategi terbaik? Bram memandangi seluruh bagian pintu, lalu mundur dan memperhatikan sekeliling. Kiri, kanan. Atas, bawah. Lantai, dinding, pintu. Bram meraba suatu barang dalam kantongnya. Barang yang tadi dia ambil dari tangan kakaknya. Karena perlindungan yang bisa diberikan seorang laki-laki kepada kekasihnya tidak mesti dengan kekuatan belaka… ***** PENTHOUSE Pak Walikota menahan nafas ketika Tia berjalan mendekat. Langkah-langkahnya seperti macan lapar mengintai mangsa. Seksi dan menggoda. Tatap mata Tia membangkitkan nafsu badani Pak Walikota yang mulai tak tertahan. Ketika sudah dekat dengan tempat tidur, Tia berhenti. Sambil melempar senyum nakal dia berbalik, menggoyang tubuh, lalu membuka balutan handuk yang menutup tubuhnya. Dia membuka dadanya membelakangi Pak Walikota. Sambil menengok ke belakang, matanya mengerling genit. Tapi lantas handuk itu dia naikkan lagi kembali menutup dadanya. Kemudian dia berbalik, dan mengelus pahanya di tepi bawah handuk. Sambil mengelus, terangkat sedikitlah handuk itu. Tia menggigit bibir, lalu kembali membelakangi Pak Walikota. Handuk dilepas lagi, turun memperlihatkan punggung, lalu ditarik sampai menutupi bahu; kali ini bagian bawah-lah yang terbuka, pantat dan pinggul Tia. Tia berbalik lagi, handuknya turun lagi menutupi dada, tapi kali ini tangannya menurunkan handuk sambil menutupi payudara kanan. Tangan Tia kemudian meremas lembut dan mengusap-usap payudara kanannya; gundukan daging yang cantik itu bergerak berputar lambat mengikuti gerak tangan Tia. Kembali lagi Tia menutup dadanya dengan handuk. Tanpa berkata apa-apa Pak Walikota menikmati pertunjukan striptease Tia di depannya. Benar-benar “strip” & “tease”. Menelanjangi sambil menggoda. Sesudah membungkus lagi tubuhnya dengan handuk, Tia kemudian menahan handuk di depan dada dengan lengan tapi melepas sisanya, sehingga handuk itu menggantung menutupi dada ke bawah, tapi tubuh belakang dan sampingnya tak tertutupi. Tia lalu sengaja memutar tubuh ke samping sehingga Pak Walikota bisa melihat sekujur sisi tubuhnya yang sedang tak tertutup handuk. Terakhir, Tia pelan-pelan membiarkan handuk itu merosot ke lantai sehingga dirinya pun bugil seluruhnya di hadapan Pak Walikota. Pak Walikota bergeser mendekati Tia, sehingga posisinya berubah jadi duduk di pinggir tempat tidur. Dia menjulurkan kedua tangan ke depan dan mencengkeram pinggang Tia. Tia berbalik, menungging membokongi Pak Walikota, memamerkan pantatnya yang bahenol, meremas-remas kedua belahannya. Tia masuk ke dalam peran dengan sungguh-sungguh, bertindak seperti seorang pelacur betulan, mengumbar tubuhnya untuk mendapatkan perhatian penuh nafsu laki-laki. Dapat dilihat Pak Walikota mulai panas melihat pertunjukan cabul yang disajikan Tia. Matanya terpaku pada tubuh Tia, menatap lapar! Dia tampak siap menerkam Tia dan melampiaskan gairahnya. Namun seolah masih ada sesuatu yang membuat Pak Walikota masih menahan diri… Tia berbalik badan dan menggenggam kerah kimono yang dipakai Pak Walikota. Wajah laki-laki paro baya itu berubah khawatir. Tapi Tia tak mempedulikannya selagi dia pelan-pelan membuka kimono itu. Ketika tubuh atas Pak Walikota terbuka, Tia terhenyak kaget. Ini rupanya yang membuat Pak Walikota ragu. Tubuhnya besar dan atletis. Gagah, karena masa lalunya sebagai perwira. Namun tubuh Pak Walikota ternyata penuh bekas luka menjijikkan. Bertahun-tahun lalu, ketika masih berpangkat rendah dan bertugas di daerah konflik, Pak Walikota mengalami musibah. Dia ikut dalam konvoi kendaraan yang disergap kelompok perlawanan. Truk yang ditumpanginya terkena tembakan dan meledak. Dia masih lebih beruntung daripada kawan-kawan sekesatuannya yang tewas atau cacat karena ledakan truk itu, tapi dia mengalami luka bakar parah di sebagian besar tubuh. Bola api ledakan membakar tubuhnya dan dia terlempar keluar truk dalam keadaan membara, menjerit kesakitan. Dia diselamatkan kawan-kawannya dan segera diangkut untuk dirawat, tapi sesudahnya dia hidup dengan tubuh rusak. Itulah yang sedang Tia saksikan sesudah dia membuka kimono Pak Walikota. Tubuh tegap itu penuh bekas luka dan pertumbuhan kulit yang tak teratur, yang sebagian besar ada di sisi kanan tempat dulu ledakan menyambarnya. Kulit tubuhnya berbercak tak teratur, putih, coklat gelap. Puting kanannya sudah tak ada, mungkin rusak dan diangkat. Di sana-sini terlihat benjolan parut bekas luka. Sungguh mengerikan dan siapapun yang melihatnya bakal membayangkan kejadian macam apa yang bisa merusak tubuh orang sampai jadi seperti itu. “Kamu… takut?” Pak Walikota menghela nafas, suaranya terdengar pasrah. “Jijik?” Tia tidak menjawab, malah dia mengelus salah satu benjolan bekas luka. “Sakitkah… Pak?” tanya-nya dengan nada lembut. “Nggak… Aku udah biasa…” kata Pak Walikota. “Tapi… Tolong jawab pertanyaanku, Tia.” Tubuh yang rusak itu terus-menerus membuat kehidupan Pak Walikota tak sempurna. Pertama, sejak tubuhnya jadi penuh bekas luka mengerikan, istrinya tak lagi mau tidur dengannya. Hubungan suami-istri mereka jadi mendingin dan sebatas hubungan formal, mereka tetap tampil sebagai suami-istri di depan umum namun inti hubungan itu telah hilang dengan enggannya sang istri bersetubuh dengan suaminya. Pada akhirnya sang istri tak dapat menerima kenyataan bahwa tubuh suaminya telah rusak, dan hilanglah keintiman di antara mereka, yang tersisa hanyalah status suami-istri yang kosong. Kehilangan kasih sayang, perwira muda dengan tubuh rusak itu berusaha keras membangun karier dan reputasinya sehingga pangkatnya naik dengan cepat dan jabatannya makin tinggi hingga akhirnya dia berhasil meraih kedudukan Walikota. Semakin dia kaya dan berkuasa, mulailah dia berusaha mencari lagi kenikmatan yang tak didapatnya dari istrinya. Tidak susah baginya mendapatkan perempuan. Tapi… kekecewaan yang didapatnya. Dia bisa membayar perempuan mana saja, tapi dia tak bisa menghilangkan rasa jijik mereka ketika melayaninya. Dan dia tak suka ketika itu terjadi. Itulah alasannya dia mengadakan acara tadi. Pak Walikota tahu, selain uang suap, para pengusaha yang mengincar proyek pemerintah bakal menyodorkan perempuan juga. Dia tidak mau menikmati suguhan mereka begitu saja. Baginya sebagai pejabat tinggi, mendapatkan perempuan cantik sekelas Gaby dan Shenny itu mudah. Tapi itu tidak membuatnya senang. Untuk apa membawa perempuan cantik ke ranjang lalu ketika disetubuhi dia memalingkan muka, memejamkan mata, atau pasang tampang tak suka? Makanya dia menyiapkan sekelompok orang jelek untuk menguji perempuan-perempuan yang disodorkan kepadanya. Dia ingin tahu apakah Gaby, Shenny, dan Tia sama saja dengan yang lain. Dan Pak Walikota juga telah terobsesi dengan Tia, sebagaimana sudah diceritakan. Karena itulah dia lega Tia lulus dari ujian harus melayani orang-orang jelek tadi. Dan sekarang dia sedang meminta kepastian lagi dari Tia. “Apa kamu jijik sama badanku, Tia…?” Tia tersenyum dan mengelus dada Pak Walikota. “Enggak, Pak…” jawab Tia. Pak Walikota tidak tahu, tapi pikiran Tia yang telah dibentuk oleh Mang Enjup dan Dr. Loren membuat Tia tidak jijik dan ngeri terhadap apapun. “Rata-rata perempuan jijik sama badanku…” Pak Walikota curhat. “Bapak tenang aja…” hibur Tia. Kata-kata itu Tia sambung dengan ciuman hangat ke bibir Pak Walikota. Di tengah pergumulan bibir, Tia meraih tangan Pak Walikota dan menyentuhkan tangan itu ke payudaranya. Tangan Tia yang satunya lagi mengelus paha Pak Walikota, ke arah pangkal menuju selangkangannya yang masih bercelana dalam. Tangan itu mengusap-usap kejantanan yang menegang di balik sana. Pak Walikota serasa berada di surga, dan seorang bidadari cantik telah ditugaskan untuk melayaninya… Tia mengeluarkan batang yang tegak itu dari bungkusnya, dan terus mengelus-elusnya. Sekalian dia melepaskan celana dalam Pak Walikota hingga mereka pun bugil berdua. Untungnya kemaluan Pak Walikota luput dari musibah yang menimpa tubuhnya dulu, tidak ada bekas luka apapun… Barang yang tegak kencang itu cukup besar, berwarna gelap. Tia menghentikan ciumannya. Dia berubah posisi badan dari berdiri ke berjongkok di depan Pak Walikota yang duduk. Muka Tia mendekat ke selangkangan Pak Walikota. Tia mencekal pangkal batang kejantanan Pak Walikota, dan menggoyang-goyangkannya. Dengan penuh rasa sayang Tia lalu mengusap-usapkan ereksi hangat itu ke pipinya. Pak Walikota mengerang nikmat. Tia bahkan menampar-namparkan batang Pak Walikota ke pipi dan bibirnya. “Ahhh… Paak… Gede yaa…” kata Tia menggoda. Tia menjulurkan lidahnya selagi menampar-namparkan penis itu ke bibirnya sehingga beberapa kali lidahnya menyentuh batang itu. Matanya merem melek, melirik seksi ke arah Pak Walikota, seolah sedang membayangkan bagaimana rasanya menikmati kelelakian Pak Walikota. Kemudian Tia berlutut di depan Pak Walikota, menaikkan tubuhnya sehingga kedua payudaranya mendekat ke penis tegak Pak Walikota. Kemudian dia sorongkan kedua payudaranya mendesak ereksi Pak Walikota. Ujung penis mencuat di atas belahan dadanya, dan disambut bibir lembut Tia. Dengan penuh semangat Tia menjulurkan lidahnya, berputar-putar mengusap kepala penis itu, sebagaimana dia tahu disukai banyak laki-laki. Kemudian penis panjang itu terbenam di himpitan dua gunung kembar yang digerakkan ke atas oleh pemiliknya. Tubuh Pak Walikota mulai bergoyang, menyetubuhi buah dada Tia. Nafasnya makin cepat dan kasar; tidak akan lama lagi… “Ayo keluarin Pak,” dan Tia mencucup kepala penis itu lagi. “Mau keluarin di mulutku apa dadaku…?” selagi kejantanannya merasakan jepitan dada Tia. Pak Walikota cuma bisa pasrah menghadapi godaan Tia. Tak tahan lagi… “Ungh… !!??” Ejakulasinya ditahan! Ketika mau menyembur, tiba-tiba Tia memencet dan meremas kepala burung Pak Walikota. Meski kemaluannya berdenyut hendak menyembur, semburannya tertahan karena jalan keluarnya ditutup. Pak Walikota mengerang frustrasi. “Jangan dulu ya…” kata Tia dengan nada nakal. Kemudian dia meminta Pak Walikota berdiri dengan punggung menempel di dinding. Serbuan sensual berikutnya pun dilancarkan. Tia berdiri membelakangi Pak Walikota, merapat, lalu membungkuk sambil menonjolkan pantatnya ke belakang. Belahan pantatnya menyentuh kelelakian Pak Walikota. Sepasang daging pantat yang mulus empuk itu mengelus bawah perut Pak Walikota. Naik turun menyusuri panjang batang. Kadang bergeol ke kanan dan kiri. Kadang mundur mendesak. Sementara yang empunya pantat meremas-remas sendiri kedua sisi luar pantatnya sambil mendesah-desah bergairah. “Aahnn… Enak nggak Pak? Enak nggak geolan pantat Tia?” Tia mencumbu dengan kata-kata saru, cukup mengejutkan Pak Walikota yang tak mengira kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut perempuan baik-baik. Tia kemudian meraih ke belakang dan mengubah posisi kejantanan Pak Walikota. Yang tadinya tegak dan di atas pantat kini dipindah mengacung ke depan bawah dan dijepit di antara kedua paha dan kewanitaan Tia. Pak Walikota menahan nafas. “Pak… Gerakin maju mundur ya?” pinta Tia. Sesuai permintaan, Pak Walikota mulai bergerak, kemaluannya tercengkeram “paramek” (paha rasa memek), ujung burungnya mencuat-cuat di depan bawah perut Tia. Laki-laki paro baya itu menggumam senang. Rasanya seperti bermasturbasi, hanya dengan bantuan paha, bukan jari. Kemudian Pak Walikota menyadari bahwa Tia menikmatinya juga, karena penisnya bergesekan dengan bibir vagina Tia, dan bibir itu terasa mulai basah dan licin. Bahkan bisa terasa cengkeraman paha Tia makin becek, karena kemaluan Tia mengeluarkan cairan. Tanpa malu-malu Tia mengerang nikmat, dan Pak Walikota mulai menambah kecepatan gerak. Tangan Pak Walikota yang tadinya nganggur bergerak ke atas, awalnya ragu mau menyentuh Tia atau tidak. Lalu kemudian dia putuskan itu tidak apa-apa, dan dia meletakkan kedua tangannya di atas pantat Tia, dengan jari terentang yang kemudian mencengkeram kedua buah pantat Tia. Dia menghela nafas, melihat bagaimana Tia menggeliat dan gemetar kesenangan selagi pahanya disetubuhi. Apalagi tangan Tia juga ikut bermain, mengusap-usap bagian bawah penis Pak Walikota yang maju-mundur. “Mmmmh, enak Paakh,” erang Tia lembut. “Ah. Mau keluar…” kata Pak Walikota. Mendengar itu, Tia malah makin gencar memasturbasi Pak Walikota, dan air mani Pak Walikota pun tiba-tiba menyemprot. “Ah, aahhh…!” Pak Walikota menyodokkan pinggulnya ke depan, menuju jepitan paha Tia. Semprotannya mendarat di tangan Tia yang memang sengaja menghadang di depan lubang. Tia menjepit-jepitkan pahanya memompa semburan demi semburan yang kemudian dia tadah dengan tangan. Perempuan muda itu tampak menggeliat lembut selagi Pak Walikota mendapatkan orgasme. “Ih kental…” komentar Tia selagi setetes mani merambat jatuh dari tangannya. Dia berbalik lalu menjilati cairan kental yang ditampung di tangannya itu sampai bersih. Lalu dia tersenyum dan menjilat bibir seolah-olah habis mencicip sesuatu yang amat nikmat. Tapi Tia belum puas. Dia kembali menggarap kejantanan Pak Walikota, agar batang itu kembali tegak dan siap beraksi. ***** LANTAI 4 “jemput tia. gausah pikirin kakak, kakak bs pulang sendiri” Citra sempat mengirim SMS itu sebelum dia membuka pintu kamar kosong yang sudah disediakan untuknya. Beda dengan kamar-kamar suite di lantai lima, kamar-kamar di lantai empat lebih kecil dan sederhana, karena sebagian besar penggunanya hanya berada 3 jam di sana. Sesudah memilih perempuan di bawah, para hidung belang yang ingin memuaskan nafsunya biasa menuju ke kamar-kamar ini yang tersedia lumayan banyak di Hotel V. Selain perlengkapan kamar hotel biasa seperti tempat tidur, lemari, dan TV, di kamar-kamar itu terdapat cermin di dinding dan langit-langit. Kamar mandinya bukan berupa kamar sendiri, melainkan kotak 1x2 meter berdinding bening dengan shower. Dia langsung mengajak duduk si pengawal di tempat tidur dan menanyakan nama. “Afri,” kata si pengawal malu-malu. Citra mengaku bernama “Fenti” kepada Afri, lalu bergeser duduk merapat ke Afri. Dilihatnya Afri tegang dan tidak santai—karena merasa meninggalkan tugas, jadi Citra merayu-rayu si pengawal agar makin terlena. Kata-kata manis tidak perlu banyak. Citra menyambung dengan kecupan ke pipi. “Kok diem aja… Kamu suka aku nggak?” tanya Citra dengan nada manja. “Eh, iya, suka Fen…” Mulai terlihat bahwa Afri sedang mempelajari kecantikan Citra. Dalam kamar yang temaram itu, wajah Citra tampak bercahaya. Tak salah tadi dia repot-repot bedakan dulu di mobil Bram. Bra-nya membuat dadanya kelihatan lebih membusung, dan Afri juga terlihat melirik ke sana. Dasar laki-laki, Citra membatin. Walaupun diam saja tapi sebenarnya melirik juga, dan pasti ketahuan kalau sedang lihat-lihat. “Cium dong,” tantang Citra. Sepasang bibir merah yang manis menyediakan diri di depan Afri. Pengawal itu ragu, masih tak percaya ada perempuan menyodorkan diri seperti itu kepadanya. Ditambah lagi Citra menggenggam tangannya, lalu lanjut mengelus lengannya. Afri merinding merasakan halusnya tangan Citra. Citra lalu menarik tangan Afri ke balik roknya, agar si pengawal bisa mengelus pahanya. Dan selagi membimbing tangan Afri ke arah pangkal paha, Citra mencondongkan badan ke depan dan mencium bibir Afri. Afri masih bujangan, dan sedang tak punya pacar. French kiss dari Citra mengejutkannya. Ketika lidah Citra membuka bibirnya dan bergulat dengan lidahnya, si pengawal menahan nafas. Selesai menjelajahi rongga mulut Afri, Citra melepas ciumannya dan ganti menjilati leher Afri. Lalu balik lagi ke mulut, satu lagi french kiss dan mengulum lidah Afri. Citra merasakan nafas si pengawal jadi memburu, lalu menjulurkan tangannya ke bagian selangkangan celana Afri. Tangan satunya lagi dengan gemas meremas kepala Afri yang berambut cepak. Tahu-tahu saja posisi Citra sudah menunggangi selangkangan Afri, kepalanya berada sedikit di atas kepala si pengawal. Citra merasakan kedua tangan Afri menjamah pantatnya. Bagus. Si pengawal mulai berani. Dan itu wajar. Seharian dia bertugas mengawal tiga perempuan cantik, lalu tadi di dalam dia sempat menonton pesta seks ketiganya melawan kumpulan orang jelek. Anunya protes minta ikutan, tapi dia tak berani ikut kalau tidak diperintahkan bosnya, Pak Walikota. Bahkan tadi dia sempat mencegah Shenny kabur. Karena tidak tahan, dia pindah berjaga di luar. Tapi di luar dia malah bertemu perempuan ini, “Fenti”… “Aku buka ya?” kata Citra. Tanpa menunggu jawaban Afri, Citra membuka satu demi satu kancing kemeja safari yang dipakai si pengawal, lalu langsung melepas kemeja itu. Dilihatnya tubuh Afri yang gempal seperti petinju. Citra tersenyum; pemuda bertubuh gempal itu ternyata sifatnya malu-malu. Lalu Citra kembali mencium bibir Afri sambil mengelus-elus bahu dan wajah Afri. Citra membantu Afri melepas kaos dalam lalu dia teruskan menggodai pemuda itu dengan menjilati putingnya. Sekalian, Citra membuka resleting celana Afri dan membebaskan kejantanan Afri dari dalam bungkusnya. “Udah keras nih,” kata Citra sambil mengocok-ngocok batang kejantanan Afri. Bentuknya pendek tapi berdiameter lumayan. Citra melepas Afri dan merebahkan diri di tempat tidur. Dia melipat lututnya dan menjangkau ke bawah, langsung mencopot rok dan celana dalam. Dipanggilnya Afri supaya mendekat. Si pengawal sudah melepas semua bajunya juga dan sekarang berlutut di hadapan Citra, penisnya yang tegang menunjuk ke arah kewanitaan Citra yang sudah menunggu. Citra meraih tasnya dan merogoh ke dalam, lalu mengeluarkan sebungkus kondom. “Pakai dulu ya?” kata Citra. Dengan cekatan Citra merobek bungkus kondom dan memasangkannya ke penis Afri. Lalu dia menggeser bagian bawah tubuhnya, meraih batang yang sudah diberi pengaman itu, dan memasukkannya ke dalam kewanitaannya. “Ayo goyang,” perintah Citra. “Entot aku Fri…” Afri memang bujangan, tapi dia sudah tidak perjaka, gara-gara pernah diajak jajan oleh teman-temannya ke lokalisasi beberapa kali. Jadi dia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dia langsung bergerak maju-mundur menikmati gratisan dari “Fenti”. “Ah… ah… ahah enakh!” Citra ber-acting sebagaimana layaknya seorang pelacur pemuas nafsu, kedua lengannya meraih ke atas dan kedua tangannya mencengkeram bantal, kepalanya menengadah dan berpaling, bibirnya mengerang-erang keenakan. “Ah… hah… ah jangan… ah enak…!!” Meskipun tak begitu terangsang, vagina Citra menjepit penis Afri. “Ayohh… Lagii… lagi… terus…” Citra menjerit-jerit seolah bernafsu, sambil tangannya meremasi buah dadanya yang masih terbungkus baju. Pinggulnya bergerak mendesakkan seluruh bagian kejantanan Afri ke dalam vagina. Afri juga mulai berani, tangannya mulai menjamah bagian-bagian lain tubuh Citra. Apalagi Citra sengaja “berisik” demi memancing nafsu Afri agar makin bergejolak. “Enak banget… terus sayang… aku suka sayang…” dengan kata-kata seperti itu, Citra memacu ego kelelakian Afri. Sebagai wanita penggoda berpengalaman, Citra tahu bagaimana membuat laki-laki lawan mainnya merasa “perkasa”. Citra lalu berganti posisi, dia menyuruh Afri rebahan sementara dia bergerak mengangkangi selangkangan Afri sambil menghadap wajah Afri, posisi woman on top. Dia menggenggam penis Afri yang masih tegak dan mengarahkan lagi ke rekahan kewanitaannya. Sambil tersenyum seksi Citra mulai menunggangi bawah perut Afri. Sekalian dia membuka kaos ketatnya. Afri langsung menyambut, kedua tangannya menjamah kedua payudara Citra bersamaan, menekan-nekan puting Citra. Citra tampak kegelian dan kedua lengannya bergerak seolah mengusir tangan Afri. “Ah… janganh… geli… pentilku gelii… Nanti aku cepet keluarh…” Citra akhirnya menjauhkan tangan-tangan Afri dari payudaranya. Dia kegelian betulan, dan terangsang, ada titik sensitif di payudaranya. Sekalian dia mengubah posisi kaki, dari tadinya berlutut seperti menunggangi sekarang menjadi berjongkok mengangkang untuk mengubah posisi tusukan di kemaluannya. Kedua tangan Afri digenggamnya dan dia mengubah gerakan jadi naik-turun. Tapi akhirnya Citra melepas tangan Afri dan keasyikan ajrut-ajrutan di atas Afri. Bunyi “cpok-cpok-cpok” kulit bertemu kulit terdengar tiap kali pantat Citra menghantam perut Afri. Bosan dengan posisi itu, Citra lalu berhenti dan memutar tubuh sehingga membelakangi Afri, posisi reverse cowgirl, tanpa mencabut tusukan kejantanan Afri. Dia langsung beraksi, pantatnya mengulek selangkangan Afri, nafasnya terengah memburu. Afri menikmati pemandangan punggung dan pantat mulus Citra menggelinjang di depannya. Citra berhenti lagi, lalu mengangkat pinggulnya sehingga kemaluan Afri keluar dari dalam tubuhnya. Dia mengubah posisi dengan canggung karena masih mengenakan sepatu hak tinggi—dia tahu banyak laki-laki suka dia tetap memakai sepatu hak tinggi ketika bersetubuh—berbalik kemudian merayap ke arah wajah Afri. “Aku mau dientot dari belakang… dogy… ayo,” pinta Citra. Afri langsung bergerak, berposisi berlutut di belakang Citra yang menungging, dan tanpa banyak basa-basi menyetubuhi perempuan cantik yang baru dia kenal itu dari belakang. Afri kembali melihat wajah mesum Citra yang pasang ekspresi keenakan, menoleh ke belakang seolah ingin melihat bagaimana penis Afri menggempur liang kenikmatan. Tubuh Citra terguncang-guncang dihantam serangan demi serangan. Jeritan-jeritannya pun makin seru. Lama-lama posisi doggy style berubah karena Citra tergolek ke sisi kiri. Paha kanan Citra menyelip di bawah selangkangan Afri sementara pergelangan kaki kirinya digenggam Afri. “Hah… ah… ah mau keluar…!” seru Afri di tengah dengusan nafasnya. Citra juga berpura-pura mau orgasme, melengking-lengking tak karuan seolah sampai ke puncak kenikmatan. Lalu Citra merasa goyangan Afri berhenti dan Afri menancapkan dalam-dalam penisnya. Mendengar suara erangan Afri, Citra tahu si pengawal itu sedang berejakulasi, maka dia pun menjerit pura-pura klimaks. Pinggulnya dia gerakkan memutar, memeras batang yang berejakulasi di dalam vagina. Afri mundur mencabut barangnya. Citra memutar tubuh, berbalik jadi menghadap Afri, lalu meraih ke kemaluan Afri untuk mencabut kondom yang penuh. “Hmm~! Pejunya banyak yaa…” kata Citra sambil nyengir, menggoyang-goyang kantong lateks berisi cairan putih yang barusan dilepasnya dari kejantanan Afri. Dengan profesional dia mengikat ujung kondom sehingga isinya tak bisa keluar. Dilihatnya Afri yang masih kelihatan fit. Mungkin Bram masih perlu waktu, pikir Citra. “Masih ada sisanya nggak?” tantang Citra sambil menjilat bibir. Afri nyengir. ***** KORIDOR Bram membaca SMS dari kakaknya barusan, yang memesankan supaya dia fokus ke Tia. Dia menyimpan lagi HP-nya di dalam dompet di ikat pinggangnya. Lalu Bram melihat ke langit-langit koridor. Pertama-tama Bram memastikan tidak ada kamera CCTV di langit-langit. Artinya, apapun yang mau dia lakukan, tidak ada yang bakal merekamnya. Kedua, dia mencari satu lagi benda di langit-langit. Ketemu! Di langit-langit, kira-kira setengah jalan dari pintu kamar suite ke pertigaan koridor, Bram melihat sprinkler, keran air darurat untuk pemadam kebakaran. Dia berusaha menjangkau sprinkler itu tapi letaknya cukup tinggi. Bram lantas menyeret satu pot tanaman yang besar ke sana. Setelah sekali lagi memastikan tidak ada orang berkeliaran di koridor, Bram berdiri di atas pot besar itu dan merogoh ke dalam kantong. Tadi di dalam lift dia mengambil korek api gas milik Citra. Korek itu sekarang menjadi bagian rencananya. Bram menyalakan korek gas dan menggunakan apinya untuk memanaskan sprinkler. ***** PENTHOUSE Tangan lembut Tia mendatangkan kehidupan. Kejantanan Pak Walikota tidak dibiarkan lemas begitu saja sesudah tadi ejakulasi. Beberapa kali kocokan sudah cukup untuk membangunkannya lagi. Tia merasakan hangat batang itu, terbakar panas gairah pemiliknya untuk mencicip kenikmatan terlarang. Pak Walikota berbaring telentang di tempat tidur. Tia berjongkok mengangkang di atas selangkangannya. Tia membukakan pintu kewanitaannya bagi penis Pak Walikota selagi dia merendahkan jongkoknya… “HHAA… GHNN!!” Tubuh cantik Tia tiba-tiba gemetar dan ambruk menindih dada Pak Walikota, tepat ketika kejantanan Pak Walikota terhunjam seluruhnya menembus vaginanya. Pak Walikota bingung dan segera menggenggam Tia. “Tia… Tia? Ada apa?” “Ahh… Pakk… T-Tia keluarr…” rintih Tia. Pak Walikota tersenyum kecil. Terbersit sedikit rasa bangga karena merasa bisa membuat Tia orgasme. Padahal sebenarnya Tia memang sudah terangsang berat sejak tadi melayani orang-orang jelek di bawah, dan klimaksnya ibarat tinggal menunggu kena “satu sentilan” lagi. “Nggak apa-apa… Bapak terusin ya? Entot Tia…” dengan wajah memerah sesudah terlanda orgasme, Tia mengatakan itu. Tentu saja Pak Walikota tak menolak. Dia akhirnya mendapat juga apa yang diidam-idamkannya, bersanggama dengan Tia. Dengan lembut Pak Walikota mulai bergerak, makin lama makin kencang mengguncang Tia di atasnya. Tia yang masih lemah pasca-orgasme pasrah, menerima dirinya dijadikan pelampiasan nafsu Pak Walikota. Wajahnya bersandar di atas dada Pak Walikota yang penuh bekas luka, namun tak ada sedikitpun rasa jijik. Itulah yang membuat Pak Walikota makin antusias. Makin tinggi kedudukan seseorang dan makin terpenuhi kebutuhannya, biasanya impiannya makin tinggi dan sukar. Dalam hal Pak Walikota, impiannya adalah kembali menikmati pelampiasan nafsu badani bersama perempuan yang mau menerimanya tanpa jijik karena tubuhnya yang rusak. Lebih spesifik lagi, dengan Tia, perempuan muda yang sebenarnya bersuami namun telah menjadi obsesinya selama beberapa tahun. Dan tiada yang mengalahkan puasnya merasakan impian yang kesampaian. “Emh, mmmmh…” Tia menengadah dan mencium Pak Walikota. Pak Walikota membalas ciuman itu dengan lembut, tangannya mengelus rambut Tia. Iri. Pak Walikota iri sekali dengan Bram. Anak muda itu mendapat istri yang dari luar terlihat begitu cantik dan anggun, dan dalamnya ternyata binal dan seksi. Tia sendiri sedang tak ingat dengan Bram suaminya. Dia sedang mematuhi pemrograman bejat yang terpasang. Semua perubahan yang terjadi—makeover dari Citra, sugesti dari Mang Enjup dan Dr Loren—dia sudah tak tahu lagi apa alasannya. Memang awalnya dia berubah demi memuaskan selera Bram. Dan itu berhasil, Bram kelihatan lebih menyukai penampilan dan pembawaannya yang baru. Tapi Tia belum juga menyadari bahwa ada pihak yang memanfaatkan kecenderungan barunya demi kepentingan sendiri. Sugesti Mang Enjup membuatnya terobsesi memuaskan nafsu laki-laki. Semua laki-laki, bukan hanya yang paling berhak yakni Bram. Dan Dr Loren memperkuat sugesti itu dengan menghapus trauma-nya. Tia yang seharusnya menjadi seorang istri setia dijerumuskan. Mang Enjup melacurkannya kepada Pak Walikota. Dan Tia tidak menolak itu. Dia seorang istri, namun sudah menjadi tak ubahnya seorang pelacur juga… ***** KAMAR SUITE LT. 5 Stamina orang-orang yang ada di sana seolah tidak ada habisnya. Gaby sedang menyepong entah penis keberapa sambil berposisi menungging dan di belakangnya ada yang menyetubuhinya. Rambut perempuan Latino itu sudah kusut, tubuhnya mandi keringat, dan kemaluannya mulai terasa panas. Dia sudah pernah terlibat pesta seks, tapi jarang-jarang durasinya bisa selama itu. Entahlah. Apa mungkin karena yang terlibat ini orang-orang yang dalam keadaan normal sulit mendapat perempuan, sehingga mereka memanfaatkan kesempatan langka sebaik-baiknya? Dari tadi dia menunggu kapan orang-orang itu puas semua. Tapi mereka terus kembali dan kembali. Bergantian, melahap dia dan melahap perempuan sipit itu. Sementara Tia dan Pak Walikota sudah tidak di sana. “Aa… ahhh…” terdengar rintih lemah Shenny yang dipaksa orgasme lagi. Gaby kasihan mendengarnya. Shenny sudah hampir pingsan tapi orang-orang itu tak ada yang peduli. Ditambah lagi, karena tadi Shenny bersikap angkuh, mereka lebih gemas dan kasar menyetubuhinya. Wajah putih Shenny belepotan sperma; tadi ada yang berejakulasi di sana. Shenny sendiri sudah tidak bisa protes, apalagi melawan. Dia tergolek seperti boneka yang ditinggal pemiliknya. Itulah dia sekarang: boneka cantik yang tak berdaya, mainan laki-laki. Ditelanjangi, digagahi, dihujani mani. Tidak adakah yang bisa menghentikannya? Yang bisa menarik mereka keluar dari lingkaran keji itu? ***** KORIDOR Di sprinkler pemadam kebakaran, ada sumbat pemicu berupa tabung kaca yang menghalangi bukaan pipa air. Tabung kaca itu dirancang agar pecah apabila mencapai suhu tertentu—yang menandakan di dekatnya ada api. Api di ujung korek gas yang disodorkan Bram sudah hampir sepuluh menit membakar tabung kaca di sprinkler depan pintu kamar suite… PYARR! BYUUUURRR… Bram nyengir ketika tabung kaca itu pecah dan air keluar memancar membasahi koridor. Sedetik kemudian terdengar— KRIIIIIINGGGGGGG… Seiring tersemburnya air dari pipa pemadam kebakaran, alarm berbunyi dan sprinkler-sprinkler lain di sekitarnya jadi aktif, ikut mengguyur interior hotel dengan air. Bram turun dari pot tanaman yang dari tadi diinjaknya untuk mencapai sprinkler yang disundut dan bergerak ke arah pintu kamar suite menembus hujan buatan. Di depan pintu itu dia merapat ke arah sisi berengsel, menunggu reaksi. ***** KAMAR SUITE LT. 5 Dering alarm kebakaran membahana mengalahkan suara desah nafsu manusia. Beberapa sprinkler di dalam kamar suite ikut aktif, menyemprotkan air ke seluruh ruangan. Gaby menjerit ketika air dingin menerpa kulitnya. Shenny memejamkan mata. Kumpulan orang jelek kebingungan sejenak, kemudian salah seorang di antara mereka teriak “Kebakaran!?” dan semuanya jadi panik. Beberapa yang paling panik langsung berlari menuju pintu tanpa peduli keadaan mereka. Meskipun pintu kamar tak bisa dibuka kecuali dengan kunci kartu dari luar, di sisi dalam pintu bisa langsung dibuka dengan memutar gagang. Orang yang paling dekat pintu membuka pintu dan langsung keluar. Bram di samping pintu melihat seorang laki-laki jelek basah kuyup dan telanjang muncul dari pintu. Bram langsung berteriak-teriak “Ada kebakaran! Ayo cepat semuanya keluar! Ke tangga darurat di ujung sana!” Sambil berpura-pura menjadi pegawai hotel, Bram menahan pintu tetap terbuka sambil menggerak-gerakkan tangan menunjukkan arah. Seisi ruangan terburu-buru keluar. Sebagian masih sempat berpakaian, walaupun kadang mereka asal comot saja sehingga mengambil pakaian orang lain sehingga ada yang keluar dengan memegangi celana yang terlalu besar, ada yang cuma sempat pakai kaos, dan lainnya. Gaby sempat menyambar kemeja orang dan memakainya, dan dia termasuk yang cepat keluar walaupun sekujur tubuhnya lelah. Penghuni kamar-kamar lain juga terlihat keluar menyelamatkan diri. Koridor jadi ramai dengan orang-orang yang panik, semua bergegas menuju pintu tangga darurat di ujung. Semuanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap kamar suite yang tadinya penuh tubuh-tubuh manusia yang saling belit dalam nafsu itu kosong, penghuninya lari menyelamatkan diri dengan berbagai kadar ketelanjangan. Tapi dari semua orang yang melewatinya di pintu, Bram tidak melihat Tia maupun Pak Walikota. Bram melangkah masuk, menembus hujan gerimis sprinkler yang mulai melemah. Di dalam, Bram melihat ruangan besar yang berantakan dan basah kuyup. Di tengah ruangan itu Bram mendapati seorang perempuan yang tersungkur dan berusaha berdiri; perempuan itu telanjang. Shenny terlalu lemah untuk bisa buru-buru menyelamatkan diri. Bram menghampirinya. “Masih ada orang lain di dalam sini?” tanya Bram. Shenny tidak menjawab, hanya menunjuk ke arah belakang. Bram membantunya berdiri, mengambilkan sehelai baju (entah punya siapa karena baju Shenny sendiri sudah robek-robek) lalu menutupi tubuh Shenny dengan baju itu. Bram lalu memapah Shenny ke pintu. “Xiexie…” bisik Shenny, mengucap terima kasih dalam bahasa ibunya. Tapi Bram hanya mengantar sampai ke pintu dan membukakan pintu. “Tangga darurat di ujung sana. Saya mau periksa ke dalam, siapa tahu masih ada orang,” pesannya kepada Shenny yang kemudian berjalan tertatih-tatih ke tangga darurat. Di bawah hujan dari pipa-pipa air pemadam kebakaran, air mata Shenny mengalir. ***** KAMAR LT. 4 Ketika alarm berbunyi, Afri sedang memeluk erat tubuh Citra yang digumulinya. Sprinkler di sana tidak ikut aktif, tapi alarm kebakaran menyala juga di lantai 4. Karuan, Afri kaget. “Ada apa ini?” katanya sambil melepas pelukannya dan keluar dari tubuh Citra. Citra agak dongkol, karena sedikit lagi dia klimaks. Tapi dia sudah tahu rencana Bram, jadi dia tidak heran. Tugasnya satu lagi… Afri berpakaian dengan buru-buru. Citra juga. Sebisanya Citra tidak mau sampai kalah gesit dari Afri. Begitu Afri bergegas keluar, Citra tidak ketinggalan. Di luar, orang-orang yang sedang ada di kamar lain—umumnya para PSK dari lounge bawah dan tamu—berkerumun dan semuanya bergerak menuju tangga darurat. Dengan sendirinya Afri dan Citra juga terbawa arus manusia. Afri berbicara dengan beberapa orang dan menyimpulkan bahwa barusan itu alarm kebakaran. Di tangga darurat, Afri menunjukkan gelagat seperti yang Citra sudah duga. Dia mau melawan arus dan naik ke lantai 5. Pasti karena dia mau memeriksa keadaan orang yang seharusnya dia kawal, Pak Walikota. Citra langsung menarik lengannya. “Mau ke mana, ini orang-orang pada ke bawah?” tanya Citra. “Aku mesti balik ke, … bosku. Dia di atas,” kata Afri. Afri tak mau menyebut “Pak Walikota”. “Dia pasti udah ke bawah juga, lihat tuh orang-orang dari atas juga pada turun, ayo kita turun dulu aja nanti baru dicari di bawah,” bujuk Citra. Afri masih mau naik tapi dia terdorong-dorong oleh arus orang-orang yang turun, maka akhirnya dia pun mengikuti kata Citra. ***** KAMAR SUITE LT. 5 Bram membuka tiap pintu dalam kamar suite itu sambil harap-harap cemas, bersiap menemukan Tia di balik pintu. Entah dalam keadaan apa. Orang-orang berbagai bentuk dan ukuran yang tadi melewatinya jelas habis melakukan sesuatu yang membuat mereka telanjang… Bram menebak-nebak apa yang barusan terjadi, dan dia sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan. “Brak!” Setiap pintu dibukanya dengan gebrakan, seolah mau mengagetkan siapapun di dalamnya. Kamar tidur. Kamar tidur. Kamar mandi. Semua kosong dan tak terlihat seperti bekas dipakai orang. Di satu kamar dia menemukan tas baju dan barang-barang pribadi seseorang. Pak Walikota. Dia masih ada di sini. Tapi di mana? Dan Tia juga pastinya masih ada di dalam sana. Bram melihat telepon seluler mahal, mungkin milik Pak Walikota, yang kebasahan terguyur air dari sprinkler di kamar itu. Dia meraba pinggangnya sendiri. Dompet HP-nya tertutup rapat sehingga biarpun dia sendiri basah kuyup kena semburan sprinkler, ponselnya aman. Tapi dia belum juga menemukan Tia. Satu pintu lagi. Di balik pintu terakhir yang Bram buka, ada tangga ke atas. Berdebar-debar, Bram menaiki tangga itu. Di sana tidak ada sprinkler sehingga tangganya kering. Di ujung tangga ada pintu… Ketika menggenggam gagang pintu di ujung atas tangga, Bram menenangkan diri dulu. Kalau di semua ruangan di bawah tidak ada Tia, maka Tia ada di sini… Dan waktu Bram merapatkan tubuhnya ke pintu itu, samar-samar dia mendengar… “…ooh… ahh… aah…” Tapi Bram tak terburu nafsu. Dia masih sempat memikirkan sesuatu. Tangannya kembali bergerak mengambil satu barang bawaannya… ***** PENTHOUSE “AAHH!! AHH! PAAKK!! TERUS PAK!” Pak Walikota makin bernafsu melihat Tia yang sampai menjerit-jerit keenakan. “Pelacur”-nya itu ternyata berisik di ranjang, tepat seperti yang dia sukai. Dia berposisi tegak berlutut di ranjang sementara Tia rebah telentang. Kedua kaki Tia memeluk pinggang Pak Walikota, seolah mau mendesakkan kejantanan Pak Walikota makin dalam. Kedua tangan Tia mencengkeram seprai, tak kuasa menahan derasnya aliran kenikmatan. Pak Walikota menyukai bagaimana kedua payudara Tia bergoyang-goyang ikut irama gerak tubuhnya, dan ekspresi wajah Tia yang dimabuk birahi. Mereka berdua tidak tahu apa yang terjadi di lantai-lantai lain hotel, karena—sungguh ini hanya kebetulan—koneksi alarm kebakaran ke penthouse memang sedang rusak, dan dua teknisi yang hari itu memeriksa alarm tidak memeriksa ke sana. Maka yang mengagetkan mereka bukanlah bunyi. Melainkan… Dua kilatan cahaya mengagetkan Pak Walikota. Dia langsung menoleh ke arah cahaya itu dan sekali lagi terjadi kilatan cahaya. Di pintu penthouse, Pak Walikota melihat seorang laki-laki muda yang membidikkan ponsel berkamera ke arahnya. Kilatan-kilatan cahaya tadi berasal dari lampu kilat kamera. Pak Walikota kaget setengah mati. Lalu dia menyadari apa yang barusan terjadi. Anak muda itu mengabadikan dirinya dalam posisi memalukan! Maka reaksi pertamanya adalah murka. “Apa-apaan ini? Siapa kamu? Sini. Ke sinikan HP-nya!” Pak Walikota yang kalap langsung mencabut “senjata”-nya dari dalam vagina Tia. Bram melihat Pak Walikota berjalan dengan marah ke arahnya, tubuh besarnya tegap, telanjang, dan penuh bekas luka. Dengan nekad Bram sekali lagi memotret, tepat di depan muka Pak Walikota. Lampu kilat memaksa Pak Walikota memejamkan mata. “Ah! Sial!” Pak Walikota sekejap tak bisa melihat karena pandangannya disergap cahaya terang, dan sejenak matanya berkunang-kunang. Bram memanfaatkan kesempatan yang cuma sedetik itu untuk menghindar dari depan Pak Walikota dan melesat menuju Tia yang tergeletak di ranjang. Mengetahui orang yang memotretnya menghindar, Pak Walikota berbalik dan kembali memburu ke arah Bram. Bram sempat menggenggam lengan Tia, tapi tidak sempat berbicara sebelum Pak Walikota menerkamnya. Pak Walikota memiting leher Bram di ranjang. Tapi Pak Walikota lupa tubuhnya sangat tak terlindung dan… DUGG! Entah refleks atau sengaja, Bram mengayunkan kakinya dan menendang selangkangan Pak Walikota keras-keras. Pak Walikota melolong kesakitan dan cengkeramannya terlepas. Bram langsung mendorong Pak Walikota sampai terjengkang di lantai, lalu menarik lengan Tia. “Auhh… Bajingan! Siapa kamu? Wartawan? Kamu berani macam-macam…” Pak Walikota mengancam, tapi ancamannya itu terdengar menggelikan karena dikeluarkan dalam posisi bergelung memegangi selangkangan di lantai. Bram berdiri di depan Pak Walikota yang meringkuk di lantai, tangan kiri membidikkan lensa kamera telepon ke arah Pak Walikota, tangan kanan merangkul Tia. Tia terlihat kaget sampai tak bisa berkata-kata. “Saya suaminya, Pak,” kata Bram. Dia baru menyadari betapa menjijikkan pejabat tinggi di hadapannya. Bukan karena tubuhnya yang rusak, tapi karena orang ini, entah bagaimana caranya, telah mencabuli istrinya. “Sini. Sinikan HP kamu!!” Pak Walikota berusaha bangun sambil menahan nyeri, lengannya terjulur mau merebut telepon Bram. Tapi Bram mengancam balik. “Bapak maju lagi, foto-foto ini langsung saya sebar ke internet,” kata Bram. Bram memencet beberapa tombol lalu membalik handphone sehingga Pak Walikota bisa melihat foto yang tadi Bram ambil, jelas menunjukkan wajahnya ketika sedang menyetubuhi Tia. Di pojok foto itu terlihat tulisan “Upload?” dan Bram siap menekan tombol di bawahnya. Baik Pak Walikota maupun Bram sama-sama merasa panas dingin. Pak Walikota merasa seperti ditodong, aib bagi dirinya akan tersiar dalam beberapa detik kalau sampai foto-foto itu di-upload. Bram sendiri gemetaran, sebagian karena dingin akibat bajunya basah, tapi lebih banyak karena dia sedang menggertak seorang pejabat dan dia sendiri tidak yakin ancamannya bakal mempan. Tapi Bram merasakan hangat tubuh Tia yang merapat ke tubuhnya dan dia menjadi tambah berani. “Saya cuma mau jemput istri saya, Pak,” kata Bram tenang. “Kita anggap saja kejadian ini tidak pernah ada. Saya tahu Bapak orang terhormat… dan saya sendiri mau Bapak tetap terhormat. Jadi saya minta Bapak biarkan kami pergi.” Pak Walikota tak bisa berkata apa-apa. Dia sendiri masih bingung kenapa Bram bisa masuk ke penthouse. Dalam keadaan panik akalnya tak jalan. Dia bukannya orang yang tak bisa mengancam. Tapi dia tadi kaget ketika Bram tidak gentar dengan ancamannya dan malah balik mengancam. Dan dalam hati kecilnya dia menyadari sendiri bahwa yang dilakukannya memang tak bisa dipertanggungjawabkan. Dia akan sukar membela diri kalau sampai tersebar ada fotonya beradegan intim dengan seorang perempuan yang bukan istrinya—istri orang lain, malah. Tapi dia tak bisa menekan laki-laki itu karena, akibat kemajuan zaman, dalam sekejap seluruh dunia bisa langsung melihat segala yang disembunyikannya. Jadi dia hanya bisa bengong menonton ketika Bram berjalan pelan-pelan membawa Tia menuju pintu. Bram membuka pintu. Sebelum keluar dari kamar itu membawa Tia, dia melontarkan peringatan sekali lagi. “Saya nggak akan sebar foto-foto ini selama Bapak tidak ganggu kami… Mohon Bapak ingat hubungan baik Bapak dengan keluarga kami. Itu buat kebaikan kita semua.” Bram dan Tia kemudian keluar dari penthouse. Pak Walikota merasakan kepalanya berat. Dan selangkangannya sakit. Dia ambruk lagi, meringkuk, seperti tidak ada tenaga untuk bangun. Dia mulai berteriak-teriak. “Afri! Afriii!” Dia memanggil pengawalnya. Sia-sia, orang yang dipanggil sedang ada di bawah bersama para tamu dan karyawan yang menyelamatkan diri dari “kebakaran”, dan malah mencari-cari Pak Walikota di bawah. ***** “Mas…” seru Tia lirih kepada Bram ketika mereka berdua kembali di kamar suite lantai 4. Bram menoleh dan melihat wajah cantik istrinya yang tampak kelelahan. Dia membuka kamar mandi; di sana tadi dia melihat ada beberapa kimono handuk, jadi diambilnya satu dan dipakaikannya kimono handuk itu kepada Tia. “Ayo kita pulang, Sayang,” kata Bram lembut. Semburan air dari sprinkler yang aktif mulai lemah. Tanpa banyak kata, dengan genggaman tangan amat erat, keduanya melangkah keluar dari kamar suite. Koridor yang basah. Tangga darurat, lantai demi lantai. Pada tiap langkah, Bram tak melepas rangkulannya atas Tia. Sampai di bawah, Bram tak mencari Citra. Kakaknya bisa mengurus dirinya sendiri. Suasana ramai oleh orang-orang yang kebingungan mengira ada kebakaran; tanpa menarik perhatian siapapun, Bram langsung menuju mobilnya di tempat parkir. Ketika dia duduk di belakang kemudi dan Tia duduk di sampingnya, dia merasa sedikit lega. Secepat mungkin Bram meninggalkan hotel itu, menuju rumah. Sepanjang perjalanan Bram dan Tia sama-sama membisu. Tak lama kemudian mereka sampai di rumah. Bram memasukkan mobil ke garasi lalu membantu Tia keluar. Lalu Bram merasakan sesuatu dalam dadanya yang membuat dia tidak ingin membiarkan Tia berjalan sendiri dari mobil ke dalam rumah. Tiba-tiba digendongnya istrinya itu, seolah mereka pengantin baru, dengan dua tangan di depan tubuh. Dengan agak repot Bram membuka pintu sambil menggendong Tia, lalu dia langsung memboyong Tia ke kamar tidur mereka. Di sana dia membaringkan Tia dengan lembut di tempat tidur. Dilihatnya mata Tia berkaca-kaca. “Mas… Aku… aku…” Tia tak sempat melanjutkan apapun yang mau dikatakannya, karena Bram keburu memeluk dan menciumnya. Dalam kepala Bram sendiri terngiang potongan-potongan kata-kata yang didengar dan diucapkannya, sekitar setahun lalu… “Saya nikahkan ananda… Bramanda Arditya… dengan anak saya yang bernama Setiawati Rasni… “ “Saya terima nikahnya Tia… maaf, Setiawati Rasni…” Bram masih ingat bagaimana hadirin dan penghulu waktu itu tertawa ketika dia salah menyebut nama panggilan Tia dan bukan nama lengkapnya ketika mengucap ijab kabul. Suasana bahagia namun tegang jadi cair, tapi janji kesepakatan nikah itu dia ucapkan sungguh-sungguh, dan dia menerima Tia dalam hidupnya dengan segala tanggung jawab yang menyertai. Termasuk, tentunya, menjaga istrinya. Bram sendiri baru menyadari betapa nekad tindakannya tadi. Mulai dari membuat kehebohan dengan menyabot sistem pemadam kebakaran hotel, sampai berkonfrontasi langsung dengan seorang pejabat tinggi. Mengancam walikota! Kalau untuk alasan lain, Bram mungkin akan pikir-pikir melakukan semua itu. Tapi kalau demi Tia… “Maafkan aku…” bisik Bram ke telinga Tia. “Mulai sekarang aku nggak akan lepaskan kamu lagi…” ***** - - - I just want you close Where you can stay forever You can be sure That it will only get better Rasanya seolah malam pertama lagi bagi Bram. Biarpun dia hanya meninggalkan Tia beberapa hari, namun pertemuannya kembali dengan istrinya harus didahului perjuangan. Namun dia sadar, demi Tia dia mau menahan diri dan menempuh semua bahaya. You and me together Through the days and nights I don't worry 'cause Everything's going to be alright People keep talking they can say what they like But all i know is everything's going to be alright Setelah tenang, Tia menceritakan segalanya. Mulai dari keputusannya mengubah penampilan atas saran Citra. Lalu semua yang dia sadari telah dia alami. Segala kejadian aneh, segala perbuatan yang seharusnya tak dia lakukan, peristiwa-peristiwa yang Bram belum tahu. Bram sendiri, berdasarkan cerita Citra, tahu hal-hal lain yang Tia sendiri tak tahu, tapi dia biarkan istrinya menumpahkan semuanya. Termasuk bagaimana Mang Enjup melibatkannya untuk melobi Pak Walikota, yang menyebabkan dia jadi ada di hotel. When the rain is pouring down And my heart is hurting You will always be around This I know for certain Tia menyelesaikan ceritanya dan diam menunggu reaksi Bram. Marah? Kecewa? Tidak, bukan itu. Bram memeluknya erat, menciumnya, dan malah meminta maaf. Bram tahu, akar perubahan Tia ada di dirinya sendiri, keinginan dan kesukaannya. Dia senang dengan perubahan penampilan dan sikap istrinya, tapi dia tak tahu bahwa perubahan itu kebablasan dan telah menjerumuskan Tia. You and me together Through the days and nights I don't worry 'cause Everything's going to be alright People keep talking they can say what they like But all i know is everything's going to be alright Kata-kata sudah cukup, dan digantikan oleh sentuhan. Karena mereka sepasang kekasih, dan yang mereka butuhkan bukan kata-kata. Mereka butuh bersatu kembali, dan itulah persatuan jiwa-raga dua manusia yang sebenarnya… I know some people search the world To find something like what we have I know people will try, try to divide, something so real So till the end of time I'm telling you there ain't no one Maka ketika mereka kembali bersatu, satu-tubuh, Bram di dalam Tia, semua terasa lancar dan wajar kembali. Bram tidak menginginkan apa-apa lagi selain istri yang dicumbunya. Tia merasa nyaman memasrahkan diri kepada suaminya. Dan semua rindu, sesal, gairah, serta cinta disempurnakan dengan sampainya mereka berdua bersamaan ke puncak kenikmatan. Sepenggal surga yang dititipkan di dalam tubuh manusia. No one, no one Can get in the way of what I'm feeling No one, no one, no one Can get in the way of what I feel for you --“No One”, Alicia Keys - - - ***** - - - SATU SETENGAH TAHUN KEMUDIAN Aku berusaha keras menahan supaya tidak buru-buru mencapai klimaks. Sedikit lagi, ingin kubiarkan dia mendapat kenikmatan duluan. Kalau tidak, dia bakal kesal dan merecokiku terus untuk cepat-cepat mampir lagi. “AHH!! IYA TERUSS!! KONTOL KAMU… AHG! MENTOK! PANJANG BANGET! NGHAHH!! KAMU APAIN AKUUU…” Kuperhatikan wajah Citra di bawahku yang terguncang-guncang selagi kugenjot dia kencang-kencang. Lipstik merah menornya sudah terhapus ciuman demi ciuman kami, lapisan bedak tebal di mukanya pudar kena keringat. Namun rias matanya masih utuh dan seksi. Dia berteriak-teriak keras sekali sehingga aku yakin siapapun yang ada di bangunan ini bisa mendengarnya. Kata-katanya, aku tak percaya sepenuhnya, karena aku tahu dia perempuan penggoda berpengalaman yang pasti lihai memikat dengan ucapan. “HNNNGGGGHHH!!!!” Tiba-tiba Citra mengejang, memelukku erat dan mencium bibirku, saking kerasnya sampai kukira dia bukan mencium tapi menggigit. Selangkanganku terasa basah. Ah, dia sudah keluar… Sesudah puas, Citra melepasku, wajahnya ambruk kembali ke bantal. Kucium keningnya yang basah oleh keringat, tepat di antara kedua alisnya yang dilukis. “Ahh… Sayang… maaf aku keluar duluan… Sekarang giliran kamu ya?” Seperti biasa, dia selalu minta maaf kalau dia dapat orgasme duluan. Tapi kami sama-sama lebih suka seperti itu, karena kalau aku yang duluan, malah repot membuat dia ikut klimaks. Dia langsung menjalankan prosedur standarnya. Dia mulai mendesah-desah lagi, berlebihan, sambil membisikkan kata-kata kotor sementara liangnya yang becek kusumbat dengan batangku… “Ah… oh… fuck me baby… Entot aku… Entot Citra… Aku pengen peju kamu… Semburin peju kamu di dalam memek aku… Ahhn…” Dan biasanya kalau dia sudah keluar, kulepas juga kontrol atas kontolku, kubiarkan orgasme yang kutahan berjalan dengan sendirinya. “Ahh… ah Cit… aku… NGHH!!” Kurasakan kemaluanku menegang dan meledak di hangat jepitan vagina Citra, entah kenapa terasa lebih hangat, dan kutembakkan benihku di dalam sana sambil kepalaku menyuruk ke dada Citra. “Ah… terus Sayang… aku suka banget kalo kamu keluarin di dalam…” Citra menyemangatiku sambil satu tangan memeluk kepalaku dan mengelus-elus rambutku, tangan lain mengitik-ngitik lubang anusku, dan pinggulnya digoyang perlahan memeras penisku. Penisku berkedut-kedut di dalam vaginanya, melontarkan seluruh isinya. Ketika semuanya sudah keluar tubuhku ambruk menimpa tubuh Citra. “Unghhh…” keluhku, keenakan sekaligus kelelahan. Citra tersenyum lalu mendorong tubuhku. Ketika kucabut senjataku yang masih tersisa ketegangannya… “Lho, kok copot?” gumamku melihat kondom yang tadi kupasang sudah tidak ada. “Eish… nyangkut di dalam. Pantesan tadi enak banget…” kata Citra yang kemudian menuju kamar mandi untuk segera cuci-cuci. Aku ambruk lagi, telungkup, sambil nyengir dan berharap kalau Citra langsung membasuh kewanitaannya, kecelakaan crot di dalam itu tidak bikin aku jadi harus bertanggung jawab… Setelah berbaring beberapa lama, aku bangun dan membersihkan diri juga. Citra sudah selesai. Ketika aku keluar dari kamar mandi mengenakan handuk, kulihat Citra sudah kembali mengenakan pakaian, kaos ketat dan rok mini. Selesai berpakaian, Citra mengajakku keluar dari kamar itu. “Ayo, kita ngobrolnya di depan aja,” ajak Citra. Kami pun keluar dari kamar itu menuju bagian depan. Tempat itu adalah salon Citra. Di depan, dua perempuan sedang duduk-duduk. Yang satu bertubuh pendek montok dengan payudara besar dan rambut diwarnai pirang. Satunya lagi bertubuh langsing. Mereka adalah Widy, anak buah Citra yang sudah lama ikut dengan Citra, dan Haula, mantan SPG kosmetik yang baru diajak kerja Citra di tempatnya. Widy nyeletuk, “Udah lega, Mbak Citra? Kan Masnya udah dateng nengokin. Pasti kepalanya udah nggak pusing lagi ni~” “Hus, jangan sembarangan,” seru Citra. Aku dan Citra lalu duduk agak jauh dari Widy dan Haula. “Lanjutin ceritanya,” kumulai lagi pembicaraan. “Tadi kepotong di bagian adik kamu bawa pulang istrinya.” “Kamu kenapa sih penasaran banget ama mereka?” tanya Citra sambil mengerling genit. “Kok bukannya penasaran sama akuu?” Aku senyum saja. Tapi, sejak aku mulai dengar kisah Bram dan Tia dari Citra, aku memang tertarik. Citra mesem-mesem, lalu kembali bercerita. “Beberapa hari sesudah itu, Bram ketemu sama orangtua kami. Dia ngasih tahu tentang pembukaan cabang baru perusahaan di kota-nya Enrico. Lalu dia minta untuk diserahi tanggung jawab pegang cabang itu. Orangtua kami setuju. Jadi Bram langsung boyong Tia, pindah ke sana.” “Bram juga mau jauhin Tia dari Mang Enjup dan Pak Walikota ya,” kutimpali. “Iya, emang itu niat adikku. Sesudahnya ya … mereka berdua di sana,” Citra menyudahi ceritanya. Aku mengangguk-angguk. “Tapi mereka masih sering pulang nengok rumah. Rumah sebelah, rumah mereka. Aku yang diminta jagain, tapi aku lebih suka di sini. Dan mereka kemarin bilang mau datang hari ini,” kata Citra. Beberapa lama kemudian, kudengar suara mobil berhenti tak jauh dari salon. Citra keluar. Aku mengikuti. Kulihat mobil terparkir di depan rumah sebelah. Dari dalamnya keluar beberapa orang. Pertama, dari balik pintu pengemudi, muncul seorang laki-laki muda. Citra mendekati dan merangkulnya. Laki-laki muda itu pasti Bram. Kuperkirakan dia seumuran denganku. Lalu dari pintu penumpang, muncullah seorang perempuan cantik. Rambutnya yang lurus sebahu digerai, tubuhnya yang aduhai terbungkus pakaian yang anggun namun aku bisa melihat lengkung pinggulnya yang cantik membentuk di balik rok. Wajahnya dirias dengan apik. Inikah Tia? Aku sudah mendengar ceritanya dari Citra. Semua yang mereka alami. Dan rasanya cocok kalau perempuan muda ini jadi tokoh utamanya. Meski pakaiannya tergolong sopan dan dandanannya tak semeriah Citra, Tia memancarkan aura keseksian yang sangat kuat, dari penampilan maupun pembawaan. Perubahannya tidak hilang. Tapi aku yakin sekarang dia hanya menyajikan dirinya seperti itu bagi suaminya. Yang belum Citra ceritakan adalah yang sedang digendong Tia. Seorang bayi yang lucu, berumur kira-kira tiga atau empat bulan… Kucoba melihat wajah bayi itu dengan lebih jelas, dan ketika kulihat kemiripan anak itu dengan Bram, entah kenapa hatiku terasa lega. Dari jauh kuperhatikan keluarga muda itu; Bram, Tia, dan buah hati mereka. Kelihatannya mereka bahagia. Namun di balik itu ada kisah yang seru. Tentang sepasang kekasih yang saling berjuang demi pasangannya. Rasanya sayang kalau berlalu begitu saja. Maka itu, kutuliskan kisah mereka. - SLUTTY WIFE TIA – TAMAT

No comments:

Post a Comment