Wednesday, 16 July 2014
Slutty Wife Tia 4: Ternoda Prasangka
-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan binal. Pada suatu malam, Mang Enjup, atasan Bram, mampir ke rumah sembari mengantarkan Bram yang mabuk dan bertemu Tia yang sedang berpenampilan demikian. Mang Enjup yang memiliki ilmu gendam dan niat busuk sekalian mengubah kondisi mental Tia. Sesudahnya, kepribadian Tia Tia mulai berubah menjadi perempuan penggoda… tapi apakah itu yang benar-benar diinginkan Tia?
*****
“Mas Bram sayang…”
“Ya?”
Adegan romantis di suatu pagi. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai di kamar tidur pasangan muda Bram dan Tia. Keduanya sudah terbangun namun enggan meninggalkan posisi saling mengeloni di balik selimut. Kepala Tia bersandar di dada telanjang Bram, menengadah memandangi suaminya tersayang. Bram berposisi agak tegak, sambil membelai rambut istrinya tercinta.
Tia
“Aku lagi bingung…” ungkap Tia. “Beberapa hari ini kok rasanya aku berubah ya, Mas…”
“Emm, ya emang sih,” kata Bram sambil tersenyum. “Kamu tambah cantik,” rayunya sambil mengecup kening Tia.
“Ah, Mas,” Tia tersipu, “Bukan itu maksudnya… Menurut Mas aku berubah nggak?”
Bram terlihat berpikir keras. “Nggak tuh kayaknya… selain ya… selain yang tadi itu?”
Tia terdiam.
Bram belum tahu.
Bram belum tahu beberapa hari yang lalu dia berpetualang seks dengan tukang sayur langganannya dan dua orang pengamen, kemudian bermasturbasi sambil mengintip threesome Citra-Widy-Pak Bernardus di salon Citra.
Setelah semua itu berlalu, baru Tia merasakan betapa tak pantasnya kelakuannya.
Perempuan baik-baik tidak akan melakukan itu.
Apa itu semua disebabkan keputusannya untuk berubah demi Bram? Apakah secara tidak sadar, kepribadiannya ikut berubah menjadi jalang?
“Udah waktunya siap-siap nih yang… mandi dulu yuk?” kata Bram sambil menyibak selimut. Mereka berdua kemudian memasuki kamar mandi dan mandi bersama. Tak lama kemudian acara mandi bersama berubah menjadi persetubuhan yang mesra antara keduanya.
“Ahh… Mas Bramm…. Ah… jangan godain kayak gini mas… assh…” Tia merintih nikmat ketika Bram mengarahkan shower sehingga menyemburkan air ke bibir kemaluan Tia, sambil menciumi payudara Tia yang montok.
“Kamu juga yang ngegodain aku duluan… mmh mmh…” celetuk Bram sambil melalap payudara Tia dan mengelus punggung istrinya itu. “Mungkin itu yang… hmmMmm… berubah. Kamu jadi lebih jago nggoda.”
Begitukah?
Sulit bagi Tia untuk memikirkan itu selagi muka Bram kini berpindah ke selangkangannya, menjilati dan melahap vaginanya. Tapi mungkin Bram ada benarnya… bukankah kemarin itu dia berhasil menggoda si tukang sayur dan kedua pengamen?
Untungnya Bram tidak berlama-lama menggarap kemaluannya, dan kini kembali berdiri menghadapinya, sambil memegang penis yang sudah siap tempur. Ketika Bram menariknya mendekat, Tia bertanya, “Apa benar aku sekarang jadi lebih menggoda, Mas?”
“Ya,” kata Bram sambil nyengir dan memasukkan penisnya ke vagina Tia.
Entah kenapa, jawaban itu berefek ganda bagi Tia. Di satu sisi ada bagiannya yang terangsang karena pengakuan Bram. Di sisi lain timbul rasa gundah. Tia merasa perubahan yang dia rasakan itu tak wajar, dan yang lebih gawat, bisa merugikan dirinya maupun Bram.
Dirasakannya batang zakar Bram yang begitu dikenalnya bergerak keluar-masuk menggesek dinding dalam vaginanya, berulangkali, dan akhirnya menyemprotkan benih di dalam rahimnya. Namun Tia merinding juga mengingat beberapa hari lalu, dia sudah memegang, mengulum, dan merangsang alat kelamin beberapa orang laki-laki yang bukan suaminya.
Untungnya aku tidak bersetubuh dengan mereka, pikir Tia. Mulai hari ini aku harus bisa mengendalikan diriku.
Sayang, Tia belum juga tahu mengenai malam jahanam yang menjadi akar keadaannya sekarang. Malam ketika Mang Enjup menodai dirinya dan menyisipkan bisikan-bisikan yang mengubah kepribadiannya.
Sayang, Tia belum tahu itu.
*****
Hari itu Tia ikut Bram ke kantor. Karena keduanya sama-sama dipersiapkan sebagai penerus usaha bersama keluarga, maka tidak hanya Bram yang dilibatkan dalam pengelolaan. Tia juga memegang jabatan di perusahaan, hanya saja atas keinginan orangtuanya yang berpandangan relatif tradisional, Tia tidak diarahkan untuk memegang tanggungjawab langsung terhadap jalannya perusahaan seperti Bram. Sesuai keahliannya, Tia menjabat auditor internal untuk cabang-cabang perusahaan. Meski tidak harus selalu hadir di kantor, sekali-sekali dia harus datang untuk menyerahkan hasil kerjanya dan mengikuti rapat. Kantor pusat perusahaan tempat mereka bekerja menempati satu gedung bertingkat tujuh.
Tia tampil seperti wanita karier pada umumnya, dengan blus biru muda dengan hiasan renda di dada, blazer abu-abu sederhana, celana panjang putih, dan rambut dikuncir di belakang kepala. Wajahnya terlihat segar dan cantik dengan make-up natural. Tidak ada yang tahu bahwa tadi pagi, hampir saja Tia berangkat ke kantor dengan mengenakan bedak tebal, lipstik merah, dan eyeshadow biru—muka “ranjang”nya untuk Bram. Sebenarnya Bram melihat, tapi entah sengaja atau tidak dia membiarkan saja, sampai Tia melihat mukanya sendiri dan sadar bahwa dia sudah berniat mau menahan diri. Jadilah keberangkatan mereka berdua tadi pagi tertunda sebentar karena Tia perlu menghapus make-upnya.
Tia sendiri sempat kaget karena kebiasaannya berubah sendiri tanpa dia sadari. Sebelumnya, dia jarang memakai make-up, tapi sekarang bersolek malah sudah jadi kebiasaan. Dia tidak tahu apa penyebab perubahan itu. Dia sedang berusaha melawan kecenderungan baru itu.
Tentu saja, Bram tidak berbuat apa-apa karena dalam hati dia senang dengan perubahan Tia itu.
Sepanjang hari itu Bram dan Tia lebih banyak bekerja terpisah: Bram di kantornya sebagai wakil Pak Jupri, atau yang kita kenal juga sebagai Mang Enjup, sementara Tia berkeliling ke berbagai bagian kantor, mengumpulkan bahan untuk pekerjaannya dan berbicara dengan beberapa manajer.
Namun ternyata pertemuan dengan banyak orang sekarang menjadi tantangan baru bagi Tia. Tia mulai menyadari bahwa ke manapun dia melangkah, ada saja yang memperhatikannya. Mungkin dari dulu selalu begitu, tapi baru sekarang dia menyadarinya. Mulai dari petugas cleaning service yang dia sapa selagi berpapasan, sampai manajer produksi yang normalnya galak tapi entah kenapa jadi lebih jinak ketika bertemu dia.
Menjelang siang…
Tia keluar dari ruangan manajer produksi di lantai 4 setelah menyampaikan hasil auditnya terhadap bagian produksi. Terlalu banyak inefisiensi dan kebocoran, serta ada beberapa pengeluaran tak jelas. Si manajer produksi harus mengawasi stafnya dengan lebih baik, karena dicurigai ada penyimpangan. Tia juga memastikan si manajer produksi tahu laporan audit juga akan dibaca direksi. Tapi yang jelas, ketika Tia meninggalkan ruangan, si manajer produksi tetap masih bisa tersenyum.
HP Tia berbunyi. Citra.
“Hei, Ti! Lagi di mana?”
“Di kantor, Kak.”
“Ooo di kantor. Yah, kirain kamu di rumah. Tadinya mau ngajakin kamu belanja ntar sore. Yaudah… aku jalan sendiri aja deh.”
“Gapapa Kak, kalau nanti sore aku bisa nyusul kok. Barangkali Mas Bram juga mau diajak, kan lumayan biar ada mobil.”
“Oke dehhh… ntar kabarin aku lagi yah. Bye.”
Tia tersenyum, lalu menuju ruangan tempat Bram bekerja. Bram duduk di belakang satu meja, tampak serius menghadapi komputer, sementara di seberangnya ada Danang, keponakan Mang Enjup, yang duduk sangat santai dengan kaki naik ke meja sambil mengotak-atik HP. Ketika Tia lewat, mata Danang tak lepas-lepasnya mengamati, sementara liurnya hampir menetes. Danang masih ingat betapa panasnya Tia malam itu. Tapi dia sudah disuruh tutup mulut oleh Mang Enjup. Jadi ketika Tia menyapanya ramah, Danang hanya nyengir sambil dalam hatinya bertanya-tanya, kapan dia bakal berkesempatan menikmati istrinya Bram itu lagi.
Satu orang lagi di sana yang Tia kenal adalah Febby, sekretaris Mang Enjup. Perempuan cantik berkacamata dengan rambut megar sebahu dan hidung mancung yang seumuran dengan Tia itu duduk di meja di ujung ruangan, di sebelah pintu menuju ruang pribadi Mang Enjup. Febby sedang menerima telepon, sehingga dia cuma melambaikan tangan kepada Tia ketika Tia menyapanya.
“Makan siang dulu?” ajak Tia.
“Ayo,” jawab Bram sambil berdiri dari tempat duduknya. Keduanya kemudian keluar kantor untuk makan siang.
Sementara itu, Danang mencolokkan headphone ke kedua telinganya dan mulai menyetel video porno di HP-nya. Yang mana lagi kalau bukan yang dibintangi dirinya, Reja, dan Tia.
*****
Pekerjaan Bram dan Tia berlanjut tanpa banyak gangguan hari itu. Ya setidaknya tanpa gangguan bagi Bram. Sementara ketika mampir menemui manajer bidang IT dan pengelolaan, Tia mengalami sedikit gangguan.
Di bagian IT, Tia bertemu Lesmana, adik kelasnya waktu mahasiswa yang baru mulai bekerja di sana. Tia menyapanya dan mengajak bicara Lesmana setelah menemui manajer di sana. Lesmana dulu menyukai Tia, karena itu sikapnya selalu manis kepada Tia, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Tia sudah dijodohkan dengan Bram. Sampai saat itu pun Lesmana masih bersikap manis kepada Tia… dan hampir saja Tia menanggapinya dengan cara yang tak pantas. Mereka ngobrol sebentar. Tia merapat ke meja Lesmana, dan sudah akan duduk di atas meja agar bisa mendekat ke adik kelasnya yang memang ganteng itu. Tapi Tia segera tersadar, dan buru-buru menyudahi pembicaraan lalu meninggalkan ruangan dengan muka merah karena malu.
Selagi keluar dari ruangan IT, Tia merasakan dirinya ditatap tajam oleh seorang petugas cleaning service perempuan yang tadi mengepel di pojok. Tidak jelas apa alasannya, tapi yang jelas si petugas cleaning service menyaksikan dia mengobrol dengan Lesmana…
*****
Sore…
“Gimana, udah semua?” tanya Bram ketika melihat Tia datang lagi ke mejanya.
“Udah. Mau langsung pulang apa mampir dulu? Tadi siang Kak Citra telpon, ngajakin aku belanja.”
“Oh, boleh juga tuh…” ujar Bram. Tapi kemudian dari seberang ruangan terdengar suara Danang. “Oi, Bram, dipanggil Bos di ruangannya tuh!”
“Oke…” Bram bangkit dari kursi, menuju pintu ke ruangan Mang Enjup. Tia mengikuti. Meja di sebelah pintu kosong. Ke mana Febby? Di dalam?
Bram dan Tia memasuki ruang kerja Mang Enjup. Laki-laki tua yang sepanjang hidupnya bekerja pada orangtua Tia itu duduk santai di balik meja besar dan terlihat letih. Tapi begitu melihat Tia, Mang Enjup tersenyum lebar.
“Eee… aya si Neng. Tumben ke kantor,” selorohnya.
“Biasa Mang, lagi laporan hasil audit,” jawab Tia pendek.
“Bram,” Mang Enjup mengalihkan pembicaraan. “Jangan pulang dulu ya. Habis ini temenin Mang. Sore ini juga kita bisa dapat waktunya Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD, jadi kita mau nego sama mereka.”
Tia menengok ke arah Bram dan melihat raut muka Bram berubah kecewa, tapi apa boleh buat, Bram belum bisa pulang.
“Ya,” jawab Bram pendek.
“Ya sudah, sana siap-siap. Tia mau ikut?” ajak Mang Enjup.
“Emm… aku ada janji sama Kak Citra, Mang. Mungkin lain kali,” kata Tia.
Bram dan Tia kemudian keluar dari ruangan Mang Enjup.
Sesudah mereka keluar, Mang Enjup menoleh ke bawah mejanya. Tanpa terlihat Bram dan Tia tadi, Febby sekretarisnya berjongkok di sana, menjilati kemaluannya. Seperti biasa, Mang Enjup tidak tahan lama.
“Heungh!” Seciprat mani Mang Enjup mendarat di kacamata Febby. Sekretaris itu menjilati sisanya yang mendarat di atas bibir.
*****
“Jadi, gimana nih?” tanya Bram. “Kayaknya aku gak bisa nganterin kamu ketemu Kak Citra.”
“Gak apa-apa Mas, aku jalan sendiri aja. Kamu temanin lah Mang Enjup, lagipula kan mau ketemu orang-orang penting, bagus kan buat luasin pergaulan,” kata Tia.
“Iya deh. Kamu hati-hati ya,” kata Bram sambil mengecup kening Tia. Tia kemudian pergi meninggalkan ruangan.
*****
Sore. Satu pusat perbelanjaan besar di kota…
“Kak Citra!”
“Heii!”
Masih mengenakan baju kerja, Tia menghampiri Citra yang berdiri di depan sebuah butik yang memajang gaun malam. Kalau Tia tampak seperti karyawati yang mampir ke mall untuk belanja sepulang kantor, Citra terlihat seperti… biasanya Citra. Tia melihat di sekitar Citra ada beberapa orang laki-laki yang jelas-jelas sedang mengamati Citra. Citra selalu jadi pusat perhatian. Sore itu dia mengenakan kaos tanktop hitam pendek dan legging abu-abu ketat tiga perempat. Dengan pakaian seperti itu, wajar saja banyak yang menengok untuk mengagumi lekuk-lekuk tubuhnya yang masih aduhai biarpun relatif rata. Namun memang yang paling menarik perhatian pada Citra adalah wajahnya. Dengan riasan mata berwarna gelap yang seksi, sapuan blush pink di pipi, dan lipgloss pucat mengkilat, pesona paras Citra makin memancar. Rambutnya digerai saja, setengah menutupi sepasang anting panjang modis yang menghias telinganya.
Keduanya berjalan-jalan sambil memperhatikan etalase, kadang-kadang masuk ke satu toko untuk melihat-lihat. Dan setelah setengah jam, tidak banyak laki-laki pengunjung mall itu yang tidak teralihkan perhatiannya ketika Citra lewat. Yang paling parah sejauh ini, seorang bapak yang mendorong kereta belanja dan meleng sampai menabrak orang karena tidak bisa lepas matanya dari Citra. Citra cuma terkikik ketika mendengar ribut-ribut antara orang yang ditabrak dan bapak itu.
“Kak…” bisik Tia.
“Hihihi, salah sendiri bapak itu meleng,” kata Citra.
Citra dan Tia masuk ke satu toko sepatu, dan Citra langsung mencoba-coba beberapa. Lagi-lagi ada yang memperhatikannya—seorang laki-laki muda yang sepertinya mengantar pacar atau istrinya berbelanja, di toko yang sama.
“Yang ini bagus nggak?” tanya seorang perempuan yang sedang mencoba sepasang sepatu berhak tinggi kepada laki-laki itu.
“Cakep…” kata laki-laki itu, bukan memandangi pasangannya tapi malah melirik Citra. Citra balik melirik sambil tersenyum genit.
“Apanya yang cakep, heh? Kamu ngelihatin apa tadi?” perempuan tadi menyikut si laki-laki yang terpesona, lalu buru-buru menariknya keluar toko.
Setelah mencoba beberapa pasang, Citra dan Tia meninggalkan toko sepatu tanpa membeli. Tia baru sadar betapa Citra tampak begitu menarik. Dari dulu mereka sering jalan bareng, tapi baru kali ini Tia merasakan sesuatu yang lain…
…iri.
Melihat Citra mampu menarik perhatian banyak sekali laki-laki, Tia entah kenapa merasa iri. Sekaligus dia bingung karena merasa iri. Buat apa iri karena Citra lebih menarik?
Sebenarnya itu efek program bawah-sadar yang ditanamkan Mang Enjup dalam kepala Tia. Yang menyuruhnya menjadi wanita cantik penggoda.
Citra dan Tia masuk ke satu toko serba-ada besar. Di sana keduanya melihat-lihat pakaian. Citra mulai memilihkan baju untuk Tia; sengaja atau tidak, Citra mulai menyarankan baju-baju yang lebih seksi untuk adik iparnya itu.
“Ini bagus buat kamu,” kata Citra sambil menyodorkan gaun pendek merah dengan belahan amat rendah. Tia yang dulu akan menampik saran Citra itu langsung, tapi Tia yang sekarang menerimanya, melihat gaun merah itu, lalu memajangnya di depan tubuhnya untuk membayangkan cocok tidak gaun itu dipakainya.
“Coba yang ini juga deh,” Tia disodori kaos putih ketat polos. “Kalau aku yang pake, biasa aja,“ kata Citra sambil menengok ke bawah, ke dadanya yang tak seberapa membusung, “kalau kamu, ngisinya lebih bagus.”
Begitu terus. Selanjutnya Citra menyodorkan rok super mini, celana pendek, babydoll transparan, dan berbagai macam pakaian lain yang kalau dipakai dijamin membangkitkan gairah laki-laki. Pertahanan Tia luluh juga dan dia membeli tiga potong: gaun pendek merah, rok mini hitam, dan babydoll transparan. Citra tersenyum-senyum ketika Tia menerima tas plastik berisi belanjaannya. “Hitung-hitung bikin adikku senang, ya gak?” Tia tersipu malu mendengar komentar Citra.
Ya, ini semua buat Bram…
…ya, kan?
Mereka berdua kemudian melewati satu counter kosmetik. SPG di counter itu, seorang perempuan muda seumuran mereka dengan riasan lengkap, langsung menawarkan produknya.
“Mbak… sudah coba lipstik warna fuchsia ini?”
“Hmm… boleh lihat?”
“Silakan, silakan.” Tia dan Citra jadi bertanya mengenai beberapa produk di sana. Tia memuji make-up si SPG; si SPG balik memuji Tia.
“Ah, Mbak ini juga cantik kok. Tapi… saya rasa blush-on yang dipakai nggak cocok sama warna kulit Mbak. Kalau mau, saya bisa dandanin Mbak, sekalian Mbak bisa coba beberapa produk kami. Mau kan Mbak?”
Tia menengok ke Citra, yang mengangguk. Tia pun duduk di kursi counter itu, menghadap cermin. Si SPG menghampirinya, bersenjatakan sejumlah produk yang akan dia cobakan.
“Saya Haula, Mbak. Boleh kenalan?”
“Saya Tia.”
Pertama-tama Haula dengan cekatan membersihkan wajah Tia dari riasan tipis yang sudah dipakai seharian. Kebetulan rambut Tia hari itu dikuncir ke belakang menjauhi muka, sehingga memudahkan kerja Haula. Haula melanjutkan dengan membubuhkan foundation, lalu bedak. Tia memejamkan mata ketika Haula mengoleskan eyeshadow keemasan di kedua kelopak matanya, dan menyapukan maskara ke bulu matanya. Dirasakannya tekanan pensil di alisnya dan sentuhan kuas lebar menyapu pipinya.
“Bibir Mbak bagus ya…” terlintas pujian dari Haula. Tia kaget juga dipuji seperti itu oleh sesama perempuan… Bagian terakhir yang disentuh tangan ahli Haula adalah bibir Tia. Tadi Tia sempat memperhatikan bahwa Haula, yang aslinya berbibir tipis, memakai lip liner sedikit di luar garis alami bibirnya sehingga bibirnya tampak lebih penuh. Rupanya itu juga yang dia lakukan ke bibir Tia.
“Mbak Haula, ini apa nggak terlalu…” Tia mau memprotes, tapi Haula bekerja tanpa mengindahkannya dan Tia terpaksa tutup mulut. Citra memandangi cara kerja Haula sambil melipat tangan di depan dada dan mengangguk-angguk seperti guru melihat muridnya mengerjakan soal dengan benar.
“Maaf ya Mbak,” kata Haula sebelum memegang dagu Tia agar bisa berkonsentrasi memberi warna ke dalam bibir Tia yang sudah dibingkai lipliner. Tia melihat kuas kecil bersaput lipstik berwarna fuchsia bermain-main di permukaan bibirnya. Entah kenapa, dia merasa bergairah membayangkan hasilnya. Haula rupanya benar-benar gemas dengan bibir Tia, sampai-sampai beberapa kali mengulaskan warna fuchsia di tempat yang sama.
Hasil akhirnya: Tia dengan wajah glamor seolah akan ke pesta, dengan kulit mulus tanpa cela, mata tajam karena eyeliner dan maskara dibingkai eyeshadow keemasan, dan bibir merah terang keunguan yang lebih ranum daripada biasanya—karena “dipertebal” oleh Haula.
Haula memandangi “hasil karya”-nya dengan puas. Citra ikut mengomentari, “Mbak Haula hebat juga ya? Aku aja yg punya salon belum tentu bisa makeover dia sebagus ini. Kapan-kapan aku minta diajarin yah.”
Setelah membeli beberapa produk, Citra dan Tia meninggalkan counter kosmetik itu. Citra sempat bertukar nomor HP dengan Haula. Tia berjalan dengan penampilan baru yang lebih wah. Hanya memang rias wajahnya agak kontras dengan pakaiannya yang masih pakaian kerja.
Puas berbelanja, kedua perempuan itu kemudian melepas lelah di salah satu kafe. Hari sudah beranjak senja. Sambil menyeruput kopi, keduanya berbincang tentang kejadian-kejadian hari itu. Citra memesan cappuccino hangat sementara Tia sedang menyeruput es kopi karamel dalam gelas tinggi.
“Emangnya Bram lagi ngapain sekarang, Ti?” tanya Citra.
“Mas Bram… tadi waktu mau pulang dia dipanggil Mang Enjup. Katanya dia suruh ikut, mau ketemu Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD,” jawab Tia.
“Whuih. Orang penting semua tuh. Yah, lumayan juga kan. Pastinya buat ngelobi proyek gede,” lanjut Citra.
“Yah, tapi biasanya terus Mas Bram dibawa Mang Enjup ngelobi orang sampai malam, di restoran atau pub atau klub malam,” kata Tia. “Moga-moga dia nggak diajak minum-minum lagi.”
Tiba-tiba telepon Tia berbunyi. SMS. Ketika Tia menggerakkan tangan untuk meraih teleponnya, tanpa sengaja dia menyenggol gelas kopinya sampai terguling. Isinya tumpah mengguyur pangkuannya.
“Ehhh!?” Tia menjerit kaget. Cairan dingin berwarna coklat muda mengguyur celana putihnya. Citra langsung bangkit dan mengambil tisu untuk menyeka. Seorang pelayan kafe yang tidak jauh dari sana juga ikut membantu membereskan.
Tia melihat ke pangkuannya yang bekas tersiram es kopi. Citra kemudian membayarkan pesanan mereka dan segera mengajak Tia ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Citra menyarankan Tia untuk ganti pakaian.
“Daripada kamu jalan-jalan dengan celana celemotan begitu, gak enak dilihat, udah ganti aja sama rok yang tadi kamu beli,” kata Citra. Tia kemudian masuk ke salah satu bilik dalam kamar mandi, dan beberapa menit kemudian keluar dengan mengenakan rok mini hitam yang tadi dibelinya. Celana panjang putihnya yang ternoda dilipat dan dimasukkan ke dalam tas belanja.
“Hmm… buka aja blazernya Ti, gak cocok sama roknya,” Citra menambah saran. Blazer kantoran Tia pun ikut menemani celana putihnya di dalam tas belanja. Sekarang Tia jadi mengenakan kombinasi blus berenda biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam. Citra tersenyum melihat adik iparnya yang jadi terlihat lebih menarik itu. Bagaimanapun, Tia yang tadi ditemuinya masih berpenampilan kantoran, tapi yang sekarang, dengan blus tanpa lengan, rok mini, dan juga riasan lengkap hasil karya Haula si SPG kosmetik, terlihat lebih menggoda.
Dan efeknya memang terlihat. Ketika mereka berdua meneruskan berjalan-jalan lagi sesudahnya, orang-orang tidak lagi hanya memperhatikan Citra, tapi juga Tia. Diam-diam Tia merasa puas karena bisa menarik perhatian juga… tekadnya tadi pagi untuk bisa mengalahkan kecenderungan barunya untuk lebih genit sudah buyar.
Ketika hari sudah cukup malam, Citra dan Tia memutuskan untuk pulang. Mereka menyetop taksi di depan mall.
*****
Di suatu karaoke…
Hingar-bingar musik dan nyanyian sumbang memenuhi ruangan kecil yang penuh asap rokok dan tawa. Di depan layar TV, seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh pendek buntak seperti kodok bernyanyi mengikuti syair lagu yang ditayangkan di TV, mulutnya yang lebar seperti mau menelan mikrofon. Dia menyanyi sambil merangkul seorang perempuan berkacamata dan berhidung mancung yang juga menggenggam mikrofon.
Di sofa dalam ruang karaoke itu, duduklah Mang Enjup, Bram, dan dua orang anggota DPRD kota yang sedang tertawa-tawa dan mengomentari bapak Wakil Ketua Fraksi yang sedang bernyanyi ditemani Febby, sekretaris Mang Enjup. Selain mereka, ada juga dua orang perempuan pemandu karaoke; kedua cewek itu duduk di sebelah masing-masing anggota DPRD.
Mang Enjup melihat Bram habis mengirim SMS.
“Sudah pengen pulang, Bram?” goda Mang Enjup. “Mang juga, kalo punya istri geulis seperti Tia, pasti pengennya cepat pulang terus.”
“Ya… kita selesaiin aja dulu urusan kita, Mang,” kata Bram. Tiga orang anggota DPRD sudah mereka pegang. Sayang tadi Pak Walikota tidak mau diajak ke karaoke.
Bram tidak tahu, SMS-nya jadi satu bagian dalam rangkaian peristiwa yang akan menimpa Tia…
*****
“Aduh, Bu… maafin banget nih, tadi pas keluar pool taksi saya gak kenapa-kenapa,” supir taksi yang membawa Citra dan Tia berulangkali minta maaf. Taksinya mogok, mesinnya berasap. Citra dan Tia keluar dari taksi.
“Ya udah, Ibu berdua gak usah bayar deh, saya yang salah,” kata si supir taksi.
“Kita cari taksi lagi,” kata Citra. Tia mengangguk. Jalan ke rumah masih jauh…
…tapi, taksi mereka mogok di daerah yang sepi. Citra melihat sekelilingnya gelap dan tidak ramai. Selain susah mencari taksi di sana, lingkungannya mungkin rawan, berbahaya untuk dua orang perempuan.
“Ti, ayo kita jalan ke tempat yang lebih rame,” usul Citra. “Ayo Kak,” jawab Tia. Tia juga sadar dengan lingkungan di sana. Keduanya pun berjalan kaki ke ujung jalan yang terlihat lebih terang dan ramai, meninggalkan si supir taksi yang sibuk membetulkan mesin taksinya.
Tak seberapa lama, mereka berdua telah sampai ke tepi jalan yang agak terang. Memang lebih terang, tapi sama sepinya; di jalan itu ada beberapa toko yang buka siang hari, sebagian besar telah tutup. Hanya ada satu-dua yang masih buka.
Setelah sekitar lima menit menunggu, tidak juga ada taksi yang lewat… dari ujung jalan terdengar langkah-langkah orang sedang berlari. Citra dan Tia menengok ke arah datangnya suara, dan melihat seorang perempuan jangkung… bukan, laki-laki? Rupanya yang berlari ke arah mereka adalah seorang banci.
Citra dan Tia tidak tahu apa yang terjadi. Si banci melewati mereka sambil berteriak, “Awas! Ada razia!!”
“Razia…?” keduanya bertanya-tanya.
Belum sempat keduanya mencerna keadaan, mendadak muncul satu mobil truk kecil penuh aparat berseragam mengejar banci yang sudah berlari menjauh.
“Hei, ada dua di sini!” teriak salah seorang aparat. Mobil itu langsung berhenti dan lima orang aparat meloncat turun. Mereka langsung mendekati Citra dan Tia.
Di kota tempat Citra dan Tia tinggal, Walikota dan DPRD menyusun dan menerapkan peraturan susila yang melarang pelacuran di jalan. Peraturan itu memuat pasal-pasal yang membolehkan aparat menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur. Sebenarnya peraturan itu telah lama dipersoalkan karena berpotensi menjerat perempuan-perempuan yang sebenarnya tidak bersalah. Siapa nyana, malam itu peraturan tersebut memakan korban lagi.
“Eh, apa-apaan nih?” Citra memprotes ketika tiba-tiba dia dan Tia diringkus oleh para aparat. “Lepasin! Mau apa sih kalian?”
“Jangan ngelawan! Ayo ikut!” Salah seorang di antara mereka menghardik Citra. Kedua perempuan itu meronta untuk melepaskan diri, tapi gagal. Mereka digelandang ke atas truk aparat dan disuruh duduk di sana, diapit aparat. Sebagian aparat yang tadi turun rupanya sedang mengejar si banci. Beberapa menit kemudian mereka datang membawa si banci yang ditelikung.
Citra dan Tia terjaring razia pelacur jalanan!
******
Citra dan Tia duduk di sebelah banci yang tadi ikut terciduk, di bak truk aparat yang berbangku dan berkap, dikelilingi beberapa aparat yang memandangi mereka sambil tersenyum-senyum cabul.
“Mince,” si banci menyodorkan salam, mengajak berkenalan. “Mau rokok nggak?”
“Citra,” Citra menjabat tangan Mince. “Kita ini…”
“Kena razia,” kata Mince sambil menyalakan rokok. Citra menerima rokok dan korek api dari si banci, lalu ikut merokok untuk menenangkan diri. Tangan Tia yg menggenggam lengannya terasa sedingin es. Adik iparnya itu syok setelah tiba-tiba diciduk aparat. Citra juga kaget, tapi dia berusaha tenang dan tidak ikut panik.
“Gimana ini… gimana ini Kak… kita mau diapain Kak…” Tia komat-kamit ketakutan, suaranya bergetar.
“Tenang aja Ti, ini cuma salah paham,” kata Citra. “Coba kamu kontak Bram.”
Dengan tangan gemetar Tia mengeluarkan HP dan mencoba mengontak Bram.
Sayang, pada waktu yang sama telinga Bram sedang penuh dengan hingar-bingarnya suara karaoke. Sampai batere HP Tia habis, dia tak juga menjawab panggilan minta tolong dari istrinya itu.
“Mas Bram ga bisa dikontak Kak…” keluh Tia, matanya berkaca-kaca.
“Tenang aja kalo gitu,” kata Citra. Dia sepertinya masih punya kartu truf…
*****
Truk aparat yang menciduk Citra, Tia, dan Mince berhenti di suatu tempat. Para aparat yang duduk di belakang, yang sedari tadi tidak banyak mengajak bicara mereka, menyuruh mereka turun. Ketika Tia turun, ada yang iseng mencolek pantatnya.
“Auw!” jerit Tia kaget.
Aparat yang mencolek Tia tertawa bersama teman-temannya. “Wuih, asyik juga suara dia! Bahenol lagi!” selorohnya.
Merah padam muka Tia setelah dipermalukan seperti itu. Tapi dia tak berani menghardik pelaku pelecehan terhadapnya. Tia, Citra, dan Mince segera digelandang ke satu bangunan, yang ternyata adalah kantor satuan aparat yang menangkap mereka. Citra terlihat tersenyum sinis; dia sudah punya rencana.
Mereka bertiga masuk ke kantor itu dan disuruh duduk di satu bangku panjang. Seorang aparat meminta KTP mereka.
“KTP mana? Ayo keluarin, mau didata,” hardiknya kasar. Aparat yang meminta bertampang kasar, dan di dada seragamnya terpampang nama “JULFAN”.
“Julfan,” Citra membaca nama itu dengan cuek. “Jul. Sebelum kamu minta KTP, bisa saya ketemu sama komandan kamu yang namanya Pak Gde?”
Julfan agak kaget dengan reaksi Citra yang cuek. Dia seperti menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan, lalu dia masuk ke satu ruangan di belakangnya.
Sejenak kemudian dia kembali, dan berkata ke Citra, “Ikut saya.”
Tia melihat Citra bangkit sambil tersenyum sinis, dan berjalan penuh percaya diri mengikuti Julfan ke ruangan itu. “Kamu tenang aja, biar Kak Citra yang beresin,” ujar Citra sebelum masuk.
Tapi Tia tetap khawatir, apalagi setelah dia melihat pintu menuju ruangan itu tertutup…
*****
Citra mengikuti Julfan memasuki ruangan lain di kantor aparat tersebut. Di dalamnya ada satu meja, dua bangku panjang, dan kira-kira delapan orang aparat yang duduk-duduk di bangku panjang itu. Mereka inilah yang barusan melakukan razia. Di ujung ruangan Citra melihat seorang laki-laki besar berkulit gelap dan berseragam, berdiri membelakanginya.
Laki-laki itu mendengar Citra datang dan berbalik. Begitu melihat Citra, dia tertawa.
“Hahaha. Kenapa juga lu sampai kena razia? Udah pindah sekarang jualannya ke jalan?”
Citra meludah ke samping, membuat para aparat yang berada di sana geram sekaligus kaget karena keberanian perempuan yang baru diciduk itu, dan segera berbicara kepada si laki-laki berkulit hitam.
“Anak buah lu ini pada gak becus semua. Gue sama adik gue lagi nunggu taksi di pinggir jalan malah diciduk. Gue mau elu lepasin kita berdua sekarang juga, Gde.”
Laki-laki yang dipanggil Gde itu tertawa lagi, sedangkan anak buahnya bingung.
“Sini,” Gde menarik Citra ke ujung ruangan, agak jauh dari anak buahnya yang bergerombol dekat pintu. Dia memberi tanda agar anak buahnya tidak mendekat. Setelah keduanya bisa berbicara tanpa didengar yang lain, Gde baru menanggapi Citra.
“Anak buah gue cuma ngejalanin tugas. Tadi mereka udah lapor tentang gimana kalian ditangkap. Mereka pikir kalian PSK yang lagi nunggu pelanggan di pinggir jalan,” kata Gde pelan. “Kalau ngelihat pakaian elu sih gue gak heran.”
“Rese’ lu,” hardik Citra. “Udah jangan banyak omong. Sekarang lu lepasin aja gue dan adik gue.”
Gde tertawa lagi. “Citra, Citra. Lu dan gue sama-sama ngerti kan, di dunia ini gak ada yang gratis? Kenapa gue mesti bebasin lu? Lu tau kerjaan gue negakin peraturan pemerintah daerah kan. Lu berdua ngelanggar peraturan, terus ketangkep. Sorry Cit. Teman sih teman, tapi gue dan anak buah gue mesti ngejalanin tugas kan.”
Citra muak mendengar kata-kata Gde yang pura-pura profesional itu. Dia langsung memperjelas urusan. “Cih. Gak usah sok suci, sok taat hukum lu. Sebut aja berapa yang lu minta.”
“Gue gak minta ‘berapa’, gue minta ‘apa’,” kata Gde, si komandan aparat itu.
“Mau lu apa sih? Yang jelas!” seru Citra jengkel. “Lu mau gue kasih tambah jatah gratisan lagi? Oke, gak masalah, lu bebasin gue dan adik gue sekarang, besok atau lusa lu boleh seharian ke salon gue, gue kasih full service, gratis. Lu ada permintaan macem-macem juga gue kasih deh! Yang penting lu lepasin gue sekarang.”
Gde nyengir, lalu membalas tawaran Citra dengan tawaran baru. “Gimana kalo gue minta sekarang, di sini? Dan gimana kalau permintaan macem-macemnya itu gue minta main ama adik lu? Tadi gue udah lihat dia, kayaknya lebih bohay dari elu tuh. Gue pengen nyicipin dia. Dia sama kayak elu kan?”
“Gila lu ya?” kata Citra sengit, “Masa’ di sini? Dan lu jangan sekali-sekali sentuh adik gue. Dia perempuan baik-baik.”
Gde cuma nyengir. “Kalau gak mau, ya udah. Biar kasusnya diproses. Gue sih gak rugi.”
Citra berbalik dan menjauh. Dia bermaksud keluar.
“Oke, oke, gue gak akan sentuh adik lu,” kata Gde. “Tapi kalau lu mau nyervis gue di sini, lu boleh bebas dan gue lupain kejadian malam ini.”
Citra menoleh dengan wajah benci. Gde duduk sambil senyum, tidak memandang ke arahnya, menunggu jawaban.
“Gimana?”
Citra berpikir. Dia sadar posisi tawarnya lebih lemah. Akhirnya dia menjawab. “Oke. Suruh anak buah lu keluar.”
Gde tertawa. “Buat apa?”
“Dasar aparat gila!” maki Citra. “Ya udah! Gue gak butuh lu. Gue bisa keluar sendiri. Lu gak mau, gue bisa cari bantuan atasan lu. Biar lu yang tau rasa.”
Citra melangkah ke arah pintu dengan marah. Tapi dia dihadang anak buah Gde.
“Minggir!” Citra berusaha menyibak hadangan mereka, tapi seorang aparat malah menangkap tangannya. “Lepasin!” seru Citra marah.
Tahu-tahu saja Gde sudah ada di belakang Citra, meringkus Citra.
“Lu nggak ngerti keadaan lu, ya?” kata Gde sambil ikut menelikung Citra. “Dasar lonte, lu kira lu bisa seenaknya ngatur gue? Apa lu nggak tau gue bisa apa? Silakan aja lu keluar. Habis itu lu tinggal pilih, mau gue suruh wartawan datang ke sini biar nama lu dan adik lu ada di koran, sebagai PSK yang kejaring razia, atau besok gue gerebek salon mesum lu. Mau gitu? Hm?”
“Engh…” Citra takluk. Rencananya tawar-menawar dengan Gde, komandan aparat yang juga pelanggan jasa plus-plus di salonnya, buyar. Nyalinya mendadak ciut.
“Gue masih baik, Cit. Asal lu mau nurutin semua kata-kata gue malam ini, gue janji bakal lepasin lu dan anggap malam ini gak terjadi apa-apa. Setuju?”
Dengan berat hati, Citra mengangguk. Gde tertawa terbahak-bahak.
“Sekali aja lu nggak nurut, kesepakatan kita batal. Ngerti?”
“Terserah apa mau lu…” bisik Citra dengan nada lemah tapi benci.
“Bagus. Pertama, lu gak boleh nolak apapun yang gue lakuin,” kata Gde yang tak sabar hendak menikmati hasil kesepakatannya. Dia menengok ke jam dinding. “Kesepakatan kita sampai jam 12, ya.”
Saat itu jam 9 malam. Citra hanya bisa pasrah. Dia merasakan tangan Gde mulai menggerayangi tubuhnya, mengelus payudaranya dan mencubit-cubit putingnya yang masih terbungkus tanktop hitam. Tak lama kemudian… “Unghh…” desahan pertama Citra pun terdengar. Di sekeliling Citra, Julfan dan delapan orang aparat menonton. Tadinya mereka hendak menghadang Citra yang mau memaksa keluar, tapi mereka tetap di sana karena paham apa maksud komandan mereka. Citra yang sudah berpengalaman boleh dibilang tidak malu-malu apabila ada banyak orang asing yang menontonnya dalam keadaan intim, karena berbagai pengalamannya ketika lebih muda, tapi dia tetap tak senang para aparat itu malah menontonnya. Namun dia tak punya pilihan. Pelan-pelan sentuhan Gde jadi makin berani, dan tangan Gde merogoh ke dalam celana legging Citra dan mengelus-elus kewanitaan Citra. Citra mendesah lagi, berkali-kali, menyadari tatapan lapar dari para aparat yang mengelilinginya—beberapa di antara mereka tampak mulai menggerakkan tangan ke arah selangkangan masing-masing, merasakan sesuatu membuat celana mereka menyempit.
“Buka baju,” perintah Gde. Citra menurut. Tanpa malu-malu dia membuka tanktop hitam-nya, lalu memelorotkan serta melepas leggingnya. Citra tak peduli dengan menetesnya liur para aparat ketika dia memperlihatkan tubuh telanjangnya yang mulus di depan mereka. Gde nyengir melihat puting Citra yang mengeras di atas sepasang payudara yang bersahaja, pertanda perempuan yang jadi budaknya sampai jam 12 itu terangsang. Dia sendiri sudah akrab dengan tubuh Citra, mengingat si pemilik salon plus-plus itu kadang membayar jaminan supaya salonnya tidak digerebek dengan layanan tubuhnya.
Gde mengambil kursinya, lalu duduk di situ dan membuka resleting celana. “Duduk di pangkuan gue, sini,” suruhnya. Si komandan aparat itu bertubuh besar, tapi tidak gendut sekali dan tidak juga kencang berotot; Citra merasa seperti berada di atas kursi sofa yang empuk ketika dia duduk di pangkuan Gde, membelakangi Gde. Kedua tangan Gde langsung menyambut Citra, tangan kiri menggerayangi dada, tangan kanan bermain di kemaluan Citra. “Ayo goyang,” bisik Gde ke telinga Citra, dan Citra pun menggerakkan pantatnya, merangsang batang zakar Gde yang terjepit di bawahnya dan mulai membesar. Dengan gerakan kedua pahanya, Gde membuat Citra mengangkang. Lalu Gde menggenggam penisnya, menaruhnya di bukaan vagina Citra, dan menyodok ke atas.
Citra menjerit kecil. Entah itu karena sakit, nikmat, atau malu. Citra segera mengikuti irama gerakan Gde, naik-turun. Gde menciumi pundak Citra selagi si pemilik salon melonjak-lonjak disetubuhi di pangkuannya.
“Uh! UH! Ahnn!” Erangan-erangan tertahan mulai muncul dari mulut Citra, dan para aparat yang menonton bisa tahu bahwa apa yang dilakukan Citra sepertinya sukarela.
“Balik badan,” perintah Gde. Citra berhenti bergerak, berdiri sejenak, berbalik badan, lalu kembali duduk mengangkang di pangkuan Gde dan memasukkan kemaluan Gde ke kemaluannya. Citra kembali bergerak naik-turun, berusaha membuat Gde orgasme secepat mungkin agar dia bisa segera lepas. Dia beberapa kali bergerak ke atas sampai kepala burung Gde nyaris keluar dari vaginanya, kemudian pelan-pelan turun hingga senjata Gde tertelan sampai pangkal. Kemudian dia akan naik-turun dengan cepat sampai beberapa kali. Kini tidak hanya Citra yang mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, Gde pun ikut-ikut menggerung dan mengeluh keenakan.
Gde kembali mencubit-cubit puting Citra yang peka. Suara kulit bertemu kulit makin kencang, begitu pula suara desahan dan gerungan.
“Uh! UHH! Ah!”
Citra menggila di pangkuan Gde, naik-turun dengan begitu cepat, rambutnya yang panjang mengibas kesana-kemari selagi tubuhnya terguncang persenggamaan. Gde menggeram selagi dia akhirnya memuncratkan mani di dalam rahim Citra.
“HUUHHHH!!”
Citra ambruk, terkulai ke dada Gde, kewanitaannya menampung semburan hangat dari Gde. Gde tertawa lagi, lalu mendorong pinggul Citra sehingga penisnya keluar dari jepitan vagina Citra.
“Sekarang lu bersihin kontol gue,” kata Gde kepada Citra yang sudah merosot hingga terduduk di lantai depan kursi. Dari belahan vagina Citra tampak sedikit cairan putih kental mengalir. Citra melaksanakan perintah Gde dengan patuh, dan memasukkan kepala penis Gde yang masih lemas ke dalam mulut. Citra menjilat dan menyedot, dan batang itu pun mulai mengeras lagi. Tak lupa Citra menjilati buah pelir dan rambut kemaluan Gde. Saat itu Gde sudah melepaskan celananya.
“Turun lagi,” perintah Gde. Turun lagi? Itu berarti… Citra menahan jijik selagi dia menuruti perintah itu, dan menjilati bagian luar lubang pantat Gde. Untung Gde tidak lama-lama menyuruhnya melakukan itu.
“Oke. Hey, Jul,” Gde memerintah anak buahnya, “ambil matras di sana, gelar di tengah.” Jul mengambil matras busa yang disimpan dalam satu lemari di ruangan itu, lalu menaruhnya di tengah ruangan. Citra menunggu perintah selanjutnya, yang ternyata adalah “Tiduran di sana.”
Citra berbaring telentang di atas kasur itu. Tiba-tiba kesembilan anak buah Gde merubungnya. “Hey, apa-apaan nih?” tanyanya ketika mereka mendekat.
“Sekarang kamu layani mereka semua, ya!” kata Gde sambil tertawa. “Sampai semuanya puas!” Citra protes tapi tak didengar. Para aparat itu langsung menerkamnya. Julfan—yang mendapat giliran pertama—tahu-tahu saja sudah buka celana dan memamerkan penisnya yang lumayan besar di depan muka Citra.
“Giliran gue!” katanya. Teman-temannya menahan Citra sambil menggerayangi sekujur tubuh Citra. Tanpa basa-basi Julfan langsung mempenetrasi Citra. Vagina Citra yang basah karena mani Gde menerimanya dengan mudah. Citra menjerit, tapi jeritannya terputus ketika seorang aparat yang lain memaksa mencium bibirnya. Empat orang sekaligus menikmati tubuh indah Citra, satu orang menciumi bibir dan wajahnya, dua orang memain-mainkan payudaranya, dan Julfan mendapat giliran menyetubuhinya. Citra cuma bisa meronta-ronta di bawah keroyokan, berusaha bertahan sambil meyakinkan diri, ini tidak apa-apa, ini demi Tia juga. Selama beberapa menit digumuli, Citra hanya bisa merintih dan mengeluh.
Tak lama kemudian, Julfan melenguh panjang dan memuncratkan benihnya di dalam tubuh Citra. Dia langsung ditarik oleh kawannya agar segera keluar dari vagina Citra, dan tanpa memberi kesempatan beristirahat kepada Citra, yang lain langsung menggantikan.
Malam yang mengenaskan baru saja mulai bagi Citra, yang tak bisa berbuat apa-apa selagi dia digilir oleh para aparat bejat…
*****
Hampir satu jam Tia menunggu kakaknya, tapi Citra tak keluar-keluar juga dari ruangan yang dimasukinya. Dia mulai gelisah. Di ruangan tempat dia menunggu, hanya ada seorang aparat muda yang disuruh menjaga, dan Mince si banci. Mince ketiduran karena bosan. Si aparat muda hanya duduk di dekat pintu, tanpa mengajaknya bicara.
“Bang…” akhirnya Tia memberanikan diri mengajak bicara si aparat yang menjaga pintu. “Boleh nggak saya masuk ke sana, menemui kakak saya?”
*****
Yang dialami Citra makin lama makin menjadi-jadi. Entah siapa yang memulai, yang jelas setelah beberapa lama para aparat itu memutuskan untuk menggarap pantatnya juga. Dia hanya bisa menerima dan menahan ketika Gde dan anak buahnya menggarap semua lubang yang bisa disetubuhi di tubuhnya, vagina, dubur, dan mulut. Berulang kali, dengan berbagai variasi. Posisi doggy, dengan satu orang di belakang menyetubuhi vaginanya sambil mengemplangi pantatnya, sementara satu orang di depannya mencengkeram kepalanya, memaksa dia menyepong. Dikeroyok tiga orang sekaligus, satu di vagina, satu menusuk pantat, satu memerkosa muka. Makin lama Citra merasa makin tak tahan. Apalagi lawan-lawan mainnya seolah tak kenal berhenti. Berulangkali dia menahan sakit selagi penis demi penis memaksa masuk ke duburnya. Citra sudah setengah sadar ketika lubang pantatnya dirojok orang keempat; dia sudah tak bisa merasakan kenikmatan dari persetubuhan paksa itu.
Dalam keadaan itulah Tia melihat Citra.
“Ah! Kak…” Tia langsung menutup mulut dan terpaku,
Pintu terbuka, dan yang Tia lihat adalah Citra, telanjang, menungging, dengan tatapan kosong dan pasrah, tengah disodomi seorang aparat sementara yang lainnya mengerumuninya dengan tampang bernafsu.
“Kamu adiknya, ya?” kata Gde, yang berdiri di sebelah pintu dan langsung menghadapi Tia. “Mau nggantiin kakakmu nggak?”
“Apa… ada apa ini… kenapa… Kenapa Kakak…”
Tia bingung dengan apa yang terjadi, dan rintihan lemah kakak iparnya yang kesakitan membuat dia tak bisa berpikir. Dia berusaha mendekati Citra, tapi Gde menghalanginya.
“Tolong Pak… sudah Pak, kakak saya jangan dibegitukan Pak… tolong…” Tia hanya bisa meminta. Tangisnya pecah.
Gde mencoba memanfaatkan keadaan. “Kamu tahulah kenapa kalian dirazia. Kalian lagi pada jual diri di jalan kan? Huh, dasar lonte. Kakakmu tadi minta dibebasin. Dia sendiri yang nawarin diri ke kita.”
“Tolong Pak… bebasin kami, kami ini korban salah paham, kami bukan… pelacur… Kami perempuan baik-baik, mohon lepasin kami Pak…” kata Tia di sela-sela isak tangisnya. “Tolong Pak… kasihani kakak saya…”
“Ya, ya, ya, semua yang ketangkep juga bilang gitu,” kata Gde. “Emangnya saya percaya? Bohong! Tuh lihat, ngapain kakakmu nawarin diri buat dientot gratis kalau dia bukan perek? Paling-paling kamu sama aja.”
“Bukan Pak… tolong percaya saya… saya dan kakak saya bukan perempuan tuna susila… mohon lepasin kami Pak…”
“HUNGH!” Percakapan antara Gde dan Tia yang panik terpotong seruan orang yang sedang menggagahi pantat Citra; dia baru saja mencurahkan benihnya ke dalam rektum Citra, menambah penuh isinya yang sudah menampung kontribusi tiga orang. Ketika orang itu mencabut batangnya dari anus Citra, Citra langsung ambruk; sebagian isi pantatnya meleleh keluar, dan di mata Tia, cairan yang keluar itu putih bercampur merah…
Tia melihat mata kakaknya, setengah terbuka dan terlihat tanpa jiwa.
“KAKAAK!” jerit Tia. Dia kembali berusaha menghampiri Citra, tapi kali ini Gde menahannya. Tia tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman Gde dan seorang anak buahnya. Padahal orang berikutnya sudah mulai menaruh ereksinya di lubang anus Citra yang sudah menganga…
“JANGAAAN!” jerit Tia. “Jangan… jangan lagi… kasihan kakak… tolong… jangan sentuh kakak saya lagi… sama saya saja… biar saya saja…”
Gde memegangi Tia yang meronta-ronta sambil menangis. Dia nyengir mendengar pernyataan Tia itu. Itulah yang dia tunggu-tunggu: ketika perempuan ini sudah cukup panik sehingga dia bersedia melakukan apa saja.
“Stop!” kata Gde. “Mundur kamu.” Orang yang baru saja mau menyodomi Citra—ternyata Julfan lagi—menengok ke komandannya, lalu mengurungkan niatnya memuaskan anunya di lubang terlarang Citra. Gde lalu melepas Tia; Tia langsung menghambur ke dekat kakaknya yang tergolek di atas matras dalam keadaan berantakan.
“KAK CITRAAA…” Tia langsung merangkul kakaknya yang telanjang, sambil menangis.
“Ti…” Citra hanya sempat mengatakan sepotong suku kata, lalu pingsan.
Gde dan anak buahnya mendekat merubung Tia. Gde berjongkok dan memegang bahu Tia. Tia kaget akibat sentuhan itu, dan segera menoleh ke arah Gde.
“Saya percaya kamu. Kamu boleh bebas. Tapi,” kata Gde dengan pura-pura lembut, “kakakmu tetap saya tahan untuk diproses.”
“Jangan Pak. Tolong bebasin kakak saya juga…” kata Tia sambil terisak, memeluk Citra yang pingsan. Segala perasaan yang berkecamuk dalam benak Tia membuatnya tak berpikir jernih. Gde tahu cara memanfaatkan itu.
“Nggak. Kakakmu tetap saya tahan. Kamu sih boleh bebas. Saya anggap kamu nggak salah.”
“Tolong pak… tolong bebasin kakak saya juga Pak… kasihan kakak saya… Bapak boleh minta apa saja asal kakak saya bisa bebas…”
Gde tersenyum lebar. Permintaan Tia segera disambarnya.
“Beneran?”
“Iya Pak… Saya rela kasih apa aja, asal Bapak bebasin kakak saya…”
“Kalau gitu…” kata Gde sambil merangkul Tia, “Gantiin kakak kamu ngelayani kami.”
“Ah…” Tia tercekat, tak mengharapkan kata-kata barusan. Gde melihat keraguan itu, dan tidak melepas tekanannya terhadap mental Tia.
“Nggak mau juga nggak apa-apa sih. Tapi kakakmu tetap ditahan.”
Tia terpejam. Sebutir air mata menetes di pipinya yang merona. Dia tahu dia sudah menjerumuskan dirinya sendiri. Dia sekarang harus melayani kumpulan bejat ini demi membebaskan Citra. Dia bisa saja menolak, tapi akibatnya Citra akan kena masalah.
“Gimana, mau nggak?” tanya Gde dengan nada acuh, merasa dia tetap di atas angin, apapun jawaban Tia.
“…” Tia tak mengatakan apa-apa. Hanya anggukan yang menyatakan persetujuan. Anggukan yang dilakukannya dengan berat hati.
“Bagus,” ujar Gde. “Mulai pake mulut kamu aja. Nih, ada yang mau dilayani dia?”
Tiga orang anak buah Gde berdiri mengelilingi Tia yang terduduk di dekat Citra. Penis mereka jelas berdiri tegak lagi melihat seorang lagi perempuan cantik yang sudah bersedia di depan mereka. Mereka merasa tak salah menduga ketika tadi menangkap Tia juga. Di mata mereka, perempuan bermake-up tebal, dengan bibir merah ranum, mengenakan blus tanpa lengan dan rok mini, dan berada di pinggir jalan, apa lagi namanya kalau bukan perempuan gampangan? Ditambah lagi mereka punya wewenang menegakkan suatu peraturan yang memandang buruk terhadap perempuan.
“Hoy, jangan bengong aja, isep kontol gue nih,” suruh salah satunya. Tia dengan ragu-ragu mendekatkan wajahnya ke penis orang itu, namun akhirnya dia memasrahkan diri dan menggenggamnya. Dia mulai menjilati ujungnya, dan terus menjilati sekujur batang itu. Satu lagi penis tegak milik seorang aparat teracung, dan pemiliknya menyodok-nyodokkan ujungnya yang agak basah ke pipi mulus Tia. Tia menangkap maksudnya dan mengalihkan perhatian, pertama mengulum ujung penis kedua lalu mulai menyepongnya, sementara tangan kanan Tia tetap di penis pertama, memberi kenikmatan lewat sentuhan dan elusan. Orang ketiga di sekeliling Tia langsung meraih tangan kiri Tia dan menyuruh Tia mengocok penisnya. Jadilah kini Tia melayani tiga orang sekaligus dengan mulut dan kedua tangannya.
Tia berganti-ganti memberi perhatian kepada tiga kejantanan yang mengelilinginya. Tanpa dia sadari, dia sebenarnya sudah ahli melakukan fellatio, karena sudah banyak latihan sejak dia pertama kali memutuskan untuk berubah penampilan demi Bram dulu. Tak heran ketiga orang itu bisa sampai merem melek disepongnya. Bahkan kata-kata mereka yang melecehkannya seperti “Dasar pecun, udah jago ya lu nyedot peju” dan “Kontol gue tadi abis masuk pantat kakak lu, enak ngga rasanya?” tidak membuatnya jijik, dan malah membuatnya terangsang. Gara-gara tempelan pemrograman mental dari Mang Enjup, Tia jadi suka dilecehkan dengan kata-kata mesum seperti itu.
CROTT! “Aih!” Tia kaget ketika satu penis yang sedang dikocoknya agak dekat ke muka tiba-tiba ejakulasi, melontarkan mani kental yang mendarat di pelipis dan dekat matanya. Ejakulasinya berlanjut mendarat di bagian dada blus tanpa lengan Tia. “Gue juga nih…!” Seorang lagi, yang sedang dikenyotnya, tidak tahan, dan segera menarik penisnya dari dalam mulut Tia untuk muncrat tepat di depan muka Tia. Tia memejamkan mata agar tidak kena—satu cipratan ejakulasi mendarat dekat pangkal hidungnya, dan sisanya berleleran ke bawah. Sesudahnya, orang ketiga juga mau menyemprotkan cairan kelelakiannya. Dia sengaja menggenggam wajah Tia dan mengarahkan semburannya untuk menodai wajah yang tadi siang dijadikan kanvas tempat berkarya si SPG kosmetik, Haula. Warna merah dan emas rias wajah Tia tercoreng warna putih cairan kental buangan si aparat.
Gde sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menikmati tubuh Tia sejak tadi. Dia memang terbiasa menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat. Kalau bukan menarik upeti tidak resmi dari para pengusaha bisnis lendir seperti Citra, dia memanfaatkan orang-orang yang ditangkapnya atas dasar peraturan pemerintah yang rawan penyelewengan itu. Disuruhnya ketiga anak buahnya menyingkir dari Tia yang terduduk. Dia mengambil saputangan dari kantong, berjongkok, lalu menyeka ceceran mani tiga orang di muka Tia dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak merusak rias wajah Tia. Tia hanya diam saja menerima perlakuan itu; wajah Gde yang besar dan hitam menyengir mesum di depan wajahnya.
“Cantik juga ya kamu,” puji Gde. “Buka baju.”
Tia ragu apakah harus menuruti permintaan itu atau tidak. Melihat keraguan, Gde mendorongnya lagi.
“Buka baju, atau aku yang buka bajumu.” Tangan Gde meraih ke arah deretan kancing blus Tia. Gerak refleks membuat Tia bergeser mundur, menjauh dari Gde, tapi ternyata di belakangnya ada seorang aparat. Tia menggigil ketika Gde melepas kancing blusnya satu per satu. Semua kancing blus Tia pun akhirnya terbuka, memperlihatkan kutangnya, yang tak lama kemudian juga dilepas oleh Gde. Setelah Tia bugil setengah badan, Gde menyuruh Tia melepas roknya. Kali ini dengan takut-takut Tia membuka sendiri resleting rok mini hitamnya dan memelorotkannya. Tia melakukan itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menutupi kedua payudaranya yang sudah tak terlindung.
“Wuih, gedean toket kamu daripada Citra,” komentar Gde. “Citra gak pernah cerita kalo adiknya montok seksi gini. Eh… nanggung nih. Itu celana dibuka juga dong. Ngapain masih dipake?”
Tinggal satu potong pakaian yang masih melekat di tubuh Tia—celana dalamnya. Gde tidak menunggu Tia, dia sendiri dengan kasar memelorotkan celana dalam Tia. Selanjutnya anak buahnya yang berada di belakang Tia menarik tubuh Tia dan memindahkannya sehingga Tia kini berada di matras yang tadi menjadi tempat Citra digarap berulangkali. Tia telentang, telanjang, tanpa daya… Dia memalingkan muka melihat tubuh besar hitam Gde yang telanjang di hadapannya. Gde tadi cuma sekali menyetubuhi Citra, dan sekarang penisnya yang berukuran lumayan sudah tegak lagi. Si komandan aparat itu nyengir, lalu menurunkan tubuhnya menindih Tia. Kalau dilihat dari atas, tubuh Tia nyaris sepenuhnya tertutupi tubuh gempal Gde. Tia tak bisa menghindar ketika Gde memaksa mencium bibirnya. Rupanya itu alasan tadi Gde membersihkan muka Tia, dia ingin merasakan bibir indah Tia. Lidah Gde yang lebar dan basah dengan tak sopannya menerobos masuk rongga mulut Tia, mengajak bergulat lidah Tia. Sepasang bibir tebal Gde melahap bibir Tia, dan juga beraksi di garis rahang dan leher Tia selagi Tia menahan jijik. Sementara itu kedua paha Gde bergerak membuka kedua paha Tia. Batang kejantanan Gde yang sudah ereksi itu mulai menempel dan menggesek bagian luar alat vital Tia. Sekali lagi sesuatu di dalam pikiran Tia menolak keadaannya sekarang, dan Tia berusaha meronta untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat, tubuh Gde terlalu berat untuk digeser. Tia hanya bisa menjerit pasrah ketika akhirnya kewanitaannya tertusuk penis Gde. Gde melihat wajah Tia yang tak rela, dan tak mempedulikannya sama sekali. Satu dorongan berhasil mendesakkan seluruh penisnya sampai ke pangkal. Dia kembali menciumi wajah Tia selagi tubuhnya bersatu dengan tubuh Tia, sementara Tia memalingkan wajah karena jijik.
Liang kenikmatan Tia yang sempit dan sudah basah setelah terangsang akibat aksi oralnya terhadap tiga aparat tadi rupanya memberi sensasi baru bagi Gde. Nafas Gde menjadi memburu dan dia mulai mempercepat dorongannya menggenjot Tia. Tia tak kuasa menahan erangan bercampur ratapan, selagi penis Gde mengaduk-aduk vaginanya. Namun suara Tia malah makin lama makin terdengar nyaring dan bernafsu.
“Oh! Ah! OHHH!!” Bisa dilihat bahwa tubuh Tia sendiri bingung, antara menyerah kepada nafsu atau mempertahankan harga diri dengan terus bersikap tak rela. Tapi mana mungkin Tia mampu berpura-pura tak rela, ketika sebagian pikirannya yang telah teracuni terus-menerus mengingatkannya untuk menerima saja bahwa dia sebenarnya pelacur yang mau tidur dengan laki-laki mana saja?
“Huhh… ehh… Enak gak? Mau terus gak?” kata Gde di sela-sela gerakannya.
“Auhh… huhh… ahh…” Tia berusaha menahan jangan sampai dia mengatakan sesuatu yang akan menjerumuskannya lebih jauh…
“Mau lagi gak? AYO BILANG!”
“AHH… IYA PAKHH!! LAGI PAK… TERUSIN PAK…” Jebol juga pertahanan Tia. Tangisnya pecah lagi karena malu, malu telah gagal menahan gempuran nafsu yang berusaha meruntuhkan harga dirinya. Apa bedanya dia sekarang dengan pelacur betulan yang menjajakan diri di pinggir jalan?
Malah mungkin aku lebih parah! Pelacur masih dibayar, sedangkan aku menyerahkan diri untuk disetubuhi dengan sukarela!
Ciuman penuh nafsu Gde, lidah Gde yang menjilati wajah Tia, kejantanan Gde yang terbenam sampai pangkal dalam kemaluan Tia… dan laki-laki bertubuh gempal itu bukan pasangan sah Tia. Apakah dia memperkosa Tia? Tidak. Tia sendiri yang tadi bersedia menggantikan Citra. Nafsu binatang sudah menguasai Gde yang makin buas menghantam selangkangan Tia, tanpa peduli Tia terdesak hebat di bawah tindihan tubuh besar dan berkeringat itu. Tia hanya dapat meringis kesakitan selagi serangan Gde datang tanpa henti.
Di sebelah mereka, terlupakan untuk sejenak, Citra yang tadi pingsan sudah memperoleh sedikit kesadarannya. Dia merasa sekujur tubuhnya sakit, terutama selangkangan dan duburnya, dan dia tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Tapi pandangannya tepat tertuju kepada dua sosok manusia yang tindih-menindih di sebelahnya, tubuh hitam besar Gde yang berulangkali menghantam tubuh Tia yang telanjang di bawahnya. Citra hanya bisa menyaksikan wajah Tia yang nelangsa tanpa daya. Tapi… dan Citra kenal benar ekspresi itu, dia tidak mungkin tidak hafal, Citra melihat bahwa nafsu birahi Tia seolah tak padam. Citra menyaksikan sedikit ekspresi kenikmatan menyelip di wajah adik iparnya tiap kali kejantanan Gde yang besar itu bolak-balik lenyap dan muncul di selangkangan Citra.
Dan tentunya, Citra tak bisa tidak mendengar kata-kata yang diteriakkan Tia.”
“YAH! AHH! LAGIHH!! PAK!! ENTOT SAYA PAK! TERUS PAKHH… OH!”
Gde menegakkan tubuh dan memegang kedua pergelangan kaki Tia, merentang kaki Tia selebar mungkin, dan menggoyang pinggulnya untuk mengaduk-aduk kemaluan Tia dengan penisnya. Pinggul Tia ikut bergerak tanpa dapat ditahan, seolah membalas segala gerakan Gde dalam pertandingan saling memberi kenikmatan itu.
Citra ingin menutup telinga ketika lenguhan dan jeritan kedua insan itu makin kencang. “AAKKK….. NGHHAAA!!” Tia menjerit nikmat ketika dia mencapai orgasme, matanya terpejam dan air matanya bercucuran, perasaannya campur aduk antara terseret kenikmatan dan tertohok penyesalan.
Gerungan keras dari Gde menandakan bahwa dia juga mencapai puncak, menimpali bunyi tubuh beradu dengan tubuh yang sudah sedemikian kencangnya. Gde ambruk menimpa Tia, pinggangnya kejang beberapa kali. Citra memejamkan mata biarpun apa yang dikhawatirkannya memang tak terlihat karena tertutup tubuh Gde. Ya, saat itu juga Gde menyemburkan bahan pembuat calon-calon bayinya di dalam rahim Tia.
“Huehh… enak kan itu? Gue paling suka ngecrot dalam memek…” kata Gde lemah. Tubuh besarnya menindih Tia yang terkapar. “Memek lu top… gak kayak memek jablay lain yang kendor…” Tia sendiri gemetaran setelah menerima orgasme hebat.
Gde langsung bangkit dari atas Tia sehingga Tia bisa bernafas lega lagi. Vagina Tia yang tadinya rapat tampak merekah dan belepotan sperma Gde. Tapi Gde baru orang pertama. Selanjutnya Julfan dan seorang aparat yang tadi belum sempat mendapat kenikmatan mendekati Tia. Julfan, sedari tadi sudah telanjang, mengangkang di atas muka Tia, lalu berjongkok. Dia memaksa Tia membuka mulut lalu memasukkan penisnya ke mulut Tia. Tia yang sudah ternoda itu tak melawan, malah menuruti keinginan Julfan dengan merapatkan bibir merahnya di seputar batang Julfan. Tak lama kemudian Julfan mengoceh keenakan ketika sedotan Tia mulai memberikan efek yang diharapkan. Kawannya, yang berada dekat selangkangan Tia, memilih bermain-main dengan klitoris Tia, dan tanpa disangka, Tia malah menggerak-gerakkan pinggulnya menanggapi rangsangan itu.
Setelah beberapa kali bibir Tia naik-turun mengelus kemaluan Julfan, Julfan mendesakkan pinggulnya ke bawah sehingga Tia terpaksa menelan seluruh penisnya. Tia panik karena merasa akan tercekik, tapi Julfan menahan posisi. Sedetik kemudian Tia merasaka cairan kental asin memenuhi rongga mulutnya. Setelah membuang isi buah pelirnya di dalam mulut Tia, barulah Julfan membebaskan mulut Tia. Tia sendiri terbatuk-batuk sehingga sebagian hasil ejakulasi Julfan termuntahkan keluar.
Sementara itu kawannya tidak lama-lama memainkan kewanitaan Tia dengan tangan. Dia segera mengambil kesempatan untuk mempenetrasi vagina Tia. Tia mengernyit sedikit, vaginanya terasa agak nyeri.
“Eh, cepetan, masih banyak yang ngantri nih,” seru seorang aparat lagi. Sungguh mereka ini tak ada puasnya.
“Daripada tunggu-tungguan, embat pantatnya aja tuh,” usul Gde. Tia mau menjerit protes, tapi saat itu seorang lagi sudah meniru tindakan Julfan tadi, mengangkangi mukanya dan membuat mulut Tia sibuk dengan penisnya. Satu orang lagi memutuskan untuk menuruti usul si komandan dan segera memposisikan diri di belakang kawannya yang menggenjot vagina Tia. Dia mengatur posisi supaya bisa mendapat jalan menuju pintu belakang Tia, lalu menyodok lubang dubur Tia dengan jari tengahnya yang dibasahi liur untuk mempermudah penetrasi. Sejenak mulut Tia bebas, namun yang saat itu juga keluar adalah jeritan, “Auuw…Auhh! Pe…lan-pelann!!” Baru kepala penis yang masuk ke lubang pengeluaran Tia, tapi orang yang memasukkannya kurang sabar sehingga Tia cuma merasakan sakit. Tapi pelan-pelan masuk juga seluruh batang itu ke saluran belakang Tia.
Kini ganti Citra yang menjadi penonton selagi dia melihat Tia, adik iparnya, seorang perempuan baik-baik dan istri setia, menjadi bulan-bulanan tiga orang aparat yang mencabuli mulut, vagina, dan anus. Tia yang mengerang dan mendesah penuh nafsu seperti seorang pelacur. Citra tahu dia sendiri sudah gagal melindungi Tia… tadi dia sudah menawarkan diri untuk melayani mereka semua supaya mereka tak menyentuh adik iparnya, tapi ternyata mereka begitu cepat menguras staminanya dan kini mereka sudah menjamah adiknya. Dia merasa bersalah. Tapi rupanya dia tak diberi kesempatan untuk berlama-lama merenung, karena orang-orang di ruangan itu menyadari dia sudah sadar lagi.
“Udah bangun, Cit?” kata Gde yang berjongkok di sebelahnya. “Payah lu, masa’ empat ronde udah pingsan. Kalau udah bisa lagi, lanjutin yuk.”
“Eh…” protes Citra tak terdengar selagi Gde menjauh untuk memberi kesempatan kepada dua lagi anak buahnya menggumuli Citra. Tanpa belas kasihan mereka menggerayangi dan menjamah tubuh Citra, sekali lagi menjadikan Citra mainan seks mereka.
Tia menerima gempuran dari tiga sisi, tanpa dapat menghindar. Dan sialnya, satu kali lagi orgasme melandanya. Jerit kenikmatan yang menyertainya tak terdengar teredam satu batang di mulutnya.
“Gue… keluarr!” Orang yang sedang menyodomi Tia menambah jumlah cairan asing di dalam tubuh Tia, mengisi saluran pembuangan Tia dengan benihnya. Kawannya yang sedang menyetubuhi liang sanggama Tia mendapat giliran klimaks berikut, ikut menambah isi rahim Tia. Keduanya langsung menyingkir dari tubuh Tia. Tinggal satu orang yang sedang menikmati mulut Tia; dia segera pindah ke vagina Tia, dan menyetubuhi Tia dengan posisi gunting. Karena sudah cukup lama menyodoki mulut Tia, dia tidak begitu lama menggenjot Tia, dan bertambahlah isi rahim Tia dengan benih satu lagi laki-laki yang tak dia kenal.
Kini Tia tertelungkup dengan kedua paha mengangkang, cairan berleleran dari kedua lubangnya. Gde memutuskan untuk menyicip lubang yang tadi belum sempat dicobanya. Si komandan aparat meninggalkan Citra yang sedang disusupi organ tubuh laki-laki dari depan dan belakang, lalu kembali menindih Tia dan menusukkan penisnya ke lubang pantat Tia. Penis Gde lebih besar daripada yang barusan memasuki anus Tia; Tia membelalak dan ternganga ketika saluran pembuangannya mendapat desakan benda besar tumpul yang masuk dari arah yang tidak seharusnya. Sementara itu, seorang lagi aparat yang tadi dioral Tia rupanya keburu ingin muncrat lagi setelah menonton pesta gila yang begitu panas antara sembilan laki-laki melawan dua perempuan, dan mengocok kemaluannya sendiri untuk mengeluarkan lendir nafsunya, kali ini menodai rambut Tia.
“Uahh! Gila sempit banget pantat lu! Ungh! Enak banget tau! Enak banget ngentot pantat lu!” ceracau Gde selagi menggenjot lubang dubur Tia. Sampai habis suara Tia karena berkali-kali menjerit selagi anusnya diterobos gempuran demi gempuran dahsyat dari si komandan aparat. Namun sekali lagi, entah kenapa, Tia kembali dilanda gelombang kenikmatan. Emosi Tia yang campur-aduk tak mampu menjelaskan mengapa dia tetap saja merasakan kenikmatan badani menjalar ke sekujur tubuhnya, padahal dia seharusnya tak menyukai apa yang sedang diperbuat terhadapnya.
Sekali lagi Gde meninggalkan bukti pelanggarannya di dalam tubuh Tia. Namun malam itu sungguh terasa sangat panjang. Tia dan Citra terus terpaksa meladeni lelaki demi lelaki…
*****
Mince, si banci, yang tadi ketiduran di sebelah Tia, sudah bangun lagi dan menyadari dua perempuan yang tadi sama-sama diciduk tidak ada di tempat. Dia sendirian di ruangan depan kantor aparat itu. Bukan sendirian—berdua, dengan seorang aparat muda yang dapat tugas berjaga di depan. Mince mendekati si penjaga.
“Eh bo’,” seru Mince. “Cewek yang berdua tadi itu ke mana?”
“Di dalam,” kata si penjaga muda itu, agak ngeri melihat Mince yang lebih jangkung daripada dirinya.
“Ya ampun, bo’, di dalam?” ujar Mince dengan sikap pura-pura terperanjat. “Aduh kasian banget deh mereka, pasti dipaksa suruh kasih gratisan. Yei gak kebagian, bo’? Kasiaan deh lu.”
Si penjaga diam saja. Dia tambah ngeri ketika Mince malah mendekatinya lalu bersikap sok akrab dengan merangkulnya.
“Eike kasian ama yei, bo’. Ama Mince aja yuk? Jilatan Mince asoy loh…” kata Mince sambil menjilat kuping si aparat, sementara tangannya gentayangan ke tempat-tempat yang tidak seharusnya.
Si aparat muda itu langsung ngibrit menyelamatkan diri, dia sudah tak peduli lagi dengan tugasnya… daripada keperjakaannya direnggut banci…
*****
Jam 11 malam.
Gde dan anak buahnya sudah berpakaian lagi. Mereka capek sekali, tapi senang. Di tengah ruangan, dua perempuan tergeletak lemah. Citra terlentang, pingsan kelelahan. Tia meringkuk, masih sadar, tapi sudah tak berdaya. Lubang dubur Tia masih sedikit menganga, seolah tak mau kembali tertutup seperti semula. Sedikit cairan putih masih mengalir dari sana. Rias wajahnya sudah acak-acakan, ternoda mani yang mulai mengering.
“Eh, bantuin mereka pake baju lagi sana,” perintah Gde. Untungnya tidak ada pakaian keduanya yang rusak atau robek. Selanjutnya Gde menyuruh anak buahnya memapah kedua perempuan itu keluar.
Gde memeriksa barang-barang Citra dan Tia, lalu mencari alamat Tia. Dia sudah tahu di mana salon Citra, dan dia baru mengetahui bahwa rumah Tia tepat di sebelah salon Citra.
Gde dan anak buahnya keluar dari bangunan kantor menuju garasi di samping. Si komandan mendekati satu mobil berwarna abu-abu—mobil pribadinya—membuka kunci, dan membuka pintu. Dia menyuruh anak buahnya memasukkan Citra dan Tia di kursi belakang. Kemudian dia menyuruh yang lain kembali ke kantor kecuali Julfan.
Gde menyalakan mobilnya. Julfan duduk di sebelah. Di kursi belakang ada dua orang perempuan, satu tergolek tak sadar, satu lagi duduk tegak dengan mata terbuka tapi dalam keadaan syok.
Sepanjang perjalanan dari kantor aparat, Tia hanya bisa terpaku. Dia merasa tersakiti dan ternoda. Dia pun merasa bersalah kepada dirinya sendiri, kepada Bram, kepada Citra. Andai saja tadi dia tidak menuruti keinginannya sendiri untuk berpenampilan lebih seksi… Andai tadi dia bisa lebih tenang menghadapi para aparat yang salah paham menganggap dia pelacur jalanan… Andai dia tidak sampai berkata rela menyerahkan kehormatannya kepada manusia-manusia bejat tadi demi menyelamatkan Citra…
Tapi, bukankah dirimu memang seperti itu, Tia?
Sudah, akui saja, Tia. Kamu memang pelacur. Kamu sengaja berdandan seksi demi menggoda laki-laki. Kamu bersedia tidur dengan siapa saja.
“Bukan… bukan… aku bukan seperti itu… aku Tia, istri Mas Bram… bukan perempuan seperti itu…” bisik Tia, tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
Hahaha. Kenapa nyangkal, Tia sayang? Kamu senang kan waktu mata semua laki-laki tertuju kepadamu? Kamu menikmati dihimpit tubuh si komandan itu kan? Kamu orgasme waktu disetubuhi tiga orang sekaligus kan tadi?
“Bukan… tidak…”
Kamu wanita murahan, Tia! Kamu pelacur! Akui saja dan terima!
Tia ingin menangis, tapi air matanya tak mau keluar. Siapa sebenarnya yang berbicara dalam kepalanya? Apakah itu dirinya sendiri?
Siapa sebenarnya dirinya? Apakah dia memang seperti itu?
“Udah sampe, nih,” kata-kata Gde menghentikan lamunannya. Mobil Gde sudah berhenti di depan rumah Tia. Julfan dan Gde membantu Tia memapah Citra ke dalam rumah. Bram belum pulang…
Sebelum pergi, Gde mengatakan sesuatu kepada Tia.
“Kalau saya jadi kamu, saya gak akan bilang siapa-siapa soal kejadian malam ini. Kalau ada ribut-ribut, kamu sendiri yang rugi… saya nggak tau apa jadinya ya kalau nama kamu malah jadi masuk koran di halaman kriminalitas. Apalagi kalau bisnis kakak iparmu kebawa-bawa.”
Si komandan aparat itu lantas pergi sambil tersenyum lebar, bersama Julfan.
*****
Citra tertidur seperti orang mati di sofa ruang tamu rumah Tia. Tia duduk lemas, terus merenung. Tia sudah berusaha menenangkan diri dengan mencuci muka, mandi, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian tidur yang nyaman, tapi hatinya tetap gundah.
Jam 1 malam.
Terdengar suara pintu garasi dibuka, lalu mobil masuk garasi. Tia tak beranjak dari kursinya. Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, dan masuklah Bram.
“Yang, aku pulang, maaf kemalaman…”
“MAS BRAM…!!”
Tia langsung menubruk Bram, memeluknya, dan menangis sejadi-jadinya di dada Bram. Segala perasaannya baru bisa tumpah di sana… tapi dia tak mampu menjelaskan apa yang terjadi.
“Eh, ada apa nih… Sayang, ada apa… kenapa kamu nangis?”
Tia memandangi wajah suaminya dengan mata basah. Dia hendak membuka mulut untuk bercerita, tapi semua peristiwa yang baru dia alami berkelebat di dalam benaknya, membuat dia ngeri dan malu sehingga dia pun tak mampu mengungkapkannya kepada Bram.
Saat itu Bram tak menyadarinya… tapi kehidupan Tia sesudahnya tak akan sama lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment