rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Wednesday, 16 July 2014

Slutty Wife Tia 3: Satu Hari di Rumah Tia

-ringkasan cerita sebelumnya- Tia bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan binal. Pada suatu malam, Mang Enjup, atasan Bram, mampir ke rumah sembari mengantarkan Bram yang mabuk dan bertemu Tia yang sedang berpenampilan demikian. Mang Enjup yang memiliki ilmu gendam dan niat busuk sekalian mengubah kondisi mental Tia… Bagaimana kehidupan Tia selanjutnya? 1. PAGI Tia Tia Suatu pagi di rumah Bram dan Tia. Beberapa hari sesudah kunjungan Mang Enjup ke rumah yang tidak diingat oleh Bram maupun Tia. Padahal kita tahu apa saja yang dialami oleh Tia malam itu. Pagi itu sekitar jam 8, Bram sudah berangkat ke kantor, sedangkan Tia baru saja selesai mandi pagi dan berganti pakaian setelah tadi mengurusi Bram. Tia mulai merasakan ada yang ganjil pada dirinya. Entah kenapa, tadi waktu mandi dia jadi lebih lama dan intens mengelus-elus tubuhnya sendiri. Sesudah mandi, Tia mengenakan daster panjang longgar nyaman yang biasa dia pakai sehari-hari. Kalau berencana seharian di rumah seperti pada hari itu, biasanya Tia betah seharian mengenakan daster. Tapi entah kenapa, pagi itu daster itu dirasanya kurang nyaman. Dibukanya lagi lemari bajunya, dan diambilnya satu daster lain. Daster setali berwarna biru, jauh lebih pendek (hanya sampai setengah paha), berbahan tipis. Tia melepas daster panjangnya dan ganti memakai daster biru pendek itu. Kalau daster panjang yang tadi menutupi bahu dan lengan atas Tia, yang ini cuma menyisakan seutas tali kain yang menyampir di tiap bahu, sehingga pundak Tia yang cantik itu terbuka. Tidak tahu kenapa, dia merasa lebih nyaman dengan daster babydoll yang seksi itu. Lalu ketika dia duduk di depan cermin di kamar tidurnya, dia merasakan ada yang kurang. Wajahnya… terasa terlalu polos. Jadi, biarpun tidak berencana ke mana-mana hari itu, Tia pun mulai merias wajah. Awalnya dia hanya berbedak tipis. Lalu diulaskannya lipstik pink, tipis saja, di bibirnya. Entah kenapa, dia tergoda untuk menebalkan lipstiknya. Beberapa saat kemudian, bibirnya yang indah itu jadi makin menarik perhatian karena berwarna pink cerah dan dibuat kemilau karena lip gloss bening. Digerainya rambutnya yang sudah kering. Tia mendesah ketika rambutnya mengelus pundaknya sendiri. Ditatapnya dirinya lagi di cermin; dia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah aku sudah cantik? Apakah aku bisa menggoda para lelaki hari ini? Tia tertegun. Terlintas pemikiran tadi di kepalanya. Dia tak tahu dari mana datangnya. Tapi seolah ada perintah dalam kepalanya yang menyuruh dia berpenampilan secantik-cantiknya, supaya bisa menarik perhatian laki-laki. Dan dia tak kuasa melawannya. Entah kenapa. ***** Biarpun orangtuanya pengusaha sukses, sejak kecil Tia terbiasa bergaul dengan orang-orang kalangan bawah. Ketika kuliah pun Tia sering aktif dalam kegiatan bakti sosial sehingga sering bertemu dengan kaum miskin. Tia memang punya kepedulian sosial yang besar, dan patut diacungi jempol karena konsisten mempraktekkannya dalam kehidupan nyata. Salah satu wujudnya adalah dalam kebiasaan Tia berbelanja. Sementara nyonya-nyonya kalangan atas biasanya ogah berbelanja di pasar atau di tukang sayur dan memilih belanja di pasar swalayan, Tia lebih suka belanja kebutuhan dapur sehari-hari di tukang sayur. Dan hari itu pun, seperti biasa, seorang tukang sayur langganan Tia mampir ke rumah Tia. Tia membuka garasi membiarkan gerobak tukang sayur masuk. Tukang sayur langganan Tia adalah seorang laki-laki berumur 40-an tahun, namanya Legiman, tapi lebih terkenal di kalangan ibu-ibu pelanggannya dengan nama “Pak Kumis” karena, ya karena apa lagi, kumisnya. Kumisnya boleh diadu dengan kumis diktator Timur Tengah yang sudah mati digantung ataupun kumis suami seorang artis dangdut yang terkenal karena goyangan khasnya. Wajah bulatnya yang berkulit hitam biasa tertutup caping. Ketika datang ke rumah Tia pagi itu, Pak Kumis mengenakan kaos partai bekas kampanye bertahun-tahun lalu yang belel dan agak kekecilan sehingga perutnya yang membuncit tampak menonjol, juga celana panjang usang dan sandal jepit. Memang bisnis tukang sayur itu tak besar-besar amat untungnya, tapi Pak Kumis tidak mempermasalahkan jalan hidupnya, yang penting ada kerjaan biar bisa makan. Apalagi kalau dia mengingat bahwa masih banyak ibu-ibu yang menunggu kehadirannya tiap pagi. Pak Kumis harus mengakui, salah satu langganannya tampil agak beda hari ini. Ya, Bu Tia memang masih muda dan lumayan menarik, tapi pagi ini, dengan baju lebih pendek dan rias wajah, dia terlihat lebih menarik. Tapi sebagai tukang sayur profesional yang berpengalaman, Pak Kumis tetap melayani Tia dengan baik seperti biasa. Pak Legiman 'kumis' Pak Legiman 'kumis' Tia memilih-milih tomat, bawang, terong, toge, pepaya. Belum terpikir mau masak apa untuk Bram nanti malam. Ah, ikan saja. Dengan sop sayuran. Cuci mulutnya pepaya segar. Dimintanya Pak Kumis memilih dua ekor ikan yang kemudian dibersihkan sisiknya dan dibuang isi perutnya. Tia memperhatikan lengan Pak Kumis yang bergerak-gerak ketika pemiliknya menyiapkan ikan. Lengan berkulit hitam itu ternyata berotot dan tegap, maklum karena waktu muda pemiliknya tiap hari berolahraga mencangkul sawah di kampung, dan sampai sekarang pun masih terus latihan mendorong gerobak yang lumayan berat berkeliling kota. Sepintas Tia membayangkan bagaimana rasanya dirangkul oleh lengan-lengan itu… “Semuanya empat puluh empat ribu, Bu Tia,” suara Pak Kumis membuyarkan lamunan Tia. Pak Kumis menyodorkan dua kantong plastik berisi belanjaan Tia, ikan dan sayuran dan pepaya, dengan sopan. Tia menerimanya lalu membuka dompet. Ada beberapa lembar uang Rp100.000 di dalamnya; tidak ada uang kecil. “Saya adanya seratus ribuan Pak, ada kembaliannya?” tanya Tia sambil menyodorkan selembar Rp100.000. “Tunggu sebentar ya Bu,” Pak Kumis kemudian membuka tas pinggang kumal yang melingkari perutnya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang yang kucel, lalu dihitungnya. “Wah, nggak ada kembaliannya, Bu. Saya tinggal dulu ya? Mau tukar duit.” Pak Kumis pergi meninggalkan garasi rumah Tia dan gerobak sayurnya di sana sebagai jaminan, kalau-kalau dia tidak balik lagi Tia bisa menyita gerobak tersebut. Nah, rumah Tia terletak agak jauh dari warung, toko, pangkalan ojek, dan tempat-tempat lain di mana orang bisa menukar uang untuk kembalian, jadi sepertinya Pak Kumis akan pergi agak lama. Dengan dua kantong plastik agak berat di tangan, Tia memutuskan untuk membawa belanjaannya ke dalam rumah dulu. Tapi…Setelah ada di dalam rumah, Tia terpikir mengenai salah satu barang yang baru dibelinya dari Pak Kumis. Jadilah dia berhenti di ruang tamu, duduk di kursi terdekat, sambil merogoh ke dalam kantong berisi sayuran mencari barang itu. Dapat! Tia memegangi sebuah terong yang tadi dibelinya. Ungu, panjangnya sekitar 20 senti, dan cukup tebal. Padahal yang mau dimasak Tia ikan goreng dan sop sayuran… kenapa dia juga beli terong? Bukan, Tia bukan mau memasak terong itu. Entah kenapa, sayuran yang bersangkutan mengingatkannya kepada sesuatu. Atau lebih tepatnya, menyerupai fantasinya tentang sesuatu. Tia menggenggam terong itu penuh rasa sayang, sambil mengamat-amatinya. Pelan-pelan disingkapnya sedikit daster pendeknya, sehingga seluruh pahanya terlihat, terus sampai ke celana dalamnya yang polos dan tipis. Lalu… meskipun tak mengerti benar mengapa dia melakukannya Tia kemudian mengeluskan ujung terong yang dipegangnya ke bagian depan celana dalamnya. Sentuhan lembut ujung terong yang bulat dan masih keras itu terhadap vagina di balik celana dalam membuat Tia merinding. Tambah merinding dia karena dia tak membayangkan terong itu sebagai sayuran, melainkan kejantanan penjualnya. Betul, Tia sedang membayangkan tukang sayur langganannya yang berkulit hitam dan berlengan kekar itu. Dalam bayangannya, agar seimbang dengan lengannya yang keras dan kumisnya yang ganas, senjata pusaka Pak Kumis mestilah gelap dan mantap seperti terong yang dipegangnya. Berulangkali Tia menggosok-gosok celana dalamnya dengan terong itu, kadang sampai menekannya agar ujungnya sedikit melesakkan bahan celana dalam di antara belahan kewanitaannya. Tia mulai mendesah selagi nafsunya terbangkitkan. Dia jadi tidak puas dengan hanya menggoda kemaluannya sendiri dari balik kain, dan menggeser sedikit celana dalamnya sehingga terong yang beruntung itu mengelus-elus kedua bibir luar vagina Tia. Setelah kewanitaannya mulai basah, Tia pun tak ragu lagi untuk memberi kesempatan kepada si terong untuk mempenetrasi manusia. Ujung terong itu diterima dengan hangat dan becek oleh vagina Tia. Yang dibayangkan Tia tentunya bukan bercinta dengan terong, melainkan Pak Kumis tukang sayur langganannya itu. Terong itu pun mulai pelan-pelan digerakkan tangan Tia keluar masuk. Sambil mengangkat paha kirinya, tanpa sengaja bibir Tia membocorkan apa yang sedang ada di pikirannya. “Ah… ammm… Pak Ku… mis… engg…” GEDUBRAK! Tiba-tiba pintu depan rumah Tia terbuka mendadak dan terjatuhlah tukang sayur yang bersangkutan ke lantai di samping kursi yang diduduki Tia. Tia dan Pak Kumis sama-sama terkejut. Jadi begini ceritanya: Pak Kumis sudah berhasil menukar uang 100 ribu yang diberikan Tia, dan dia kembali ke rumah Tia membawa kembalian. Waktu dia kembali, dilihatnya Tia sudah tidak ada di garasi, dan pintu depan rumah Tia setengah terbuka. Menganggap Tia sudah di dalam, Pak Kumis mendekati pintu, bermaksud mengetuk pintu untuk menyerahkan kembalian kepada Tia. Tapi dia tanpa sengaja malah mengintip Tia yang sedang menjebloskan sebuah terong ke vaginanya, dan sejenak dia tak berani beranjak dari posisinya di depan pintu yang terbuka sedikit itu. Ketika Tia menyebut namanya tadi, saking kagetnya, Pak Kumis sampai terpeleset, mendorong pintu sampai terjeblak, dan jatuh ke dalam rumah. “Adudududuh…” Pak Kumis meringis karena mencium lantai marmer. “Ahhnnnh…” Tia meringis karena desakan terong di celah kewanitaannya. Dua-duanya sama-sama terpaku beberapa saat, lalu tiba-tiba sadar akan anehnya situasi. Pak Kumis buru-buru berusaha bangun dan keluar, tapi kalah cepat dengan Tia yang langsung bangkit, dan menutup pintu tanpa membiarkan Pak Kumis keluar dari rumah ataupun terong keluar dari kemaluannya. “Eh, Bu Tia…? mmMmmMM??” Tia mendorong Pak Kumis ke tembok di belakang pintu, sambil menutup mulut Pak Kumis… dengan bibirnya. Saking kagetnya akan kegesitan gerakan Tia, Pak Kumis hanya bisa pasrah ketika bibir merah nyonya muda langganannya itu memaksa bibirnya terbuka lebar, dan lidah Tia merangsek ke dalam rongga mulutnya. Dengan buas Tia memberi french kiss kepada si tukang sayur, tanpa memedulikan gesekan kumis tebal Pak Kumis yang kasar ke kulit sekitar bibirnya. Satu tangan Tia kembali memain-mainkan terong di kemaluannya, tangan lainnya menelusuri dada dan perut Pak Kumis, turun terus, ke bawah tas pinggang kumalnya, sampai ke bagian depan celana Pak Kumis. Pak Kumis bukanlah orang yang suka main perempuan, dia cukup setia dengan istrinya yang dia tinggal di kampung halaman agar mengurus anak, tapi menghadapi seorang perempuan muda berpenampilan seksi yang dengan ganas melumat bibirnya dan mengelus-elus burungnya, tukang sayur itu tak berdaya. Dia tak kuasa melawan ketika Tia menarik turun resleting celananya dan langsung mengocok penisnya. Selesai menciumi habis bibir Pak Kumis, Tia langsung berjongkok di hadapan Pak Kumis, mengamati terong yang masih juga dia sodok-sodokkan sendiri ke vaginanya, lalu barang aslinya yang memang hitam dan sekarang keras di depannya. Tanpa memedulikan apapun termasuk kata-kata penolakan setengah hati dari Pak Kumis, Tia menggesekkan pipinya ke batang hitam tegap itu, mengendus baunya, menjulurkan lidah untuk mencicipi rasanya. “Aduh… Bu Tia… jangan Bu Tia…” keluh Pak Kumis, yang konak sekaligus ketakutan karena tidak tahu apa yang terjadi pada langganannya itu. Tapi dia tidak berbuat apa-apa untuk menjauh dari Tia. Dia hanya bengong sambil melihat burungnya yang sudah tegang dimain-mainkan Tia. Tia makin berani, dan sekarang mulai memasukkan penis Pak Kumis ke mulutnya. Bibir atas Tia menjepit daging kemaluan Pak Kumis sementara bibir bawahnya menjepit terong paling beruntung di dunia. Pak Kumis merasa bulu kuduknya berdiri ketika gigi dan lidah Tia menyentuh urat-urat di barangnya. Dia tak tahu apakah harus merasa senang atau kuatir selagi membiarkan anunya diisap Tia. Sementara yang mengisap tidak peduli; yang Tia pikirkan hanyalah betapa besarnya kejantanan Pak Kumis, dan betapa kerasnya terong yang menjolok kewanitaannya. Ada yang bilang perempuan lebih mampu melakukan multitasking, mengerjakan beberapa tugas sekaligus, daripada laki-laki. Setidaknya Tia memang seperti itu, karena dia menyodok vaginanya sendiri makin cepat dan dalam dengan terong betulan sambil memperhebat godaannya terhadap ‘terong’ Pak Kumis. Sementara Pak Kumis yang tidak bisa multitasking itu akhirnya tak bisa berbuat apa-apa karena urutan penalaran di otaknya sudah dibajak oleh kenikmatan badani yang diberikan mulut Tia. Tubuh Tia ikut menggelinjang selagi nafsunya terus meningkat menuju puncak. Terong di kemaluannya digerakkan makin dahsyat… sampai akhirnya membuat Tia menjerit keenakan dalam klimaks. Mendengar suara kenikmatan Tia yang begitu menggoda, Pak Kumis merasa tak kuat lagi menahan. Muncratlah burungnya tepat di depan Tia, sehingga wajah cantik Tia ternoda cairan kelelakian si tukang sayur. Tia terduduk lemah, merasakan hangatnya benih terlarang Pak Kumis menerpa hidung dan pipinya. Pak Kumis yang masih agak panik melihat ada kesempatan dan segera menutup celananya, lalu mencoba beranjak selagi Tia terduduk lemas akibat orgasme. Sambil memalingkan muka dia berusaha keluar, tapi ketika dia membuka pintu dan mau meninggalkan ruang tamu Tia, dia merasakan celananya ditarik. Pak Kumis menoleh dan melihat wajah Tia yang belepotan sperma itu menunjukkan ekspresi lapar. Lapar akan laki-laki. “Aduh, Bu Tia… tolong jangan… Saya nggak bisa…” pinta Pak Kumis dengan wajah memelas. Kurang pantas sebenarnya tampang memelas dengan kumis se-sangar itu. Saat itu juga Tia berdiri pelan-pelan, lalu mendekatkan mukanya ke muka Pak Kumis yang ketakutan, lalu berbisik: “Maafin yang tadi Pak… tolong jangan cerita ke siapa-siapa… Dan ambil aja kembalian yang tadi.” Nada suaranya begitu kalem sehingga Pak Kumis jadi tenang lagi. Tia berbisik lagi, kali ini nadanya agak manja. “Jangan nggak balik lagi ya Pak Kumis… saya tetap mau langganan belanja sama Pak Kumis, ya? Janji deh, nggak akan terjadi lagi yang seperti ini…” “…Iya …iya …” Pak Kumis mengiyakan dengan lirih. Setelah itu, Tia melepaskan tangannya, dan Pak Kumis bergegas pergi. Dengan terburu-buru Pak Kumis mendorong gerobak sayurnya keluar. Karena masih panik, gerobaknya sampai menabrak pagar rumah Tia sewaktu mau keluar. Setelah Pak Kumis pergi, Tia baru merasakan betapa tak wajarnya tindakannya tadi. Cepat-cepat dia buang terong yang tadi membuatnya orgasme. Kenapa dia sampai begitu? Berfantasi mengenai tukang sayur sampai-sampai ‘tanpa sengaja’ membeli terong untuk memuaskan dirinya sendiri, dan memaksa melakukan oral seks terhadap Pak Kumis yang sejenak terjebak dalam rumahnya? Tia bingung sendiri. ******** 2. SIANG Setelah pagi yang tak terduga itu, Tia akhirnya bisa menenangkan diri lagi. Dia kembali ke rutinitasnya, membaca laporan dan berkas-berkas yang berkaitan dengan usaha keluarganya, melakukan beberapa perhitungan, sambil menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Dia tak mengganti baju daster pendek biru-nya. Dia juga sudah mencuci muka—dan memulas kembali mukanya dengan make-up sehingga dia kembali tampak secantik penampilannya tadi pagi. Tia makan siang sendirian, hanya nasi dengan lauk seadanya. Dia juga membelah pepaya yang tadi pagi dibelinya dari Pak Kumis. Pepaya itu terlalu besar. Kalau hanya dimakan berdua dengan Bram, tidak akan habis dengan cepat. Ah, kalau begitu separonya nanti sore kukasih Kak Citra, pikir Tia. Sepinya siang itu tiba-tiba terpecah suara genjrengan gitar, tepuk tangan, dan nyanyian asal-asalan dari depan pintu. “Ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak bilang aku aku yang tengah malu sama teman-temanku karena cuma diriku yang tak laku-laku” Terdengar suara dua orang laki-laki, suara ‘tanggung’ seperti baru pecah, peralihan dari suara anak-anak ke dewasa. Tia yang sedang duduk di depan meja makan sambil mengunyah seiris kecil pepaya dan menghadapi piring bekas makan siang segera minum dan mengelap mulut, lalu bergerak ke depan untuk mengintip sumber suara itu dari balik jendela depan. Di luar pagar dilihatnya dua bocah tanggung, seperti seumuran anak kelas 3 SMP atau 1 SMA. Salah satu membawa gitar akustik yang ditempeli banyak stiker, sementara kawannya cuma mengandalkan tepuk tangan untuk mengiringi nyanyian. Tia kembali ke dalam untuk mengambil sedikit uang dari dompetnya, bermaksud berbagi rezeki dengan kedua pengamen muda itu. Tia lalu membuka pintu samping yang terhubung dengan ruang makan dan dapur, dan berjalan keluar. Setelah keluar, Tia bisa melihat lebih jelas kedua pengamen itu, keduanya tampak seperti biasanya anak jalanan, lusuh, kurus, dan berkulit gelap terbakar matahari. Keduanya mengenakan jeans belel dan kaos hitam bertuliskan nama-nama band beraliran keras. Gaya rambut keduanya sama-sama tak biasa: yang bertepuk tangan rambutnya dibuat spike, mencuat di sana-sini seperti duren atau landak, sementara kawannya yang main gitar membotaki pelipis kiri-kanan sehingga mirip gaya mohawk walaupun rambutnya yang tersisa di tengah tidak diberdirikan, mungkin karena kurang modal. Terlihat tindikan menghiasi tempat-tempat di muka mereka. “Makasih tante…” kata si rambut mohawk ketika menerima dua lembar uang seribuan dari tangan Tia. Yang memberi dan yang menerima sama-sama tersenyum, Tia tersenyum tulus karena senang bisa beramal, kedua pengamen itu tersenyum bahagia karena bisa ketemu perempuan secantik bidadari pada siang yang panas itu. Biasanya mereka ketemu pembantu, nenek-nenek, atau anjing penjaga. Senyum si rambut mohawk tapi berubah ketika dia mengingat sesuatu. “Lho… ini Kak Tia kan?” Tia kaget juga mendengar si pengamen rambut mohawk menyebut namanya. Tahu dari mana… eh, memang sepertinya… Dia kan… “Janu?” Si mohawk nyengir memamerkan giginya yang menguning dan bolong satu. “Iya Kak, saya Janu, yang dulu di rumah singgah!“ “Ooo, Janu! Iya iya, inget. Yang waktu dulu itu ya. Kamu udah lebih jangkung, ya?” “Hehehe, iya dong kak, kan udah gede sekarang.” Fi & Janu Fi & Janu Kegiatan bakti sosial Tia waktu mahasiswa juga mencakup menjadi guru bagi anak-anak terlantar di suatu rumah singgah. Salah seorang anak yang sempat dia ajar adalah Janu, yang sekarang kebetulan ngamen di depan rumahnya. Janu dulu bandel dan liar karena ditempa kerasnya kehidupan di jalan, tapi di rumah singgah itu dia paling menurut pada Tia. “Eh, Janu, ayo masuk dulu! Kak Tia pengen ngobrol sama kamu sebentar, ya. Lagian sekarang kan panas, kalian mau minum dulu kan?” Tia menawarkan. “Gimana, Fi?” Janu menengok, bertanya ke temannya yang berambut landak. Temannya mengangguk. Tia membukakan pintu garasi lalu mempersilakan keduanya masuk. Janu dan kawannya yang dia panggil Fi itu masuk, lalu duduk di teras. “Ayo masuk aja, gak usah malu-malu,” ajak Tia. “Jangan repot-repot Kak Tia, kita di luar aja,” tampik Janu sopan. Fi langsung menyindir kawannya, “Ceileh, sopan amat lu Jan, kalo ngadepin cewek cantik aja langsung sok keren, kayak ganteng aja lu…” yang mengakibatkan kepala landak Fi ditoyor Janu. “Kirik, diem lu, dia kakak gue yang ngajarin gue dulu, masa’ gue ga sopan ama dia?” balas Janu. Tia tertawa kecil melihat tingkah kedua pengamen itu. “Janu dan… siapa tadi, Fi? Tunggu di sini dulu ya. Biar Kak Tia ambil airnya dulu.” Tia masuk kembali ke rumah lewat pintu samping, yang menuju ke ruang makan. Diambilnya sebotol air es dari kulkas. Di dalam kulkas dilihatnya pepaya yang sebagian sudah dia makan tadi. Dia putuskan untuk berbagi cemilan juga dengan kedua bocah tadi. Maka diiriskannya dua potong besar pepaya untuk Janu dan Fi. Janu dan Fi yang meneruskan adu cela sambil duduk di lantai teras terdiam ketika Tia muncul lagi. Keduanya terpesona dengan sosok Tia yang tampak begitu cantik di mata mereka. Apalagi nyonya muda itu datang membawa sebotol air sejuk dan sepiring buah segar. Seolah-olah bidadari datang dari kahyangan membawa berkah kenikmatan bagi manusia-manusia hina seperti mereka berdua. Sungguh bersyukur Janu dan Fi siang itu, bisa duduk sambil mendinginkan tenggorokan mereka yang kering dengan minum air dingin dan makan pepaya ditemani seorang wanita jelita. Sambil menemani kedua pengamen itu, Tia ngobrol lebih lanjut dengan Janu tentang keadaan di rumah singgah. Tia berhenti mengajar di sana waktu mulai membuat skripsi, dan tidak pernah ke sana lagi setelah lulus dan menikah. Menurut Janu, kegiatan belajar di sana terus berlanjut, tapi Janu sendiri yang sudah tambah besar mulai jarang ikut, dan dia menyambung hidup dengan ngamen bersama kawan-kawannya sesama anak jalanan, termasuk Fi. Tia menasihati agar Janu jangan melupakan sekolah, supaya tetap bisa punya masa depan. Fi tidak banyak bicara karena baru kenal dengan Tia, tapi Tia memperhatikan bahwa mata teman Janu itu tak lepas-lepas mengamatinya. Tak lama kemudian suguhan air es dan pepaya pun habis. Untuk pertama kali, Fi berbicara dengan Tia. “Kak, makasih ya. Kalau boleh, biar kita cuci-in piring dan gelas bekas kita.” Setelah berpikir sebentar Tia setuju. “Silakan. Di dalam aja ya nyucinya. Ayo ikut Kakak.” Fi dan Janu membawa piring dan gelas mengikuti Tia yang masuk ke rumah lewat pintu samping. Di balik pintu samping itu ada koridor pendek sempit menuju ruang makan dan dapur rumah Bram dan Tia. Tia menunjukkan wastafel tempat cuci piring dan kedua pengamen itu pun mencuci alat makan yang tadi mereka pakai. Setelah selesai, keduanya berbalik untuk keluar rumah. Tia berjalan mendahului mereka ke arah pintu, bermaksud membukakan pintu samping. Fi berada tepat di belakang Tia. Ketika Tia hendak membuka pintu, dengan iseng Fi mencolek pantat Tia. “Aww!?” Tia memekik dan langsung menangkap tangan Fi yang belum jauh dari pantatnya. Janu yang berada di belakang Fi menyadari apa yang baru dilakukan temannya, dan langsung menarik kerah kaos Fi dari belakang. “WOY!” teriak Janu langsung ke kuping Fi. “Lu jangan berani kurang ajar sama kakak gue ya, kirik! Aduh, maaf banget Kak Tia, si kirik ini emang brengsek, biasa nongkrong di rumah emaknya di lokalisasi soalnya, makanya tangannya jail. Ayo lu minta maaf sama kakak gue! Sekarang!” Bukannya insyaf, Fi malah menghardik balik. “Jangan bawa-bawa emak gue juga dong, bangke!” “Sudah, sudah!” seru Tia. Kedua pengamen itu memandangi muka Tia dan anehnya Tia terlihat sangat tenang, tidak marah ataupun malu sebagaimana biasanya perempuan kalau habis dilecehkan. “Janu, nggak usah marah sama dia, Kakak nggak apa-apa kok,” kata Tia kalem. “Tapi Kak… dia udah gak sopan sama Kakak! Emang pantas dihajar dia Kak!” Janu masih panas. Tangan Tia yang satu lagi meraih tangan Janu yang mencengkeram leher kaos Fi, lalu menggenggamnya dengan lembut sehingga cengkeraman Janu lepas. “Makasih ya Janu, kamu mau ngebelain Kakak. Nggak apa-apa kok. Fi nggak salah.” Genggaman lembut Tia membuat amarah Janu mereda. Padahal tadi dia sudah siap menonjok Fi. “Fi,” kata Tia, “Dari tadi kamu ngelihatin Kakak kan?” “I… iya…” kata Fi pelan. “Kenapa, Fi?” “Habisnya… Kakak seksi, sih… gimana gak ngelihatin…” jawab Fi dengan jujur. “Udah gue bilangin lu jangan kurang ajar sama kakak gue!” lagi-lagi Janu mendamprat Fi. “Janu, udah dong, jangan marah sama Fi…” Dan tanpa disangka-sangka Janu, tangan Tia melepas genggaman di tangan Janu, membelai lembut pipi Janu, lalu kembali menggenggam tangan Janu. Tia kembali ke Fi. “Emangnya tadi kamu lihatin apa, Fi?” “…Uh…” “Ya?” Tia tersenyum ke arah Fi yang sekarang tersipu. Fi bingung apakah harus menjawab atau tidak. “…ya… ngelihatin muka Kakak… kulit Kakak… habisnya Kak Tia cantik ih…” Tia menarik tangan Fi yang tadi mencoleknya ke dekat mukanya sendiri… dan menggigit lembut jari telunjuk Fi. “Fi bohong ya sama Kakak…” kata Tia dengan nada nakal. “Bilang yang jujur, kalo enggak Kak Tia gigit lebih keras ni…” Fi tidak yakin gigitan Tia bakal serius, tapi dia kemudian merasakan tekanan gigi Tia, dan dia memutuskan untuk segera menjawab. “Iyaiyaiya Fi ngaku… Tadi Fi ngelihatin… toket Kakak.” “Hmm…” gumam Tia. “Terus?” “…ngelihatin pantat Kakak juga, habis bohay sih, apalagi waktu jalan di depan Fi tadi…” Janu berusaha menarik tangannya dari genggaman Tia, mau menghajar Fi, tapi Tia tidak melepasnya. Bukan cuma itu—setelah melepas jari telunjuk Fi dari gigitan, giliran tangan Janu yang Tia tarik ke dekat mukanya. Janu tertegun melihat Kak Tia yang selalu dikaguminya itu menjilat dan mengulum telunjuk dan jari tengahnya. Kedua pengamen muda itu kini dalam posisi berhadapan dengan Tia di koridor sempit yang menghubungkan pintu samping menuju luar rumah dan ruang makan, tangan kiri Tia menggenggam tangan kanan Fi yang tadi digigit, dan tangan kanan Tia menggenggam tangan kanan Janu yang barusan dikulum. Jantung keduanya berdebar-debar akibat tindakan Tia yang berani itu. “Makanya kamu tadi nyolek pantat Kakak, ya Fi?” tanya Tia. “Ehm…” Fi tak berani menjawab karena malu. “Kalau gitu kamu mau nyolek toket Kakak juga kah?” tanya Tia lagi. “…” Fi tambah tidak bersuara. “Hayooo…” sindir Tia. “Kak…” Malah Janu yang menanggapi, biarpun tidak jelas mau bicara apa. Saat itu juga, tanpa menunggu persetujuan yang punya tangan, Tia menarik tangan Fi sampai menyentuh payudaranya. Daster birunya tidak memberi perlindungan memadai kepada sepasang keindahan di dada Tia itu, dan sejak tadi memang Fi sudah bisa menikmati lembah dan dua bukit mulus nan sekal yang mengintip di balik kain tipis. Fi menatap muka Tia dengan tak percaya, dan Tia membalas tatapan Fi dengan anggukan setuju. Dengan malu-malu Fi mengembangkan jemarinya dan mulai menjamah kelembutan buah dada Tia. “Fi!” teriak Janu tak setuju. Dia mau protes lagi, tapi keburu merasakan sensasi aneh tapi menyenangkan ketika tangannya dibawa ke payudara Tia yang satunya. Janu merasa bulu kuduknya berdiri ketika jarinya berkenalan dengan empuknya payudara Tia. “Kak… Tia…” Janu hanya bisa berkomentar lirih ketika dia tak kuasa melarang tangannya mengikuti tangan Fi mencengkeram sepasang payudara Tia. Rasanya tak percaya dia melihat Kak Tia yang begitu baik dan pintar dan cantik itu membiarkan tubuhnya dipegang-pegang orang. Lebih dari itu: Tia malah membuat tangan mereka berdua meremas-remas payudaranya. Namun sebagai remaja di tengah masa puber Janu tak bisa melawan gelora nafsu yang dipicu Kak Tia idolanya. “Emmm…” Tia menggumam karena remasan tangan kedua pengamen muda itu mulai membangkitkan gairahnya. Dia kemudian menjauhkan tangan Janu dan Fi dari payudaranya, dan mendekat ke keduanya. “Janu, Fi… Gimana rasanya dada kakak?” tanya Tia dengan bibir tersenyum manis. Janu tidak berani menjawab. Fi berani. “Kenyal… empuk…” “Pengen lihat?” pancing Tia. Fi mengangguk. Tia melepas tangan Fi, dan segera memelorotkan kedua tali bahu dasternya. Kedua pengamen menahan nafas melihat sepasang buah ranum terbebaskan dari bungkusannya, menantang mereka berdua untuk menikmati. Tadi keduanya tidak berani bertindak. Tia tertawa kecil melihat mereka berdua salah tingkah. “Kak… Kak Tia…” Dari tadi Janu tidak bisa berkata yang lain. Tia tersenyum ke arah Janu, lalu merangkul kepala Janu, dan mendekatkan muka Janu ke dadanya. Fi menelan ludah karena iri, sementara Janu tiba-tiba merasa sangat nyaman, damai, dan nikmat ketika pipinya bersandar di bantalan empuk payudara Tia. Saat itu Janu bersyukur, dalam kehidupannya yang kurang bahagia dia berkesempatan bertemu Tia, tidak hanya karena Tia cantik dan baik dan mengajarinya banyak hal, tapi juga karena Tia telah memberinya kebahagiaan seperti itu. Tia mendekap dan mengelus-elus kepala Janu seolah-olah Janu itu bayi yang sedang digendongnya. Sentuhan paku logam yang menyelip di alis Janu membuat Tia geli. “Fi mau juga?” tanya Tia kepada Fi yang sudah menanti, dan tanpa menunggu ditarik, Fi langsung mendekatkan mukanya ke payudara Tia yang satunya. Seperti yang tadi disebut Janu, Fi memang besar di lingkungan pelacuran, dan meski masih sangat muda dia bukan orang yang polos dalam hal menyentuh wanita. Kalau Janu cuma bersender, Fi malah buka mulut dan menjulurkan lidahnya menyentil-nyentil puting Tia. Tia terpekik lagi akibat ulah nakal Fi, tapi dia membiarkan Fi melakukan itu. Sambil merangkul Fi, Tia meraih muka Janu. Tia berbisik, “Janu kamu pernah ciuman nggak?” yang dijawab Janu dengan gelengan kepala. Dan serta-merta Tia memberikan pengalaman ciuman pertama untuk anak jalanan yang pernah diajarnya itu. Tidak tanggung-tanggung, ciuman pertama Janu bukan sekadar kecupan singkat dari Tia, melainkan french kiss penuh nafsu. Janu kaget, dia tak menyangka Kak Tia-nya bisa bersikap seperti ini. Selama ini Janu mengagumi Tia seolah seorang dewi, dengan kebaikan dan kasih sayang serta kecantikan sederhana yang anggun, namun imej itu dikacaukan tindakan Tia. Namun itu tidak membuat rasa kagum Janu terhadap Tia pudar. Hanya saja dia tidak mudah mengerti mengapa Tia jadi seperti ini. Ataukah dia saja yang tak pernah tahu sifat Tia yang sebenarnya? Sementara lidah Tia bertemu dengan lidah Janu di dalam rongga mulut Janu, lidah Fi terus beraksi di seputar puting kiri Tia. Fi tidak hanya menjilat dan menyentil, tapi juga menggigit dan mengulum puting Tia. Fi makin berani ketika dia merasa tangan Tia di belakang kepalanya justru menekan kepalanya mendekat, pertanda Tia suka dengan perbuatannya. Tia mulai melakukan gerakan lain, kedua tangannya kini sudah tak lagi menggenggam tangan Janu dan Fi, tapi mulai menyelip di balik kaos Janu untuk mengelus perut dan dada Janu, dan merangkul Fi. Bukan tubuh atas mereka berdua yang menjadi sasarannya… tak lama kemudian tangan Tia sudah turun sampai jendulan di balik celana kedua pengamen itu. Tidak heran kalau mereka ngaceng, siapa yang tidak demikian kalau sedari tadi digoda Tia. Tia tersenyum ke kedua bocah itu, seolah-olah baru menangkap mereka berdua berbuat kenakalan. “Hihihi… kok kalian konak sih…?” goda Tia, pura-pura tidak tahu penyebabnya. Janu membuang muka, masih malu, sementara Fi balas nyengir. Dasar Fi sudah berpengalaman, dengan kurang ajarnya dia membuka resleting celana dan mengeluarkan burungnya, yang disambut tangan Tia tanpa ragu. Sementara Janu tetap terpaku, bingung antara ingin ikut-ikutan berani seperti Fi atau tetap bersikap menghormati Tia. Tia menyadari kebingungan Janu. “Janu… tenang aja ya? Kamu ikutin Kakak aja.” Di sisi lain, tangan Fi menggenggam tangan Tia yang sekarang mulai membungkus ereksinya, dan mulai menggerakkannya naik-turun, membuat Tia mengocok anunya. Tia menoleh dan tersenyum ke arah Fi, membiarkan saja si rambut landak menyalahgunakan tangannya. Perhatian Tia kembali ke Janu. Sambil tetap mengocok Fi, Tia mengecup lembut bibir Janu, lalu pelan-pelan berlutut. Begitu mukanya sudah sejajar dengan selangkangan Janu, seperti seorang pelacur profesional Tia menggigit resleting celana Janu dan menurunkannya, kemudian menjilati jendulan hangat yang masih terbungkus celana dalam. “Kak… jangan Kak… kan kotor…” pinta Janu. Tia melirik ke atas, melihat wajah Janu yang khawatir, dan dengan cueknya dia malah membuka kancing dan memelorotkan celana Janu sekaligus dalamannya. Tia membelai-belai dan memijit-mijit penis Janu. Janu tak bisa menahan desah keenakan keluar dari mulutnya ketika sentuhan jemari Tia memanjakan kemaluannya. Apapun yang mau diperbuat Tia, Janu sudah tak ambil pusing lagi, dia hanya mau menikmati. Pandangan Janu terpaku kepada wajah, tangan, dan payudara Tia yang menggoda, menyihirnya sehingga terperangkap dalam hasrat. Tia melepas pegangannya terhadap penis Janu dan Fi, lalu menarik selangkangan Janu makin dekat dengan tubuhnya. Tia lalu mengangkat tubuhnya sehingga selangkangan Janu sejajar dengan dadanya. Sekali lagi diajaknya tangan Janu menjamah buah dadanya. Di depan muka langsung, Tia memandangi batang Janu yang berdiri tegak. Ketika Tia mencium kepala penis Janu, Janu menahan nafas. Tia melanjutkan dengan memberi gigitan-gigitan halus sepanjang bagian bawah batang itu. Sementara itu salah satu lengan Tia meraih ke belakang tubuh Janu, menggenggam dan mendorong pantat Janu supaya tubuh Janu makin merapat. Kemudian si nyonya muda memutuskan memberi kenikmatan bentuk lain kepada Janu. Memang payudaranya berukuran hanya sedikit di atas rata-rata, tidak besar sekali, tapi cukup untuk melakukan yang ingin dia lakukan. Kedua tangan Tia menggenggam kedua payudaranya sendiri, lalu menjepitkan keduanya ke penis Janu. Kelembutan kedua gundukan itu membuat Janu serasa terbang. Dia mengikuti refleks tubuhnya sendiri dan menggesek-gesekkan batangnya maju-mundur menembus jepitan belahan dada Tia. Fi tidak mau ketinggalan, dia berlutut di belakang Tia dan merangkul pinggang Tia. Jemarinya bergerak ke arah bibir vagina Tia. Anak itu jelas-jelas tidak polos, dia tahu apa yang mau dia lakukan. Dia menjulurkan jemarinya ke dalam vagina Tia dan mendapati bagian dalamnya sudah becek. Sambil nyengir ditaruhnya kepala kontolnya di bibir vagina Tia, tapi— “Eit, maaf ya Fi… boleh pegang, gak boleh dimasukin,” kata Tia sambil meraih ke belakang dan menggenggam penis Fi. Fi dilarang mempenetrasi. Tapi Tia lantas menggesek-gesekkan belahan memeknya mengelus batang Fi. Tia menyadari bahwa posisinya belum memungkinkan dia menyervis kedua pengamen muda itu berbarengan, sehingga kemudian dia menyuruh Janu duduk. Janu duduk di lantai, mengangkang, ereksinya tetap tegak menantang. Tia menjauh lagi dari Fi untuk berlutut dan kemudian berposisi merangkak di depan Janu, kedua buah dadanya menggantung, tangannya kembali mengocok batang Janu. Tia menempatkan kejantanan Janu di antara kedua buah dadanya, lalu menurunkan tubuh depannya sehingga batang Janu kembali terjepit dalam kenikmatan. Gerak maju-mundur tubuh Tia membuat kedua buah dadanya melumat penis Janu, menimpakan godaan badani yang dahsyat kepada alat kelamin yang belum pernah merasakan lawan jenis itu. Sementara itu Tia sepertinya maklum Fi akan bertindak sendiri, dan melihat Tia kini berposisi nungging di depannya, mana bisa Fi diam saja? Tapi Fi tetap menuruti permintaan Tia tadi untuk tidak mempenetrasi, dan dia memilih memuaskan diri dengan menyibak bagian belakang daster Tia sehingga menyingkapkan pantat bahenol perempuan yang diidolakan Janu itu, mencengkeram kedua belah pantat Tia, dan menggesek-gesekkan batangnya di lembah antara keduanya. Janu tak kuasa menahan sensasi lembut yang membekap kemaluannya. Setelah hampir satu menit digeluti kedua tetek Tia, jebol juga pertahanan Janu. Dia memejamkan mata dan meringis ketika tak bisa lagi menahan maninya muncrat ke dada dan leher Kak Tia yang begitu dikaguminya. Mungkin karena jarang dikeluarkan, ejakulasi Janu cukup banyak, terciprat menodai tubuh Tia. Fi bertahan lebih lama, apalagi dia dilarang memasuki vagina atau anus Tia yang sudah menantang di depannya. Cukup lama dia menggesek-gesekkan batangnya di belahan pantat dan bibir memek Tia, menikmati kehangatan dan kelembutan tubuh bagian bawah Tia. Sekali-sekali dikemplangnya pantat Tia. Tak lama kemudian, Tia merasakan seciprat-dua ciprat cairan kental menimpa punggung bawahnya. Fi keluar juga akhirnya. Untuk beberapa lama mereka bertiga tetap terdiam, Janu terduduk, Tia meringkuk dan kepalanya menyandar di perut Janu, Fi juga terduduk lelah di belakang Tia. Yang pertama kali tersadar dan merasa tidak enak adalah Janu, buru-buru dia bangkit dan membantu Tia bangun. Janu langsung menaikkan dan mengancingkan lagi celananya, lalu mengulurkan tangan seolah ingin membantu Tia membetulkan pakaiannya yang tersingkap, tapi kemudian ragu dan menarik lagi tangannya. Janu melihat ke kanan dan kiri, menemukan sekotak tisu, lalu mengambil beberapa lembar dan menyodorkannya ke Tia sambil menunduk. “Ka… Kak Tia… maaf… maafin Janu Kak… maafin Janu…” Suara Janu tercekat, seperti mau menangis, agaknya dia merasa bersalah karena perbuatannya barusan. Tia menerima tisu yang disodorkan, dan menyeka sperma Janu dan Fi yang menodai tubuhnya. Dihampirinya Janu dan diciumnya kening Janu. “Kamu gak salah Janu… ga usah minta maaf. Mestinya Kakak yang minta maaf soalnya udah ngegodain kamu,” kata Tia lembut sambil mengelus rambut Janu. Janu mengangguk dengan agak takut. Sementara di sisi lain, Fi senyum-senyum sendiri. Tanpa banyak kata, kedua pengamen itu pamit dan meninggalkan rumah Tia dengan perasaan campur aduk. Sebelum mereka pergi, Tia sekali lagi meminta maaf kepada Janu dan mengatakan Janu boleh mampir ke rumahnya kapan saja. Tinggallah Tia sendiri. Satu sisi dirinya bertanya-tanya, mengapa dia bisa bertindak seberani itu. Sisi lain dirinya puas karena berhasil menggoda kedua pengamen itu. Dia memang belum mencapai klimaks, tapi dia menyadari bahwa dia sangat menikmati menggunakan tubuhnya untuk merangsang dan menguasai kedua remaja tanggung itu. Dia senang bisa membuat keduanya lepas kendali dan jatuh dalam pelukan birahi. Tia sedang berubah… ***** 3. SORE “Hmmmm…” Tia menggumam karena nikmatnya pijatan Widy di pundaknya. Sore itu Tia berada di salon Citra. Tadi Tia mampir untuk mengantarkan pepaya yang mau dia bagi untuk Citra, tapi setelah ngobrol-ngobrol berkepanjangan, akhirnya Tia malah mendapat sesi pijat refleksi gratis dari asisten Citra, Widy. “Enak kan tangannya Widy? Aku aja suka kok. Saban hari pasti aku minta dia pijat aku dulu sebelum dia pulang,” ujar Citra yang berada di sebelah Tia, sambil mengecat kuku. Widyane—biasa dipanggil Widy—adalah kapster di salon Citra, satu-satunya karyawati Citra. Keahlian utamanya adalah memijat. Widy lebih muda daripada Citra dan Tia, mungkin baru berumur sekitar 20, bertubuh pendek tapi berisi dengan lekuk-lekuk menantang. Tia bisa melihat betapa celana pendek jeans dan T-shirt hijau ketat yang Widy pakai sore itu kerepotan melingkupi bokong dan payudaranya yang semok. Rias wajahnya tidak kalah meriah dibanding Citra, dengan lipstik merah cemerlang dan eyeshadow berwarna gelap di bawah rambut tebal yang agak megar dan sebagian di-highlight pirang. “Eh, Mbak Tia kok sekarang cantikan ya? Biasanya juga cantik, tapi akhir-akhir ini jadi tambah kinclong lhoo…” komentar Widy dengan logat medok. “Iya lah, kan gue yg permak,” ujar Citra bangga. “Tia ini baru dapat pencerahan, makanya perlu ganti imej. Gimana Ti? Mempan gak saranku?” Tia tidak menjawab, namun bibirnya yang tersaput lipstik pink tersenyum. Tapi dia sendiri merasa makin lama makin bisa masuk ke dalam kepribadian yang disarankan Citra. Kepribadian pelacur. Kejadian pagi dan siang itu menunjukkan kepada Tia bahwa dia sebenarnya suka bisa menarik perhatian laki-laki. Memancing birahi mereka dan menguasai mereka. Seperti lonte-lontenya Bram. Seperti… Citra? Sambil menikmati pijatan jari Widy yang sekarang mencapai pelipisnya, Tia terpikir lagi mengenai perubahan penampilannya. Memang, waktu itu Citra menyarankan agar lebih berani dalam merias diri dan berpakaian supaya bisa menandingi perempuan-perempuan penjaja cinta yang sempat menarik perhatian Bram. Tapi Tia baru sadar, bukan cuma mereka yang penampilannya dia tiru. Citra juga seperti itu. Citra Citra Sejak dulu, Citra suka menggoda laki-laki. Siapapun. Teman sekolah, teman kuliah, karyawan orangtuanya—sembarang orang. Tia tahu itu. Entah sudah berapa laki-laki yang menikmati tubuh kakak iparnya. Sampai akhirnya satu di antara mereka menghamili Citra. Lamunan Tia terhenti karena dia mendengar bunyi pintu dibuka. Masuklah seorang laki-laki setengah baya ke dalam salon. Laki-laki itu bertubuh besar dan berpakaian rapi ala pebisnis, dengan kemeja mahal, dasi, dan celana bahan yang necis. Rambutnya yang dibelah pinggir mengkilap karena minyak rambut, matanya kecil dan bibirnya lebar. “Halo halo,” sapanya sok akrab. “Eh Pak Bernardus. Ke mana aja, kok jarang ke sini?” jawab Citra, juga dengan akrab. “Waduh, baru juga minggu lalu aku ke sini, manggilnya kok udah jadi formal lagi gitu?” kata Pak Bernardus. “Iya deh… Om Bernard,” balas Citra dengan centil. “Tadi ada yang SMS aku katanya Widy udah masuk lagi, jadi kangen sama pijatannya.” “Emang siapa yang ngabarin?… Oh.” Pertanyaan Citra langsung terjawab ketika melihat Widy nyengir sambil mengacungkan HP-nya. Citra mendekati Tia yang masih duduk di kursi salon. “Tia, sori, kamu pulang dulu yah? Aku ada customer nih.” “Iya Kak,” jawab Tia, yang segera berdiri dan meninggalkan ruangan. Ketika berpapasan dengan Bernard, Tia mengangguk dan tersenyum, yang dibalas dengan tindakan yang sama oleh laki-laki necis itu. Bernard terus memandangi Tia sampai Tia keluar dari salon. “Ayo Om,” Citra dan Widy menghampiri Bernard, membawanya ke satu ruangan lain dalam salon. Ketika Tia keluar, dilihatnya mobil Mercedes-Benz hitam terparkir di depan salon. Pasti mobil Pak Bernardus yang tadi, pikirnya. Tia ingat sesuatu: sesudah pertama kali dia di-makeover Citra dan terburu-buru pulang karena masih tidak pe-de akan penampilan barunya, dia melihat mobil itu. Jadi waktu itu, dia yang datang… ***** Dua puluh menit kemudian, di rumahnya, Tia menyadari dompetnya ketinggalan di salon Citra. Dia langsung beranjak kembali ke salon Citra. ***** “Gimana kabar bisnisnya, Om?” Pak Bernardus alias Om Bernard sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur dalam ruang belakang salon Citra. Bagaimana tidak nyaman, kepalanya berbantalkan paha Widy, sedangkan Citra mengelus-elus tubuhnya yang sudah telanjang. Widy, yang tadi bertanya, sedang memijat dahi Bernard. “Apa ndak ada pernyataan lain tho Wid, wis pusing aku sama bisnisku, ee di sini malah ditanyai bisnis lagi. Mumet aku Wid, pesaing tambah buanyak. Aku ke sini mau refreshing, jangan tanya yang serius gitu yo?” “Maaf deh Om,” kata Widy. “Widy kasih nenen aja biar Om ga marah ya?” Serta-merta Widy membuka kaosnya dari bawah sehingga Bernard yang di pangkuannya bisa melihat jelas BH hitam berenda yang menutupi sepasang gundukan yang sejahtera. Widy menarik BH-nya ke atas sehingga bagian bawah teteknya bergandulan tepat di depan muka Bernard. Pebisnis itu langsung menengok dan menowel-nowel dasar tetek Widy dengan hidungnya. “Widy… asu tenan iki susumu… ini nih yang orang sebut tobrut… toket brutal… heeheehee…” Bernard kegirangan, langsung saja dengan nakalnya dia menjulur-julurkan lidah berusaha menjangkau ranumnya buah dada Widy. Widy terkikik kegelian ketika lidah Bernard mengenai sasaran. Tangan Citra yang tadi memijati paha sekarang sudah pindah ke batang dan biji Bernard. Beberapa usapan kemudian, tegaklah kejantanan Bernard. Si pebisnis menghentikan sebentar wisata lidahnya di bawah tetek Widy untuk menengok ke arah Citra. Sore itu Citra tampil glamor walaupun hanya untuk kerja di salonnya, dalam blus biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam. Seperti biasa, dia memakai make-up tebal, kulit wajahnya nyaris tanpa cela berkat foundation, bibirnya merah darah, garis matanya tajam oleh maskara. “Eh, Cit, kapan kamu mau upgrade toket biar kayak Widy, biar gak jomplang, kan mukamu udah full modif gitu?” Bernard memberi saran tanpa diminta. Jawaban Citra adalah senyum disertai tatapan tajam ke arah Bernard, dan Bernard pun merasakan cengkeraman keras dan tajam di pelirnya. Rupanya Citra main kuku… “Becanda, becanda. Ampun Mbakyu, biji saya jangan dipites, kasihan Widy ntar…” Bernard langsung berhenti membanyol… atau tidak. “Tapi kalo sampeyan mau operasi bikin gede, bilang aja, nanti Om bayarin.” Memang bijinya tidak dipites Citra, tapi kena sentil-lah batang Om Bernard yang terlanjur tegak itu! ******************** Tia mendapati pintu salon Tia tidak dikunci. Dilihatnya dompetnya tergeletak di meja rias yang tadi dihadapinya ketika dipijat Widy. Tapi ke mana Citra, Widy, dan Pak Bernardus? Tadinya Tia kira, paling-paling Pak Bernardus datang untuk cukur rambut atau semacamnya. Mercy hitamnya juga masih ada di depan. Tia melihat sekeliling, memperhatikan ruangan salon Citra. Memang salon tersebut tidak besar. Hanya tiga set kursi, plus satu tempat cuci rambut, dan satu tempat tidur di ruang belakang untuk luluran. Tahun lalu, sesudah ditinggal suaminya yang kabur entah ke mana, Citra datang ke Bram dan Tia meminta tolong. Walau Citra sudah diusir oleh keluarga, Bram tetap sayang dengan kakak kandungnya itu, dan Tia yang lama mengenal Citra juga peduli. Bram dan Tia membantu Citra dengan pinjaman modal dan sewa tempat untuk bisa berusaha sendiri, dan Citra memilih membuka salon di sebelah rumah Tia dan Bram. Didengarnya suara-suara dari arah ruangan belakang yang dipisahkan tembok dari ruang utama salon dan berpintu tirai. Tia mendekat… ***** Agaknya candaan Bernard tadi tidak sampai membuat Citra sakit hati, karena Citra kini sedang menjilati penis Bernard yang tadi disentilnya, bersama-sama Widy. Tambah ngaceng Bernard melihat dua muka penuh nafsu menyervis kejantanannya. Tapi ada satu lagi yang mau dia tanyakan kepada Citra. “Cit, yang tadi itu siapa? Bempernya gede tuh, tampangnya cakep lagi.” Citra menjawab, “Adik iparku tuh.” “Oo, adik ipar. Wuih. Sayang baru kenal. Adikmu mujur juga, ya?” Citra terkikik. “Awas jangan diembat juga dia Om, udah ada yang punya!” “Heeheehee, gimana ya? Kayaknya asyik tuh diulek bokongnya…” “Sentil lagi nih,” ancam Citra sambil menyiapkan jarinya di samping kepala kontol Bernard. “Iya deh, iya deh, ampun Ndoro Putri Ayu, kulo jangan disenthil lagi, atit…” ***** Tia mendekat ke tirai yang menjadi pintu ruang belakang salon Citra. Disibaknya sedikit tirai itu untuk mengintip. Dan dia sungguh tak siap mendapati pemandangan di baliknya. Laki-laki perlente tadi—Pak Bernardus—telanjang bulat di atas tempat tidur, Widy yang kaosnya sudah dilepas dan buah dadanya sedang dilahap mulut lebar Pak Bernardus, dan… Citra, bersimpuh telanjang di depan Pak Bernardus, menyepong senjata Pak Bernardus. Ternyata… Kak Citra…? Tia terus menonton tanpa terlihat orang-orang yang berada di ruang belakang. Widy tertawa-tawa kegelian ketika susunya yang sensitif dipermainkan oleh Pak Bernardus dengan tangan, bibir, dan lidah. Pak Bernardus sesekali mengeluarkan komentar manja dan nakal, membuat Widy tersipu. Citra menggarap seluruh titik yang bisa dirangsang di bagian bawah tubuh Pak Bernardus mulai dari batang zakar, pelir, bahkan sampai ke lubang duburnya. Sekali-sekali Pak Bernardus berusaha menjamah tubuh Citra, tapi karena posisinya agak jauh, dia hanya dapat mengelus rambut Citra. Akhirnya Widy juga yang jadi sasaran gerayangan tangan Pak Bernardus. Pelan-pelan, tangan Tia bergerak ke arah selangkangannya sendiri. ***** “Cit, Wid… Om pengen nih…” pinta Bernard yang sudah tak tahan dengan rayuan fisik kedua penggoda yang mencumbunya. “Siapa nih yang mau… apa dua-duanya mau?” “Hih, ge-er,” cela Citra, “Siapa juga yang mau sama Om…” “Aduh Citra sayang, jangan nolak Om gitu dong, kan hancur hati Om?” “Nggak ah, habis Om gak asyik hari ini,” Citra jual mahal. “Dari tadi ngeledekin aku terus.” “Ayo dong Cit, kamu gak kasihan sama Om, dari tadi masuk juga Om udah nafsu banget dari ngelihatin mukamu aja, kalo gak dikasih Om bisa-bisa ntar merkosa anak orang…” Walaupun alasan Bernard jelek sekali, Citra tidak mau mengulur terlalu lama. “Oke deh Om… tapi ada syarat. Tiduran telentang dulu ya Om. Wid, bangun dulu,” atur Citra. Bernard tiduran telentang, tapi tongkat sakti-nya tidak ikut tiduran. Widy turun dari ranjang dan memberi jalan ke Citra. Citra naik dan kemudian mengambil posisi mengangkangi muka Bernard. Yang dikangkangi nyengir dan langsung tahu apa yang dimaui Citra. “Om mesti jilatin memekku sampe aku puas ya, baru ntar kukasih,” perintah Citra. Tanpa disuruh pun Bernard sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mulut lebarnya segera bergerak, melahap kenikmatan di selangkangan Citra yang bebas jembut. ***** Tia terus menonton, dan dalam hatinya terbersit sedikit rasa kagum akan sikap Citra yang berani pegang kendali. Sambil terus mengintip, dia bermasturbasi. Kalau tadi pagi alat bantunya terong, maka kali ini yang dipakai adalah barang yang sedang ada di tangannya—dompet yang tadi ketinggalan. Tia menggesek-gesekkan sudut dompetnya ke celana dalamnya selagi melihat Citra menggelinjang keenakan ketika memeknya dimakan Pak Bernardus. Dilihatnya lidah laki-laki itu menjilat, menjolok ke dalam, memain-mainkan klitoris; untuk urusan jilat-menjilat kemaluan wanita, rupanya orang ini sudah ahli. Terbukti dari reaksi yang ditunjukkan Citra. Kakak ipar Tia itu tak henti-hentinya merintih dan mendesah karena kenikmatan, kedua tangannya mencengkeram hampir menjambak kepala Pak Bernardus, wajahnya yang bermake-up tebal tampak sangat mesum dan bernafsu. “Aah… emm.. uh… enak banget Om… aduh gila… Omm… terusshh…” bibir merah Citra gelagapan meracau. Tidak hanya Citra. Di luar, Tia ikut terangsang. Khayalannya mulai liar. Dia tidak lagi melihat Citra dioral oleh Pak Bernardus. Malah dia membayangkan dirinyalah yang sedang dikangkangi Citra, didominasi oleh kakak iparnya yang binal itu, dan sebagai budak yang patuh dia harus menuruti, kalau tidak, Citra akan menghukumnya dengan berbagai siksaan. Makin gencarlah masturbasi Tia karena khayalan tadi, dia membayangkan ditundukkan oleh Citra, digerayangi, dikemplangi, mukanya diduduki dan dipaksa makan memek… “Aughhh!!” Terdengar jeritan erotis dari Citra yang takluk, jurus-jurus silat lidah Pak Bernardus membuat si pemilik salon yang seksi itu orgasme sampai kelojotan. Tidak tanggung-tanggung, yang dialami Citra bukan orgasme biasa, tapi dia sampai memuncratkan cairan dari kemaluannya yang lantas membasahi muka Pak Bernardus. ***** Citra ambruk ke belakang, terkapar di atas tubuh Bernard, gemetar dan terengah-engah. “Haduh… ampun Om… gila enak banget tadih…” Citra harus mengakui keahlian Bernard. Bernard senyum-senyum sambil mengingatkan, “Yo wis, gantian, Om udah bikin kamu merem melek tadi, sekarang giliran anunya Om masuk sono ya Cit?” Kepala Citra bersandar di paha kanan Bernard, rambutnya yang tergerai menutupi penis Bernard yang sedari tadi tidak ada yang mengurusi. Citra mengelus-elus batang yang tegang itu, menciumnya, lalu bangun dari ranjang. Dia mengambil sesuatu dari laci meja yang ada di dalam ruangan itu, ternyata sebungkus kondom. Dibukanya bungkus kondom itu, lalu dengan profesionalnya dia pasangkan kondom itu ke burung Bernard. Dengan memakai mulutnya, tentu saja. Bernard tidak berubah posisi, tetap telentang. Citra kembali naik ke ranjang dan mengangkangi tubuh Bernard, kali ini di selangkangan, bermaksud bersetubuh dengan posisi perempuan di atas. Sambil memasukkan penis Bernard ke vaginanya, Citra memanggil Widy, “Wid, ayo ikutan.” “Om aku mau juga dong dijilmek kayak Mbak Citra tadi…” pinta Widy. Bernard oke-oke saja, dan Widy pun ikut naik ke ranjang setelah melepas semua pakaiannya, mengangkangi muka Bernard tapi dengan arah berkebalikan dengan posisi Citra tadi sehingga dia berhadapan dengan Citra yang mulai bergerak naik-turun menunggangi kemaluan Bernard. Sambil tertawa-tawa kegelian merasakan hidung dan bibir Bernard bermain di daerah pribadinya, Widy mengedip genit ke arah bosnya, Citra. Citra tersenyum mesem melihat asistennya yang keganjenan itu, lalu memberi ciuman bibir yang hangat kepada Widy. Berbeda dengan mulut dan lidahnya, penis Bernard tidak istimewa, apalagi untuk Citra yang sudah pernah merasakan berbagai bentuk, warna, dan ukuran alat kelamin laki-laki. Makanya dia bersetubuh dengan Bernard hanya demi formalitas saja, dan mencari kenikmatan pribadi dari Widy. Sambil menindih Bernard di bawah, kedua pekerja salon itu saling cium dan pagut. Citra meremas-remas dada Widy yang tak bisa ditandingi payudaranya sendiri itu dengan gemas, seolah iri dengan kelebihan Widy itu. Dari bawah, tangan Bernard juga ikut main. Widy yang memang mudah kegelian lebih banyak tertawa menanggapi serbuan cabul dari bawah dan depan. ***** Semua itu terus diperhatikan dari celah tirai oleh Tia, yang sampai terduduk karena tak kuat menahan gelora nafsu. Tia sudah tidak memperhatikan betapa tak senonoh posisi tubuhnya sekarang: duduk mengangkang dengan daster tersingkap dan celana dalam basah akibat kemaluannya terus-menerus dirangsang sendiri. Makin lama Tia mengintip, makin ingin Tia masuk dan ikut dalam permainan tiga orang di dalam. Dan di antara mereka bertiga, Tia ternyata jadi paling ingin menggumuli kakak iparnya, Citra. Melihat apa yang sedang Citra perbuat, Tia jadi ingin dibegitukan juga oleh kakak iparnya: merasakan bibir merah Citra melumat bibirnya, merasakan kuku-kuku Citra mencengkeram buah dadanya. Citra memang cukup terbuka dalam orientasi seksual, umumnya dia suka laki-laki, tapi Citra tidak segan mencoba pengalaman dengan perempuan juga. Sedangkan Tia selama ini merasa dirinya biasa-biasa saja, belum pernah mencoba mencari tahu apakah tidak hanya laki-laki saja yang bisa membangkitkan gairahnya. “…agh… ahm… mm… mmm…” Tahu dirinya tak seharusnya berada di sana, Tia berusaha keras meredam suara-suara penuh nafsu yang lolos dari mulutnya dengan cara menggigit ujung dasternya. Tentu saja tindakannya itu membuat posisinya tambah vulgar, karena celana dalamnya dan perutnya jadi terungkap. Tia tak peduli, yang menguasai dirinya hanya kenikmatan dan fantasi. Akhirnya sampai juga dia ke klimaks. “MmMMmmMMm!” ***** Pada saat yang hampir bersamaan, Bernard juga mencapai orgasme, dia ejakulasi di dalam kondom yang membungkus penisnya ketika sedang berada di dalam Citra. Sebelumnya lidah sakti Bernard sudah membuat Widy klimaks sehingga si ahli pijat berdada subur itu terhempas ke depan, sepasang payudaranya menimpa perut Bernard. Citra tersenyum puas. Sepanjang hidupnya dia mencari kenikmatan demi kenikmatan, dan menurutnya cara hidupnya sekarang sebagai seorang pelacur berkedok pemilik salon sudah nyaman. Bernard hanyalah satu dari banyak laki-laki hidung belang, tidak semuanya bisa memberikan kenikmatan fisik kepadanya karena banyak juga yang ukuran alat kelaminnya kecil, atau ejakulasi dini, atau memang tidak becus saja. Tapi yang jelas semuanya memberikan kenikmatan dalam bentuk lain, berupa penghasilan dan rasa kagum mereka terhadap dirinya. Citra bukan orang yang bisa betah dengan satu pasangan saja untuk waktu lama, jadi dia tak mempermasalahkan suaminya yang kabur. Yang dia inginkan sekarang hanyalah menjalani kehidupan, sambil menyambar kenikmatan yang bisa didapat. Pengamatan Citra cukup jeli. Dia bukannya tidak tahu ada orang sedang mengintip kegiatannya dengan Widy dan Bernard. Dia melihat kelebatan tubuh orang yang bergegas berdiri lalu pergi menjauhi tirai. Dia tahu itu Tia, dan dia bisa mengira sedang apa Tia di sana. Beberapa hari lalu, ketika Mang Enjup dan rombongan mampir untuk memakai jasanya, Citra sedikit-sedikit memancing informasi dari mereka, dan meski Mang Enjup tidak banyak mengungkapkannya, Citra bisa menduga apa yang baru saja terjadi. Sejak saat itu Citra dilanda perasaan aneh, seolah-olah dia jadi partner tak langsung Mang Enjup dalam mengubah penampilan dan kepribadian Tia. Tapi dia menganggap, pada akhirnya yang menentukan adalah Tia sendiri, apakah dia mau menerima perubahan itu atau tidak. Citra tak mau menghakimi. Dia sudah kenyang dihakimi. ***** Tia pulang dengan perasaan campur-aduk. Setelah tadi mengintip dan terangsang sampai orgasme, Tia tidak berani lama-lama, dan langsung bergegas meninggalkan salon Citra sebelum kepergok. Walau kakinya masih lemas, dia merasa tak enak kalau sampai ketahuan ngintip. Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Pak Bernardus? Mengapa dia bisa sampai berhubungan seks dengan Citra dan Widy? Apa sebenarnya yang selama ini dilakukan Citra? Bagi Tia, hari itu benar-benar penuh kejadian. SMS masuk ke HP Tia. Dari Bram. “Yang, aku sudah di jalan, ya.”

No comments:

Post a Comment