Wednesday, 16 July 2014
Slutty Wife Tia 6: Satu di Antara Tiga
-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan binal. Terjadi kesalahpahaman yang membuat Tia sempat ditangkap aparat karena disangka pelacur. Tia kemudian berkonsultasi dengan seorang psikolog, Dr. Lorencia, untuk menghilangkan shock yang dialaminya, tapi Dr. Lorencia ternyata bersekongkol dengan Mang Enjup, atasan Bram, yang ingin menjerumuskan Tia…
*****
Citra
Citra
Siang hari, sekitar pukul dua di suatu bangunan kecil di kompleks perumahan pinggir kota. Sehari-harinya tempat itu adalah salon, Salon Citra. Tapi pemiliknya tidak hanya menawarkan jasa perawatan kecantikan bagi wanita. Di balik tirai yang memisahkan ruang belakang dengan ruang utama salon, pemilik salon itu, Citra, sedang duduk selonjor di atas tempat tidur yang biasa dipakai untuk luluran atau facial. Citra berpenampilan cantik seperti biasa, rambutnya yang hitam lurus sebahu tergerai. Pakaiannya juga seksi, seperti biasa. Ia mengenakan kaos tanktop putih yang ketat membungkus tubuhnya, juga rok mini kuning yang mencapai setengah pahanya saja tidak, dan di bawah roknya Citra mengenakan pantyhose nilon warna kulit. Kaki kanannya yang terbungkus nilon itu terjulur, mengelus-elus selangkangan celana seorang laki-laki bertubuh tegap yang duduk mengangkang menghadapinya di ujung lain tempat tidur.
“Jadi Mas Kris yang ngatur?” tanya Citra dengan nada manja.
Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Mas Kris itu mengenakan kaos hijau dan celana dinas tentara, dia memang salah satu beking Citra yang masih aktif sebagai perwira menengah di kesatuan setempat. Sambil menggumam keenakan merasakan burungnya mengeras dielus-elus kaki Citra, dia menjawab.
“Iya dong. Ngeberesin kroco sok jago seperti si Gde itu kecil. Apalagi zaman sekarang, bikin amuk massa itu gampang. Kamu udah lihat beritanya kan?” kata Kris.
“Ah, aku gak suka nonton berita Mas, bosen,” kata Citra.
“Mestinya kamu lihat, ha ha ha… Soalnya ada muka jelek si Gde babak belur dihajar massa, ampe berdarah-darah gitu. Kamu minta yang kayak gitu kan, minta yang setimpal buat dia? Habis ini juga si Gde bakal dipecat gara-gara bikin malu pemerintah. Salah sendiri, udah tahu ngadapin kumpulan orang marah, malah ndableg. Biar mampus dia.”
Beberapa hari sebelumnya, terjadi insiden ketika satuan aparat yang dipimpin Gde melaksanakan penggusuran. Entah mengapa, warga setempat malah melawan aparat dengan membawa senjata tajam dan batu. Akibatnya terjadi perkelahian berdarah yang menyebabkan 1 orang warga dan 1 orang aparat tewas, dan puluhan orang luka berat termasuk Gde yang kepalanya bocor kena timpuk dan sempat digebuki ramai-ramai. Masyarakat dan media ramai menyalahkan, ada yang menganggap warga mengamuk karena kekesalan yang sudah menumpuk terhadap aparat yang biasa semena-mena. Yang luput dari perhatian semua orang adalah bahwa amuk warga itu dipicu oleh beberapa provokator yang dikirim oleh Kris. Walaupun sama-sama aparat, memang kadang ada ketegangan antar kesatuan di balik permukaan, terutama dalam masalah urusan beking membekingi. Citra yang boleh dianggap pengusaha kecil bisnis esek-esek tidak lepas dari beking, dan dia cukup cerdik untuk tidak hanya memegang satu orang. Ketika Gde berlaku kelewatan terhadap dirinya dan Tia beberapa waktu lalu, Citra memutuskan untuk membalas lewat jalan lain: menyingkirkan Gde dengan menggunakan Kris, bekingnya dari kesatuan lain. Rupanya Kris memilih membuat kerusuhan kecil untuk menyakiti sekaligus menyingkirkan Gde. Sambil Kris bercerita bagaimana dia merekayasa massa untuk menghajar Gde dan satuannya, kaki Citra terus mengelus-elus gundukan keras di balik selangkangan celana si perwira. Sementara itu Citra mengangkat sedikit demi sedikit tanktop-nya. Perlahan-lahan tampaklah sepasang payudara Citra yang bersahaja, dengan puting yang sudah mengeras. Kris menjulurkan tangan kanannya, menyentuh payudara Citra. Tangan Kris yang besar itu meremas kedua payudara Citra sekaligus, di bagian dalam tempat keduanya bertemu. Kris membuka sendiri resleting celana dinasnya dan mengeluarkan penisnya dari balik celana dalam, sambil terus menggenggam kedua payudara Citra. Citra mulai mengeluarkan suara merintih-rintih nikmat. Citra mengangkat sedikit lututnya supaya kakinya bisa lebih enak membelai-belai kemaluan Kris yang sudah terbebas. Mata Kris tak lepas-lepas dari kaki nakal Citra di selangkangannya.
“Ughh…” Kris menggerung ketika ereksinya diinjak lembut oleh Citra, penisnya ditekan ke perut oleh sekujur kaki Citra yang seperti memeluk batang itu.
Citra berposisi duduk mengangkang dan Kris bisa melihat bahwa di balik pantyhose Citra tak mengenakan celana dalam. Citra meningkatkan gesekan kakinya, dan melihat tubuh Kris yang besar itu belingsatan seperti kesetrum. Citra merasa menikmati posisi dominan itu, dia sebagai seorang perempuan bisa memain-mainkan tubuh seorang laki-laki yang kekar seperti Kris dengan kakinya, seolah seorang ratu dan budaknya.
“Ahh… Citra…” Kris terlihat tegang, wajahnya meringis.
Citra merayu, “Udah mau keluar, Mas…?”
“Erghh sialannn… Sini!” Tanpa diduga, Kris bergerak. Tangannya yang dari tadi bermain di dada Citra kini merenggut tanktop yang sudah menyangsang di atas payudara, menariknya dengan kasar sehingga Citra dipaksa merunduk ke depan. Citra kaget, “MAS!!?? “
Dan teriakan berikutnya, “AHH JANGAN DI MUKA MASSS!!”
Citra, yang suka bersolek, memang tak suka orang berejakulasi di mukanya. Dia memang sudah pernah melakukan segala macam hal, tapi ada beberapa yang dia kurang suka, salah satunya adalah apabila mukanya dinodai sperma. Seperti yang terjadi saat itu. Kris menarik Citra sampai dia tersungkur ke depan, tertelungkup di alas tempat tidur dengan muka menoleh, lalu Kris menekan kepala Citra sambil berejakulasi di pipi Citra yang berbedak dan berperona. Kris tertawa puas melihat Citra yang tak senang. Begitu dilepas, Citra langsung bangkit lagi, menyeka cairan berbau amis yang barusan mengotori pipinya, lalu menampar Kris.
“Sialan!” maki Citra, “Dari dulu kan gue udah bilang gak suka orang ngecrot di muka gue!” Wajah Citra berubah marah.
Kris tidak ikut marah, dia terus tertawa-tawa setelah si pemilik salon memakinya. Dengan kalem dia membalikkan kata-kata Citra.
“Suka-suka aku mau ngapain kamu. Aku udah repot-repot ngebalesin dendam kamu sama si Gde kucrut itu, dan kamu tetep aja banyak maunya?”
Kris mendekat dan mencengkeram rahang Citra.
“Hei, Citra,” katanya dengan dingin namun tegas. “Aku tahu. Pasti kamu juga ngelunjak begini sama Gde, kan? Aku nggak heran. Kamu tuh udah tau cuma lonte, tapi sombongnya kelewatan. Masih ngerasa kayak dulu ya?”
“Uhh…” Citra meringis, gentar. “Terserah Mas mau bilang apa. Urusanku sama Gde…”
“…sekarang jadi urusanku juga, kan?” Kris memotong. “Inget, kamu yang datang ke aku, ngerayu-rayu minta aku ngasih pelajaran ke si Gde. Aku udah kasih apa yang kamu mau. Jadi ya aku boleh ngapain aja, kan?”
Citra tertunduk. Sebetulnya dia kesal, tapi Kris memang benar. Lagi-lagi posisi tawar Citra lemah.
“Ngerti?” tanya Kris lagi. Citra mengangguk.
“Kalau ngerti… sekarang kamu nungging.”
Citra patuh, dia pun berubah posisi jadi menungging di atas tempat tidur sementara Kris turun dan berdiri di sampingnya. Kris mendekati bagian bawah tubuh Citra, meremas pantat Citra yang kencang dan masih terbungkus pantyhose itu. Kris terkekeh.
“He he he… Asyiik, pantat lonte.” Dia menampar pantat Citra dua kali. Citra mendengking kaget. Kris lalu memelorotkan pantyhose Citra sehingga pantat Citra tak lagi tertutupi, lalu kembali dia menampari pantat Citra. Setelah puas, tamparannya berubah menjadi elusan dan remasan. Kris lalu mengulum jarinya. Dengan membasahi jarinya seperti itu, sudah jelas apa yang mau dia lakukan. Citra diam saja ketika satu jari Kris memasuki vaginanya. Kemudian tidak cuma satu, tapi dua jari Kris bergerak keluar-masuk kewanitaan Citra. Kris tersenyum puas melihat wajah Citra yang menatap kepadanya seolah memohon. Permainan jarinya membuat si pemilik salon itu terangsang.
“Ah… ahh…” Citra mulai mendesah-desah, wajahnya yang berias tebal berkerut menahan nafsu yang mulai meninggi. “Ahhh…”
Kris menjolokkan satu lagi jarinya, sehingga kini jari tengah, manis, dan telunjuknya keluar-masuk di kemaluan Citra. Kris merasakan bagian itu makin lama makin basah, pertanda pemiliknya sudah terhanyut oleh birahi. Kris makin kencang menyodok-nyodok Citra dengan ketiga jari tangan kanannya. Citra berusaha meraih ke belakang dan menahan agar tangan Kris jangan terlalu kasar.
“Eit, mau apa?” Tangan kiri Kris yang belum melakukan apa-apa gesit menahan tangan Citra. Citra tidak kuat melepaskan diri dari genggaman Kris. Kris meregangkan jari-jari tangan kanannya, berusaha membuat kemaluan Citra melebar. Citra mulai merasakan orgasme akan datang selagi cairan vaginanya membasahi jemari Kris. Kris tertawa dan memasukkan satu lagi, jari kelingkingnya, ke dalam sana. Lagi-lagi dia berusaha merentangkan celah sempit yang dimasukinya selagi dia mendengar nafas Citra memburu.
“Hehehe… Udah mulai longgar lu Cit. Empat jari gue bisa masuk. Lu kayaknya sebentar lagi kadaluarsa nih?” Kris berkomentar menghina.
“Bangke,” Citra balas memaki.
“Lonte,” hardik Kris, “Sekarang lu diem. Gue ga mau denger bacot lu, gue mau memek lu aja.”
Kris naik ke tempat tidur ke belakang Citra, dan kemudian menyorongkan penisnya yang sudah tegak lagi ke hadapan vagina Citra. Di ujung penisnya menitik cairan bening, pertanda Kris pun sudah tak tahan ingin melampiaskan nafsu.
“Ah… Hanhhh!” Citra melontarkan desahan ketika kejantanan Kris menembus kemaluannya.
Penis Kris meluncur dengan mudah ke dalam celah yang sudah basah dan teregang itu, menembus sampai pintu rahim. Citra tak diam saja, dia mendesakkan pantatnya menikmati ereksi Kris.
“Haa… haaahhh…” Bibir merah Citra menganga, mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
Tangannya mencengkeram seprai. Pinggul Kris maju-mundur mendongsok Citra. Kris makin bernafsu, dan dia berubah posisi. Tanpa mencabut penisnya, Kris turun dari tempat tidur sehingga dia berdiri di samping tempat tidur. Lalu kedua tangannya meraih kedua paha Citra, di bagian belakang lutut. Kris yang memang bertubuh kuat lalu mengangkut seluruh tubuh Citra, sehingga dia kini menggendong Citra di depan tubuhnya.
Keduanya melanjutkan persetubuhan dalam posisi yang tidak biasa itu. Citra sudah seperti boneka yang digendong Kris, pasrah dalam lengan-lengan perkasa Kris yang mengangkut kedua pahanya, punggungnya bersandar ke dada Kris. Tapi memang hubungan intim dalam posisi menggendong itu tidak gampang, karena penis Kris cuma bisa masuk sedikit, jaraknya terlalu jauh. Akhirnya Citra dia taruh lagi di atas tempat tidur.
“Hihihi… Sok jago sih,” goda Citra selagi Kris mencabut kemaluannya dari lubang Citra. “Kurang panjang tuh adeknya…”
Citra saat itu berposisi menyamping dengan lutut tertekuk, pantatnya berada di pinggir ranjang. Dia melihat Kris masih ereksi dan siap memasukkan lagi… ke lubang pantat.
“Emm…” Citra mengernyit ketika Kris akhirnya menekankan kepala burung yang masih membesar ke pintu belakang. Vagina Citra sudah basah karena baru di-invasi, tapi pantatnya tidak siap.
“Gue masuk ya… Uh! Ahh… Sempit!” kata Kris.
“Iiuhh!” Citra terengah ketika kepala burung Kris tiba-tiba memaksa menerobos lingkaran duburnya. Dia secara refleks berusaha menghindar, memang wajar kalau ada yang mencoba mendesakkan sesuatu ke dalam pantat. Tapi Citra tak bisa ke mana-mana selagi Kris mendorong pinggangnya ke depan sambil menggerung keras. Masuklah penisnya ke dalam lubang dubur yang tak sepenuhnya rela itu sedikit demi sedikit.
“Auh! Enak bangett! Pantat lu masih nggigit juga ya?” seru Kris sambil mengerang keenakan.
“Hssshh…” Citra mendesis, sakit campur enak, matanya berkaca-kaca ketika merasakan sepotong daging yang keras dan panas di saluran belakangnya. Kris mulai bergerak maju-mundur menggempur pintu belakang Citra tanpa ampun, kantong bijinya menampar-nampar belahan pantat Citra. Untungnya bagi Citra, setelah dua-tiga menit rasa sakitnya berkurang menjadi sekadar rasa kurang nyaman. Pantatnya sudah bukan perawan sejak lama, jadi sudah tahu mesti bereaksi apa.
“Enak gak Cit? Lu masih suka pantat lu dientot kan?” tanya Kris sambil terengah.
“Iyah… Terus! Teruus!” Citra mulai merasa enak. Bagian bawah perutnya mulai merasakan sensasi nikmat dan jantungnya berdebar.
Kris melambat, menarik keluar penisnya pelan-pelan lalu ketika nyaris keluar dia masuk lagi dengan cepat dan kasar. Dan…
“Uh…hhh!”
Citra merasakan sesuatu yang panas menyembur di dalam pantatnya. Kris ejakulasi. Kedua tangan Kris mencengkeram belahan pantat Citra yang berada di atas, seolah mau menyempitkan saluran yang sedang dimasuki kejantanannya. Kris baru mencabut kemaluannya sesudah puas melampiaskan nafsu di dalam pantat Citra. Ia merasakan sebagian sperma Kris ikut meleleh keluar bersamaan dengan perginya penis Kris dari dalam pantatnya. Citra tetap berbaring menyamping, tidak langsung bangun. Dilihatnya Kris mengambili tisu untuk menyeka badannya sendiri. Beking Citra itu kemudian membereskan lagi pakaiannya.
“Sesuai perjanjian kita kemarin, ya. Besok-besok kalau aku datang, kayak gini lagi ya.”
Citra dengan cepat mengambil selimut dan melilitkannya di sekeliling badan, lalu berdiri mengantar Kris yang beranjak ke pintu ruangan. Citra tersenyum sinis sambil menaruh tangannya di pundak Kris.
“Oke boss,” katanya dengan genit.
Kris membuka pintu, lalu berbalik dan mengecup pipi Citra. Laki-laki tegap itu kemudian menuju pintu keluar salon, tanpa mengacuhkan seorang laki-laki muda yang berdiri di tengah ruangan utama salon. Citra melotot melihat laki-laki muda itu.
“Bram?”
Memang masih jam kantor, tapi entah kenapa, Bram ada di salonnya. Adik Citra itu memejamkan mata dan geleng-geleng kepala melihat kakaknya yang cuma terbungkus selimut dan tadi dicium seorang aparat berseragam.
“Ya ampun, Kak…” keluh Bram.
“Apa sih?” Citra menoleh ke kanan-kiri dengan cuek, melihat ada satu bungkus rokok di atas meja, mengambil sebatang dan menjepitnya di bibir, lalu sibuk mencari korek api.
“Ada korek nggak?” tanya Citra kepada Bram.
“Kakak nggak pernah berubah, ya…” Bram tidak menanggapi pertanyaan kakaknya.
“Jangan sok kaget gitu lah,” kata Citra setelah menemukan korek gas di satu laci. Dia menyalakan rokoknya.
“Eh bukannya ini masih jam kerja?”
“Kak,” kata Bram dengan nada serius. “Aku mau tanya. Soal Tia.”
Citra membelalak tanpa berkata apa-apa. Wajahnya berubah serius juga.
“…Kakak pake baju dulu deh, sebelum jawab,” usul Bram. Risi juga dia melihat kakaknya cuma berbungkus sehelai kain.
*****
Sejam kemudian…
Bram sudah kembali ke kantor setelah tadi mampir sebentar ke salon kakaknya, tanpa mampir ke rumah. Kepalanya terasa agak berat setelah dia mendengar jawaban Citra.
Tia, sedang apa kamu?
Tapi dia tahu sebagian penyebabnya adalah dirinya sendiri. Begitu masuk kantor, Febby, sekretaris Mang Enjup, memanggilnya.
“Mas Bram! Dicariin bos,” kata perempuan berkacamata itu.
Bram langsung menuju ruangan Pak Jupri alias Mang Enjup, atasannya.
“Nah ini baru dateng anaknya. Ke mana aja kamu? Kenalin, ini Pak Enrico,” kata Mang Enjup yang sedang menghadapi seorang tamu yang berpenampilan pengusaha.
“Bram,” Bram memperkenalkan diri.
“Enrico,” kata orang itu.
Pembicaraan dimulai. Enrico rupanya sedang menggagas kerjasama dengan Mang Enjup untuk membuka perwakilan perusahaan itu di daerahnya. Menurut Enrico, produk perusahaan mereka belum banyak tersedia di sana. Mang Enjup sudah mengontak bagian-bagian lain perusahaan untuk menceritakan rencana Enrico, dan perusahaan menyetujui. Maka sekarang persiapan pembukaan cabang bisa dimulai.
“Jadi, saya ngundang Pak Jupri untuk berkunjung ke kota saya, biar bisa lihat sendiri keadaan di sana. Sekalian nanti saya kenalkan dengan rekan-rekan kita dan juga pihak berwenang di sana—lumayan, buat memperlancar urusan kita,” kata Enrico.
“Pak Enrico, terima kasih undangannya,” jawab Mang Enjup. “Saya senang sekali kalau bisa ke sana. Katanya di sana pembangunan mulai rame, ya? Pasti beda dengan waktu dulu saya masih muda ke sana—dulu sepi! Ah, tapi sayang saya lagi jalani pengobatan, tidak boleh pergi jauh-jauh untuk sementara waktu.”
Bram yang dari tadi mendengarkan langsung menoleh ke Mang Enjup. Dia tahu Mang Enjup sebenarnya tidak sedang menjalani pengobatan (masalah kesehatan Mang Enjup cuma ejakulasi dini saja). Kata-kata barusan itu sekadar alasan untuk…
“…jadi nanti biar yang ke sana Bram, sebagai perwakilan saya. Dia sudah biasa ngurus semuanya. Gimana Bram, kamu bisa kan?”
Bram tersenyum. “Bisa,” jawabnya pendek. “Kapan, Pak Enrico?”
“Dua hari lagi saya pulang ke sana. Barangkali kita bisa bareng. Kira-kira perlu berapa hari?” kata Enrico.
“Seminggu?” Mang Enjup langsung memotong sebelum Bram menjawab. Enrico mengangguk setuju.
Seminggu sebenarnya terlalu lama—Bram membayangkan, sekadar survei lokasi dan berkenalan dengan orang-orang setempat paling-paling perlu tiga hari.
“Oke, kalau begitu nanti saya kontak lagi Pak Bram untuk persiapannya. Semuanya biar saya yang urus,” kata Enrico. Kemudian Enrico pamit dan pergi.
*****
Tia
Tia
Malamnya, di rumah Bram dan Tia… “Mas mau pergi seminggu?” tanya Tia. Bram berbaring di tempat tidur, sementara Tia duduk di depan meja rias. Keduanya hendak beristirahat setelah seharian beraktivitas.
“Iya…” Bram menyebutkan nama kota tujuannya, yang terletak di pulau lain. Dilihatnya wajah Tia seperti kurang senang.
“Ajak dong Mas…” pinta Tia manja.
“Yah, gimana ya… kayaknya nanti bakal sibuk urusan kantor di sana. Ntar kamu malah nganggur di kamar hotel dong,” jawab Bram. “Nanti kalau sempat cuti deh, kita ke sana. Katanya sekarang di sana rame, banyak tempat wisata, soalnya pembangunannya maju. Kepala daerahnya hebat.”
“Iih, curang,” Tia merajuk. “Katanya cewek dari sana cakep-cakep, ya?”
“Terus?” Bram nyengir. Tapi dalam hatinya, dia mulai bisa membaca isi hati Tia, karena dia sudah mendengar penjelasan Citra. Makanya dia tidak heran melihat Tia bukannya membersihkan muka untuk persiapan tidur, malah memulaskan lipstik tipis saja di bibirnya.
“Pasti kamu mau ditraktir cewek di sana… Iya kan?” kata Tia sambil beranjak dari meja rias, lalu menghampiri suaminya di tempat tidur.
Bram tersenyum melihat istrinya, perempuan cantik yang malam itu berdaster kuning, berias wajah tipis, dan berbau wangi. Jelas Tia tidak ingin langsung tidur… Tia berbaring menyamping, menghadap Bram, memberikan ciuman mesra kepada suaminya.
“Yah… kamu tahu kan, biasa orang bisnis, entertain-nya gimana,” Bram tidak berusaha mengelak. Toh Tia sudah tahu salah satu kelemahannya. Bram merasakan tangan Tia menyelip ke balik celananya. “Eh…”
Tangan Tia terasa licin. Licin dan mulai membelai-belai kemaluan Bram. Bram merangkul istrinya dan mencium kening Tia.
“Hayo… mau ngapain tangannya di sana…” goda Bram.
Tia membalas dengan mengecup bibir Bram lalu menarik ujung kaos Bram, menyingkap tubuh atas Bram. Sementara itu Tia terus menciumi tubuh suaminya, dari bibir turun ke dagu, rahang, leher.
Bram menahan nafas. Ia sekarang paham sebagian besar ceritanya. Perubahan Tia sesudah memergoki kebiasaan buruknya itu sebagian disebabkan Citra juga. Citra bercerita bagaimana Tia minta saran agar Bram tidak perlu lagi melirik perempuan lain. Dan kakaknya itu, yah, sudah tahu apa yang Bram suka. Jadilah Citra membantu Tia membentuk-ulang dirinya agar lebih bisa memenuhi impian Bram. Misalnya seperti yang terjadi sekarang. Sebelumnya, Tia sangat konservatif dan lebih banyak pasif di ranjang. Sekarang, Tia dengan genitnya merayu dan menggerayangi Bram. Aksinya sudah tidak kalah dengan perempuan-perempuan penghibur yang dulu (dan kadang sekarang) memberi Bram kenikmatan badan. Tia yang dulu tidak terpikir melakukan apa yang dilakukannya kini. Tangan Tia sudah menyentuh kemaluan Bram yang sedikit tegak, jari-jari Tia merangkum batang Bram. Tia mulai membelai-belai organ intim suaminya, dari bawah ke atas dan kembali lagi, dan membuatnya tegang sempurna. Bram tersentak sedikit ketika kocokan Tia makin cepat.
“Ah…” Bram melihat istrinya melirik nakal dan kembali mencium bibirnya. Ah, betapa manis bibirnya. Ah… dia kok jadi jago ngocok juga?
“Pelan… sayang…” bisik Bram.
Tia mengabulkan permintaan itu dan mengurangi intensitas kocokannya. Bram tadi sudah nyaris keluar, tapi dia tidak ingin buru-buru. Tangan Bram mencengkeram lengan atas Tia, wajahnya terlihat berusaha menahan kenikmatan, sementara rambut panjang Tia menyapu hidung Bram selagi Tia mengulum salah satu telinga Bram. Beberapa waktu lalu, Tia sempat memberikan servis ‘mandi kucing’, dan Tia baru menemukan bahwa Bram punya titik sensitif di sana. Bram mengerang keras selagi Tia kembali kencang mengocoknya. Percikan-percikan cairan hangat lengket melompat keluar dari ujung penisnya dan mendarat di mana-mana, di kaos dan dada Bram, di daster Tia, di seprei. Tia tak melepas dan terus mengocok sampai ejakulasi Bram selesai.
“Yah… berantakan nih. Kamu sih nakal, gak bilang-bilang dulu,” goda Bram sambil menikmati perasaan keenakan.
“Habisnya Mas Bram mau pergi… jadi ya mumpung sempat sama Mas Bram,” jawab Tia.
Tia sendiri merasakan putingnya mengeras dan selangkangannya membasah. Membuat suaminya bisa orgasme dengan tangan sudah cukup merangsang baginya, dan andai Bram mau melanjutkan, dia merasa dia bisa langsung ‘dapat’. Bram meraih wajah Tia. Ciuman yang menyusul sungguh panas. Lidah mereka berdua saling menjelajah, tetap seperti menemukan hal-hal baru walau keduanya sudah berkali-kali berciuman.
“Beresin dulu nggak?” goda Tia.
“Nggak usah, kan mau dilanjutin?” Bram menanggapi.
Detik berikutnya Tia didorong sehingga telentang, kedua pergelangan tangannya ditahan kedua tangan Bram, kedua lutut Bram mengepit kedua pahanya.
“Aku kan masih dua hari lagi perginya, sayang,” kata Bram pura-pura tak butuh.
“Biarin aja… Mas…” Bram melihat Tia menggigit bibir kemudian kembali berkata. “Mas aku pengen…”
Bram tidak perlu diminta lagi. Sedetik kemudian tubuh keduanya sudah bersatu.
*****
Pagi, dua hari kemudian…
Bram mencium kening istrinya lalu masuk ke dalam mobil dan memundurkan mobil keluar garasi. Dalam beberapa menit, dia sudah di jalan menuju bandara, hendak berangkat ke kota tempat Enrico akan membuka cabang baru perusahaan. Diiringi lambaian tangan Tia, Bram meninggalkan rumah. Pinggang Bram terasa agak pegal dan matanya masih mengantuk. Kemarin malam dia tidak sempat cukup tidur karena Tia terus mengajaknya bercinta. Dan pagi itu, dia jadi enggan meninggalkan istrinya yang cantik itu lama-lama. Tapi tugas kantor harus dijalankan. Setibanya di bandara, Enrico sudah ada di sana dan menyambut Bram. Keduanya segera bergerak ke dalam untuk boarding. Satu jam kemudian Bram sudah duduk di pesawat, memejamkan mata dan berusaha memimpikan Tia.
*****
Dua, tiga jam sesudah Bram pergi, Tia resah sendiri di rumah. Bukan pertama kali dia ditinggal Bram pergi bertugas ke luar kota, tapi entah kenapa, kali ini terasa ada yang tak tertahan. Apalagi karena sejak dua hari lalu, malam-malam di kamar mereka tak pernah sepi… Entah kenapa, Tia merasa sangat bergairah dan terus berusaha mencari kenikmatan. Itu semua terjadi sesudah Tia berkonsultasi dengan Dr. Lorencia, yang tanpa sepengetahuannya telah memperkuat sugesti yang ditanamkan Mang Enjup. Sebelum Bram berangkat, tadi Tia masih sempat memberi kenikmatan kepada suaminya dengan memberi blowjob di kamar mandi. Hampir saja Tia membuat Bram telat pergi karena dia mengajak suaminya bercinta sekalian. Tapi Bram masih bisa mengendalikan keadaan dan mengingatkan Tia. Tia menyentuh bibirnya sendiri dan mengulum jari telunjuknya, membayangkan kejantanan Bram yang tadi ada di dalam mulutnya, mengingat rasa benih suaminya yang tadi keluar di sana. Sambil duduk sendirian di sofa ruang tengah, Tia membayangkan adegan tadi pagi. Tangannya yang satu lagi bergerak ke kemaluannya sendiri untuk masturbasi. Celana dalamnya sudah basah lagi, terbawa khayalannya dan hasrat yang belum kesampaian.
“Emmh… Mas… Mas Bram…” Tia menggumamkan nama suaminya ketika dia merangsang dirinya sendiri, matanya setengah terpejam dan kepalanya rebah ke sandaran sofa selagi jari-jarinya bergerak keluar masuk liang kewanitaannya.
Tapi Tia tak kunjung mendapat orgasme. Yang dia inginkan bukan jarinya sendiri, melainkan kejantanan, kejantanan Bram…atau siapapun.
“Ohh,” keluh Tia yang frustrasi, terhenyak di sofa dengan tak puas.
Dia menyerah dan berusaha melupakan hasrat yang mengganggu pikirannya dengan melakukan kegiatan lain. Tia mulai membereskan rumah, menonton TV, menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Setidaknya ada kesibukan, walau perasaannya masih terasa terganjal. Seminggu. Tanpa Bram. Kenapa sekarang terasa susah sekali dilalui? Jam-jam berlalu. Ada telepon dari Bram, mengabarkan dia sudah sampai di tujuan. Pembicaraan hanya singkat karena Bram keburu dijemput oleh rekan kerja di sana. Sesudahnya, Tia kembali bermasturbasi, tapi dia gagal lagi mencapai klimaks.
*****
Sore menjelang malam.
Tia makan malam sendirian. Sesudah makan, cuci piring, lalu beberes. Lalu… apa? Tia menyalakan televisi. Hanya berita atau sinetron. Tidak ada yang menarik untuk ditonton. Apa telpon Citra saja supaya ada teman bicara? Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ada tamu? Mengintip dari balik jendela depan, Tia melihat tiga orang keluar dari mobil itu. Salah seorangnya Mang Enjup. Ketiganya membuka pintu gerbang dan langsung menuju pintu rumah, lalu mengetok pintu. Tia yang sudah di dekat pintu langsung membukakan pintu.
“Puuunten,” Mang Enjup memberi salam.
“Eh, Mang Enjup. Ada apa, Mang, tumben mampir ke rumah? Ayo, ayo masuk.”
Mang Enjup didampingi dua anak buahnya—Danang yang urakan dan Reja yang tegap.
“Mangga calik,” Tia mempersilakan tamu-tamunya duduk. “Sebentar, saya bikin teh dulu.”
“Aduh, ngga usah repot-repot,” Mang Enjup berbasa-basi, tapi membiarkan saja Tia pergi ke belakang untuk membuatkan minum.
Danang dan Reja duduk di sofa, senyam-senyum karena masih ingat apa yang terjadi terakhir kali mereka datang ke rumah itu. Lima menit kemudian Tia keluar membawa baki dengan tiga cangkir teh hangat di atasnya. Dengan cekatan Tia menyuguhkan minum kepada ketiga tamunya. Ketika Tia duduk kembali, Mang Enjup langsung membuka pembicaraan. Mang Enjup sengaja menggeser posisi duduknya sehingga berada di sebelah tempat duduk Tia.
“Lagi sepi ya, si Aden baru pergi kan,” kata Mang Enjup, merujuk ke Bram. “Neng Tia enggak kesepian kan?”
“Ah, nggak Mang…” kata-kata Tia tidak sesuai dengan isi hatinya. “Udah biasa kan kalau Mas Bram pergi keluar kota.”
“Gini,” kata Mang Enjup. “Besok malam teh ada undangan dari Bapak Walikota. Pesta apa selametan atau semacamnya. Beliau ngundang orang-orang bisnis juga, termasuk dari perusahaan-perusahaan rekanan pemda. Perusahaan kita diundang juga.” Sebagai putri seorang pengusaha, Tia paham bahwa acara Walikota itu bukan pesta biasa, melainkan ajang lobi bisnis.
“Tadinya Mang mau ajak si Aden ke sana,” kata Mang Enjup, “tapi rupanya ada tawaran dari luar kota yang harus diurus juga, jadi Mang dan dia bagi tugas, dia keluar kota, Mang urus Pak Walikota. Cuma tadi teh Mang kepikiran, gimana kalau ajak Neng Tia sekalian? Kan Neng Tia juga penerus perusahaan kita, jadi ada baiknya mulai jalin kontak bisnis. Banyak gunanya buat nanti. Ya biar kenal sama sesama pengusaha, pejabat, anggota DPRD, dan pastinya Pak Walikota. Mau ikut kan?”
Tia mengangguk setuju. Kata-kata Mang Enjup memang masuk akal. Dia dan Bram sama-sama disiapkan untuk mewarisi perusahaan orang tua mereka, jadi sudah kewajibannya untuk mempersiapkan diri agar bisa melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Mang Enjup tidak berlama-lama. Sesudah berbasa-basi sedikit, dia pamit pulang. Mang Enjup bilang akan menjemput Tia besok sore. Tia mengantar para tamunya keluar sampai ke pintu pagar, lalu masuk kembali. Di dalam mobil, Danang mengeluh kepada Mang Enjup.
“Mang, udah begitu aja? Si Tia nggak kita apa-apain?”
“Hush!” Mang Enjup menghardik. “Ngga sabaran amat sih? Tunggu ajah. Nanti juga kalian kebagian lagi. Sekarang kita pulang. Reja! Ayo jalan.”
Mobil melaju meninggalkan rumah Tia.
*****
Besok sorenya…
Setelah menerima telepon dari Mang Enjup yang mengatakan akan menjemput dua jam lagi, Tia langsung bersiap. Penjelasan Mang Enjup kemarin membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberi kesan baik. Siapa tahu dari orang-orang yang ditemuinya malam itu, akan ada yang jadi rekan bisnis masa depan. Mengenakan kebaya sutra tipis panjang bersulam warna emas di atas kemben berwarna sama, dipadu rok panjang batik yang tidak mengekang namun tetap bernuansa etnis, Tia tampak anggun menawan. Mang Enjup yang datang menjemputnya, lagi-lagi bersama Danang dan Reja, tidak bisa tidak menyatakan kekaguman.
“Uwaaah… meni geulis pisan euy, si Neng,” Mang Enjup memuji.
Tia tersipu dipuji seperti itu. Mang Enjup langsung mengajak pergi.
“Ayoh kita berangkat.”
Mang Enjup sendiri mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam, sementara Danang terlihat tidak cocok mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi, rompi, dan celana bahan. Reja hanya berkaos dan bercelana jeans—dia sadar bahwa sebagai sopir paling-paling dia cuma bakal menunggu di tempat parkir. Malam itu rumah dinas Walikota menjadi ajang suatu pesta. Sebenarnya alasan pesta itu diselenggarakan tak begitu jelas, hanya saja melihat dari daftar tamu yang mencakup para pejabat, anggota DPRD, pengusaha, dan profesional, sebagian besar yang hadir sudah maklum bahwa pesta itu ada hubungannya dengan tender suatu proyek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang. Suasana pesta yang formal namun akrab pun menjadi ajang penguasa dan pengusaha saling mendekat, menjalin hubungan, dan di balik itu semua berusaha mendapatkan keuntungan dengan cara halal maupun lainnya. Di antara dekorasi indah, karangan bunga, makanan lezat, dan minuman mahal, manusia-manusia berkepentingan saling berbaur dan berbincang. Tiada yang gratis di dunia, bahkan di tengah pesta.
Ini bukan pertama kali Tia hadir dalam pesta kalangan atas, tapi baru kali ini dia hadir sebagai seorang “ahli waris bisnis”. Dia memandangi orang-orang yang ada dengan antusias. Banyak sekali laki-laki berumur 40-an ke atas dalam setelan yang terlihat mahal atau batik sutra. Ada juga beberapa laki-laki muda yang terlihat perlente. Tamu-tamu perempuan yang hadir semuanya tampil gemerlap, dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan. Kebanyakan tamu perempuan juga berumur 40-an ke atas, mungkin mereka juga adalah pejabat atau pengusaha atau istri pejabat/pengusaha. Kehadiran Tia sendiri justru menarik perhatian. Ketika Mang Enjup, Tia, dan Danang masuk ke ruangan, tetamu langsung menengok dan tidak bisa melepaskan pandangan dari perempuan anggun yang baru hadir. Tia yang anggun dalam kebaya emasnya langsung menjadi pusat perhatian, dan terdengar gumaman serta decak dari sebagian tamu. Dan entah berapa pembicaraan bisnis yang tersela, tergantikan kekaguman. Baik kekaguman yang menghormati, maupun yang membayangkan hal yang tidak-tidak. Mang Enjup yang luas pergaulannya memperkenalkan Tia ke sana-sini. Ini anggota DPRD; ibu ini guru besar kedokteran di universitas; suami-istri itu pengusaha ekspor-impor; bapak itu kepala dinas. Semua perkenalan berlangsung singkat, Tia sampai kerepotan mengingat nama mereka semua. Setiap kali, Mang Enjup selalu memperkenalkan Tia sambil menyebut orangtuanya, Bram, dan orangtua Bram. Banyak yang langsung paham apa arti semua itu, dan biasanya mereka akan mengangguk-angguk setuju. Tia adalah calon penerus bisnis orangtuanya, salah satu bisnis besar di kota itu dan daerah-daerah lain.
“Hei, Tia!” terdengar panggilan akrab.
Tia menoleh dan melihat Dr. Lorencia yang juga hadir di pesta itu. Dr. Loren memuji kebaya dan kecantikan Tia—sambil tangannya seperti mau menggerayangi Tia. Bagi yang tidak tahu orientasi si psikolog spesialis, kelihatannya seperti dua perempuan yang bersahabat akrab. Tapi sentuhan Dr. Loren jelas tidak cuma menyampaikan keakraban.
Mang Enjup tidak menunjukkan bahwa dia kenal Dr. Loren, tapi sempat memberi isyarat kepada perempuan berkacamata itu agar tidak menahan Tia, karena ada urusan lebih penting. Tia dan Mang Enjup meninggalkan Dr. Loren, dan Tia bilang nanti dia akan ngobrol lagi dengan Dr. Loren. Tapi Danang, yang dari tadi mengintil Mang Enjup tanpa diperkenalkan ke siapa-siapa, tetap bersama Dr. Loren dan mengajak ngobrol. Mereka berdua sudah saling kenal rupanya. Di tengah ruangan dalam rumah dinas Walikota, Mang Enjup mengantar Tia berkenalan dengan Pak Walikota. Tia sudah sering melihat wajah Pak Walikota di televisi dan koran, tapi dia merasa baru satu kali bertemu dengan pejabat itu. Pak Walikota bertubuh tegap dan besar; dia mantan perwira yang kemudian masuk ke partai politik dan memenangkan pemilihan kepala daerah tahun lalu. Umurnya kira-kira 50-an, dengan rambut mulai beruban, tapi wajahnya masih terlihat ganteng. Dia menjabat tangan Tia dan tersenyum lebar. Jabat tangannya erat dan lama sekali, seolah dia tak mau melepas tangan Tia; tindakannya itu disaksikan oleh seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sampingnya dan mengenakan kebaya mewah, dengan rambut disasak dan beruntai-untai kalung di lehernya. Perempuan itu istri Pak Walikota.
“Senang bisa kenalan dengan Bu Tia,” kata Pak Walikota.
“Sama-sama, Pak,” jawab Tia sopan.
“Bu Tia masih ingat tidak? Waktu Bu Tia menikah dengan Pak Bram, saya datang,” kata Pak Walikota.
Tia diam saja, dia sendiri tak yakin apa dia ingat pernah bertemu dengan Pak Walikota sebelumnya. Pak Walikota terus berusaha memperpanjang pembicaraan, dengan menyebut bahwa dia kenal orangtua Tia dan Bram. Tia hanya mengangguk-angguk.
“…saya sudah lama tidak ketemu bapak Bu Tia. Tolong kasih tahu ya kalau Bapak sedang ada di sini. Saya pingin ajak ngobrol dia,” pinta Pak Walikota.
“Iya, Pak,” ujar Tia singkat.
“Tapi saya sudah senang kok bisa ketemu lagi dengan putrinya. Tidak sangka, ternyata cantik sekali. Bapak dan Ibu pasti bangga,” Pak Walikota berusaha memuji.
Mang Enjup masuk ke dalam pembicaraan, membawa topik tender proyek yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Pak Walikota dan Mang Enjup membahas itu, sementara Tia dan istri Pak Walikota jadi penonton. Lalu beberapa orang lain datang mendekat.
“Hai… Pak Jupri mau nyolong start rupanya,” kata seorang laki-laki bertubuh kecil, berkulit kuning, bermata sipit, yang datang dari belakang Mang Enjup. Dia merangkul Mang Enjup dengan gaya sok akrab, lalu menoleh ke Pak Walikota. Mang Enjup mengomentari orang baru itu.
“Hahaha… Koh Simon bisa aja. Kan tadi situ yang udah duluan ngobrol. Siapa dong yang nyolong start?” Mang Enjup menyindir laki-laki kecil itu, yang bernama Simon Sunargo, seorang pengusaha yang juga ikut tender proyek.
Tapi selagi dua orang itu saling sindir, datang lagi seorang laki-laki berjas biru yang mengabaikan keduanya dan langsung menjabat tangan Pak Walikota.
“Selamat malam, Pak. Maaf saya baru datang. Biasa, gandengan saya kelamaan dandan,” kata laki-laki berjas biru itu, yang lebih muda daripada Mang Enjup dan George.
“Saya dari tadi udah tanya-tanya, Majed ke mana. Rupanya nungguin gandengan,” celetuk Pak Walikota menyambut laki-laki muda itu, yang bernama Majed. Majed berpenampilan seperti orang asing, tubuhnya jangkung, hidungnya mancung, wajahnya brewokan tapi ganteng. Kontras dengan Mang Enjup yang sudah tua dan gemuk, atau Simon yang kurus kecil. Dan Majed juga salah seorang peserta tender.
“Gandengannya ganti lagi, Jed?” komentar Pak Walikota melihat sosok yang menggelayut di lengan Majed, seorang perempuan berkulit sawo matang, tapi tidak tampak seperti pribumi. Tubuhnya berbentuk seperti gitar Spanyol dengan dada besar, pinggang ramping, dan pinggul seksi. Perempuan itu berbicara sedikit ke Majed. Celetukannya, berbahasa Spanyol juga. Majed membisikkan sesuatu dan perempuan itu tertawa. Majed memperkenalkan gandengannya itu.
“Kenalkan, Pak, ini Gaby. Lengkapnya Gabriela Iffa Almaraz. Latino tapi masih ada keturunan Timur Tengah, kayak penyanyi itu, Shakira. Dia dikirim sama kantor pusat di Amerika buat training setahun di kantor cabang Indonesia, terus saya yang suruh handle.”
Majed memang mewakili perusahaan internasional yang juga bersaing dengan perusahaan orangtua Tia dan perusahaan Simon di tingkat lokal. Penjelasan Majed mengenai asal-usul Gaby terkesan dibuat-buat, tapi Pak Walikota tak memusingkan itu; dia sibuk memandangi rambut coklat panjang dan mata kelabu-biru Gaby. Simon yang diserobot kesempatannya oleh Majed tiba-tiba mengangkat telepon selulernya, memencet satu nomor, lalu menelepon. Mang Enjup menguping pembicaraan singkat Simon.
“Ada di mana… Ayo sini cepet!” yang kemudian dilanjutkan beberapa patah kata bahasa Cina.
Tak lama kemudian muncullah seorang perempuan bertubuh langsing dan berwajah menarik, ras oriental. Dia mengenakan baju sutra longgar dan celana panjang, rambut hitamnya dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit besar berbentuk anggrek. Simon memperkenalkannya kepada Pak Walikota sebagai “asistennya yang baru”, Shenny. Dengan kehadiran Shenny, jadilah Pak Walikota dirubung tiga laki-laki, juga tiga perempuan cantik: Tia, Gaby, dan Shenny. Entah kapan, istri Pak Walikota sudah tidak berada di samping suaminya, memilih untuk mengobrol dengan sesama istri pejabat daripada harus menemani suaminya. Tia menyimak obrolan Pak Walikota dengan Mang Enjup, Simon, dan Majed. Dia merasa perlu terlibat dengan urusan proyek itu. Ditangkapnya berbagai hal yang tersirat; bahwa ketiga orang itu sebelumnya bekerja sama melobi DPRD sehingga menggolkan proyek besar yang akan ditender, namun sekarang ketiga pihak akan melupakan kerjasama dan bersaing dalam tender. Ketiganya sama-sama licin dalam berkata-kata, hampir tak pernah keceplosan mengumbar maksud dan siasat di depan lawan-lawannya.
“Oke, keputusannya tiga hari lagi. Negosiasi final dengan Anda bertiga akan saya lakukan sehari sebelumnya. Nanti lokasi dan waktunya akan diberitahu asisten saya,” Pak Walikota menutup pembicaraan dengan mereka bertiga, lalu pamit untuk beralih mengobrol dengan tetamu lain. Bu Walikota entah sudah ada di mana. Tiga laki-laki dan tiga perempuan itu pun bubar.
“Neng, tadi ikut denger obrolan kita kan?” tanya Mang Enjup.
“Iya, Mang,” jawab Tia. “Perusahaan kita bakal bersaing dengan perusahaannya Pak Simon dan Pak Majed itu di tender.”
“Nah, Neng Tia, Mang tuh sebenarnya pengen minta bantuan. Selama ini Mang dan Bram sudah usaha keras supaya kita bisa menang. Sekarang tinggal satu tahap lagi. Kalau pertandingan bola, kita udah masuk final. Tinggal gimana supaya kita menang juga di final. Makanya… Bram kan lagi tidak di sini, padahal masih ada satu negosiasi lagi sebelum keputusan. Boleh tidak kalau Mang minta Neng Tia bantuin Mang di negosiasi terakhir itu?”
Mang Enjup mengatakan itu sambil menatap wajah Tia dan tangannya mengurut-urut lengan Tia; tanda dia menggunakan sedikit keahlian gendamnya. Tia merasa sudah sewajarnya dia ikut terlibat, jadi dia pun mengangguk setuju.
“Boleh Mang… Nanti Tia bantuin sebisanya, apa aja, supaya perusahaan kita yang dapat proyeknya,” ujar Tia.
“Hatur nuhun, geulis,” kata Mang Enjup. “Nah, ini sudah malam. Mang mau pulang. Tia mau pulang juga, atau masih mau di sini?” Mang Enjup melepas pegangannya dari Tia, menghentikan upaya mempengaruhi.
“Emm…” Tia memperhatikan sekelilingnya. Sebenarnya malam belum larut, baru sekitar pukul 9, dan dia juga kesepian di rumah. Tadi dia belum sempat ngobrol dengan Dr. Lorencia. “Tia belakangan aja deh, Mang.”
“Ya udah. Mang pulang dulu sama Reja, nanti Reja Mang suruh balik lagi ke sini buat nganter pulang Neng Tia. Danang mah biarin aja di sini dulu.”
Mang Enjup kemudian meninggalkan rumah dinas walikota untuk pulang bersama Reja ke rumahnya sendiri yang tidak jauh dari sana.
Tia kembali beredar dan melanjutkan obrolan dengan beberapa orang di sana. Ada seorang temannya waktu kuliah yang hadir juga di sana, mendampingi suaminya yang menjadi pejabat menengah setempat. Temannya itu menanyakan Bram. Tia bilang Bram sedang tugas kantor di luar kota. Mereka mengobrol, memuaskan rasa kangen sesudah beberapa lama tak bertemu. Di tempat lain, Danang memanfaatkan kesempatan mencicipi berbagai suguhan, termasuk minuman keras, di pesta itu. Sekarang efek alkohol dan membuat dia merasa gerah. Ditambah lagi, sedari tadi dia menyaksikan bahwa sebenarnya banyak juga “pemandangan indah” di pesta itu. Ada perempuan-perempuan muda dan cantik di antara para tetamu. Di antaranya Gaby Almaraz yang dibawa Majed, dan Shenny asisten Simon. Dan tentunya Tia. Tadi Danang sempat mengobrol dengan Dr. Lorencia. Mereka berdua sudah kenal sebelumnya, karena Danang sering ikut ke mana pun Mang Enjup pergi. Termasuk ketika beberapa waktu lalu Mang Enjup meminta Dr. Loren menggarap kesadaran Tia. Danang tahu mengenai ilmu gendam Mang Enjup, bahkan dia pernah minta diajari, tapi ternyata dia tidak berbakat. Makanya dia iri kepada Dr. Loren yang bisa menyerap ilmu pamannya. Keduanya tadi mengobrol banyak, dan akhirnya mereka jadi saling tahu pengalaman masing-masing dengan Tia. Danang masih penasaran dengan Tia. Kemarin dia kesal sekali waktu ikut datang ke rumah Tia tapi tidak terjadi apa-apa. Sekarang apalagi. Melihat Tia, ditambah efek alkohol, membuat Danang belingsatan menahan sange. Danang sebenarnya pengecut, dia tidak berani mengapa-apakan Tia kalau sendirian. Tapi begitu tadi bertemu Dr. Loren dan berbagi cerita, segera muncul rencana di kepalanya untuk bisa meniduri Tia malam itu. Dia tahu Dr. Loren juga berminat dengan Tia. Jadi, begitu melihat Tia ditinggal Mang Enjup, Danang langsung mendekati Dr. Loren lagi. Keduanya punya keinginan yang sama, jadi bisa bersepakat. Waktu Tia terlihat mendekati Dr. Loren, Danang menyingkir.
Tia dan Dr. Loren mengobrol lagi, agak berbisik-bisik. Dr. Loren menanyakan apakah Tia masih ada masalah dengan traumanya. Tia menjawab sudah tidak ada masalah. Obrolan mereka tidak berlangsung lama karena Dr. Loren bilang dia mau pulang, naik taksi. Tia menanyakan alamat rumah Dr. Loren; ternyata sama dengan tempat praktiknya. Karena arah pulang mereka sejalan, Tia menawari Dr. Loren pulang bareng. Dr. Loren menyanggupi. Tia melihat Danang tidak jauh dari sana lalu memanggil Danang, menanyakan apakah Reja sudah balik lagi dari mengantar Mang Enjup. Danang menelepon sebentar lalu bilang Reja sudah ada di tempat parkir lagi. Sesudah berpamitan dengan Pak Walikota dan orang-orang lain, Tia menuju pintu keluar diikuti Dr. Loren dan Danang yang saling pandang sambil cengar-cengir. Tidak cuma Mang Enjup yang jago menjerat orang—mereka berdua juga bisa. Di depan pintu, Reja sudah menunggu dengan mobil Mang Enjup. Si sopir membukakan pintu belakang untuk Tia dan Dr. Loren, sedangkan Danang duduk di kursi depan. Mobil segera bergerak meninggalkan rumah dinas walikota. Sambil jalan, Dr. Loren melanjutkan obrolan dengan Tia, sementara Danang dan Reja diam saja. Mobil menuju rumah Dr. Loren. Tapi Dr. Loren lantas bicara sambil tangannya menggenggam pergelangan tangan Tia.
“Tia, aku pengen mampir ke rumahmu, boleh nggak?” Sambil mengatakan itu Dr. Loren tiba-tiba menyentak halus tangan Tia—satu teknik untuk menjatuhkan sasaran ke dalam keadaan setengah terhipnotis.
“Iya… Boleh…” kata Tia. “Kita ke rumahku dulu deh…”
Danang menengok ke belakang dan nyengir. Reja mengarahkan mobil ke jalan menuju rumah Tia.
*****
Dr. Lorencia
Dr. Lorencia
Singkat cerita, mereka semua tiba di rumah Tia dan turun. Tia masih dalam keadaan setengah terhipnotis dan sama sekali tidak curiga akan maksud Danang dan Dr. Loren. Tadi di mobil, Dr. Loren sudah memberi sugesti,
“Kamu mau turuti semua yang kami suruh, kan?” dan Tia menyanggupi.
Dan sejak di mobil Dr. Loren sudah mulai menggerayangi Tia, mulai dari meremas-remas paha, meraba leher, sampai mengulum telinga Tia. Tia bereaksi dengan tertawa kegelian dan mendesah. Danang bolak-balik menengok untuk curi pandang, tapi Dr. Loren selalu memelototinya kalau dia ketahuan. Waktu mereka masuk rumah, Tia sudah terangsang berat gara-gara Dr. Loren. Keadaan itu, ditambah pengaruh hipnotis, membuat dia mau saja disuruh menunjukkan kamar tidurnya. Dr. Loren menggiring Tia ke kamar tidur, diikuti Danang dan Reja. Dr. Loren menengok ke arah dua laki-laki itu dan berkata,
“Aku duluan, dan jangan coba-coba ikutan. Sori, aku nggak suka cowok. Kalau ada yang berani ikutan, bakal kuhipnotis jadi banci. Silakan nonton tapi jangan ada yang macam-macam.”
Danang nyengir mendengar ancaman itu, tapi menganggapnya serius, karena sudah melihat bagaimana Dr. Loren bisa membuat Tia mengikuti semua kata-katanya. Tia duduk di pinggir tempat tidur, masih berkebaya lengkap. Loren menyuruhnya membuka baju. Dengan patuh, Tia membuka kebaya, rok panjang, dan kembennya, sampai hanya tersisa celana dalam G-string dan bra. Sementara itu Loren membuka-buka lemari pakaian Tia, mencari sesuatu.
“Tia,” kata Dr. Loren, “Merem.” Tia menurut dan memejamkan mata.
Loren sudah mengambil beberapa syal dari dalam lemari, lalu mengikatkan satu syal sehingga menutupi kedua mata Tia. Loren lalu mendorong Tia sehingga Tia rebah di tempat tidur. Kemudian Loren mengikat kedua pergelangan tangan Tia dengan syal lain. Loren tersenyum dan menjilat bibir.
Loren kemudian membuka seluruh pakaiannya sampai telanjang, tanpa peduli Danang dan Reja berdiri menonton di belakangnya. Dia lalu berlutut di tempat tidur dan menyibak kedua paha Tia. Loren membungkuk ke depan, ujung-ujung jarinya menggerayangi leher Tia. Dia bisa merasakan nafas Tia mulai memburu. Jemari Loren terus menyusuri sekujur tubuh Tia, tanpa menyentuh payudara Tia. Lalu dengan cekatan Loren mencopot kancing bra Tia. Payudara Tia tumpah keluar. Loren menundukkan kepala, dan memasukkan satu puting Tia ke mulutnya. Tia mengerang keenakan. Loren pindah ke payudara satunya sambil mengelus-elus sekujur tubuh Tia. Puting Tia mulai mengeras. Loren lalu beralih ke bagian bawah tubuh Tia dan melepas celana dalam Tia. Tia terus mendesah dan merintih, ingin lebih. Setelah membuka celana dalam Tia, Loren memperhatikan vagina Tia yang sudah basah. Loren memasukkan satu jari, kemudian dua jari ke sana. Tia bereaksi dengan menggerakkan panggulnya menanggapi colokan jari Loren. Loren mencabut jemarinya dan mulai menciumi perut Tia, makin lama makin ke bawah. Dia mencapai kemaluan Tia dan mulai menjilati klitoris Tia. Tia mulai tegang. Lidah Loren menjalar menyapu bibir kewanitaan Tia, kemudian keluar-masuk rekahannya. Makin lama suara Tia makin kencang. Dua jari Loren kembali masuk ke kemaluan Tia yang becek. Tia tersentak dan menjerit kaget, diikuti tarikan nafas panjang yang gemetar. Bibirnya tersenyum lebar.
“Mau diteruskan?” tanya Loren.
“Iya…” jawab Tia.
Loren mencium Tia, menghisap lembut bibir bawah Tia.
“Baiklah, sayang,” kata Loren, sambil jari-jarinya beraksi di dalam vagina Tia.
Loren merasakan kedua paha Tia bergerak hendak merangkul tubuhnya, dan pinggul Tia bergerak menanggapi tusukan jarinya. Dengan lembut, ia terus merangsang klitoris dan vagina Tia. Nafas Tia makin memburu dan wajahnya memerah selagi dia mendekati orgasme. Akhirnya, Tia mencapai klimaks. Dia menahan nafas selagi sekujur tubuhnya bergetar, kemudian mengeluarkan lolongan panjang tanda kenikmatan.
“Oooo…. Eufhhh!!”
Dr. Lorencia mulai tak tahan, memandangi tubuh indah Tia yang menggelinjang karena nikmat di depannya. Dia mulai bermasturbasi, menjolokkan jari ke dalam vaginanya sendiri, merangsang kewanitaannya sampai basah. Kemudian dia bergerak sampai akhirnya berposisi mengangkangi dada Tia. Dr. Loren membuka penutup mata dan ikatan di tangan Tia, membisikkan perintah, lalu bergeser lagi, menyodorkan klitorisnya ke mulut Tia. Tia langsung melakukan apa yang tadi diperintahkan. Dia majukan kepalanya, dan melahap kemaluan Loren di depannya, menyedot klitoris Loren.
“Mmmmm… yes… oh… ayo terus mainin lidahnya…” ujar Loren saat dia mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur, mengentoti muka Tia. Tia tidak peduli apa yang terjadi… rasa, bau, dan gesekan vagina Loren saja yang penting baginya saat itu. Jari Tia pun ikut main di sana. Sugesti yang tadi Loren berikan membuatnya tidak canggung ketika bercinta dengan sesama wanita.
“Aku… ah… sebentar lagi… oh… ohh…”
Dan, segera setelah berkata seperti itu, tubuh si psikolog cantik mulai gemetar tak terkendali, makin cepat dan bergairah menggesek-gesekkan selangkangannya ke mulut Tia, seolah-olah mau memastikan rasa kewanitaannya akan menempel terus di mulut Tia sampai berjam-jam ke depan. Ketika akhirnya mencapai klimaks, Loren melolong dan mendesah, suaranya begitu bernafsu sampai-sampai Danang yang menonton merinding mendengarnya. Tia pelan-pelan menjilati sisa-sisa orgasme Loren (yang masih mengangkangi mukanya, biarpun nyaris ambruk karena lemas) sampai bersih, membuat Loren terengah dan bergidik dengan tiap sapuan lidahnya. Loren akhirnya turun dari ranjang, lalu mencium bibir Tia dengan mesra. Dia tak menyangka percobaannya tadi dengan Tia berefek dahsyat kepada dirinya sendiri, dan dia puas dengan “mainan baru”-nya. Sesudahnya, Dr. Loren menengok ke Danang dan Reja.
“Nih, silakan. Aku udah puas, sekarang aku mau pulang ya.”
Danang dan Reja sudah tidak peduli lagi dengan Dr. Lorencia. Tia—anak bos mereka—sudah ada di depan mereka dalam keadaan telanjang, terhipnotis, dan terangsang. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini? Tangan Danang langsung menjamah vagina Tia. Dia usapkan jari tengah sepanjang rekahannya, lalu dia tekuk jari itu dan celupkan ke dalam.
“Wuihh,” Danang berbisik di telinga Tia, “Basah kuyup memeknya. Udah sange’ berat ya, Tia?”
Tia tidak menjawab; tapi jari Danang makin mudah bergerak di dalam kemaluannya. Danang menjilati kuping Tia dan membuat istri rekan kerjanya itu makin tegang. Bibir luar vagina Tia terentang ke luar tiap kali Danang menarik keluar jarinya, seolah-olah enggan melepaskan. Nafas Tia makin memburu, bibirnya mengeluarkan suara-suara merintih kecil. Danang terus menjolok-jolokkan jarinya di vagina Tia, sementara tangan satunya membuka celananya sendiri. Dengan tak sabar Danang memelorotkan celana dan celana dalamnya. Penisnya lepas dari kungkungan, berdiri mencuat di tengah rambut kemaluannya yang lebat.
“Kamu lihat kan ini, Tia? Doyan kontol kan sekarang? Sebentar lagi ini bakal masuk ke memek kamu, Tia. Punya Reja juga. Mulai sekarang kamu lonte kami, Tia. Memek kamu buat dimasukin titit semua orang. Nggak cuma Bram,” kata Danang, seolah meniru cara Dr. Loren mensugesti Tia. “Nih, buktinya memek kamu becek. Lihat nih jari gue.” Danang mencabut jari-jarinya dari vagina Tia, mengendusnya, lalu memeperkan cairan kewanitaan dari kemaluan Tia yang menempel di sana ke pipi kanan dan kiri Tia.
Danang mengambil bantal dan menaruhnya di bawah pantat Tia. Danang lalu menggenggam penisnya dengan satu tangan dan menusukkannya ke lubang Tia yang menghadap ke depan-atas. Tia tidak melawan sama sekali. Kedua pahanya tetap mengangkang menyambut Danang. Kepala penis Danang menghilang dari pandangan, memasuki liang kenikmatan Tia. Tia merintih lembut dan menggerakkan pinggulnya, sehingga setengah batang Danang masuk ke saluran cintanya. Danang membungkuk dengan bertumpu ke kedua tangan di kiri-kanan tubuh Tia, perlahan-lahan memasukkan seluruh kejantanannya ke vagina Tia.
“Wuehh… Masih tetep enak memek luh Ti… sempit!” komentar Danang. Dia mulai bergerak keluar masuk beberapa kali. Penisnya basah terlumasi cairan kewanitaan Tia. Tia membalas tiap gerakan Danang. Dia menggerakkan pinggulnya, menyodorkan kehormatannya, membuka pahanya lebar-lebar agar Danang bisa mendorong sedalam mungkin.
“Sialan… rasanya enak banget,” Danang terus mencerocos. “Baru kali ini gue ngerasain memek lonte sempit kayak gini! Gratisan lagi!” Dia bergerak cepat untuk sejenak.
“Lu suka kan, Ti?” Danang bertanya dengan nada memaksa. “Ayo bilang!”
“Iyahh… aku suka dientoth…” kata Tia yang tubuhnya terguncang-guncang menerima genjotan.
“Enak gak kontolnya?”
“Enaa…kh… entot terus…”
Tia mengangkat kakinya memeluk tubuh Danang, lalu menggunakan kakinya untuk membantu mendorong tubuh Danang. Danang menengok ke Reja.
“Mau ikutan nggak, Ja?” tanya Danang.
Reja mengangguk. Sementara Reja membuka sepatu, baju, dan celana, Danang keluar dari vagina Tia dan mengubah posisi tubuh Tia. Tia ditarik dan ditelungkupkan sehingga bagian atas tubuhnya berbaring di atas tempat tidur, sementara pantatnya menungging ke arah Danang dan Reja. Kemaluannya terlihat dari belakang, merah dan basah. Danang kembali mencolokkan satu jari ke sana.
“Lu mau dientot lagi, Ti?” tanya Danang. “Sama Reja?”
“I… iya…” Tia berkata sambil terengah. Jari Danang menggosok daerah sekitar klitorisnya.
“Minta dia ngentot kamu,” suruh Danang.
“A-aaahhh…” Tia merajuk manja.
“Ayo, kalau nggak minta, kami cabut nih,” dorong Danang.
“…entot aku… Ja…”
“Yang keras! Yang jelas!”
“Entot aku… Reja, Danang… entotin aku… yah?” pinta Tia.
“Bagus… Gitu emang harusnya lonte,” kata Danang melecehkan. “Sok atuh, Ja, silakan dientot, dia udah minta.” Danang mencabut jarinya dari vagina Tia dan ganti menggerayangi pantat Tia.
Reja mendekat, menggenggam penisnya yang sudah tegak. Danang berkomentar,
“Sialan, Ja, bikin iri aja barang lu.”
Tanpa banyak bicara si sopir itu menusuk kemaluan Tia. Tia masih basah dan siap disetubuhi lagi. Reja mulai mendorongkan kejantanannya ke dalam Tia dari belakang, dorongan tubuhnya cukup kencang sehingga membuat pantat dan payudara Tia berguncang. Danang sudah pindahkan tangannya ke muka Tia, dan Tia mengulum jari Danang yang beberapa saat lalu ada dalam vaginanya. Danang duduk di tempat tidur dan memindahkan tubuh atas Tia ke pangkuannya, tepat di depan penisnya yang masih tegak karena belum ejakulasi. Reja tetap di dalam Tia selagi tubuh Tia berubah posisi, menggenggam pinggul Tia.
“Ayo, Tia, isep kontol gue. Emut tuh kontol gue…”
Sementara Reja mengentot Tia dari belakang, Tia mengulurkan tangan dan menggenggam pangkal kemaluan Danang. Tia menjulurkan kepalanya ke depan dan memasukkan penis Danang ke mulutnya. Tia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun batang Danang. Danang berbaring dan membiarkan Tia menggarap kemaluannya. Tia tampak menikmati sekali: dia menyedot kepalanya, sampai pipinya mengempot. Gerakannya kadang cepat, kadang pelan menggoda.
“Ahh… Udah jago ya lu nyepong,” kata Danang. “Terus. Pake lidahnya lagi. Anjrit… Bisa cepet keluar nih gua. Jangan berhenti. Gue mau keluar di dalem mulut lu.”
Danang menggertakkan giginya dan memejamkan mata.
“Nah… oohhh… udah mau…” Danang mencerocos, “Udah mau! Keluarrr!…” Tubuhnya mulai menyentak. Dia mendorong pinggulnya, memasukkan penisnya sejauh mungkin di dalam mulut Tia. Tia mengeluarkan suara aneh, bunyi seperti meneguk minuman, dan kepalanya mundur, sehingga cipratan mani Danang mendarat di mukanya. Danang cepat-cepat mencengkeram belakang kepala Tia dan menariknya kembali ke batangnya. Tia tidak melawan dan mengulum kembali batang yang sedang menyemburkan isinya itu. Terdengar suara menelan, tapi sebagian semburan Danang tumpah keluar dan berleleran di bibirnya. Tia mengisap kepala penis Danang dan mengocok batangnya, mengosongkan isinya ke dalam mulut.
Tia merasakan Reja makin terangsang melihatnya mengisap ejakulasi Danang, lalu kembali memperhatikan senjata tumpul keras yang begitu nikmat membelah kemaluannya. Dia mendesak balik dorongan Reja, menginginkan lebih.
“Lu isep crot nya si Reja juga, ya,” perintah Danang. Dia menarik Tia ke depan, sehingga terlepas dari penis Reja, lalu mendorong kepala Tia ke arah reja. “Sono isep!”
Reja ikut duduk di tempat tidur. Tia merayap ke pangkuan Reja, payudaranya menekan paha Reja. Wajahnya masih belepotan cairan putih Danang. Tia memegang penis Reja dengan dua tangan—lebih panjang daripada penis Danang yang panjangnya hanya segenggaman Tia lebih sedikit—dan mengocok batang yang basah karena cairan vagina itu. Tia mengecup ujungnya, lalu mendorong mulutnya menyelubungi kepala penis itu. Dia melepas genggamannya dan terus memasukkan batang panjang itu sampai sedalam-dalamnya, sampai ujungnya menyentuh pangkal tenggorokan. Jari-jari Tia merangsang pangkal tebal batang Reja yang tak masuk ke mulutnya. Bibir Tia ketat menjepit penis Reja yang bergerak keluar-masuk mulut. Di dalam mulut, lidah Tia lincah mengelus-elus dan bermain-main di bagian bawah batang Reja. Tia masih dalam keadaan akan mematuhi apapun yang diperintahkan kepadanya, jadi ketika Danang menyuruhnya menyepong Reja, dia pun berusaha sebaik mungkin. Dia hanya mengulum kepala burung Reja, mengisapnya, sambil tangannya mengocoki batang Reja. Kedua tangannya bermain, tidak hanya di batang tapi juga di kantong biji, memeras, menggelitik. Tia sudah siap dengan apa yang akan terjadi. Sperma Reja meletup keluar dari penisnya ke dalam mulut Tia. Tia menelan dan terus mengocok. Reja menembak beberapa kali lagi dalam mulut Tia, dan semuanya disedot habis oleh Tia.
Setelah Tia melepas penis Reja yang melemas, Danang menyuruhnya telentang dan merentangkan kedua lututnya. Danang kemudian mulai melahap vagina Tia, menjolokkan lidah ke dalam. Tia mengerang dan mencengkeram rambut Danang yang dicat merah, menekan kepala Danang ke selangkangannya. Danang menjilat sepanjang bagian luar vagina Tia, menelusuri bibir-bibir yang basah dengan liur campur cairan cinta. Dia menowel-nowel klitoris Tia dengan ujung lidahnya. Mulutnya menutup seluruh vagina Tia, tapi dari cara Tia menggeleng-gelengkan kepala, jelas di dalam sana lidahnya bermain-main menggoda. Tia merintih nikmat tanpa henti, tubuhnya gemetar akibat lidah nakal Danang. Lalu Danang berhenti.
“Ohh… jangan…” keluh Tia, “terusin…”
“Terusin apa?” Danang bertanya, pura-pura bego.
“Tia udah… dikit lagi…” pinta Tia. “Terusin… jilatin memek Tia…”
“Apa? Nggak kedengeran,” goda Danang.
“…Jilatin… memek Tia!” Tia berkata lebih keras.
“Nggak ah,” tolak Danang. Tia mengeluh, “Aa~aahh…”
“Gue gak mau jilat lu, tapi gue mau ngentot lu. Tapi lu mesti minta!” perintah Danang. “Ayo minta!”
“ento… ia…”
“Apa?”
“Entotin Tia…”
“Apa? Gak kedengeran!”
“ENTOTIN MEMEK TIA DONG… PLIS… TIA PENGEN BANGET NIH…!” Akhirnya Tia sampai berteriak, merendahkan dirinya sendiri demi kepuasan.
“Boleh aja,” kata Danang. “Tapi ada syaratnya! Lu mesti biarin gue dan Reja ngentot lu di bagian apa aja. Ngerti??”
“IYA!!… DUH… CEPETAN!!” Suara Tia makin putus asa.
“Oke,” kata Danang sambil menengok ke Reja. “Ayo barengan, Ja.”
“Sini, Tia,” panggil Danang. Dia telentang di tempat tidur. “Naik ke atas gue, terus lu masukin titit gue ke memek lu.” Tia bergerak menunggangi Danang. Danang menarik wajah Tia dan menciumnya, lidah mereka berdua saling jilat. Danang mengulurkan tangan dan meraih senjatanya, lalu memasukkannya ke celah di selangkangan Tia. Kepala burungnya masuk di antara bibir vagina, dan pelan-pelan sisanya menyusul. Danang menyodok sedikit-sedikit, sementara Tia mulai menggoyang pinggul, memutar penis Danang, sambil membiarkannya terus masuk. Akhirnya, batang Danang masuk semua. Lalu Tia mulai menggerakkan pinggulnya, bergerak naik turun dan memutar batang keras di dalam kemaluannya, menari di pangkuan Danang.
“Sekarang lu tusuk bokongnya, Ja,” kata Danang.
Pantat Tia tepat di depan Reja, dan tangan-tangan Danang mencengkeram sambil melebarkan kedua belahannya, memperlihatkan lubang kecil di tengah.
“Lu suka kan,” Danang berbisik kepada Tia. “Awalnya sakit, tapi lama-lama enak.”
“Agghh,” Tia mengeluh halus ketika jari Reja mencolok lubang pantatnya. Danang menyuruh Tia tidak melawan, dan meskipun masih sempit, jari Reja bisa masuk sedikit demi sedikit sampai seluruhnya masuk di sana. Reja kemudian memutar-mutar jarinya. Setelah menyiapkan lubang itu, Reja mencabut lagi jarinya dari dalam sana. Tia tidak bergerak selagi Danang terus menggenjot dari bawah dan merentangkan kedua bongkahan pantatnya yang bahenol. Reja maju dan meletakkan kepala burungnya di lubang belakang Tia, lalu mendorongnya.
“Ahh…hh!!” pekik Tia. “Gede… banget!!” Tia mencoba menghindar, tapi tidak bisa, bagian depannya sudah terpantek penis Danang, dan dari belakang senjata Reja menusuk tajam.
*****
Di jalan…
Dr. Lorencia tersenyum-senyum sendiri dalam taksi yang sedang membawanya pulang ke rumah. Dia sudah sukses membuat Tia menjadi perempuan binal hamba nafsu malam itu, dan memang itulah yang diinginkan Mang Enjup. Tadi dia mendapat penjelasan lagi mengenai rencana Mang Enjup, secara tidak langsung, ketika dia mengawasi gerak-gerik laki-laki tua itu bersama Tia di pesta. Dasar bajingan cabul, pikir Dr. Loren. Anak bos sendiri akan dikorbankan…Tapi Dr. Loren tidak ambil pusing. Dia menyentuh kemaluannya sendiri di balik pakaian, mengingat bagaimana tadi Tia memberikan kenikmatan kepadanya. Andai saja dia lebih dulu kenal perempuan muda yang polos itu, dia pasti tidak akan segan merebut Tia dari suaminya dan menjadikannya budak seksnya sendiri. Satu hal lagi yang dipikirkan Loren. Pengaruh hipnotisnya punya batas waktu. Dan sekarang waktunya hampir habis. Kalau Danang dan Reja sudah selesai sih tidak masalah, tapi apa jadinya kalau Tia sadar ketika sedang dicabuli dia laki-laki itu? Dr. Lorencia tersenyum nakal. Entah Tia akan memprotes dan melawan, atau terus berperan sebagai pelacur murahan. Tiba-tiba dia ingin balik lagi melihat apa yang terjadi. Tapi taksi sudah keburu mencapai rumahnya.
*****
Reja mendorong maju lagi, terus makin dalam ke lubang pantat Tia. Reja merasa saluran itu mulai menyerah terhadap desakan kepala burungnya.
“Auhh… Sakit!” Tia memekik. “Jangan… dimasukin… lagih! Ngga kuatt…! Sakii…tt!”
Sentakan rasa sakit itu juga membuat Tia sadar dari keadaan terhipnotis. Danang melihat perubahan di sinar mata Tia, yang tadinya sayu dan kosong kini terlihat seperti mendapat api-nya lagi. Tia tersadar. Dan dia mendapati dirinya telanjang, terjepit di antara dua laki-laki dalam persetubuhan. Bukan dengan suaminya. Rasa nikmat campur sakit dari depan dan belakang. Refleksnya membuat dia meronta, tapi Danang dan Reja memeganginya kuat-kuat. Dia menjerit, tapi jeritan paniknya tercampur dengan jeritan nikmat ketika Danang mengemut putingnya dan Reja menciumi bahunya. Pikiran Tia kacau karena tidak menyangka tiba-tiba berada dalam keadaan seperti itu. Dan di dalam kepalanya, seperti terus bergema suara yang menyuruh dia menyerah saja dan menikmati keadaan. Menyuruh dia mengerti bahwa dia sebenarnya wanita jalang yang haus kenikmatan. Jeritan dan gerakan Tia yang baru sadar disalahartikan oleh Danang dan Reja, mereka kira perempuan muda itu makin terangsang. Akibatnya makin hebat saja gempuran mereka terhadap Tia. Reja sudah memasukkan setengah penisnya. Lingkaran otot dubur Tia mencengkeram erat di sekitar batang penis Reja yang mendesaknya. Reja memundurkan pinggul, menarik batangnya sampai batas kepala, dan mendorong maju lagi, lebih dalam daripada sebelumnya. Kali ini batangnya masuk dengan lebih mudah, biarpun saluran belakang Tia sangat sempit dan lebih melawan daripada vaginanya.
“Ah… gede banget…” keluh Tia. Dia belum sepenuhnya menguasai diri, kepalanya masih terlanda birahi membara.
“ Reja mundur lagi sedikit lalu mendorong sisanya ke dalam dubur Tia. Tia meringis, kepalanya ambruk ke dada Danang.
“Yahh…!” Tia meringis. “Sakit… ahh….! Jangan… didorong… lagi!”
Reja diam beberapa saat, menikmati jepitan tabung pengeluaran Tia terhadap batang yang sudah dia susupkan seluruhnya ke dalam. Kemudian dia menggenjot pelan-pelan. Tubuh Tia mulai merasa lebih nyaman, tapi perasaannya tetap ingin berontak. Danang juga mulai bergerak lagi, seirama dengan Reja, masuk, keluar, masuk, keluar kedua lubang Tia. Tia hanya bisa menggelinjang dan mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas.
“Gimana Tia. Enak kan sekarang?” tanya Danang.
“Iyahh… mendingan… ayoh… lagi,” Tia menjawab sekaligus meminta.
Danang dan Reja menggenjot dengan penuh semangat. Tia membalasnya dengan mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
“Yahh… ah… iya… ah… oh… enak banget… Oh… OH!… Sodok terus… Terus!”
Tia terjepit di antara dua laki-laki, menggelepar, menerima sodokan keras dan kencang dari dua arah. Dia makin bergairah dengan tiap gerakan. Dan dia sadar sepenuhnya apa yang dia alami. Dia sedang bersetubuh dengan dua laki-laki yang bukan suaminya. Tapi dia tak peduli. Yang menguasai kepalanya adalah keinginan untuk mencapai orgasme, untuk mencapai kenikmatan badan. Dan biarpun Bram baru pergi satu hari, tubuhnya sudah tak kuat menahan. Maka dia tidak pedulikan kalau yang menyetubuhinya bukan orang yang berhak. Sejak di pesta pun Tia sudah resah, karena dia menyadari bagaimana sebagian tamu memandangi dirinya penuh nafsu. Dia tahu di kepala mereka yang ada justru keinginan untuk menindihnya, merobek paksa bajunya, menggagahinya. Ditambah lagi, Mang Enjup berkali-kali mencolek tubuhnya, terutama di bagian pantat. Dan dia malah merasa senang dilecehkan seperti itu.
Tia membungkuk, merapatkan tubuh memeluk Danang. Reja mendorong dari belakang, penisnya masuk semua ke lubang pantat. Disertai teriakan, Tia mengalami klimaks. Tubuhnya tersentak-sentak di tengah kedua laki-laki yang menghimpitnya.
“Ohhh…” Tia meringis dengan wajah menempel ke dada Danang. “Auhh… enak banget… unghh…” Tia terbenam dalam kenikmatan, mulutnya mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, dan saluran-salurannya menjepit kedua kejantanan di dalam tubuh. Reja juga merasa akan klimaks sebentar lagi, dia menghantam makin kencang keluar-masuk, mendorong sedalam-dalamnya kemudian menariknya keluar lagi. Sementara itu, ekspresi Danang berubah seperti menahan sakit dan tanpa banyak cingcong dia berejakulasi di dalam vagina Tia. Disusul Reja yang menghunjamkan penisnya dalam-dalam dan melepas pejunya ke dalam pantat Tia.
*****
Sesudahnya, Danang dan Reja pulang begitu saja, meninggalkan Tia yang menggeletak ternoda di atas tempat tidurnya sendiri. Danang dan Reja menyangka mereka meninggalkan Tia dalam kondisi masih terhipnotis, padahal sebenarnya tidak. Tia meringkuk di tempat tidurnya… tersenyum merasakan cairan kelelakian Danang dan Reja di dalam rongga-rongga tubuhnya, mengingat orgasme dahsyat yang dia dapat, mengingat betapa bernafsunya kedua laki-laki tadi. Entah kenapa, dia tidak lagi merasa bersalah seperti sesudah disetubuhi aparat sesudah kena ciduk. Sesuatu di dalam kepalanya—sugesti yang ditanamkan Dr. Lorencia—membuat dia merasa apa yang dia lakukan wajar saja. Peduli amat dengan statusnya sebagai istri Bram. Yang dipentingkannya hanya kenikmatan badan. Setiap hari. Dari Bram suaminya, atau dari siapapun.
Tia terjerumus makin dalam…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment