BAB 1 - BUNDA
Namaku Doni. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang alim. Ayahku sendiri seorang yang taat beragama. Kakakku seorang aktivis di kampus. Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau dilihat dari luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak sebegitunya seperti kakak perempuanku.
Kakakku bernama Kak Vidia. Adikku bernama Nuraini. Ibuku? Oh ibuku ini seorang ustadzah. Aku sendiri dikatakan anak nakal oleh ibuku, aku menyebutnya bunda. Ayahku sering menasehatiku untuk tidak bergaul dengan anak-anak geng. Tapi apa boleh dikata, dari sinilah aku banyak mengenal dunia. Memang sih, aku bergaul dengan mereka, tapi tidak deh untuk berbuat yang aneh-aneh. Walaupun aku bergaul dengan mereka tapi aku sadar koq norma-norma yang harus dijaga. Aku bahkan sangat protektif terhadap saudari-saudariku. Ada temenku yang naksir saja langsung aku hajar. Makanya sampai sekarang banyak orang yang takut untuk mendekati kakakku maupun adikku.
Menginjak kelas 2 SMA, keluarga kami berduka. Ayahku kecelakaan. Ketika pulang kantor beliau dihantam oleh truk. Ia berpesan kepadaku agar jadi anak yang baik di saat-saat terakhirnya. Kami semua bersedih. Terutama bunda. Ia selalu menyunggingkan senyumnya tapi tak bisa menyebunyikan raut wajahnya yang sembab. Otomatis setelah meninggalnya ayah, keluarga kami pun banyak berubah.
Rasanya sangat berdosa sekali aku kepada ayahku. Aku sampai sekarang belum bisa jadi anak yang baik. Namun aku berusaha untuk berubah, mulai kujauhi teman-teman gengku. Aku pun mulai membantu bunda untuk bekerja, karena warisan ayah tak bisa untuk membiayai kami semuanya ke depan. Setelah aku pulang sekolah, aku selalu menjaga toko kami. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan kami. Dari pagi sebelum sekolah aku sudah harus pergi ke grosir, membeli sembako, kemudian menyetok ke toko, setelah itu aku baru pergi sekolah. Pulangnya aku harus menjaga toko sampai sore. Begitulah, hampir tiap hari. Jadi tak ada kegiatan ekstrakurikuler yang aku ikuti.
Membiayai Kak Vidia kuliah, membiayai Nuraini sekolah, bukanlah hal yang mudah. Kak Vidia bahkan untuk uang sakunya sampai rela kerja sambilan. Namun perlahan-lahan kami pun bisa bernafas lega setelah toko kami mulai besar, walaupun begitu kami makin sibuk. Akhirnya kami pun memperkerjakan orang. Anak-anak lulusan SMK. Aku juga sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus. Bingung mau kuliah ke mana. Apa ndak usah kuliah ya? Melihat bunda kelimpungan jaga toko mengakibatkan aku pun mengurungkan niatku kuliah.
Aku lulus dan adikku Nuraini masuk SMA. Dua tahun yang berat. Namun akhirnya toko kami sudah besar, berkat ide-ide yang kami pakai tiap hari akhirnya toko ini pun besar. Jarang ada toko sembako delivery order. Bahkan tidak sampai tiga tahun kami sudah ada waralaba. Bisa beli mobil, bisa renovasi rumah dan sebagainya. Kak Vidia pun sekarang jadi tidak bingung lagi kuliahnya. Ia sempat cuti 2 semester untuk membantu usaha kami.
Itulah profil keluarga kami. Tapi tahukah kalau di balik itu semua ada sesuatu hal yang sebenarnya menarik untuk diceritakan? Sebenarnya ini tak boleh diceritakan karena aib tersembunyi keluarga kami. Dan karena inilah hubunganku dengan kakakku, adikku dan ibuku jadi lebih akrab, bahkan aku dianggap sebagai kepala rumah tangga.
Ceritanya ini dimulai setelah 6 bulan ayah wafat. Aku saat itu benar-benar masih nakal. Menonton bokep sudah biasa bagiku. Bahkan sebenarnya, terkadang aku membayangkan begituan dengan bunda, maupun kak Vidia, atau bahkan terkadang juga dengan Nuraini. Iya, mereka semua pake jilbab, tapi hanya aku yang tahu bagaimana lekuk tubuh mereka, karena di rumah mereka membuka jilbabnya dan pakai pakaian biasa.
Awalnya aku benar-benar iseng sekali. Saat itu aku baru saja beli kamera pengintip. Bentuknya seperti sebuah gantungan kunci, berbentuk kotak kecil. Ketika ditekan tombol rahasianya, ia akan merekam selama kurang lebih 2 jam. Harganya cukup murah kalau dicari di internet, sekitar 500ribu. Aku menggantungkannya di anak kunci, sehingga ketika ke kamar mandi aku selalu mandi duluan, dan kemudian aku taruh di tempat yang bisa mengawasi semuanya. Jadi seluruh penghuni rumah, sama sekali tak curiga. Awalnya tak ada yang tahu, tapi nanti yang pertama kali tahu adalah Kak Vidia, tapi nanti aku ceritakan.
Aku meletakkan kunci itu di gantungan baju. Aku posisikan agar kameranya mengawasi seluruh ruangan kamar mandi. Yang pertama kali masuk setelah aku adalah bunda, kemudian Kak Vidia, lalu Nuraini. Setelah semuanya mandi, aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil kamera pengintai. Aku kemudian ke kamar untuk menikmati hasilnya. Aku bisa mengetahui tubuh mulus mereka semua tanpa sehelai benang pun.
Misalnya bunda, rambutnya lurus, tubuhnya sangat terawat, langsing, dadanya besar, mungkin 34C, bahkan yang menarik beberapa minggu sekali bunda mencukur bulu kemaluannya. Kak Vidia juga begitu, kulitnya putih, rambutnya panjang, dadanya ndak begitu besar, 32B tapi putingnya yang bikin aku kaget, berwarna pink. Ini orang bule atau gimana? Tapi begitulah Kak
Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus seperti bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja dadanya gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaan mencukur bulu kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlah ntar coba dicukur. Kayaknya lebih bersih.
Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus seperti bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja dadanya gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaan mencukur bulu kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlah ntar coba dicukur. Kayaknya lebih bersih.
Selama sebulan itu aku sering ngocok penisku di depan komputer sambil melihat adegan demi adegan di kamar mandi. Hal itu membuat aku terobsesi kepada mereka. Saking terobsesinya, aku kadang punya alasan untuk bisa menyentuh mereka, seperti mencium pipi adikku, mencium pipi bunda, terkadang juga memeluk Kak Vidia. Tapi mereka semua tak curiga. Dan satu-satunya yang membuatku kelewatan adalah memesan kloroform kepada salah seorang teman gengku. Aku pesan beberapa botol. Untuk stok pastinya. Pertama aku coba ke kucing tetangga. Ketika aku bekep pake sarung tangan yang ada kloroformnya, pingsan tuh kucing. Aku pun menghitung berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan oleh kucing ini bisa sadar. Satu jam, dua jam, tiga jam. Lama sekali.
Siapa yang ingin aku coba pertama kali? Kak Vidia ndak mungkin, ia bakal kaget nanti kalau sudah tidak perawan ketika malam pertama dengan suaminya. Begitu juga Nuraini, bisa berabe aku nanti kalau dia melapor ke bunda memeknya perih. Jadi targetku adalah bunda.
***
Seperti biasa bunda menjaga toko waktu itu. Dan aku menyiapkan teh hangat untuk beliau. Aku berikan setetes kloroform di minumannya. Tujuanku sih agar ia pusing saja dan bisa aku suruh istirahat, baru kemudian aku bekap.
"Kamu ndak sekolah, Don?" tanya bunda.
"Tidak dulu bunda, mau bantu toko dulu," jawabku.
"Lho, jangan. Ada bunda sama mbak Juni koq. Sekolah saja!" kata bunda. Mbak Juni adalah pegawai kami. Ia ada cerita untuk nanti. Ia janda, beranak satu, tapi masih muda. Usianya baru 21 tahun. Menikah muda. Bodynya masih singset.
"Tidak mengapa bunda, Doni udah ijin koq," kataku.
"Baiklah, tapi cuma hari ini saja ya, jangan ulangi lagi," katanya.
Bunda lalu meminum teh hangatnya. Aku pura-pura mencatat barang-barang di toko. Mbak Juni juga melakukan hal yang sama. Dan memindah-mindahkan karung beras. Kemudian datang seorang pembeli yang langsung dilayani oleh Mbak Juni.
Efek obat mulai terlihat. Bunda memegang kepalanya. Aku pura-pura peduli, "Kenapa, bunda?"
"Entahlah, bunda tiba-tiba pusing," katanya.
"Capek mungkin, istirahat saja bunda," kataku.
"Iya deh, aku istirahat sebentar. Mungkin nanti bisa baikan. Mbak Juni, tolong ya!" kata bunda.
"Iya, bunda," kata Mbak Juni.
Bunda agak terhuyung-huyung, lalu beliau masuk kamar. Aku pun menyudahi pura-puraku, kemudian pura-pura ke kamarku, tapi sebenarnya menyusul beliau ke kamarnya. Aku beri waktu sekitar sepuluh menit, hingga kemudian terdengar nafas dengkurang halus bunda. Oh sudah tidur. Aku lalu beranikan diri masuk ke kamarnya. Bunda masih pakai jilbabnya, aku siapkan kloroform ke sarung tanganku, dosisnya seperti yang aku berikan ke kucing percobaan kemarin. Dan BLEP!!!
Bunda tak berontak, mungkin berontakannya tak berarti. Tangannya ingin menghalau tanganku tapi lemas. Matanya belum sempat terbuka dan ia pun sudah pingsan. Aku pun sangat senang, ini kemenangan.
Aku lalu kunci pintu kamar bunda. Biar ndak ada siapapun yang masuk. Jantungku berdebar-debar, antara senang, takut dan macem-macem rasanya. Aku duduk di sebelah bunda. Di pinggir ranjang itu aku lihat ujung rambut sampai ujung kakinya. Tanganku mulai bergerilya. Kuraba pipinya, bibirnya, aku buka sedikit, rahangnya aku turunkan hingga ia membuka mulutnya. Sesaat aku ingat ayah, tapi karena aku sudah bernafsu, rasa bersalahku pun aku tepis.
Aku pagut bibir bunda. Aku hisap lidahnya. Penisku mulai tegang, bunda benar-benar tak bereaksi sama sekali, bahkan sekarang bibirnya mulai basah. Wajah bunda sangat cantik, mungkin seperti Ira Wibowo. Bibirnya sangat lembut, tak puas aku menciumi bibir itu. Aku pun mulai meremas-remas dadanya walaupun masih tertutup gamis. Lalu tanganku mengarah ke selakangannya mengelus-elus tempat pribadinya.
Karena semakin bergairah, aku pun melepas celanaku sehingga bagian bawah tubuhku tak terbungkus sehelai benang pun. Penisku sudah mengacung tegang. Urat-uratnya mengindikasikan butuh dipuaskan. Aku arahkan jemari bunda untuk menyentuh penisku, Ohh... lemas aku. Lembut sekali jemari beliau. Aku tuntun tangannya untuk meremas telurnya, aku makin keenakan. Seandainya beliau bangun dan mau melakukannya kepadaku tentunya lebih nikmat lagi.
Aku kemudian naik ke ranjang. Aku berjongkok di depan wajahnya. Penisku aku gesek-gesekkan di pipi, hidung dan bibirnya yang agak terbuka itu. Aku sangat bergairah sekali. Selain itu juga takut ketahuan. Aku buka mulutnya, lalu kucoba masukkan kepala penisku, uhhhh....nikmat banget. Walaupun tak muat, aku buka mulutnya lagi, tangan kiriku mengangkat kepalanya dan tangan kananku membuka mulutnya lebih lebar, lalu kudorong penisku masuk.
Di dalam mulutnya penisku berkedut-kedut. Nikmat sekali. Aku makin bergairah melihatnya yang masih pakai kerudung. Kuambil ponsel dan aku abadikan ketika penisku masuk ke mulutnya. Kumaju-mundurkan penisku sampai mentok, walaupun giginya mengenai penisku rasanya nikmat sekali. Lucunya lidahnya bergoyang-goyang, entah ia mimpi apa, itu semakin membuatku terangsang. Pelan-pelan penisku menggesek rongga mulutnya, kemudian aku tarik keluar. Sekarang aku posisikan telurku di mulutnya. Karena punyaku sudah tercukur bersih aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah bunda sedang menjilati telurku.
"Bunda, ohhh... nikmat banget," racauku.
Kalau terus seperti ini, rasanya aku ingin muntahkan pejuku di wajahnya. Tapi aku tahan. "Tidak, bunda, Doni ingin merasakan ini, bolehkan?" aku meraba vaginanya.
Aku kemudian melepaskan gamis bunda, kancingnya aku buka semua, hingga ia hanya memakai bra dan CD. Aku turun ke bawah. Kuciumi seluruh tubuhnya, perutnya, pahanya, aku jilati semuanya sampai basah. Bahkan mungkin tak ada satupun yang terlewat. Aku lepas BH-nya. Ohh... dada yang dulu ketika kecil aku mengempeng, sekarang aku mengempeng lagi. Aku hisap teteknya, putingnya aku pilin-pilin, kupijiti gemas. Tapi aku tak ingin memberikan cupang di dadanya, nanti ia curiga. Belum saatnya. Ketiaknya yang bersih tanpa bulu pun aku hisap, kujilati. Semuanya aku jilati. Aku pun mencium bau yang aneh, ketika aku menghisapi jempol kakinya. Dan aku lihat CD-nya basah. Bunda terangsang?
"Bunda terangsang? Mau dimasukin bunda?" tanyaku.
Aku pun segera melepaskan CDnya, Dan kuikuti aku telanjang juga sekarang. Punyaku makin berkedut-kedut dan di lubang kencingnya muncul cairan bening. Aku melihat memek bundaku tersayang. Warnanya pink kecoklatan. Inikah tempatku keluar dulu? Betapa bersihnya, ada cairan keluar. Aku segera membuka pahanya, kepalaku mengarah ke sana, kujilati, kuhisap dan klitorisnya aku tekan-tekan dengan lidahku. Intinya lidahku menari-nari di sana seperti lidah ular, menjelajahi seluruh rongga vaginya. Setiap cairan yang keluar aku hisap, rasanya asin-asin bagaimana gitu.
Aku makin bergairah dan sepertinya bunda juga bergairah, ia sangat banjir, bahkan ketika aku colok-colok dengan lidahku, lebih dalam lagi kakinya bergetar. Ia mengeluh....dan mendesis, walaupun masih tidur dan tidak sadarkan diri tapi dia merasakannya. Mungkin ia bermimpi sedang begituan. Kepalanya yang masih memakai jilbab mendongak ke atas, Dan kemudian pantatnya diangkat, tubuhnya bergetar hebat, memeknya mengeluarkan cairan yang sangat banyak, menyemprot bibirku. Aku lalu duduk.
"Bunda orgasme?" tanyaku.
Tentu saja beliau tak menjawab. Sepertinya bunda sudah siap, aku posisikan penisku di ujung vaginanya. Kepala penisku sudah ingin masuk saja. Aku tak sabar, dan... BLESSS....!! Lancar banget, ohhhh... HANGATT.... !! ini ya rasanya memek wanita itu. Aku lalu ambruk di atas tubuh bunda, ia kutindih. Toketnya dan dadaku berpadu, Penisku berkedut-kedut dan anehnya memeknya juga seperti meremas-remas penisku. Ngilu rasanya, tapi nikmat.
"Bunda, seperti inikah bunda rasanya ngentot?" tanyaku. Aku mengabadikan peristiwa ini ke ponselku, kuclose up wajah bunda yang tidur, vaginanya yang sekarang penisku masuk ke sana juga kuabadikan, bahkan posisiku menindih bundaku pun aku abadikan.
"Doni... ohh... puasin, bunda..." terdengar suara bisikan bunda. Apa maksudnya, apakah bunda sadar?
Sejenak aku bingung, ternyata bunda memimpikan aku, bermimpi bersetubuh denganku. Itu membuatku makin bergairah. Aku kemudian menaik-turunkan pantatku perlahan-lahan, menikmati saat-saat ini. Tapi aku hanya punya waktu 3 jam kurang lebih, tak ingin aku sia-siakan kesempatan ini. Kugoyang pantatku naik turun, makin lama makin cepat.
"Bunda... oh... Doni kembali masuk ke tempat bunda," racauku, makin lama makin cepat. Bunda aku tindih, pahanya terbuka lemas. Dan aku sepertinya akan keluar, oh sperma perjakaku... kemana ya harus keluar?
"Bunda, ke wajah bunda aja ya keluarnya... oohhh... keluar, bunda!!!" seruku. Aku segera mencabut dan berlutut di depan wajah bunda. Penisku kuarahkan ke situ.
CROOT.... CROTT... CROOTTT.... Banyak sekali tembakannya, aku sudah tidak perjaka lagi. Bunda sendiri yang menghilangkannya, spermaku belepotan di wajah bunda, sebagian masuk ke mulutnya, aku terus mengocoknya hingga tetes terakhir, lalu aku bersihkan sisa di ujung penisku ke mulutnya.
Momen ini tak bisa aku lewatkan segera aku abadikan ke ponselku. Aku lalu berbaring lemas di sampingnya. "Bunda... nikmat, bunda," kataku. Aku peluk dia dari samping sambil memeluk toketnya.
Butuh waktu 15 menit bagiku untuk istirahat sebentar, kemudian aku bersihkan wajahnya dengan tisu yang ada di meja riasnya. Agar tidak bau sperma aku seka wajah ibuku pakai pelembab, biar tak ketahuan. Disaat membersihkan itulah aku terangsang lagi melihat payudaranya. Aku kenyot lagi dua buah toket besar itu. Kubenamkan wajahku ke tengah payudara, kuhisap aromanya yang harum. Aku kemudian menghadapkan tubuh ibuku miring ke tepi ranjang. Ternyata tepat di depan bundaku ada kaca lemari. Sehingga aku bisa melihat tubuhnya di sana.
Penisku yang tegang lagi ingin mencari mangsa. Kuposisikan kepala penisku dari belakang pantatnya. Karena masih basah, mudah sekali penisku masuk. SLEB...!! Oh, kembali kedut-kedut vaginanya. Aku angkat sebelah kakinya, sehingga aku bisa melihat dari kaca penisku masuk di sana. Aku lalu bergoyang maju mundur, kuturunkan kaki bunda, tanganku beralih ke toketnya. Pantatnya benar-benar membuatku terangsang hebat. Enak sekali.
Aku tak sadar siapa yang kusetubuhi sekarang. Yang aku inginkan adalah puncak kenikmatan. Tapi aku tetap pada pendirianku jangan keluarkan di dalam. Belum waktunya. Aku terus menggoyang pantatku maju mundur. Pantat bunda beradu dengan selakanganku. PLOK... PLOK... PLOK... bunyinya sangat menggairahkan. Dan sepertinya. Setiap kali aku ingin orgasme. Aku istirahat sebentar. Menciumi bibirnya, ketiaknya, dan menghisap putingnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi.
"Duh, bunda, maaf ya. Aku keluar lagi," aku langsung cabut penisku dan kukeluarkan di pantatnya. Spermaku masih banyak aja. Enak rasanya penisku sampai berkedut-kedut berkali-kali setiap spermaku muncrat keluar. Aku istirahat sebentar sambil mengumpulkan tenaga. Ngilu sekali penisku. Aku lalu bangkit membersihkan pantat bunda yang belepotan dengan spermaku.
Aku melihat jam dinding, oh tidak, setengah jam lagi bunda akan sadar, tak sadar aku sudah lama ngentotin bunda. Aku bergegas memakaikan lagi pakaiannya. Jilbabnya yang terkena sedikit sperma aku bersihkan juga. Aku memakaikan lagi branya, tapi entah kenapa aku terangsang lagi. Maklum masih perjaka dan ada mainan baru. Aku lalu melakukan titfuck. Dada bunda mengocok penisku, aku melakukannya sambil sesekali menengok jam dinding, masih ada waktu, aku harus cepat. Aku bantu payudara bunda untuk mengocok penisku, dan aku keluar lagi, spermaku muncrat di belahan toket bunda. Tapi jumlahnya ndak sebanyak tadi,
karena mungkin sudah mulai kosong kantong produksinya. Aku segera bersihkan cepat-cepat, kuposisikan tubuh bunda seperti tadi tidur, aku berpakaian lalu keluar dari kamar bunda. Aku lalu mandi dan membersihkan diri.
***
Bunda terbangun setengah jam kemudian. Ia keluar kamar ketika aku masih menghitung stok toko. Ia menggeliat.
"Kenapa, bunda?" tanyaku.
"Entahlah, bunda koq tidurnya nyenyak ya? Tapi badan bunda pegel-pegel semua. Seperti habis olahraga aja," jawab bunda. Tapi dalam hati aku senang sekali karena tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Hari itu aku membantu menjaga toko sampai sore. Dan setelah itu aku habiskan waktuku di kamar sambil melihat foto-foto hasil ngentotku dengan bunda tadi. Aku melakukan coli berkali-kali sampai penisku ngilu dan lemas. Malam itu aku tidur nyenyak sekali, entah berapa banyak tissu yang kuhabiskan, yang jelas aku baru sadar tissue di meja kamarku tinggal sedikit sekali.
Hari-hari setelah itu aku jadi berbeda. Siang hari setelah aku pulang sekolah, aku menyiapkan teh hangat untuk bunda, kemudian pasti ia mengantuk dan tidur. Setelah itu aku pasti ngentotin beliau seperti sebelum-sebelumnya, dan kini aku tidak takut lagi seperti dulu. Tapi aku tak melakukannya setiap hari, hanya kalau ada kesempatan saja. Dan itu tidak pasti atau jarang. Kalau aku sedang kepingin saja. Kalau tiap hari bisa bikin bunda curiga. Aku ingin bercinta dengan bundaku dalam keadaan sadar, karena aku setiap ngentot dengan bundaku selalu aku dengar rintihannya memanggil-manggil aku dalam mimpinya. Ia seperti membayangkan ngentot dengan aku. Ini tanda tanya besar. Dan itu terjawab ketika aku melihat rekaman di kamar mandi pada suatu siang setelah aku pulang dari ujian di sekolah.
Aku melihat rekaman video bunda mastrubasi dengan jarinya di kamar mandi. Ia mengocok-ngocok memeknya, sambil berkali-kali memanggil namaku. Kenapa? Apakah ia mengalami ‘mother complex’?
Setelah ia mengeluh panjang, ia lalu menutupi wajahnya sambil menggumam, "Kenapa dengan aku? kenapa? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku menginginkan anakku sendiri?"
DEG...!! betapa kagetnya aku mendengar pengakuan bundaku sendiri dari rekaman itu. Ternyata benar, bunda menginginkan aku. Aku jadi ingin saja ngentotin dia setelah ini. Obsesiku kepada ibuku sendiri makin besar. Terlebih ketika tahu bahwa bunda masih haidh, masih produktif berarti.
Malamnya bunda sedang menghitung-hitung penghasilan. Kami di rumah sendirian. Nuraini ikut mabid atau apalah namanya. Kak Vidia juga sedang nginap di kampus ada kegiatan apa gitu. Aku sedang menonton tv sambil sesekali mengamati bunda, mengamatinya saja bikin aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan tegangnya penisku.
"Bunda, bunda capek kayaknya, ndak istirahat?" tanyaku.
"Nanti dulu, Don, masih kurang dikit lagi," katanya.
"Kalau bunda capek, aku menawarkan diri untuk mijitin bunda kalau tidak keberatan," kataku.
Bunda tersenyum renyah kepadaku. Ia kemudian masih melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian acara tv selesai dan aku mematikan tv. Bunda kemudian duduk di sampingku. Aku hampir aja beranjak.
"Lho, katanya mau mijitin bunda?" tanyanya.
"Oh, jadi toh?" kataku.
"Iya dong," katanya.
Bunda kemudian membelakangiku. Aku lalu mulai memijitinya. Ia masih memakai kerudungnya yang lebar. Aku mulai memijiti pundaknya.
"Oh... enak sekali, Don, pinter juga kamu memijat," katanya.
"Siapa dulu dong," kataku.
Aku berinisiatif kalau malam ini aku harus bisa ngentot ama bunda. Aku pun mulai pembicaraan. "Bunda, boleh tanya?" tanyaku.
"Tanya apa?" tanyanya.
"Doni waktu itu lupa sesuatu, trus pulang lagi ke rumah. Nah, Doni mendengar bunda manggil-manggil nama Doni di kamar mandi sambil merintih, emangnya kenapa itu, bunda?" tanyaku.
Bunda terkejut. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung mau jawab apa. Ia pun bertanya balik, "Kapan itu?"
"Beberapa waktu lalu, emangnya bunda ngapain sih di kamar mandi?" tanyaku.
"I-itu... nggak ada apa-apa koq," jawabnya.
"Tapi koq, manggil-manggil nama Doni?" tanyaku.
Bunda terdiam. Aku lalu memeluk bunda dari belakang. Dari situlah aku tahu bahwa jantung beliau berdebar-debar. Bunda lalu bersandar di dadaku. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu menutup wajahnya.
"Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq. Mungkin wajah Doni mirip ama ayah," kataku.
Bunda lalu terisak, kami berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak berani melihat wajahku. Ia terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang panjang. Cukup lama ia bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai memberanikan diri untuk melihat wajahnya.
"Maafkan, bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengan sentuhan ayahmu," katanya.
"Boleh Doni minta sesuatu, bunda?" tanyaku.
"Apa itu?" tanyanya.
"Doni ingin mencium bunda," kataku.
Ia tersenyum, "Boleh saja, kenapa memangnya?"
"Tapi bukan di pipi, di sini," kataku sambil menyentuhkan telunjukku di bibirnya.
"Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan kekasihmu," kata bunda.
"Sekali saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please... sekali saja," kataku.
Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang sekali, tersenyum. YES! dalam hatiku.
Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bunda kutarik ke arahku dan bibirku menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel, selanjutnya aku mulai menghisap bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami berpagutan. Nafas bunda mulai memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.
"Tidak, Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh beginian," katanya.
"Lalu kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?" tanyaku.
"Kamu tahu?" tanyanya.
"Iya, Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?" tanyaku. "Sampai berfantasi ama Doni."
Ia tak menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba lagi. Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku disambut. Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpagutan, nafas ibuku makin memburu.
Aku lalu menarik wajahku lagi, "Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak ada yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya tahu."
"Tidak, Don... hhmm..." bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata. Ia berusaha mendorongku. "Sudah, Don, sudah... bunda ndak mau, ingat kita ibu dan anak."
"Lalu kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?" tanyaku lagi. Kucium lagi bibirnya.
"Itu.. .hmmmm... itu... itu karena bunda khilaf, maafin bund... hhmfff," bunda tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari luar gamisnya. Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi.
"Baiklah, baiklah... bunda memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu, ayo ngentotin bunda! Sekarang!" katanya. "Buka bajumu!"
Aku lalu menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku mengurungkan niatku. Aku berdiri. "Maafin Doni, bunda. Maaf!"
Aku mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak kutanggapi, aku pun tertidur.
***
Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan karena ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos. Aku terkejut dan mematung.
"Doni!?" bunda terkejut.
"Oh, maaf, bund," aku segera menutup pintu kembali. Untuk beberapa saat aku diam di depan pintu kamar mandi. "Biasanya Doni mandi duluan, ndak tau kalau bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci sih."
"Kamu mau mandi?" tanyanya. "Masuk aja!"
"Lho, bunda ‘kan di dalam," kataku.
"Gak papa, sama bunda sendiri koq malu?" katanya.
Aku agak ragu, tapi kemudian aku pun masuk. Bunda melirikku sambil tersenyum, "Ndak usah malu, copot sana bajunya."
Aku pun mencopot seluruh pakaianku. Bunda menyiram badannya di bawah shower. Terus terang hal itu membuatku terangsang banget. Penisku langsung menegang. Dan setan pun masuk ke otakku, aku melihat bundaku seperti seorang bidadari, segera aku memeluknya dari belakang, penisku yang sedang tegang maksimal menempel di pantatnya.
"Bunda, maafin, Doni. Tapi Doni ndak tahan lagi!" kataku. Bunda terkejut dengan seranganku. Aku meremas-remas toketnya, kupeluk erat bunda.
"Doni... sabar, Don, sabar!" kata bunda.
"Tapi, aku tak mau melepaskan bunda," kataku.
Bunda mematikan shower, kemudian membelai tanganku. Aku menciumi lehernya dan menghisapnya dalam-dalam. "Oh, Doni... anak bunda sekarang sudah besar..." katanya. Tangan satunya tiba-tiba menyentuh kepala penisku. Penisku yang sudah tegang itu dipegangnya, makin tegang lagi, lebih keras dari sebelumnya. Kemudian bunda mengocoknya lembut. "Kamu ingin ini kan?"
Aku mengangguk.
"Bunda tahu koq, kamu kan anak bunda," katanya. "Lepasin bunda sebentar."
Aku lalu melepaskan pelukanku. Bunda berbalik, tinggi kami hampir sama, tapi aku lebih tinggi sedikit. Matanya menatapku lekat-lekat.
"Bunda, mengakui punya hasrat kepada anak bunda sendiri. Bunda tidak bohong. Itu semata-mata bunda rindu dengan belaian ayahmu. Dan bunda selama ini juga takut untuk bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi... bunda berpikir keras, apa jadinya kalau bunda berhubungan dengan anak sendiri, itu kan tabu... tapi bunda merasa nyaman bersamamu, hanya denganmu bunda sepertinya ingin, bukan lelaki lain. Dan bunda juga butuh itu," kata bunda sambil terus mengocok lembut otongku yang udah tegang max.
Aku makin keenakan tak konsen apa yang diucapkan olehnya, tapi ketika ia berlutut di hadapanku dan menciumi kepala penisku, aku baru yakin dan ini bukan mimpi. Bunda mengoral penisku.
"Oh, bunda," rintihku.
"Bunda akan berikan sesuatu yang engkau tak pernah sangka sebelumnya," kata bunda. Ia lalu menjilati kepala penisku. Lubang kencingku dijilati seperti kucing. Kedua tangannya aktif sekali, yang satu meremas-remas telurku yang satunya mengocok-ngocok penisku. Penisku yang sudah tegang makin tegang saja.
"Bunda... enak sekali," kataku.
Lidah bunda menjelajah seluruh permukaan penisku yang tanpa rambut itu. Bunda menjilati pinggiran kepala penisku, membuatku lemas saja. Lalu seluruh batangku dijilatinya. Kemudian dimasukkanlah kepala penisku ke mulutnya. Ia kemudian perlahan-lahan memaju mundurkan kepalanya. Penisku yang besar itu makin masuk ke rongga mulutnya. Ia kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku makin lemas. Lemas keenakan.
Bunda lalu mengusap-usap perutku, sesekali meremas-remas pantatku, tanganku pun secara otomatis meremas rambutnya. Kalau misalnya ini film bokep aku pasti sudah coli. Tapi ini tak perlu coli karena ada yang bertugas mengocok penisku di bawah sana. Dengan mulutnya dan oh... lidahnya menari-nari mengitari kepala penisku, aku benar-benar keenakan.
"Bunda... oh... enak banget! Udah, bunda... bunda... Doni... kelu...aaaaarrrr... AAAAHHHH!" aku keluar. Spermaku tak bisa ditahan lagi. Bunda makin cepat memaju mundurkan kepalanya, penisku seperti ingin meledak dan SRETTT... CROOOTTT... CROOOOTTT... entah berapa kali aku menekan penisku ke kerongkongannya sampai ia agak tersedak. Spermaku banyak sekali muncrat di dalam mulutnya.
Bunda mendiamkan sebentar penisku hingga tenang dan tidak keluar lagi. Ia lalu menyedotnya hingga spermanya tidak keluar lagi, dan baru mengeluarkan penisku. Ia menengadahkan tangannya, kemudian ia keluarkan spermaku. Mungkin ada kalau 5 sendok makan. Karena pipi bunda sampai seperti menyimpan banyak air di mulutnya.
"Banyak banget spermamu," Bunda lalu menciumi baunya. "Baunya bunda suka." Bunda lalu berdiri menyalakan shower. Membersikan mulut dan tangannya. "Mandi bareng yuk," katanya.
"I-iya, Bun," sahutku.
Kami pun mandi bersama. Pertama bunda menyabuni tubuhku. Dari dadaku, perutku, punggungku, kakiku dan penisku pun disabuni. Penisku tegang lagi.
"Ih... masih ingin lagi?" kata bunda sambil menyentil penisku.
"Habis, bunda seksi sih," kataku.
Bunda tersenyum. "Nanti ya, habis ini."
Aku pun bergantian menyabuni bunda. Saat itu mungkin aku bukan menyabuni, tapi membelainya. Aku jadi tidak malu lagi untuk mencumbunya. Aku menggosok tubuhnya. Punggungnya aku sabuni, ketiaknya, dadanya aku pijat-pijat, putingnya aku pelintir-pelintir, ia mencubitku.
"Anak Nakal! Ibu nanti jadi terangsang. Sebentar, sabar dulu," katanya.
Aku tak peduli, shower aku nyalakan untuk membersihkan sabun-sabun di tubuh kami. Aku memanggut bibir bunda. Kemudian aku menetek kepada bunda, kuhisapi putingnya.
"Don, di kamar bunda aja yuk," katanya. "Mumpung Vidia sama Nur belum pulang."
Aku mengangguk.
Bunda mengambil handuk dan membersihkan air di tubuhnya, aku pun melakukannya. Dan agak mengejutkannya, aku segera membopongnya.
"Eh... apa ini?" ia terkejut.
"Doni ndak sabar lagi, Bun." kataku.
"Oh... anak bunda, jiwa muda," katanya.
Kami keluar dari kamar mandi, aku masih telanjang, demikian juga bunda. Kami lalu masuk ke kamar bunda. Segera bunda aku letakkan di ranjang, kamar aku kunci. Bunda segera mulutnya kupanggut, kuciumi lehernya, payudaranya pun aku hisap-hisap. Kuremas, putingnya aku pelintir-pelintir, kuputar-putar, bunda menggelinjang. Ia remas-remas rambutku. Kuhisap buah dadanya yang putih dan ranum itu hingga membentuk cupangan. Cupangan demi cupangan membekas di buah dadanya yang besar.
"Nak... ohh... bunda terangsang banget," katanya.
"Bunda, ohh..." aku menciumnya lagi.
Sekarang aku turun ke perutnya, lalu ke tempat pribadinya. Aku tak tinggal diam, segera aku ciumi, aku jilati, aku sapu memeknya yang basah sekali itu.
"Ohhhh... Donn... i-itu... aahhh..." bunda menggelinjang. Kakinya terbuka aku memegangi pahanya. Kulahap habis itu memeknya, klitorisnya pun aku jilati, hal itu membuatnya menggelinjang hebat.
Nafas Bunda mulai memburu. Ia meremas-remas rambutku, ketika aku menuju titik sensitifnya, ia semakin menekan kepalaku. Aku pun makin semakin menekan lidahku, hal itu membuatnya bergetar hebat.
"Don... bunda... bunda keluar... aaahhhh... ahhhh... ahhhhhhhh!!" pinggul bunda bergetar. Sama seperti orgasme-orgasme sebelumnya. Aku pun segera bangkit, melihat reaksi bunda. Pahanya menekan pinggangku. Saat itulah penisku sudah menegang, siap untuk masuk ke sarangnya.
"Bunda... bunda siap?" tanyaku.
"Masukkan... masukkan! Bunda sedang orgasme," katanya.
Aku pun memposisikan penisku tepat di depan lubangnya, kugesek-gesek, bunda lalu mengangkat kepalanya. Matanya memutih, saat itulah pinggulnya naik dan penisku masuk begitu saja. BLESS!!!
"Ohhhh...!!" mulut bunda membentuk huruf O, menganga merasakan sesuatu yang selama ini ia inginkan. Ia memelukku, dada kami beradu dan aku memagutnya.
Bunda merebahkan dirinya lagi. Aku menindihnya. Aku peluk bundaku. "Bunda, Doni masuk lagi. Masuk lagi ke tempat Doni lahir," kataku.
"Doni... ohh... iya, iya... sudah masuk, rasanya penuh... ohhh," kata bunda.
Aku lalu menaik turunkan pantatku. Penisku otomatis menggesek-gesek rongga vaginanya yang becek. Kami berpandangan, mata kami beradu. Pinggul bunda bergerak kiri-kanan membuat penisku makin enak.
"Bunda, bunda... ohh... perjaka Doni buat bunda... ohh... enak bunda... bunda apain penis Doni?" tanyaku sambil melihat matanya.
"Anakku, ohh... bunda enak banget, kepingin keluar lagi, ohh... bunda ndak pernah keluar berkali-kali seperti ini... ohh... aahhh... sshhh," bunda menatapku lekat-lekat. Kening kami menempel. Bibir kami saling mengecup berkali-kali.
Tak hanya di situ saja, aku sesekali menghisap puting susunya. Keringat kami setelah mandi keluar lagi. Tubuh bundaku yang seksi ini membuatku makin bersemangat untuk menyetubuhinya. Bunda... aku ingin menghamilimu.
"Bunda... ohhh... aku keluar... ahh... ahh... di mana?" tanyaku.
"Ohh... ahh... ahh, terserah Doni," kata bunda. "Tapi... ohh... jangan di dalam... di luar aja... bunda takut hamil....."
"Maaf, bunda, tak bisa. Doni ingin menghamili bunda. Ohh, Doni sampai... Sperma perjaka Doni buat bunda... ini... ini...!!"
"Jangan... jangan... Doni... ahhh... aduh... bunda juga keluar... sama-sama... tapi... ahkhh... jangan di dalam.... ahhhhhhhhhhh!!!" bunda mengeluh panjang.
Aku mencium bunda bibir kami bertemu dan pantatku makin cepat bergoyang dan di akhirnya menghujam sedalam-dalamnya ke rahim bunda. Spermaku memancar seperti semprotan selang pemadam kebakaran. Kutumpahkan semua kepuasan ke dalam tempatku dulu dilahirkan. Mata bunda memutih. Pantatnya bergetar hebat karena orgasme. Ia mengunci pinggulku, aku menindihnya dan memeluk erat dirinya sambil menciumnya. Entah berapa kali tembakan, yang jelas lebih dari sebelas. Karena saking banyaknya orgasme itu berasa lama. Memek bunda berkedut-kedut meremas-remas penisku, aku masih membiarkan penisku ada di dalam sana.
Butuh waktu sepuluh menit hingga penisku mengecil sendiri, dan kakinya melemas. Aku pun kemudian bangkit. Bunda tampak lemas, ia seakan tak berdaya. Penisku serasa ngilu. Aku melihat ke vaginanya. Tampak cairan putih menggenang di dalam lubang vaginanya. Aku tersenyum melihatnya. Aku kemudian merebahkan diri di sebelah bunda. Kemudian bunda memelukku, kami pun tidur terlelap.
Siang hari kami terbangun. Aku dulu yang terbangun. Melihat tubuh bundaku telanjang memelukku membuatku terangsang lagi. Aku menciumi bibirnya. Bunda masih tertidur. Aku lalu menggeser badanku, kemudian bangkit. Penisku sudah on lagi, mungkin karena melihat tubuh bundaku. Aku kemudian membuka pantatnya mencari lubang vaginanya. Kemudian segera saja aku masukkan. SLEB... bisa masuk! Masih basah. Mungkin karena sebagian spermaku masih ada di dalam sana.
Aku pun menggoyang-goyang. Maju mundur. Posisiku berlutut sambil bertumpu kepada kedua tanganku. Pinggulku mengebor pantatnya. Bunda membuka matanya, ia tersenyum melihat ulahku.
"Dasar anak muda, ndak ada puasnya," katanya.
"Bunda... Doni enak, bunda..." kataku.
Bunda cuma diam melihatku. Aku sesekali meremas toketnya. Aku goyang terus sambil kulihat wajahnya. Bunda memejamkan mata, mulutnya sedikit terbuka, mengeluh pelan.
"Bunda, enak banget... hhhmmmmhh... keluar... Doni keluar lagi, bunda..." kataku. "Pantat bunda enak banget."
"Doni... ahhh... aaaaahhh... bunda juga... koq bisa ya??" kata bundaku.
Tangannya menarik tanganku, aku berlutut sambil menghujamkan sekeras-kerasnya ke memeknya. Aku pun keluar lagi. Tapi tak seperti tadi. Kali ini cuma lima kali tembakan, tapi begitu terasa. Setelah itu aku mencabut penisku dan ambruk.
"Bunda, Doni cinta ama bunda," kataku.
"Cinta karena nafsu, kamu bernafsu dengan bunda, makanya seperti ini," katanya.
"Tapi bunda juga ‘kan?" kataku menyanggah.
Bunda diam.
"Bunda tidak bangun? Tidak buka toko?" tanyaku.
"Toko tutup dulu, kemarin ibu bilang ke Mbak Juni untuk tutup dulu," kata bunda. "Bunda ingin istirahat dulu. Badan bunda serasa sakit semua, sebab sudah lama tidak bercinta lagi."
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, Doni pergi dulu," kataku.
"Ke mana?" tanyanya.
Aku terdiam.
"Ke mana?" tanyanya lagi.
"Bunda merasa kehilanganku? Berarti bunda juga mencintaiku," kataku.
Ia mencubit perutku. "Maunya," katanya. Kami berpanggutan sebentar untuk beberapa lama sebelum kemudian aku meninggalkan kamar bunda tanpa baju.
***
Setelah itu, hubunganku dengan bunda berjalan sembunyi-sembunyi. Bunda sering dan selalu melarangku untuk mengeluarkan spermaku di dalam rahimnya, tapi aku tak peduli. Kalau ada kesempatan, saat itulah kami bercinta. Di dapur apalagi. Dan itu pengalaman yang sangat mendebarkan. Bunda bertumpu kepada wastafel. Dan aku menyodoknya dari belakang. Kami melakukan fast-sex karena saat itu Kak Vidia dan Nuraini ada di rumah. Bahkan terkadang kami mencicil hubungan sex kami ketika Kak Vidia dan Nuraini bolak-balik ke dapur.
Belum, bunda belum hamil. Ia masih menstruasi. Tapi nanti ada saatnya beliau hamil. Karena aku yang memaksanya. Tapi itu nanti. Sekarang beralih ke Kak Vidia dan Nuraini.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment