BAB 3 - MBAK JUNI
Kembali ke masa sekarang. Ketika usaha kami sudah menjadi waralaba. Mbak Juni yang selama ini membantu kami pun jabatannya menjadi manajer yang mengelola waralaba. Seiring besarnya toko kami, maka kehidupan mbak Juni pun mulai berubah. Ia boleh dibilang sekarang jadi orang berduit dan sangat loyal kepada kami. Ia jugalah yang mengawal kesuksesan keluarga kami hingga sekarang waralaba kami sudah ada seratus toko tersebar di seluruh daerah.
Kabar gembira adalah ketika Nuraini hamil, kami sekeluarga sangat senang. Bahkan bunda sangat mewanti-wanti agar Nur jangan banyak pekerjaan yang melelahkan. Nuraini tahun ini lulus SMA, setelah kami melakukan hubungan ini akhirnya ia hamil juga. Mungkin karena ia banyak kegiatanlah yang membuat Nuraini tidak hamil-hamil walaupun frekuensi hubungan intimku dengan Nur lebih banyak daripada bunda dan Kak Vidia. Sebab Kak Vidia masih sibuk dengan kuliahnya dan sekarang sedang mempersiapkan skripsi. Dan bunda juga sibuk dengan urusan tokonya, sehingga jatah mereka diberikan kepada Nuraini. Dan alhasil Nuraini sekarang hamil tiga bulan.
Aku makin sayang dengan keluargaku. Aku pun sekarang berusaha tidak mengganggu kehamilan Nur, bisa fatal kan kalau misalnya kehamilannya terganggu. Dan karena ketiganya tak bisa aku ganggu, akibatnya aku kentang banget selama dua bulan ini. Bingung melakukan pelampiasan. Kak Vidia menolakku dengan halus ketika aku sedang kepingin. Ia sedang konsen skripsi dan itu sangat melelahkan, bunda juga demikian, bertemu dengan banyak investor, distributor dan berbagai macam orang.
Aku juga mengurus toko sih. Menandatangani surat-surat, memeriksa stok, menghitung faktur dan macem-macem. Dan di kantor pusat yang ada di toko utama kami aku selalu bertemu dengan mbak Juni. Toko utama kami berdempetan dengan rumah. Sudah banyak renovasi di sana-sini. Kami juga sudah punya banyak pegawai. Toko buka tutup sudah ada yang mengurus. Sedangkan aku dan Mbak Juni mengurusi hal-hal yang lain. Setiap malam manajer toko selalu memberikan data penjualan hari itu, lalu paginya aku yang mengecek dan aku beri ACC.
Mbak Juni beda ruangan denganku. Tapi aku setiap hari selalu melihatnya. Masih ingat dong pertama kali ia kerja di toko kami. Ia biasanya pakai T-Shirt dan jeans. Sekarang setelah jabatannya sudah tinggi dan menjadi orang kepercayaan kami, ia pakai blazer dan rok. Seperti pekerja kantoran.
Aku ada di kantor sampai malam. Beberapa kali Nur menelponku.
"Kak, kapan pulang? Udah malem nih, Nur sendirian di rumah," kata Nur di telepon. Padahal rumah sama kantor itu ya tinggal jalan saja sih. Karena letak rumah kami ada di belakang toko. Sedangkan kantornya ada di depan toko.
"Iya, sebentar lagi," kataku. "Masih banyak data yang harus diaudit, bunda soalnya masih keluar kota."
"Biar mbak Juni saja yang beresin," katanya.
"Ndak bisa dong, bagiannya beda, tidur saja dulu. Udah malem ini," kataku.
"Kepengen dipeluk," katanya.
"Iya, nanti aku peluk dan cium deh," kataku.
"Janji ya?" katanya.
"Iya, janji," kataku.
"Muuacchh suamiku, cepetan ya," katanya.
Aku balas, "Muuacchh."
Kemudian aku melanjutkan pekerjaanku, dan semuanya baru selesai pukul 23.00. Aku melihat mbak Juni masih mengetik. Aku pun kemudian bangkit dan menghampirinya di ruangannya yang hanya terpisah dengan kaca.
"Belum pulang, mbak? Pulang aja udah malem lho. Nanti anaknya mencari-cari," kataku.
"Ndak apa-apa, mas, udah dijaga ama neneknya koq. Tadi juga udah bilang mungkin baru balik jam dua belas malem. Tapi kayaknya sampe pagi. Mumpung besok libur sih," katanya.
"Ngurusin apa sih? Masih soal pajak?" tanyaku.
"Iya nih, mas, petugas pajak soalnya agak ruwet. Terlebih sekarang ada masalah waralaba juga. Tambah ruwet lagi deh. Kukelarin agar besok senin tinggal lapor ke dinas pajak," katanya.
Aku berdiri di belakangnya dan melihat layar monitornya. Tampak ia menyusun file-file excel kemudian mencatat angka-angka. Aku memegang pundaknya dan menepuknya.
"Oke deh, aku tinggal dulu kalau begitu," kataku. "Sendirian saja berani kan?"
"Kaya' anak kecil aja, mas, berani dong," katanya.
Aku kemudian beranjak dari tempat itu dan meninggalkan mbak Juni sendirian. Aku keluar kantor dan pergi ke rumah. Aku kemudian masuk rumah, ke kamar mandi, membersihkan diri dan masuk ke kamar adikku. Ia tampak sudah tertidur. Wajahnya makin cantik saja kalau hamil. Aku cium perutnya, lalu keningnya, setelah itu aku masuk ke selimutnya. Kupeluk dia.
Nur terbangun. "Kakak? hmm," Kami berciuman lalu tertidur. Aku memeluknya.
Jam 03:00 aku dikejutkan dengan suara ponsel. Aku kemudian mengangkatnya. "Mas, aku kaya'nya kehilangan kunci deh," kata suara di telepon. Karena masih mengantuk, aku bingung suara siapa ini. Kemudian aku baru ingat setelah melihat nomor teleponnya. Nomor kantor. mbak Juni?
"Kunci apa, mbak?" tanyaku.
"Maaf ya kalau ganggu, mas, kunci kantor. Tadi sepertinya sudah ada di tas, tapi koq ndak ada, maaf mas kalau malam-malam ganggu," katanya.
"Ya udah, aku ke sana deh, tunggu ya!" kataku.
"Iya, mas, maaf ganggu waktu istirahat," katanya.
"Tidak apa-apa koq," kataku.
"Siapa, kak?" tanya Nur.
"Mbak Juni, kuncinya hilang. Kakak ke kantor dulu ya," kataku.
"Belum pulang mbak Juninya?" tanya Nur.
"Belum, masih ngurusin pajak katanya tadi, ini mau pulang sepertinya," kataku. "Biasanya yang ngurusin pajak bunda, tapi karena bunda ndak ada, pekerjaannya jadi dobel."
"Oh begitu, ya udah deh. Kalau ia mengantuk suruh tidur di kamar tamu aja, kak, kasihan kalau jam segini pulang. Jalanan sepi," kata Nur.
"Itu ‘kan terserah orangnya," kataku. Aku kecup kening Nur lalu meninggalkannya sambil membawa kunci kantor.
Dingin banget malam ini. Aku berjalan sambil mendekap tubuhku sendiri, sampai kemudian aku melihat mbak Juni ada di depan kantor.
"Maaf ya, mas, mengganggu," katanya.
"Nggak apa-apa," kataku. Aku kemudian mengunci kantor.
"Nanti aku cari lagi deh kuncinya," kata mbak Juni.
"Nanti biar aku urus, mungkin lupa kamunya. Oh iya, mbak, udah malem nih, nginep sini aja!" kataku.
"Ndak ah, mas, ntar dicari orang rumah," katanya.
"Katanya sudah sama nenek, anaknya?"
"Iya, cuma kan ya ndak enak juga belum ijin."
"Mbak sudah ngantuk kan? Mendingan nginep di rumah aja, kalau keadaan ngantuk begini nyetir mobil bahaya," kataku.
"Aku ndak punya mobil, mas," kata mbak Juni.
"Oh iya, lupa. Kamu pakai sepeda motor," kataku. "Ya udah, nginep ajalah. Nggak apa-apa koq. Aku ijinin. Emang ini resiko kalau pekerjaan dobel."
Mbak Juni agak ragu dan bingung.
"Atau telepon dulu deh rumahnya, biar ndak ada yang khawatir," kataku.
Akhirnya mbak Juni menelpon rumah. Ibunya akhirnya mengijinkan setelah bicara agak lama. "Oke deh, mas," katanya kemudian.
"Nah, begitu. Yuk," ajakku.
Kami kemudian masuk ke rumahku. Aku menunjukkan kamar tamu. Di dalam rumah hangat tidak seperti di luar. "Ini kamar tamu, kalau ingin mandi dan bersih-bersih di dalam sudah ada kamar mandi, langsung aja pakai. Kalau butuh apa-apa, aku ada di kamar atas, tinggal ketuk pintu atau panggil saja," kataku.
"Makasih, mas," katanya.
Aku sebenarnya sudah lama tak melakukan ini yaitu mengerjai orang lain. Pakai kamera pengintai. Untungnya aku membawa gantungan kunci itu. Ketika aku menunjukkan kamar mandi aku menaruhnya di tempat yang sangat strategis. Mbak Juni tak menyadarinya bahwa aku sudah siap merekam. Entah kenapa aku jadi penasaran dengan mbak Juni.
Setelah itu aku tinggalkan dia dan masuk ke kamar adikku. Aku pun tertidur.
***
Pagi hari aku bangun lebih dulu, mandi, olahraga dan membantu Nur dan Kak Vidia memasak di dapur.
"Minggu ini liburan kemana?" tanyaku kepada keduanya.
"Mau di rumah aja ah, kak," kata Nur.
"Tumben, biasanya kamu semangat kalau diajak keluar," kata kak Vidia.
"Entahlah, kali ini rasanya males buat ngapa-ngapain," kata Nur.
"Bawaan oroknya kali," kataku.
Kak Vidia mengelus-elus perut Nur, "Kakak jadi iri deh."
"Selesaikan dulu itu skripsi baru mikir ini," kata Nur sambil menunjukkan perutnya.
"Huu... kamu aja belum lulus sudah isi," kata Kak Vidia. "Don, pokoknya kalau skripsi sudah selesai kakak bakal ambil jatahnya Nur."
"Iya, iya, kakakku yang manis," aku mencubit pantatnya. Ia memukul tanganku. Kami tertawa.
"Oh iya, mbak Juni mana?" tanya Nur.
"Belum bangun kayaknya," jawabku. "Aku cek dulu deh."
Aku akhirnya pergi ke kamarnya. Kuketuk pintunya, tak ada jawaban. Mungkin ia masih tidur. Kupanggil-panggil, "Mbak?!" tak ada jawaban. Aku pun iseng sambil tolah-toleh ke dapur kalau-kalau saudari-saudariku datang. Aku buka pintu kamar yang tidak terkunci itu.
Aku buka sedikit. Saat itulah betapa terkejutnya aku. Pemandangan ini tak pernah aku sangka sebelumnya. Di hadapanku ada mbak Juni dengan vaginanya yang berbulu itu terekspos. Ia membuka pahanya dan ada tangan kirinya menyentuh vaginanya. Apa ia baru saja mastrubasi? Dan penisku pun langsung tegang. Siapa yang tak tegang menyaksikan pemandangan indah ini? Aku pun punya ide. Aku tutup kembali kamar itu lalu ke kamarku, kubongkar tempat simpanan kloroformku. Kuambil sapu tangan dan kutuangkan disitu sedikit, sesuai dosis yang kupakai ke bunda dulu. Setelah itu aku simpan di saku celana. Aku pergi ke dapur untuk membuat alasan.
"Mbak Juni belum bangun-bangun, dikunci pula kamarnya, tapi kayaknya ia sedang tidur, maklum pagi-pagi sekali ia baru tidur," kataku. "Aku mau olahraga dulu."
"Oh, baiklah, habis olahraga sarapan ya kak," kata Nur.
"Iya dong," kataku. Aku mencium pipi Nur, lalu Kak Vidia. Setelah itu aku meninggalkan mereka. Aku kemudian buru-buru ke kamar tamu.
Setelah itu aku kunci kamar itu, kupersiapkan sapu tangan berkloroform. Dan... kubekap mbak Juni. Ia memberontak sedikit, tapi kemudian ia lemas. Yes...!!
Aku tak menduga kalau tubuh mbak Juni seindah ini. Ia cuma pakai bra saja tidurnya. Aku lalu melepaskan kaitan branya. Buseet, toketnya gedhe juga. Mirip ama toket bunda. Karena aku sudah bernafsu, segera aku hisapi toket itu. Saking bernafsunya aku tak peduli lagi siapa mbak Juni. Aku sudah tak tahan lagi, langsunglah aku masukkan penisku ke tempatnya. Pelan-pelan kudorong dan bless, licin sekali. Mungkin karena mastrubasinya tadi. Aku goyang pinggangku.
Aneh, ia sudah punya anak, tapi masih seret juga ini memeknya. Walaupun berbulu dan punyaku gundul, tapi rasanya ada sensasi tersendiri. kupeluk tubuh telanjang mbak Juni kuhisap bibirnya.
"Ohh... mbak, enak banget," bisikku.
Aku mungkin karena sudah lama tidak main, karena sangat bersemangat apalagi ini memek baru, rasanya baru. Tubuh mbak Juni aku gerayangi, kuciumi lehernya, pundaknya, sambil pantatku maju mundur menusuk-nusuk vaginanya sedalam-dalamnya. Kemudian aku cabut punyaku, kubalikkan tubuhnya. Kuangkat pantatnya sedikit kuposisikan penisku ke sarangnya, lalu blesss... aku pompa lagi. Pantatnya membiusku, membuat suara yang aneh di dalam kamar ini.
"Mbak, pantat mbak enak lho, kalau aku sampe ngecret gimana?" kataku.
Sial, aku ndak kuat lagi. Sebelum keluar aku cabut dulu punyaku. Kuatur nafasku, penisku pun tak jadi merasa gatal ingin muncrat. Aku balikkan lagi tubuhnya. Kuangkat kakinya dan kutekuk, kemudian aku sedikit berlutut, kumasukkan lagi burungku. Ohh... enak dan hangat vaginanya. Aku goyang hingga terasa lagi penisku mau meledak.
"Mbaak... kukeluarin yah... keluar... ke...lu...aaaarr!" aku tekan dalam-dalam penisku hingga mentok. Sperma hangat langsung meluncur deras dari testisku. Membasahi dinding rahimnya, luar biasa. Nikmat sekali, aku lalu ciumi bibir mbak juni. Setelah itu aku terkulai di sebelahnya.
***
Aku terbangun ketika mbak Juni menggeliat, dan ia terkejut melihatku ada di sebelahnya tanpa busana. Kami berdua tanpa busana. Aku ternyata tertidur beberapa lama di kamarnya, hingga tak tahu pengaruh obat bius itu sudah habis dan mbak Juni terbangun.
"Mas Doni? Apa yang mas...?" Mbak Juni melihat ke vaginanya ada cairan putih spermaku meleleh di sana. Aku langsung menutup mulutnya.
"Ssshhh... aku bisa jelaskan asal jangan teriak. OK?" kataku.
Matanya tampak berkaca-kaca. Ia mengangguk. Aku lalu melepaskan tanganku yang menutup mulutnya. "Apa yang mas lakuin? Kenapa? Kenapa, mas?" tanyanya.
"Maafkan aku, mbak, aku khilaf. Sebab tadi ketika aku bangunin mbak Juni, ternyata mbak Juni habis mastrubasi. Melihat mbak seperti itu aku jadi tergoda dan melakukannya," kataku.
Kami pun diam. Mbak Juni menghapus air matanya lalu menghempaskan diri ke atas ranjang. Ia mendesah panjang. "Mbak juga salah, mas, harusnya mbak ndak begini. Ini semua karena mbak sudah lama sekali tidak melakukan ini, selama ini yang jadi pelampiasan ya cuma mastrubasi," katanya. "Maafin mbak ya."
Aku menggeleng. "Mbak masih cantik, pasti banyak yang suka."
"Ah, tidak juga, ketika ada pria yang mendekatiku aku selalu bilang aku sudah tidak perawan lagi, karena sudah punya anak. Dan kebanyakan dari mereka mundur teratur," katanya.
"Tidak, mbak, punya mbak masih seret koq, masih enak," kataku.
"Jangan menghiburku yang tidak-tidak, mas," katanya.
"Laah, kalau tidak mana mungkin aku tadi melakukan itu ke mbak?" tanyaku.
Mbak Juni menoleh ke arahku. Aku lalu sambut dengan ciuman di bibir. Mbak Juni terkejut. Kami berpagutan, matanya terpejam, merasakan lidah lelaki lain yang bukan suaminya setelah lama ia tak pernah merasakannya. Lidahku menari-nari di mulutnya, menghisap, mencampurkan ludah, lalu saling menghisap lagi. Tangannya lalu menyentuh penisku. Ia tampak kaget, ciuman kami berhenti.
"Mas, ini punya mas? Besar banget?" pujinya. Ia lalu mengocoknya pelan.
"Emang punya suamimu seberapa?" tanyaku.
"Punya suamiku sih separuh ini," jawabnya jujur. Ia tiba-tiba berada di atas. Kemudian ia posisikan penisku berada di mulut vaginanya. Ia lalu menekannya sehingga penisku meluncur masuk ke dalam vaginanya. Meskipun begitu lancar masuk,terasa vaginanya dengan erat mencengkram penisku.
"Ohhh... mbakk..." kataku.
"Masuk, mas, oohh... penuh rasanya. Hmmmmhh..." keluhnya. Ia pun menggoyangnya maju-mundur sambil sesekali mengangkat pantatnya. "Mass... enak, mass..."
Posisi WOT ini sangat menggairahkan. Mbak Juni menggoyang-goyangkan kepalanya, aku memegangi toketnya yang menggantung indah itu. Pantatku pun ikut aku goyangkan agar menambahkan rasa nikmat. Mbak Juni ini mirip banget seperti bintang film porno yang aku lihat. Ia meliuk-liukkan kepalanya seolah-olah menikmati rasa gesekan kelamin kami. Tapi ia cukup tenang, tak berisik, selalu mendesis seperti ular ketika penisku menggesek rongga vaginanya. Sementara itu kemaluan kami telah benar-benar becek dengan pelumasnya.
"Mbakk... punyaku diapain itu?" bisikku.
"Ini namanya empot-empot mas, enak ya?? ohhh..." katanya. "Punya mas penuh banget, mbak jadi nagih nih...."
Mbak Juni terus melakukan empot-empot itu, aku terus bertahan. Cukup lama kami bercinta dengan posisi WOT. Mbak Juni mulai kehabisan nafas, ia makin mempercepat goyangannya.
"Mas, mas udah mau keluar belum?" bisiknya mesra.
"Belum, mbak, mbak mau keluar?" tanyanya.
"He-eh... mas kuat banget, padahal suami mbak dulu pasti teler kalau kena jurus empot-empot ini," katanya. "Mass... mbak mau keluar... mbaakkk pipiiiissss....!!!"
Mbak Juni ambruk menindih tubuhku, pantatnya menekan penisku. Ia memelukku dan meringkuk seperti bayi di atas tubuhku. Ia mencium bibirku. Kami berpagutan. Kemudian ia berguling dan merebahkan diri.
"Tuntasin, mas, mas kan belum keluar," katanya.
Aku tersenyum. Berada di atas, kuposisikan penisku ke mulut vaginanya. Kemudian kutekan. Ketika urat-urat penisku menggesek rongga vaginanya, mulut mbak Juni membentuk huruf O sambil menatap mataku. Kedua pahanya kini mengapit pinggangku.
"Enak, mbak?" tanyaku.
"Enak, mas, enak banget..." katanya.
Aku goyang pinggulku. Kami sama-sama bergoyang, mbak Juni tetap memakai jurus empot-empotnya, aku pun makin cepat menggoyang, agar spermaku bisa membasahi rahimnya lagi. Aku terus berusaha. Mungkin karena tadi aku udah keluar sebelumnya sehingga untuk memproduksi sperma lagi testisku butuh waktu. Karena itulah mbak Juni benar-benar agak KO. Kepalanya menggeleng-geleng, ia pun mengulurkan kedua tangannya melingkar di leherku.
"Maass... mbak mau keluar lagi... ohh... aahh... mbak ndak pernah bercinta seperti ini. Sampai multi orgasme," katanya.
"Mbak, aku keluarrrrr..." kataku.
Saat itulah mbak Juni agak aneh, ia menatapku. Matanya tampak menunjukkan keraguan, "Lho... aku lupa, mas, ini saat suburku.... nanti bisa hamil."
"Tadi aku sudah keluarin di dalem koq. Nanggung nih," kataku.
Mbak Juni lalu memejamkan matanya, tampaknya ia pasrah, "Terserah deh, mas, hamil hamil deh."
Aku pun keluar. Spermaku masih banyak aja, sampai menyemprot berkali-kali di dalam rahimnya. Aku pun kemudian terkulai di atas tubuh mbak Juni, wajahku kudekatkan ke puting susunya dan kuhisap lemas. Perlahan-lahan penisku keluar sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba mbak Juni memelukku. Kami pun berpelukan untuk beberapa saat.
"Mas... maafin mbak Juni ya," katanya. "Gara-gara mbak, ini semua terjadi."
"Trus bagaimana?" tanyaku.
"Kalau misalnya nanti hamil, mbak akan terima koq, baik mas tak mau menikahiku ataupun tidak. Mbak juga sebenarnya punya perasaan ama mas," katanya. "Sejak dulu mbak sudah naksir sama mas. Dan entahlah, kenapa koq ya hari ini datang. Makanya ketika tahu mas melakukannya ama mbak, mbak sedikit kaget. Tapi kemudian sedikit senang, karena impian mbak selama ini jadi nyata. Bahkan mastrubasi tadi juga bayangin mas. Dan ternyata mas sendiri yang masukin. Tapi sungguh ndak menyangka kalau penis mas besar juga ya."
Aku tersenyum. Kami berciuman.
"Ijinkan mbak tetap mencintai mas ya, walaupun mungkin nanti mas punya pacar atau istri," katanya.
"Mas tetap akan mencintai mbak. Kalau perlu nikah sama mbak aja deh sekalian," kataku.
Mbak Juni menggeleng, "Jangan, mas. Aku tak mau mas menikahiku karena kasihan. Lagipula aku yakin mas tidak mencintaiku. Mas melakukan ini karena nafsu, bukan karena cinta. Aku tak mau mas nanti malah menyakitiku ketika sudah jadi suami istri. Seperti apa yang dilakukan oleh suamiku dulu, karena itulah kami dulu bercerai."
"Trus hubungan kita jadi apa dong?" tanyaku.
"Kita jalani saja deh, mas, kalau memang kita ada chemistry, maka kita lanjut, kalau tidak ya berarti memang bukan jodoh," jawabnya.
"Baiklah, kalau itu yang terbaik. Ngomong-ngomong, sebaiknya aku segera keluar deh, daripada dicurigai nanti," kataku.
"Iya, ayuk ah."
Kami pun bangun. Aku segera berpakaian dan melihat keadaan, kuintip sebentar ruangan kalau-kalau ada Nur atau kak Vidia ternyata sepi. Aku pun segera keluar kamar tamu dan pergi ke ruang makan. Di sana ada Kak Vidia dan Nur sedang makan.
"Kakak koq lama sih? Kami sudah nunggu dari tadi lho. Ya udah ditinggal aja," kata Nur.
"Oh... maaf, Nur," kataku.
"Ya udah, maka sana gih!" kata Kak Vidia.
***
Hubunganku dengan mbak Juni makin canggung setelah itu. Ketika di kantor, kami saling melirik penuh arti. Dan setiap mata kami bertemu kami tersenyum. Minggu-minggu berikutnya semua berjalan seperti biasa. Namun sebenarnya ada rasa aneh yang kami rasakan setiap kali kami bersama. Ketika aku mendekat kepadanya memberikan laporan, dan ketika kami bercanda ada rasa-rasa yang bergetar, demikian juga yang dirasakan oleh mbak Juni.
Ia mengirimiku email, isinya seperti ini:
Mas Doni Tersayang,
Sungguh akhir-akhir ini perasaan mbak terasa kurang kalau tidak dekat dengan mas. Dan merasa setiap hari adalah hari-hari terindah dalam kehidupanku adalah ketika bertemu dengan mas. Maka dari itulah aku selalu kangen kalau pulang, walaupun anakku sudah bisa memberikan perasaan yang lega ketika melihatnya, tapi entah kenapa rasa ini masih ada.
Perasaan cintaku kepada mas makin besar dan aku harus mengakuinya. Aku tak bisa berpisah dari mas. Apakah aku harus mencintai mas, ataukah tidak aku tidak tau. Aku bingung sekarang. Aku takut kalau mas nanti malah kecewa ketika menjalin hubungan denganku.
Peristiwa kecelakaan itu, aku berusaha melupakannya, tapi aku tak bisa. Rasa rinduku makin besar. Rasa cintaku makin besar. Tolonglah aku mas. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencintai mas? Aku bingung.
ttd
Juni
Itulah isi emailnya. Aku pun bingung menjawabnya. Aku tak tahu kapan ia mengirim emailnya, kalau dilihat dari waktunya sih ketika bekerja. Jadi selama bekerja ia benar-benar memikirkanku selama ini. Aku kemudian berusaha menjawab emailnya semampuku.
Juni
Itulah isi emailnya. Aku pun bingung menjawabnya. Aku tak tahu kapan ia mengirim emailnya, kalau dilihat dari waktunya sih ketika bekerja. Jadi selama bekerja ia benar-benar memikirkanku selama ini. Aku kemudian berusaha menjawab emailnya semampuku.
Mbak Juni Tersayang,
Aku tak tahu harus bilang apa. Mungkin memang benar, peristiwa itu mengubah cara kita menyapa selama ini, mengubah juga apa yang kita rasakan selama ini. Kalau mbak memang ingin agar aku menjadi kekasih mbak, aku pun siap. Bukan karena nafsu, tapi benar-benar kekasih.
Kalau mbak memang ingin menjadikanku kekasih, aku akan menerima apapun yang ada pada mbak Juni. Aku akan menerimanya, dan apakah mbak Juni mau menerima apapun yang ada padaku?
ttd
Doni
***
Esoknya aku bekerja seperti biasa. Mbak Juni tampak serius kerjanya. Ketika mau istirahat, aku lalu menghampiri mejanya. Mbak Juni mendongak, aku lalu menariknya ia terkejut. Aku langsung mencium bibirnya yang lembut itu. Keterkejutan mbak Juni membuatnya gemetar. Tapi setelah itu ia mengerti. Ia pun menikmatinya. Beberapa saat kemudian aku melepaskannya.
"Mas... i-ini," katanya terbata-bata.
"Tak perlu bicara, ini jawabannya. Aku suka kamu dan aku tak peduli kamu siapa, kamu seperti apa, aku akan menerimamu," kataku.
"Mass," mbak Juni memelukku.
Kami berpelukan agak lama, sampai kemudian aku berbisik, "Jangan lama-lama, ntar dilihat orang."
Kami pun lalu salah tingkah dan tertawa.
Hubungaku dengan mbak Juni setelah itu seperti orang pacaran. Mesra banget kalau di kantor. Sementara ini hal ini tidak diketahui oleh semuanya.
Perut Nur makin besar, ini sudah menginjak bulan kelima dan bertepatan dengan kak Vidia selesai wisuda. Ia senang banget lulus dengan hasil memuaskan. Bunda bangga sekali dengan anak pertamanya ini. Di rumah Kak Vidia benar-benar manja banget denganku. Ia menagih janjiku untuk selalu bersamanya sampai ia benar-benar hamil. Yah, janji harus ditepati.
Aku benar-benar harus membagi waktu antara mbak Juni dan Kak Vidia. Kalau mbak Juni butuh sesuatu ya aku harus ke tempatnya. Dan kalau kak Vidia butuh aku ya aku harus ke tempatnya. Aku tak ingin mbak Juni curiga, dan aku tak mau yang lain juga cemburu.
***
Aku duduk di tepi ranjang. Menyaksikan Kak Vidia yang tertidur lelap. Kami baru saja main sampai beberapa ronde. Kak Vidia benar-benar cemburu dengan Nur. Ia benar-benar ingin punya anak. Mungkin besok aku akan istirahat sebentar. Saat ini aku terus berpikir tentang keadaanku. Aku sendiri bingung. Memang soal harta aku sama sekali tak kekurangan, apakah sekarang ini aku butuh seorang pendamping? Tapi kalau soal istri aku bisa memiliki siapa saja. Bahkan saudari-saudariku dan bunda saja bisa aku dapatkan.
Aku sekarang galau. Malam itu aku tak bisa tidur. Aku akhirnya bersandar di ranjang. Dan kak Vidia pun memelukku. Ia merasa nyaman. Sebenarnya juga punya rasa tak ingin kehilangan aku.
"Mbak, boleh nih kita sedikit panas," usulku.
"Panas seperti apa? kompor?" tanyanya sambil ngikik.
Aku lalu tarik lengannya dan langsung mencium bibirnya. Mbak Juni gelagapan menerima seranganku. Aku meremas-remas toketnya. Ia mendorongku.
"Jangan dulu, mas, ndak aman di sini. Ntar kalau Si Rendy masuk bahaya lho," katanya. Rendy adalah manajer toko.
"Biarin aja," kataku.
"Ndak ah," katanya.
"Trus gimana nih?" tanyaku sambil menunjuk penisku yang sudah tegang.
"Sini deh!" ia pun menarikku.
Ia kemudian menarikku ke mejaku. Sesampainya di sana aku didorongnya hingga duduk ke kursi. Ia pun merangkak ke bawah meja. Di bawah meja ia tersenyum kepadaku. Kemudian dibukanya resleting celanaku. Kemudian ia mengusap-usap penisku yang sudah tegang.
"Ini ya yang ndak sabar?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Ia lalu menarik sedikit celanaku hingga rudal berurat itu pun keluar. Ia tersenyum dan menekan kepala penisku dengan jari telunjuknya, lalu menekan-nekan lubang kencingku.
"Apaan sih, mbak? Geli!" kataku.
"Biarin, kamu nakal sih," ia malah bicara dengan penisku. Lalu ia mencium dengan hidungnya, menghirup aroma penisku. "Aku suka baunya."
"Oh... mbak," aku jadi horny.
"Mau dipuasin?" tanyanya.
"I-iya," aku mengangguk.
Lidahnya kini terjulur, lalu menyapu penisku dari buah dzakar sampai ke ujung. Aku menahan nafas. Perlakuannya ini membuatku makin terangsang. Penisku langsung lebih mengeras dari sebelumnya.
"Oww... enak ya? sampai tegang gini," katanya sambil ketawa.
Lalu Ia menciumi kepala penisku, menjilatinya, kemudian ia masukkan ke mulutnya. Ia hisap sekuat tenaga, lalu ia kocok dengan mulutnya. Ohhh... nikmat sekali. Aku terus menyaksikan perlakuannya kepada penisku, dan matanya terus melihatku. Aku suka sekali kebinalan mbak Juni. Saat itulah aku dikejutkan dengan Rendy yang datang ke mejaku.
"Maaf, mas, kemarin aku belum ngasih laporan komputernya ngadat," katanya tiba-tiba. Terus terang aku gelagapan. Untungnya ia tak bisa melihat Mbak Juni yang ada di kolong meja karena mejaku tertutup.
"Oh... i-itu, terus kamu sudah ngirim?" tanyaku.
"Belum, mas, mungkin harus dibenerin dulu itu komputernya," jawab Rendy.
Sialnya, mbak Juni menghisapi buah dzakarku sambil mengurut penisku hingga tegang sekali. Lalu ia menjilati ujung kepalanya dengan lidahnya. Lidahnya menari-nari memberikan stimulus yang membuatku lemas.
"Panggil teknisi saja deh... P-Pak Udin gitu, tahu nomor teleponnya kan?" tanyaku.
"Iya, mas, tahu. Berarti bagaimana kondisi pembukuannya? Didobel saja atau bagaimana?" tanyanya.
"Nggak apa-apa..." keringat dingin mengucur dari dahiku. Mungkin di bawah meja mbak Juni sangat senang bahkan ketawa menyaksikan salah tingkahku. "Dobel saja ndak apa-apa. Atau minta saran Pak Udin, ia lebih faham soal softwarenya."
"Oh... baik, mas, mas ndak apa-apa? Koq kayaknya kurang enak badan?" tanyanya.
"Nggak apa-apa koq," jawabku sambil tersenyum. Padahal yang di bawah ada apa-apa.
"Baik, mas, mari," kata Rendy. Ia meninggalkan mejaku dan keluar dari kantor.
Aku lalu melihat ke arah mbak Juni, "Gila. mbak, kalau ketahuan gimana?"
"Biarin, biar orang-orang tahu kalau mas suka ama aku," katanya sambil ngikik. "Mungkin bisa masuk koran, mas, bos berbuat mesum dengan anak buahnya. hihihi..."
Ia melanjutkan oralnya. Aku hanya geleng-geleng. Saking gemesnya aku pun meremas-remas dadanya. Tanganku masuk ke dalam kemejanya, lalu ke dalam branya mencari-cari putingnya, lalu aku gesek-gesek dan pelintir-pelintir. Mbak Juni makin semangat saja mengoralku. Penisku ia masukkan jauh ke mulutnya, aku keenakan, kemudian ia mainkan kepalanya dengan lidahnya. Itu membuatku makin ndak bisa menahan diri, rasanya ingin muncrat. Tapi dengan perilakuku merangsang puting susunya, ia pun terkadang berhenti mengoral.
"Mas, mas bikin mbak horny nih," katanya.
Aku lalu mendorongnya, kemudian berdiri. Aku lalu menariknya agar berdiri, kemudian aku angkat tubuhnya dan kududukkan di meja. Kemudian aku naikkan roknya, kuturunkan celana dalamnya. Celanaku juga kuturunkan, penisku lalu kuposisikan di depan mulut vaginanya yang merekah indah.
"Mas, nanti ada yang lihat," katanya.
"Aku tak peduli, biar aja," balasku. Aku membuka kemejanya, kunaikkan branya, hingga buah dadanya terekspos. Aku pun menyusu kepadanya sebentar, lalu pinggulku menekan selakangannya. SLEEBBB....!!!
"Ohh... masss... masuk," katanya.
Aku goyang pinggulku menyodok kemaluannya. Mbak Juni memelukku dan kedua kakinya mengunci pinggangku.
"Mbak, enak banget," kataku.
"Ohh... kontol mas gedhe banget, penuh... hhmm...." racaunya.
Kami lalu berciuman, berpagutan, aku tetap menggoyang. Ada rasa takut ketahuan, tapi juga ada rasa ingin memuaskan diri. Benar-benar kami ingin merasakan luapan birahi kami yang sudah ditahan sejak kemarin. Aku juga tak tahu kalau vaginanya sudah becek, karena rangsanganku kepada putingnya.
"Mas... agak cepet, mas, aku mau sampe," katanya.
Aku turuti dia, kupercepat goyanganku. Kakinya makin erat mengunci pinggangku, dan ia pun kemudian menaikkan pantatnya sehingga serasa aku menggendongnya. Penisku ditekan kuat dan ia memelukku dengan erat, ia menghirup nafasku dalam ciuman panasnya. Ia sudah orgasme, selama sepuluh detik kami berpelukan ia kugendong dan penisku masih menancap di sana. Lalu ia turun. Penisku tercabut begitu saja. Tampak penisku penuh dengan lendir. Mbak Juni aku peluk lalu aku balikkan tubuhnya. Ia mengerti keinginanku. Mbak Juni menunggingkan pantatnya. Aku lalu memasukkan penisku ke vaginanya tanpa susah. Dan aku lalu mendorongnya.
"Ohhh... mbak, pantat mbak enak," kataku.
"Ohh... sodok aku, mas, sodok... terus!" katanya.
Aku sodok pantatnya meja kerjaku bergoyang-goyang karena mbak Juni bertumpu kepadanya. Dadanya bergoyang-goyang menggantung. Ekspresi wajahnya bisa aku lihat di kaca yang terpantul. Matanya terpejam nikmat, dan ia menggigit bibir bawahnya sambil mendesis. Aku lalu memegang toketnya dan kuremas-remas.
"Masss... ohh... enak... terus, mas.... terusss," katanya.
Aku dorong lagi lebih kuat, mbak Juni pun kemudian tengkurap di atas mejaku. Buah dadanya melekat di mejaku yang kebetulan di atasnya ada kaca. Aku terus menyodoknya kuat-kuat hingga sepertinya testisku mau berproduksi lagi.
"Mbak... mbak... aku keluar, mbak," kataku.
"Ayo, mas, keluar... keluar bareng!! AAHHH... AHHHH... kontol mas keras banget... kerass... aduhhh... enakkkk!" katanya.
"Mbak... ini, mbak, terima pejuhku," kataku.
CREETTT CREETTT CRREEETT CREEETT!!
Spermaku memancar dengan beberapa kali tembakan. Dan aku menekan kuat hingga mungkin sampai ke rahimnya. Mbak Juni memejamkan mata dan tampak lemas. Kudiamkan sejenak hingga seluruh spermaku keluar dan habis. Baru setelah itu perlahan-lahan aku cabut.
Perlahan-lahan mbak Juni bangkit dari mejaku. Ia tersenyum dengan nafas terengah-engah. Kami tutup aktivitas kami dengan berciuman panas. Mbak Juni membetulkan bajunya dan mengambil tissue yang ada di mejaku untuk membersihkan spermaku yang meleleh ke pahanya.
"Udah ah, kerja lagi," ia mengedipkan matanya kepadaku.
"Kalau mau tidur dulu karena capek silakan lho," candaku.
"Ndak ah, kalau tidur nanti malah dikerjai lagi," katanya.
Aku menciumnya lagi, setelah itu kami beraktivitas seperti biasa.
***
Kak Vidia sore itu sedikit beda. Aku juga heran. Ia tak banyak bicara. Bahkan setiap kali aku tanya kenapa ia tak menjawab. Malam itu aku sendirian tidur di kamar, karena Kak Vidia mengunci dirinya di kamar. Aku tak mengerti, namun kemudian saat tengah malam aku dikejutkan dengan Kak Vidia yang tanpa busana masuk ke selimutku.
"Berjanjilah kepadaku satu hal, dek!" katanya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kakak sudah melihat semuanya, semua video yang ada di dalam komputermu sudah kakak lihat," jawab Kak Vidia. "Aku tak tahu kalau adekku ini sangat terobsesi kepada keluarganya sendiri sejak dulu."
"Trus, apa pendapat kakak?" tanyaku.
"Aku ingin kamu berjanji kepadaku satu hal," katanya. "Jangan pernah tinggalin kakak, bunda dan Nur. Kalau misalnya kamu nanti menikah, maka pasanganmu itu harus tahu keadaan kita seperti apa. Aku tak mau ia nanti tersakiti karena melihat keadaan kita yang sesungguhnya. Kak Vidia juga tahu kamu suka ama mbak Juni, bahkan kakak tahu kalau kamu sudah begituan juga dengan mbak Juni, tapi apa mbak Juni tahu keadaan kita? Memang mungkin ia bisa mencintaimu dek, tapi itu karena ia tidak tahu apa yang terjadi dengan kita sebenarnya. Aku takut, hal itu malah akan membuatnya kecewa dan membencimu, membenci kita. Ia memang sudah baik dengan kita selama ini, tapi pikirkanlah lagi hal ini."
Aku terdiam. Kak Vidia lalu memelukku. Benar apa yang dikatakan kak Vidia. Mungkin sudah saatnya aku hapus saja semua gambar dan video itu. Kak Vidia masih memelukku dan kepalanya disandarkan ke dadaku.
"Malam ini, adalah masa suburku dek," kata Kak Vidia. "Sudah tiga tahun kita beginian, tapi belum juga berhasil. Kali ini Kakak sangat berharap."
Tangan kak Vidia menelusup ke dalam celana kolorku. Ia lalu memainkan isinya. Diurut-urutnya penisku, penisku pun otomatis menegang. Aku mendongakkan wajahnya, lalu menatap wajahnya dalam-dalam. Kemudian aku cium bibirnya, kami berpanggutan, tangan kiriku memainkan putingnya yang berwarna pink itu. Walaupun kami sering bercinta tapi buah dadanya sama sekali tak kendor, malah makin menantang saja tiap hari.
"Hamili aku, dek," bisik kak Vidia. "Berikanlah benih-benihmu ke rahimku. Aku rela."
Aku kemudian membaringkan tubuhnya telentang. Kemudian kuciumi lehernya, kuhisap, kujilat. Permainanku kali ini lebih panas dari malam-malam sebelumnya. Aku menciumi dadanya, kupijat, kuremas, dan bergantian aku cupangi kiri dan kanan, kemudian kuhisap puting pinknya bergantian. Aku juga gigit-gigit kecil dengan gemas. Hal itu memberikan rangsangan yang membuat Kak Vidia mengangkat punggungnya.
"Ohh... dekkk... enak, dek," katanya.
Tangan kiriku beralih ke vaginanya, Kugesek-gesekkan jari telunjukku, kucari clitorisnya dan kugesek-gesek. Kak Vidia makin bergairah, ia memelukku, tangan kanannya masih meremas-remas penisku, aku kemudian menciumi ketiaknya, kujilati dan itu membuatnya menggelinjang lagi. Aku ciumi tubuhnya bagian samping, lalu aku hisap. Ia menggelinjang lagi. Kutelusuri seluruh tubuhnya dengan bibirku, kemudian ke pahanya, hingga bibirku dan bibir kemaluannya bertemu.
"Ohhh... dek... terusin... yaa... enaaakk..." kata kak Vidia.
Aku jilati bibir kemaluannya, kuciumi, lalu tepat di klitorisnya aku sapu lidahku di sana. Ia mengangkat pantatnya sambil memekik tertahan. Ia remas-remas rambutku, seiring aku menjilati rongga-rongga vaginanya. Saat lidahku menari-nari di dinding vaginanya, ia mengapit kepalaku, terkadang menjambak rambutku.
"Deek... udah dong,..masukin aja dek, kakak udah ndak tahan," katanya.
Aku mematuhinya. Kini aku siapkan diriku di atasnya. Pakaianku kulepaskan semua, aku lalu mengangkat sedikit pahanya, lalu lututnya aku pegang dan kutekan hingga berada di samping kepalanya, pantatnya sedikit terangkat dan aku berlutut, penisku sudah siap di depan mulut kemaluannya. Satu hentakan dan penisku masuk.
"Ooohh... iya, dek... papah... hamilin mamah ya..." katanya.
Aku goyang pinggangku. Kak Vidia memejamkan matanya, merasakan kenikmatan ini. Ia mengusap-usap dadaku, untuk memberikan kepadaku kenikmatan juga. Aku resapi setiap rangsangan pada urat-urat penisku yang diremas-remas oleh vaginanya. Rongga kemaluan kakakku benar-benar membuatku seperti terbuai oleh obat bius. Aku kemudian melebaran pahanya dan ambruk di atasnya, kupeluk dirinya. Pinggangku tetap bergoyang, bahkan kali ini lebih cepat. Kedua bibir kami pun bertemu, saling menghisap. Cukup lama aku bertahan dengan posisi itu, hingga entah berapa menit kemudian kak Vidia orgasme, ia menjerit keras ketika orgasme. Mungkin kalau saja ada orang di luar kamar akan kedengaran.
Tapi aku belum orgasme, mungkin karena tadi siang bercinta dengan mbak Juni. Sehingga produksi spermaku sedikit terhambat. Aku lalu membalikkan tubuhnya. Kak Vidia mengerti, ia menungging. Aku pun menyodoknya dengan doggy style. Puas dengan doggy style, aku lanjutkan dengan WOT. Kak VIdia tahu kalau aku suka dengan buah dadanya. Maka dari itulah ia membiarkan tanganku meremas buah dadanya dan mempermainkan putingnya. Kak Vidia orgasme lagi. Karena pada dasarnya wanita lebih banyak menyerah kalau melakukan WOT.
Kalau ingin cepat punya anak ada dua macam gaya, yaitu doggy style bagi yang rahimnya sulit dibuahi, dan gaya misionari bagi yang mudah dibuahi. Itu hanya mitos sih. Aku tak peduli, aku kemudian pakai gaya misionari. Aku peluk kakakku dengan erat dan kugoyang pantatku. Karena sepertinya sudah mentok ingin keluar.
"Kak... aku mau keluu....aaarrr... oohh... ini... ini, kak..." kataku.
"Iya, pah, mamah udah mau keluar lagi," kata kak Vidia.
"Papah ngecreeeettt... ohh... bunting dah kamu, bunting kamu kak Vidia, oh... kakakku yang punya puting pink, tubuh semok, tubuh mulus, rasain pejuh panasku!" kataku.
"Ohh... papah, kak Vidia dientot adek sendiri... enakkk... kuterima, pah... penismu enakkk... aawwww!!" kak Vidia tampak matanya memutih, serasa ia merasakan sperma hangatku membasahi ruang rahimnya. Penisku serasa ngilu sekali. Baru kali ini aku bercinta seperti ini. Aku diamkan posisi ini beberapa saat. Kemudian penisku mengecil sendiri, seluruh energiku rasanya habis, tulang-tulangku rasanya mau copot.
Kak Vidia kemudian mengambil bantal dan mengganjal pinggangnya.
"Kenapa, kak?" tanyaku.
"Ini katanya biar cepat hamil," jawabnya.
Kami kemudian tidur dalam satu selimut. Kupeluk dia hingga pagi menyapa.
***
Memang mungkin semestinya aku jujur kepada mbak Juni. Aku perlu waktu memikirkan itu. File-file video dan gambar hasil keisenganku sudah aku hapus semuanya semenjak hari itu. Mungkin sudah saatnya aku full mencintai semua keluargaku dan mulai mencari pendamping hidup. Tapi tidak mudah seorang wanita mau menerima keadaanku yang seperti ini.
Tiap kali bertemu dengan mbak Juni aku kini agak lain. Selalu terdiam. Atau kadang pikiranku menerawang. Mbak Juni pun mencium ketidak beresan ini. Ia selalu bertanya kepadaku ada apa, tapi aku menjawab aku belum bisa mengatakannya sekarang.
Kuubah konsentrasiku kepada pekerjaan. Tapi tak bisa. Tiap hari aku bertemu mbak Juni dan setiap ada kesempatan kami pasti bercinta. Baik ketika keluar kota, di kantor atau bahkan kami menyewa kamar hotel untuk bermalam.
Kak Vidia pun hamil, ia mual-mual pada hari itu. Dan ia memberikan hasil testpack-nya kepadaku. Betapa senangnya aku. Kak Vidia lebih senang lagi. Sebentar lagi aku bakal jadi ayah dari dua orang anak. Tinggal bunda yang belum. Padahal beliaulah orang yang pertama kali aku setubuhi. Tapi karena ia sering keluar kota dan beberapa waktu ini sibuk untuk mengurus bisnis waralabanya, akhirnya hubunganku dengan bunda libur sejenak.
Ketika aku ke kantor bertemu mbak Juni ia pun mengabariku sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. "Aku hamil, mas."
Aku sangat senang sekali bahkan hampir tak percaya. "Tok cer ya?"
"Habis kita sering begituan, ndak kenal tempat. Aku yakin ini jadinya waktu di hotel kemarin itu," katanya. "Kalau hitunganku tak salah lho ya."
Mungkin sekarang saat yang tepat aku mengatakannya. "Trus, bagaimana hubungan kita selanjutnya? Mau serius?" tanyaku.
"Hmmm... gimana ya, masa atasan mengawini bawahan?" ia bertanya kepadaku dengan nada serius campur bercanda.
"Terserah kamunya, tapi kalau pun engkau tak mau aku tetap akan bertanggung jawab atas anak itu," kataku.
"Tentu aku mau serius," katanya.
"Baiklah, cuma aku ingin cerita sedikit tentang diriku. Kalau kamu bisa menerimaku, maka kita lanjut. Kalau tidak maka itu semua kembali kepada dirimu," kataku.
Mbak Juni serius mendengarkan ceritaku. Tentu saja ia sangat kaget mendengar penjelasanku tentang masalah mother complex dan sister complex. Ia bahkan hampir saja tak percaya terhadap apa yang terjadi. Saat itulah ia pun menangis. Ia tak percaya aku adalah orang seperti itu.
"Inilah aku, mbak, aku jujur kepadamu sekarang. Aku tak ingin menyimpannya lagi. Kalau mbak menerimaku, maka kita lanjut dengan segala kekuranganku. Kalau mbak tidak bisa menerimaku, maka aku bisa mengerti," kataku.
"Aku tak percaya aku bertemu dengan lelaki sepertimu, lalu kenapa kamu melakukannya sama mbak? Aku tak bisa menerimanya, tapi... aku bingung, anak ini bagaimana?" katanya.
"Aku tetap akan bertanggung jawab, mbak tidak perlu khawatir," kataku.
"Bukan masalah itu, aku takut ketika ia bertanya kepadaku tentang seperti apa ayahnya, apa yang bisa aku jawab?" tanyanya.
"Kita akan lewati bersama, mbak, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri apapun yang akan terjadi aku tetap akan menerima mbak, baik mbak menolakku atau apapun aku akan selalu ada buat mbak," kataku.
Mbak Juni menarik nafas panjang. "Aku perlu berfikir, sebab ini tak mudah bagiku. Maaf, mas, mungkin aku harus menyendiri dulu untuk sementara waktu."
Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mbak Juni. Sebab setelah itu ia tak masuk kantor lagi. Dan setelah beberapa minggu ia pun mengajukan surat pengunduran diri. Sungguh aku terpukul sekali. Apalagi mbak Juni adalah orang kepercayaan bunda sejak dulu. Ponselnya tidak aktif lagi, bahkan kontak BBMnya pun tidak aktif. Ia bagai menghilang begitu saja.
Peristiwa itu pun aku ceritakan ke seluruh keluargaku. Bunda lalu menghiburku. Kak Vidia juga, dan Nur. Mereka membesarkan hatiku bahwa sulit untuk mencari wanita yang bisa menerima apa yang kita punyai sekarang.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment