rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Sunday, 5 July 2015

Anak Nakal 5



BAB 5 - TETANGGAKU ERNA

Kak Vidia pun kembali ke rumah. Dan Zahir anakku yang masih kecil itu sangat menggemaskan. Sama seperti Laila yang juga montok. Kak Vidia lebih mencintaiku lagi. Kami lebih selalu bermanja-manja dengan kehadiran anak kami. Kami pun menyewa pembantu, namun Bu Isti menawarkan dirinya untuk menjadi babysitter.

Karena kami sudah kenal baik, ‘tentu saja aku lebih baik lagi mengenal Bu Isti’ maka kami pun mempersilakannya. Setelah bayaran disepakati, apalagi Bu Isti di rumah juga tak bekerja, hanya menjaga Luna. Sehingga ketika pulang sekolah, Luna langsung bermain dan menjaga anakku. Jadi punya teman main. Sedangkan aku? Tentu saja harus menggilir istri-istriku yang lain. Jadi setiap hari tidak di rumah Kak Vidia.

Aku setelah malam dengan Bu Isti itu tidak lagi main dengannya lagi walaupun sekali. Aneh memang dan Bu Isti sendiri tak pernah mengajakku ataupun aku mengajaknya. Tapi setiap kali kami bertemu selalu pandangan kami penuh arti. Mungkin karena memang kita tidak punya kesempatan untuk melakukannya, sebab Kak Vidia selalu di rumah.

Suatu hari ketika anakku sudah usia 2 bulan dan sudah bisa tengkurap, saat itulah satu-satunya kesempatanku untuk bisa bertemu dengan Bu Isti dan satu-satunya kesempatan. Pak Joko sakit. Kerja shift malam membuatnya sakit paru-paru basah. Ia dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu sampai kondisinya membaik. Otomatis Bu Isti untuk sementara waktu tak bisa menjadi baby sitter anakku. Malah istriku yang jadi baby sitter untuk Luna, karena Bu Isti masih menunggui suaminya di rumah sakit.

Suatu pagi aku akan berangkat ke toko. Saat itulah istriku minta tolong, "Pah, tolongin Bu Isti ya, berangkat ke rumah sakit, sekalian anterin anaknya ke sekolah. Kasihan beliau udah banyak nolong kita."

"Oh, iya, ndak masalah," kataku.

Bu Isti pun diberitahu oleh istriku untuk barengan aja. Ia pun tidak menolak. Sekolah Luna sebenarnya tidak jauh dari komplek. Lima menit saja sudah sampai dengan mobilku. Kemudian Bu Isti pindah duduk di sebelahku. Saat itulah kami pun ngobrol.

"Gimana kabarnya, bu?" tanyaku.

"Baik-baik saja, mas," jawabnya. "Masnya tanya kabar yang mana?"

"Suaminya sekarang sakit, bagaimana pelampiasannya?" tanyaku.

Ia pun mencubitku. "Masnya ini lho, koq ya ngeres aja. Ntar kubilangin istrinya lho kalau genit-genit seperti ini," katanya.

Aku mengemudikan mobilku melewati tempat yang agak sepi. "Ya, Bu Isti sendiri bagaimana perasaannya setelah malam itu?"

Dia menarik nafas panjang. Aku menghentikan mobilku. Jauh dari keramaian. Kanan kiri kami adalah perkebunan dan sawah. Jalanan ini 500 meter ke depan barulah ada pemukiman.

"Mas, sebenarnya aku agak besalah sama suamiku," katanya. "Tapi, mas juga tak bisa aku lupakan. Karena tiap hari ketemu. Memang, ada rasa kepengen kalau ketemu sama mas. Tapi, aku ndak enak sama istri mas."

"Trus, kita bagaimana Bu enaknya sekarang?" tanyaku.

Bu Isti mengusap pipiku. "Ibu masih mecintai suami ibu, tapi apa yang kita lakukan kemarin, anggap saja sebagai kecelakaan. Ibu menyukainya, saya yakin kamu juga demikian. Kita kubur saja ini sebagai kenangan. Aku tak enak kepada istrimu dan menghancurkan rumah tangga kalian. Bagaimana?"

Aku terdiam dan menatap kesungguhan di matanya. Senyumannya menyungging. "Aku ingin mengajak Ibu ke sebuah tempat, kalau boleh?" kataku.

Bu Isti bertanya, "Tempat apa?"

"Ada aja, boleh ya?" tanyaku.

Bu Isti agak ragu kemudian ia membolehkan. Aku punya tempat istirahat yang baru saja aku beli setahun lalu. Tempat ini biasanya aku pakai kalau sedang liburan. Tempatnya ada 1 jam perjalanan. Bu Isti tampak penasaran. Aku merahasiakan tempat ini sampai kemudian kami sampai.

"Tempat apa ini, mas?" tanyanya.

"Ini rumah istirahatku," kataku.

"Kaya' villa," gumamnya. "Ndak ada yang jaga?"

Aku menggeleng. "Tidak ada. Sementara ini tidak ada. Masih kosong, tapi perabot-perabotannya sudah ada."

"Trus, tujuan kita ke sini buat apa?" tanyanya.

"Karena kita ingin menyudahi semua ini, aku ingin seharian ini kau menjadi wanitaku," kataku.

"Oh... mas, trus nanti Luna gimana pulang sekolahnya? Aku juga harus menemani suamiku," katanya.

"Luna kan pulangnya ke rumahku, biasanya juga kan pulang sendiri. Nanti sebelum sore kita sudah balik kuantar ke rumah sakit. Bagaimana?" tanyaku.

Bu Isti tersenyum. "Terserah deh, mas."

Aku kemudian menggandeng tangannya. Kubuka rumah itu. Kuncinya selalu ada di mobilku. Begitu masuk, aku langsung memagutnya, Bu Isti pun rasanya sudah tak tahan lagi. Ia langsung menyambutku. Kami pun melucuti pakaian kami. Aku langsung masuk ke kamar dan membopongnya ke tempat tidur. Setelah itu kami pun menghabiskan waktu sebaik-baiknya untuk bercinta. Aku tak menyia-nyiakan spermaku, kutumpahkan semuanya ke vaginanya. Berbagi gaya kami lakukan dan setelah itu rasanya tulang kami rontok semua setelah itu.

Tapi kami mengumpulkan tenaga karena harus kembali lagi. Terus terang setelah bercinta hari itu, kami ada perasaan sedih. Dan komitmen kami adalah tidak melakukan hal ini lagi setelah ini.

***

Sorenya aku sudah kembali dan mengantarkan Bu Isti ke rumah sakit. Aku pun memberi alasan bertemu teman, untuk urusan bisnis karena itu tak ke kantor. Bu Isti pun memberi alasan mampir ke rumah temannya dulu untuk bantu-bantu karena ada pengajian.

Hari itu aku tak ke mana-mana, langsung pulang ke rumah Nur karena jatah hari ini ke tempatnya Nur. Aku langsung tidur dan istirahat, karena capek sekali. Untunglah Nur memijitiku ketika aku tidur, sehingga capekku bisa terobati.

***

Hari minggu, aku ke mall. Karena saat itu sedang ada tamu artis, mall sangat ramai. Para muda-mudi sudah standby di depan panggung dan menunggu artis pujaannya. Kalau aku sih cuma belanja aja. Aku ke mall bersama bunda. Perutnya sudah besar, mungkin bulan depan udah lahiran. Kami belanja untuk kebutuhan bayi.

"Capek sekali bunda, pah," kata bunda kepadaku.

Aku melihat ke sebuah stand pijat. "Mau pijit dulu, bunda? Mumpung ada tuh."

"Ide bagus, istirahat dulu ya, pah. Papah jalan-jalan dulu deh beli kebutuhan, nanti temui bunda lagi di sini," katanya.

Aku pun mengantarkan bunda ke tempat pijit itu. Tempat pijat itu memakai kursi pijat dan tampaknya sedang antri dari 5 kursi, masih dipakai. Bunda tak masalah, karena memang ia sudah capek berjalan. Aku pun pamit dulu untuk belanja.

Aku pun berjalan-jalan berbelanja sendiri. Saat itu aku melintasi sebuah stand kosmetik. Aku sepertinya kenal dengan seseorang.

"Lho, mbak Erna?" sapaku.

"Eh, pak Doni. Apa kabar, pak?" sapanya balik.

Ia adalah tetanggaku di rumahnya Kak Vidia. Saat itulah aku cukup cuci mata dengannya. Ia pakai rok pendek, setengah paha, ia memakai blazer, dan stocking berwarna hitam. Rambutnya sebahu, bibirnya cukup sensual dan ia tersenyum manis kepadaku.

"Sama siapa, pak? Koq sendirian?" tanyanya.

"Sama istri, masih di stand pijat. Ini sedang belanja buat si kecil," kataku.

"Oh, begitu. Ndak nyoba kosmetiknya, pak? Buat nyonya?" tanyanya.

"Boleh deh, coba apa aja yang ada?" tanyaku.

Kemudian Erna menjelaskan segala hal tentang produknya. Bahkan aku pun disuruh untuk mencoba pelembabnya. Kami juga kadang sesekali bercanda. "Gimana, pak? Mau beli?" tanyanya.

"Wah, gimana ya?" aku bingung juga. Namun aku teringat tentang SPG-SPG yang gatel dan bisa diajak kencan. Apa mungkin Erna tetanggaku ini mau? Tapi kucoba aja deh, namanya juga iseng.

"Mumpung ada promo lho, pak?" katanya.

"Aku bisa saja sih beli, tapi mungkin ada tambahannya," kataku sambil tersenyum.

"Tambahan apa?" tanyanya.

"Aku ingin membayar lebih, itu kalau kamu mau sih," jawabku.

Erna penasaran, "Bayar lebih gimana sih, pak?"

"Mungkin dengan kita kencan gitu," kataku dengan suara hampir tak terdengar.

"Ih, bapak genit. Kubilang ke istrinya tahu rasa lho," katanya.

"Yah, ini beneran koq. Aku bisa beli beberapa produkmu. Kamu untung dan tentunya aku juga untung. Toh kita tak ada ruginya. Gimana?"

Erna menggigit bibirnya, "Gimana ya...?"

"Udah berapa lama kamu di sini? Daripada ndak laku lho. Kalau setuju besok kita ketemuan di sini jam seginian," kataku.

Erna tak menjawab. Aku pun lalu berjalan meninggalkannya. Jual mahal dikitlah.

"Pak, pak, tunggu!" panggil Erna.

Aku pun berhenti, lalu menoleh kepadanya.

"I-iya deh, beneran lho ya borong semua," katanya.

Aku mengangguk. "Kamu tahu nomor teleponku kan?"

Ia menggeleng. Kemudian aku memberikan nomor ponselku. Dan aku melanjutkan berbelanja lagi. Aku meninggalkan Erna dengan wajah yang menerawang jauh. Entah apa yang ada di pikirannya. Setelah berbelanja aku kembali ke tempat bunda. Ia sudah selesai ternyata dan kami pun pulang.

Esok sorenya. Sesuai janjiku aku menunggu Erna di tempat parkir. Ia pun menelponku. "Bapak di mana?" tanyanya di ponsel.

"Di tempat parkir. Turun aja, aku ada di pintu deket tangga koq," kataku.

Tak berapa lama kemudian ia muncul. Kali ini bajunya agak lain. Masih pakai blazer dan rok mini tapi warnanya merah. Dan ia tak pakai stocking.  

"Bagaimana suamimu?" tanyaku.

"Aku udah ijin koq, nginap di rumah temen," jawabnya.

"Kalau kamu tidak mau atau berubah pikiran, sekarang saja. Sebab aku tak mau ketika di tengah jalan nanti kamu berubah pikiran," kataku.

Ia menggeleng. "Aku siap koq, pak."

"Ok, ayo!" aku pun mengajaknya ke mobilku. Di dalam mobil aku mencoba untuk meraba tangannya. Ia tak menolak. Bahkan tersenyum kepadaku.

"Kau sudah pernah seperti ini sebelumnya?" tanyaku.

"Sejujurnya, ini yang pertama, pak," jawabnya.

"Yang bener? Trus kenapa koq mau?" tanyaku.

"Lagi kepepet, pak," katanya.

"Panggil saja, mas, saya masih belum 30 tahun koq," kataku.

"I-iya pak, eh mas..," katanya.

Aku memancingnya lagi, "Sekarang kita sudah masuk mobil. Kalau misalnya engkau berubah pikiran tidak mengapa."

Ia menggeleng. "Tidak apa-apa, mas."

Aku pun kemudian mendekat kepadanya, kusentuh wajahnya, kemudian aku tarik kepalanya untuk mendekat kepadaku. Bibirku pun maju menyentuh bibirnya. Aku kemudian menghisap bibirnya, mulutnya sedikit terbuka dan menerima lidahku masuk ke mulutnya. kami pun saling menghisap. Untuk beberapa saat ciuman itu membuatku yakin ia sudah siap.

"Aku ingin mengajakmu ke sebuah villa, jangan ke hotel," kataku.

Ia mengangguk, "Terserah saja deh, mas."

Mobilku pun melaju meninggalkan kota menuju ke villa. Selama perjalanan, aku mengusap-usap pahanya. Ternyata ia tak memakai hotpants. Aku bisa langsung merasakan celana dalamnya ketika merogoh ke dalam rok mininya. Aku menyetir mobil dengan tenang, ketika aku tidak mengubah gigi kopling aku kembali mengusap-usap kemaluannya dari luar celana dalamnya. Erna hanya menggigit bibir saja kuperlakukan seperti itu. Terkadang ia bermain ponselnya mencoba menahan rangsangan yang aku lakukan. Tapi sepertinya percuma, karena ia sesekali memejamkan mata, dan menggigit bibirnya. Hingga kemudian ia bersandar di kursi menengadahkan kepalanya dan memegang tanganku erat-erat.

"Udah. mas, udah..." aku mengerti ia orgasme. Celana dalamnya becek sekali.

"Dilepas saja dong, becek tuh," kataku.

"Mas sih, nakal banget!" katanya.

Aku tersenyum. Ia pun segera melepas celana dalamnya dan membuangnya ke belakang jok. Aku kemudian membuka resletingku. Penisku yang sudah tegang pun nongol. "Nah, kalau ini enaknya diapain?" tanyaku.

"Ih, genit ya mas ini. Udah gedhe aja," katanya. Ia kemudian memegang benda itu. Diremas-remasnya, lalu dikocok-kocoknya. "Gedhe banget, mas, ntar kalau masuk sakit pastinya," katanya.

"Koq bisa?" tanyaku. "Emang punya suamimu seberapa?"

"Hmm... sepertiganya kayaknya," jawabnya. "Tapi itu aja udah enak koq, mas."

Selama perjalanan itu penisku dikocok, diremas dan dibelai-belai. Dan sampai di tujuan, kayaknya Erna cukup capek karena belum keluar-keluar penisku. "Mas kuat juga ya, padahal suamiku dikocok gini aja keluar lho," katanya.

Setelah tiba, aku langsung mengajaknya masuk. Kubetulkan celanaku dan kuambil kunci villa. Setelah masuk aku persilakan ia untuk masuk ke kamar. Kami tak perlu dikomando. Aku sudah melepaskan bajuku. Bahkan ia kubantu untuk melepaskan bajunya. Kami pun berciuman panas. Kupeluk Erna kubuka pakaian dalamnya, branya kemudian aku lempar sehingga pakaian kami berserakan di lantai.

"Mas, ohh..." desahnya.

Aku melihat dadanya cukup besar. Kulitnya putih mulus aku langsung menghisap putingnya. Kuhisapi lehernya, kujilati dan kuremas-rems dadanya. Aku kemudian berlutut, penisku menantang di hadapannya. Ia mengerti tugasnya, langsung ia duduk dan mengisap penisku. Penisku pun disentuh oleh bibirnya, lidahnya menjilati kepalanya dan ia memasukkan penisku ke mulutnya, ia hisap dan lumuri dengan ludahnya. Kemudian ia kocok dengan lembutnya. Testisku di remas-remasnya, terkadang sesekali bibirnya menciumnya bergantian. Lalu disedotnya sebentar, dan konsentrasi lagi mengulum batang penisku. Sensasi yang ditimbulkannya sangat membuatku geli.

"Erna... nikmat banget," kataku.

Tanganku tak tinggal diam. Aku memilin-milin putingnya sampai mengeras. Ia terangsang ternyata. Aku lalu mendorongnya, ia pun berbaring. Aku kemudian menciumi dadanya, perutnya lalu pergi ke bawah. Di sebuah tempat yang rambutnya tumbuh melindungi tempat pribadinya. Aku kemudian menjilati bibir vaginanya. Erna menggeliat sperti ulat. Ia memejamkan mata menerima rangsangan-rangsanganku di rongga vaginanya. Klitorisnya aku sapu, beserta rambut kemaluannya. Ia menggelinjang. Aku ulangi lagi dan aku kemudian menggigit-gigit gemas klitorisnya.

"Maasss... aakhhh... jangan gitu dong... geli... aduhh... aduduuhh... mass....!!"

Aku terus ulangi dan ulangi hingga ia tak kuat lagi. Ditekannya kepalaku dan pantatnya mengangkat, pahanya mengapitku dan ia berjinjit.

"Maasss... aaaaahhhhkkk... mas ganteng, aku jebol nih...!!" katanya. "Aku pipis, mas... pipis..."

Aku kemudian duduk, melihat polah tingkahnya yang menggeliat-geliat seperti ulat kesetrum. Tubuhnya sangat mulus, walaupun sudah bersuami dan punya anak. Pantatnya masih kelihatan montok, mulus. Aku lalu membalikkannya untuk menungging.

"Aku masuk lho ya, kepingin merasakan benda ini ndak?" tanyaku.

"Iya, mas, masukin. Pelan-pelan ya," katanya.

Aku lalu perlahan masuk. Batang penisku yang sudah tegang dengan urat-uratnya itu perlahan-lahan memasuki rongga asing, yang sama sekali asing baginya. Perlahan-lahan daging itu menggelitik sebuah lubang yang sudah diberi pelumas agar mudah untuk masuk. Aku pun masuk separuh, karena tampaknya masih seret. Dan aku tarik lagi, lalu kudorong lagi, terus aku ulang seperti itu. Pantatnya benar-benar menggairahkan. Aku meremas-remas pantatnya. Dan setiap aku hentakkan penisku ke dalam, pantatnya pun menekan ke perutku.

"Nikmat sekali, mbak," kataku. "Pasti suamimu puas banget ya ngentotin kamu."

Aku lalu mempercepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantatnya beradu dengan selakanganku. Penisku makin masuk saja dan Erna tampak keenakan. Ia terus mendesah, mendesis dan meraba-raba vaginanya yang dimasuki penisku. Aku kemudian menghujamkan penisku lebih dalam hingga mentok ke rahimnya.

"Mas, enak banget kontolnya mas..." katanya.

Aku kemudian membalikkan badannya. Kutuntun ia untuk duduk di pangkuanku. Kami saling beradapan. Kucium ia, lalu dadanya pun naik turun seiring tubuhnya yang naik turun. Aku menghisapi buah dadanya, kuberi sebuah cupangan. Lalu aku hisap putingnya.

"Mas... aduh, koq dicupangi sih? ahh... hhh... ohh... enak mas, iya dipilin-pilin
gitu...eh-eh... mas.. .geli..." katanya.

Kujilati bagian di bawah ketiaknya. Ia menggelinjang dan memeluk tubuhku. Vaginanya terangkat sedikit, pantatnya bergetar. Ia makin erat memelukku.

"Mas... aku keluar lagi." katanya.

Aku perlahan-lahan membaringkannya. Kemudian aku naik turunkan pantatku. Erna sangat menggairahkan. Penisku terus mengobok-obok vaginanya. Memeknya tidak melakukan empot-empot, tapi cukup seret. Mata kami beradu, mulut Erna menganga. Ia melingkarkan lengannya ke leherku. Pahanya mengapit pinggangku.

"Erna, aku keluar nih," kataku.

"Iya mas, keluar aja, aku udah," katanya.

Penisku seakan-akan mengumpulkan semua kekuatannya di ujung dan kuhujamkan penisku sedalam-dalamnya ketika keluar. CROOT... CROOT... CROOOOTT... muncratlah penisku sebanyak-banyaknya ke rahimnya. Mata Erna memutar dan kami berciuman lama sekali. Kami kemudian kelelahan dan istirahat sebentar.

Malam itu kami bercinta terus sampai pagi. Erna cukup kaget dengan staminaku. Kami pun bermain hingga lima ronde dan baru selesai pukul 3 pagi. Saking lamanya kemaluan kami benar-benar ngilu rasanya.

***
Erna dan aku tidur saling berpelukan. Aku terbangun terlebih dulu. Aku bisa menilai Erna ini benar-benar sexy. Tubuhnya boleh dibilang sangat langsing, tapi tidak kurus.

"Erna... udah pagi nih," kataku.

"Bentar, mas, masih dingin," katanya sambil makin erat memelukku.

"Mandi bareng yuk?!" ajakku.

"Tapi masih dingin," katanya.

"Ada air hangatnya koq," kataku.

"Ayo deh," kata Erna. Ia segera bangun.

Kami menuju kamar mandi, masih telanjang. Aku kemudian menyalakan air di bak mandi dan keluar air panas. Di dalam kamar mandi ada cermin sehingga Erna bisa melihat dirinya di sana. Sembari menunggu air bak mandi penuh, penisku tegang lagi melihat tubuhnya, atau boleh dibilang kalau pagi memang seperti ini sih. Kami pun berpagutan lagi di dalam kamar mandi. Saling membelai dan memberikan rangsangan. Aku mendorongnya hingga duduk di atas toilet, lalu kuhisap buah dadanya, puting susunya pun kulahap dan kumainkan dengan lidahku.

"Ohh... mas, pagi-pagi udah ngentot aja," katanya.

"Iya nih, habis kamu seksi sih," jawabku. "Sayang cuma ini kesempatan kita ya."

"Kalau mas mau, kapan pun bisa koq. Aku rela, mas," katanya.

"Aku kan cuma membayarmu untuk beli kosmetikmu," kataku.

"Tak apa-apa, mas, oh... kalau mas kepingin tinggal telpon aku aja atau kita pakai kode khusus gitu, biar mbak Vidia ndak curiga," katanya.

Penisku kupasang di bibir memeknya, kemudian aku tekan. Memek Erna sudah becek. Dengan leluasa aku keluar masukkan penisku.

"Aku ketagihan ngentot ama mas," katanya.

"Baiklah, ini jadi rahasia kita ya," kataku.

"Iya, mas, ohh... penis mas penuh banget. Aku pikir bisa-bisa robek memekku," katanya.

"Tapi nggak kan?" tukasku. "Lagian memekmu peret banget."

"Ohh... mass," desahnya.

Aku cukup bermain satu ronde di kamar mandi. Dan aku percepat goyanganku. Aku pun keluar, tapi tak sebanyak tadi malam. Mungkin habis produksi testisku. Setelah itu kami mandi bareng, saling menggosok dan menyabuni. Kami juga sempat berbaring sebentar di bak mandi dan bermanja-manjaan.

Pukul 9.00 ia harus sudah balik ke mall. Aku mengantarnya. Dan kami berjanji kalau ada kesempatan akan mengulanginya lagi.

***
BAB 6 - VENUS PREGNANT

Perut Bunda makin membuncit. Hasil dari USG menyatakan bayinya sehat dan sepertinya akan lahir bayi laki-laki. Sekalipun hamil ternyata bunda makin lama makin menarik. Aku sebenarnya takut untuk bercinta dengan wanita hamil. Oleh karena itulah aku tak pernah terlalu bersemangat bercinta dengan kak Vidia ataupun Nur ketika hamil. Walaupun aku suka ketika mengisap tetek mereka yang ada isinya. Namun pengalaman bunda melebihi pengalaman Kak Vidia dan Nur dalam masalah bercinta ketika hamil. Bunda mengerti kebutuhanku, dan beliau tahu cara untuk memenuhi kebutuhanku. Akan aku ceritakan pengalamanku ketika bunda hamil anakku.

Usia kandungannya sudah hampir 7 bulan. Bunda juga ngidamnya ndak aneh-aneh seperti Kak Vidia ataupun Nur. Ngidam yang paling sulit aku lakuin adalah Nur. Ia kepengen banget untuk bisa makan bebek peking tapi dagingnya harus dimasak dengan bumbu ayam betutu. Ribet kan? Tapi Nur punya alasan kayak enak kalau bebek peking dibuat seperti itu. Ndak wajar, kubilang. Tapi begitulah, kata orang Jawa kalau ngidam ndak keturutan anaknya bakalan ngiler. Akhirnya aku masak sendiri. Beli bebek peking trus setelah itu dimasak seperti ayam betutu. Dan bisa diprediksi dapur berantakan. Kak Vidia ketawa kerasa diceritain masalah itu. Bunda juga ikut-ikutan.

Kata beliau waktu hamil aku dulu ngidamnya ndak aneh-aneh, paling kepingin buah sawo padahal tidak lagi musimnya. Ayah sampai kebingungan nyari, bahkan harus ke daerah pelosok hanya dapat 1 kg sawo itu saja masih muda. Tapi bunda nikmat banget makannya.

Kak Vidia ngidamnya ndak terlalu, cuma agak aneh saja. Hampir seluruh novel-novel percintaan diborong olehnya selama ngidam. Kalau biasanya ngidam itu buah mangga atau apa, tapi Kak Vidia ini tidak. Malah ngidam buku. Ndak cuma novel percintaan saja sih. Kalau ada buku lain yang sepertinya menarik pasti juga dibeli. Katanya kalau nggak baca buku seharian rasanya ndak enak banget, kepengen marahan melulu.

Nah, bunda ndak aneh-aneh ngidamnya. Paling disuruh nyariin nasi padang pas jam 2 malam. Itu pun karena pas siangnya kami menikmati nasi padang.

Entah kenapa siang itu rasanya panas sekali. Saking panasnya bunda pun menyalakan AC dengan suhu dingin. Bunda, duduk di sofa sambil mengelus-elus perutnya. Aku rasanya tergoda sekali ingin mengelus-elus perutnya. Bunda hari itu hanya pakai tank top dan celana legging. Sehingga perutnya kelihatan banget. Kayaknya dadanya makin besar. Terus terang, aku sedikit membayangkan kalau misalnya sekarang ini aku bercinta dengannya.

"Ndak ngantor, pah?" tanyanya. Semenjak identitas kami sebagai suami istri, semuanya memanggilku dengan sebutan papah. Itu membuat hubungan kami tambah hot.

"Nggak, mah, papah kepingin di rumah saja," kataku kemudian menghampiri bunda yang duduk sambil mengelus-elus perutnya. Aku duduk di sebelahnya. "Males keluar, panas banget."
  

"Iya, panas banget. Mamah sampe nyalain AC," kata bunda. Aku tahu kalau bunda itu jarang banget nyalain AC, tapi hari ini panasnya benar-benar di luar batas.

Bunda tidak pakai kerudung tentunya. Wajahnya masih cantik, bodynya masih bahenol. Tapi karena hamil ini lengannya sedikit gemuk. Pipinya sedikit chubby. Tapi tetap hal itu membuatnya menarik.

"Pijitin mamah dong pah, pinggul mamah pegel," katanya. Aku kemudian memasukkan tanganku ke belakang tubuhnya. Bunda menggeser tempat duduknya untuk memberikan ruang gerak.

"Aduh duh duh..." bunda mengaduh lalu tersenyum.

"Kenapa, mah?" tanyaku.

"Ini, oroknya gerak-gerak, lihat!" aku melihat perut mama tampak menonjol. Sepertinya adik bayi sedang menendang. Kudekatkan wajahku, lalu kuciumi perut bunda tepat di tonjolan kecil itu. Lalu tonjolan kecil itu menghilang.

"Sudah bisa gerak ya sekarang?" tanyaku.

"Sering, terutama pas ndak ada papahnya di rumah, hampir gerak tiap hari," jawab bunda. Tangan kiriku membelai-belai perutnya, tangan kananku tetap memijiti pinggulnya di atas tulang ekor.

"Mah, aku makin cinta ama mamah," kataku.

"Aku juga, pah," kata bunda. Aku lalu mencium bibirnya. "Kamu kepingin?"

Aku mengangguk. Lalu menciumnya lagi. Kami saling memagut hot. Tangan kiriku sekarang meremas-remas susunya. Aku bisa merasakan buah dada bunda mengeras. Tidak seperti dulu. Mungkin sudah ada isinya.

"Ohh... mah..." desahku.

Bunda lalu melepaskan tanktopnya. Bunda memang tak pakai bra, karena dari tadi aku meremasi buah dadanya, aku langsung bisa merasakan kerasnya puting susu yang kecoklatan itu. Begitu dadanya terekspos, perhatianku pun beralih ke dadanya. Sesuatu yang aku suka yaitu ASI. Mulutku sudah mencaplok puting susunya, kulumat, kujilati, kukulum dan kuhisap. Air susunya pun keluar. Rasanya agak manis.

"Ohh... pahh... papah netek," keluh bunda.

Penisku makin tegang aja. Kini serasa sesak celana pendek yang aku pakai. Bunda membiarku menyusu kepadanya bergantian kiri dan kanan. Tangan kirinya mencari-cari pionku yang sudah mengeras. Ketika menemukannya, tangannya pun menelusup ke dalam celana pendekku. Kemudian kepalanya dipencet-pencet dan diputer-puter. Ouugghh... enaknya.

Yang aku sukai dari bunda dalam bercinta adalah ia sudah berpengalaman. Ia juga tahu titik-titik kelemahan lelaki. Jadi setiap bercinta dengan bunda, pasti aku mendapatkan dua hal yaitu kepuasan bunda dan kepuasanku. Dengan tangannya saja ia bisa memberikanku kepuasan seperti bersenggama. Sebab caranya memainkan penisku dengan tangannya berbeda dari sekedar coli. Juga ketika oral. Bunda sangat jago. Ketika bunda belum hamil dulu, benar-benar aku lemes dengan perlakuannya kepada penisku. Bahkan bunda tak ragu-ragu untuk menelan seluruh spermaku hingga kering. Dalam bercinta pun seperti itu, bunda selalu berusaha memuaskan dirinya, baru kemudian mengimbangiku. Aku dibimbingnya untuk memuaskan titik-titik sensitifnya sehingga percintaan kami sangat panas dan sangat bergairah. Selalu dan selalu ingin diulang.

Kupuaskan menghisap air susu bunda. Tanganku sudah tidak memijat lagi sekarang. Tangan kiriku masuk ke celananya dan mengelus-elus bibir kemaluannya. Bunda mendesis dan mengeluh. Kusibak bibir vaginanya yang sudah mulai basah. Perlahan-lahan jari tengahku mencari lubangnya. Dengan lancar jari tengahku masuk dan menggesek-gesek lubangnya. Bunda menyandarkan kepalanya ke sofa.

"Paahh... ohh... iya itu, pah, digesek-gesek," kata bunda. Beberapa kali ia menggeliat ketika jari tengahku menyentuh klitorisnya. Sementara itu bibirku masih di putingnya menyedot seluruh ASI yang ada. Aku tak peduli kalau misalnya ASI-nya habis. Setelah yang kanan kulanjutkan yang kiri.

Tangan bunda berhenti mengocok penisku, kini ia menggenggam erat batangnya hingga aku ngilu. Tanganku makin cepat keluar masuk di kemaluannya.

"Pahh... mamah mau nyampe, ooohh... iya begitu, paahh... ooouuucchh!" pantat bunda terangkat, aku mengeluarkan tanganku dan bunda memeluk kepalaku hingga wajahku terbenam di lautan toketnya. Tiga hentakan pinggul bunda naik ke atas. Perutnya yang buncit itu makin membubung. Lalu bunda lemas. Ia menutup keningnya dengan lengan kanannya, sehinga aku bisa melihat ketiaknya yang putih.

Aku lalu menuju ke ketiaknya dan kujilati. Bunda kegelian dan mendorongku, "Geli, pah, jangan...!"

Aku tak peduli kujilati dan kuciumi keteknya sampai puas. Bunda makin berusaha mendorongku karena kegelian, hingga kemudian ia tertawa. Ia mencubit pinggangku.

"Aduh," aku mengaduh.

"Kamu ini dibilang geli koq, udah ah. Masukin dong, mamah udah kepengen nih," katanya.
Bunda melepaskan sisa pakaiannya yang masih menempel. Tubuh wanita hamil itu agak eksotis. Kulit perutnya halus, aku beberapa kali mengelusnya dulu dan kuciumi. Bunda berbaring dibuka lebar kakinya. Aku bisa melihat liang senggamanya sudah basah. Bunda menggeliat-geliat minta dimasukkan. Aku posisi agak berlutut. Aku maju, kepala otongku udah ada di bibir memeknya yang lembut. Bunda tak sabar, ia yang pertama majukan pantatnya. Langsung saja otongku masuk begitu saja.

"Ohh... pahhh... enak, paaaahhh," seru mamah.

Aku juga merasakan hal yang sama. Penisku mengobok-obok memeknya sekarang. Tangannya menggapai tanganku dan kami berpegangan. Wajah bunda mendongak, beliau sepertinya ingin menggapai lagi kenikmatan untuk kedua kalinya setelah orgasme tadi. Itulah sebabnya kini pinggulnya ikut bergoyang, kiri kanan. Dan kemudian ketika beliau menggoyang ke kiri, kepala bunda menggeleng-geleng. Rambutnya awut-awutan. Dan seperti biasa, memeknya dibuat seperti meremas-remas otongku. Walaupun hamil, memek bunda tetap bisa memberikan pijatan-pijatan hangat yang meremas batangku.

"Ohh... maaahh... hhmmmhh... memek mamah tetep enak, papah suka..."

"Pahh... nungging yuk!?" mamah mengusap-usap dadaku.

Aku menghentikan aktivitasku, kuusap-usap perut mamah yang buncit. Saat itu aku meraskan sesuatu yang menendang. "Mah, dedeknya gerak," kataku.

Mamah tersenyum. Ia pun merasakannya. Sepertinya anakku ini juga merasakan dia digoyang-goyang. Mama pun bangkit, kemudian di sofa mama menungging. Pantatnya makin semok, aku remas-remas bongkahan pantat itu dan kuhisapi dengan gemas. Aku menggerakkan wajahku sampai mendekat ke duburnya. Lalu aku jilati bagian antara dubur dan memeknya.

"Ouchh... pah... geli..." katanya. Bunda memaju-mundurkan pantatnya, tampaknya ia suka. Setiap kali lidahku menjilatinya, ia memajukan pantatnya. "Udah, pah, jangan... mamah geli!" bunda membenamkan wajahnya ke sofa.

Walaupun ia bilang begitu tapi sepertinya merasakan nikmat. Kenikmatan-kenikmatan bisa jadi sekarang sedang mengguyur mamah. Jilatanku makin cepat dan menggelitik. Lidahku menelusup ke vaginanya. Dan dengan sapuan buas lidahku menyapu klitoris, belahan memeknya sampai duburnya. Mama menggoyang-goyangkan pantatnya lalu memajukan pantatnya.

"Pahh... mamah... mamah pipis, paahh...!"

Aku kaget ketika bunda mengeluarkan cairan menyemprotku. Semprotannya tak Cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali sampai ia lemas. Ternyata itu titik sensitif bunda. Sofa kami jadi basah dengan squirtnya bunda.

Aku kemudian memposisikan senjataku ke depan mulut memeknya. Aku meraih buah dadanya dan kuremasi gemas. Bersamaan dengan itu pantatku maju. Rudal coklat dengan kepala pelurunya berwarna kemerahan mulai menerobos liang kewanitaan bunda. Kulitnya sudah berkilat-kilat memantulkan cahaya karena terkena lendir senggama. Kemudian gesekan-gesekan lembut mulai dilakukan. Penetrasi untuk kedua kalinya ini sensasinya bikin kepala penisku gatal. Mungkin karena banyak squirt bunda yang keluar. Atau mungkin karena memang aku sudah benar-benar horni. Setiap aku menghujamkan penisku, aku selalu menghantamkan perutku ke pantat bunda. Dan bunda setiap terkena hentakan menjerit.

"Aww... oohh... aww... awww... ppaahhh... te...rruuuss... yang cepet, paahhh," kata
bunda.

Aku kemudian mulai mempercepat temponya. Maju mundur dengan cepat. Terus aku pompa makin cepat, kepala bunda pun menggeleng-geleng.

"Paah... mamah keluar lagi, pah... he-eh, pah... cepet gitu, cepet.. .teruss...!" racau bunda.

Aku makin percepat, suara benturan pantat dengan perutku memenuhi ruangan. Memberikan kesan erotis. Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku bakal bisa ngentotin bundaku. Bunda yang selalu mendidikku sejak kecil. Ketika kecil aku yang dimandikan olehnya sekarang kita biasa mandi bersama. Aku yang dulu menyusu sekarang aku menyusu lagi. Dulu aku yang keluar dari lubang kecil ini sekarang aku masuk lagi. Dulu dari rahim ini aku keluar sekarang aku sudah menabur benihku di sana. Aku dulu tak pernah membayangkan bakal menjadi suami dari bundaku. Bunda yang selalu meyayangiku. Kini kasih sayang itu lebih besar lagi, tak hanya sekedar seorang anak, tapi lebih kepada suami, sebuah cinta yang tak akan dimengerti oleh orang lain. Kami merengkuh birahi bersama dan kedudukanku sekarang mengisi hatinya menggantikan ayah.

Aku hampir orgasme bahkan mungkin beberapa saat lagi benih-benih cintaku yang kental akan menyemprot di dalam rahimnya. Aku ingin mengingat setiap memory bersama bunda. Entah kenapa tapi sebelum orgasme aku ingin mengingat semuanya, mengingat semuanya hingga aku yakin setiap waktu, setiap kesempatan, setiap kenangan. Memory itu makin jelas. Bunda, aku butuh bunda, aku butuh bunda untuk birahiku.

"Pah... punya papah makin keras, enak pah... mamah dientot papah... ohhh... suamiku... mamah keluar, paahh... oohhh... punya papah sesek di dalam..." bunda mengimbangi goyanganku.

Ujung penisku mulai gatel. Testisku sudah sesak, sepertinya sudah benar-benar tak kuat lagi ingin mengeluarkan sperma. Benar kata bunda, punyaku udah benar-benar tegang. Kubayangkan seluruh memory ketika aku orgasme ke dalam rahimnya, ketika aku merasakan nikmatnya menyemprotkan spermaku ketika melakukan titfuck kepadanya, atau ketika ia mau menerima semburan spermaku di mulutnya, semua memory itu terkumpul untuk sebuah momen ini. Momenku menyemburkan seluruh isi testisku.

"Bundaaa.... bundaku... kuentoooott.... terimalah buah cinta anakmu ini!!!" teriakku.
"Ohh... anakku sayang, papahku... ohhhhhh!"

CROOTT CROOTT CROOOOTT CROOOTTT CROOOTT

Banyak sekali semburan spermaku. Aku tak bisa menghitungnya tapi setiap punyaku berkedut maka setiap itu pula spermaku keluar. Bunda yang tersirami sperma hangat itu mendongakkan kepalanya sambil menjerit, memanggil namaku. Tubuhnya menegang, pantatnya bergetar hebat. Punyaku seperti diremas-remas. Aku tak bisa membohongi diri kalau aku sebenarnya sangat mencintai bunda. Melebihi Kak Vidia maupun Nur. Mungkin karena bunda adalah wanita pertama yang melepas keperjakaanku. Wanita pertama yang menerima spermaku di rahimnya, wanita pertama yang mau mengoralku dan keluar di dalam mulutnya. Mengingat itu semua membuatku terus meledak dalam kedahsyatan orgasme yang tak pernah kurasakan selama ini.

Bunda bertahan dalam posisi menungging. Punyaku masih di dalam, dan itu dalam keadaan tegang, walaupun sudah menyusut sedikit. Perlahan-lahan aku mencabutnya. Aku lalu duduk di sofa. Kuamati batangku yang terbungkus cairan putih, campuran antara spermaku dan cairan kewanitaan bunda. Bunda masih menungging nafasnya tampak tersengal-sengal. Butuh waktu sejenak untuk bunda bisa tenang rupanya. Kulihat dari belahan memeknya tampak spermaku meleleh. Rupanya aku keluar banyak sekali. Aku bisa melihat lubangnya penuh dengan cairan kental berwarna putih. Bunda lalu perlahan-lahan mulai duduk. Tubuhnya disandarkan ke sofa. Aku duduk di sampingnya. Kemudian bunda bersandar ke bahuku. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku.

"Pah... tadi... papah hebat sekali... bunda sampai ngerasa papah keluarnya banyak banget," kata bunda.

"Iya, mah... papah mengingat-ingat semua peristiwa persenggamaan kita, itu membuat papah bergairah dan bisa orgasme sedahsyat ini," kataku.

Preeettt!! Terdengar suara dari memek bunda.

"Apa itu, mah?" tanyaku.

"Hihihi, sperma papah keluar, ditolak ama rahim, kan udah ada isinya," jawab mamah sambil tertawa kecil.

Bunda kemudian bangkit dan melihat sofa. Dari tempatnya duduk, kulihat ada cairan kental berwarna putih di situ. "Ini bersihinnya gimana ya? Kalau ada tamu masa harus bilang kalau kita maen di sini," kata bunda.

Aku tertawa. "Beli sofa baru?"

"Pemborosan ah, coba deh papah yang tanggung jawab bersihin. Kan itu punya papah, horni koq di ruang tamu," bunda menjulurkan lidahnya.

Melihat beliau berdiri telanjang. Dadanya besar, perut besar, pantat montok membuat aku tegang lagi. Gila nih otong. Ndak puas-puas. Otongku langsung mengembang lagi.

"Wah, udah kepingin lagi?" tanya bunda senang.

"Iya nih, mah, lihat mamah tanpa baju sehelai pun, membuat papah horni," jawabku.

"Tapi mamah capek, pah," kata bunda, lalu berlutut di hadapanku. Buah dadanya bertumpu di atas pahaku. "Pake oral aja yah?"

Aku mengangguk. Aku menggeser tubuhku untuk maju. Agar perut bundaku tidak menyentuh pinggiran sofa. Lutut mamah ditekuk, jadi ia duduk di atas kakinya. Saat itu terdengar suara lagi. PREEETTT...

"Benih papah keluar lagi nih. Sebanyak apa sih tadi keluarnya? Masa' sampe seliter?" canda bunda.

"Ndak tau, mah, pokoknya setiap kedutan tadi keluar terus," jawabku.

"Apakah bunda ini sebegitu membuat anak bunda yang sudah jadi suami bunda ini horni?" tanya bunda. Bunda mulai beraksi. Aku duduk dipinggir sofa. Pahaku terbuka lebar, jemari bunda mulai mengusap-usap pahaku lalu selakanganku. Bunda mulai merangsang titik-titik sensitifku. Diciumnya seluruh bagian pahaku.

"Mamah, mamah memang sangat hebat kalau merangsangku," kataku.

Bunda konsentrasi menciumi dan menghisapi pahaku. Kemudian mulai mendekat ke batangku yang sedang di pegangnya. Batangku dikocok lembut, bagian kepalanya dielus-elus oleh telunjuknya. Wajahnya pun kemudian ke bagian buah zakarku. Menciumi apa saja yang ada di sana. Senjataku makin mengeras dan on lagi. Bunda mengejar-ngejar buah zakarku. Aku merintih-rintih keenakan dengan perlakuannya. Kedua tanganku mengusapi tangannya yang melakukan kocokan lembut.

Mulutnya lalu bergerak ke batangku sekarang. Dijilatinya batangku yang masih ada campuran spermaku dan cairan kewanitaannya. Lidah Bunda menari-nari di batangku, hingga sampai ke ujung lubang kencing, lalu mulutnya dibuka dan bibirnya maju untuk menghisap penisku. OOOuuwww.... Terlihat ujung bibirnya menutupi lubang kencingku dan lidahnya menari-nari di lubang penisku. Sensasinya ndak bisa dikatakan.

"Mah... mamah... mamah apain itu? Enak banget?" tanyaku.

"Vidia ama Nur ndak pernah giniin kamu?" tanyanya.

"Tidak pernah, mah, aku selalu bebaskan cara mereka memuaskanku," jawabku.

"Besok aku ajarin mereka biar tahu cara memuaskan suaminya ini," kata bunda.

Kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Lalu sesaat kemudian mulutnya tiba melahap kepalanya lalu kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Alamaakk...enak banget aku diperlakukan seperti itu. Lalu pinggiran kepalaku yang cukup sensitif dijilatinya memutar. Dan tangannya mengocok batangku dengan cepat sembari mengerjai kepalanya.

"Mahh... mahh... aduhhhh... nikmat banget, mah..." kataku.

Bunda mengulumnya sekarang, tapi lidahnya tetap mengerjai pinggiran kepalanya, melumeri kepala penisku dengan lidahnya lalu menghisap kuat-kuat. Kemudian diulangnya lagi. Sedangkan tangannya terus mengocok dengan cepat.

"Maahh... udah, mah... boleh dong papah ngerasain titfuck?" kataku memohon.

Bunda menghentikan aktivitasnya. Ia tersenyum mengetahui imajinasiku. Diangkat buah dadanya. Rudalku yang sudah sangat tegang itu lalu kumajukan agar bisa diapit oleh bukit kembarnya yang benar-benar montok. Bunda menggerakkan dadanya naik turun. Ohhh....nikmat sekali. Wajah bunda menunduk dan setiap kepala penisku mendekat ia menjilatnya. Pantatku pun tak mau diam, ikut naik turun. Aku lalu ikut memegang toketnya yang biadab itu. Dadanya kumainkan naik turun mengapit batangku. Otot-otot penisku makin mengeras, agaknya ingin keluar lagi.

"Kayaknya mau keluar ya, pah?" tanya bunda.

"Koq tahu, mah?" tanyaku.

"Aku ‘kan ibumu, jadi tahu semua tentang anaknya, apalagi kita telah jadi suami istri dan selalu tahu bagaimana tegangnya kepunyaan suaminya ketika ingin menembak," jawabnya.

"Maahh... papah mau keluar, mah..." kataku.

"Semprotin aja, pah," kata bunda.

"Ohh... maahh... keluar di wajah mamah ya?" kataku.

Bunda mengangguk, kemudian wajahnya mendekat. Penisku aku kocok dan menyemprotlah spermaku ke wajahnya. Lima tembakan ke wajah bunda. Setelah 5 kali tembakan, bunda memasukkan penisku ke mulutnya dan mengocoknya lembut. Sisa spermaku keluar di mulutnya. Bunda menelan sisa-sisa yang keluar di penisku. Kulihat keningnya, matanya, hidung dan pipinya terkena spermaku. Aku lemas di atas sofa. Bunda kemudian menjilati spermaku yang ada di wajahnya. Ia masukkan semua itu ke mulutnya dengan bantuan tangannya. Terlihat sangat rakus. Aku suka pemandangan itu dan menyaksikannya hingga wajahnya bersih lagi. Bunda lalu berdiri.

"Udah ah, ngeres mulu pikiran papah. Ingat lho mamah lagi hamil, cepet capek," katanya sambil meremas batangku.

"Aduh!" kataku. Batangku ngilu rasanya. "Habis mamah seksi sih."

"Simpan tenaga buat malam nanti ya, pah, malam nanti dilanjut kalau masih kepengen," katanya. "Sekarang bersihin tuh, sofa ama lantainya!"

Aku tertawa kecil, "Iya, iya, mah."

Malam harinya aku mengulanginya lagi dengan bunda di ranjang. Bunda memperingatkanku agar jangan sering-sering ML, karena capek juga. Aku mengerti kondisi beliau. Maka dari itu kalau ML aku selalu berakhir dipuaskan dengan jurus oralnya atau titfuck. Satu yang aku sukai dengan bunda adalah beliau cukup sabar dengan perlakuanku selama bercinta. Menerima seluruh keinginanku, dan tahu bagaimana cara memuaskanku. Maka dari itulah, ketika setelah oral aku minta oral lagi beliau tak menolak. Bahkan ketika beliau capek beliau berbaring miring dan aku menggarapnya dari belakang. Beliau tetap bersabar sambil terus menerima sodokanku. Akhirnya setelah puas 4 ronde. Aku tertidur di dalam selimut sambil memeluk bunda dari belakang.

Dalam rumah tangga kami selalu harmonis. Walaupun aku harus membagi waktuku dengan kedua saudariku yang lain. Itu karena aku selalu memberikan sentuhan. Baik itu sentuhan sekedar mengelus tangannya, atau menciumnya. Atau sentuhan-sentuhan yang lain. Apabila sentuhan itu makin hot, maka yang terjadi adalah dituntaskan di ranjang.

Mereka sangat mencintaiku, maka dari itulah kalau misalnya tahu ada wanita lain yang aku sukai, mereka pasti akan bertanya siapa wanita itu? Apakah mau menerima keadaanku ataukah tidak? Dan aku jujur ketika menyukai mbak Juni yang sekarang entah ada dimana itu. Sedangkan yang main-main aku tak pernah menceritakannya kepada semua istriku. Bukan berarti aku tidak jujur, tapi agar keluargaku tetap utuh. Aku anggap itu semua Cuma variasi saja dalam berhubungan. Toh, kebanyakan mereka yang telah berhubungan denganku adalah menginginkan aku. Bukan sebaliknya.

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment