BAB 2 - KAK VIDIA DAN NURAINI
Sebagai seorang aktivis di kampus, kak Vidia selalu memakai jilbab lebar. Bahkan terkadang ia curhat juga kepadaku. Karena saking baiknya terkadang aku masih diperlakukan seperti anak kecil. Namun melihatku yang sangat berbakti kepada bunda, hal itu membuatnya menjadi iri. Ia ingin bisa juga berbakti tapi karena ia masih kuliah, ia pun menyadari bahwa ia tak bisa sepertiku. Makanya ia sangat menghormatiku. Apapun yang aku inginkan pasti diturutinya. Seandainya saja ia mau melepas keperawanannya untukku.
Well, jatah kloroformku masih banyak koq. Tapi kayaknya aku tak kan menggunakannya lagi. Bukan untuk kak Vidia.
Bunda sekarang mulai rajin senam, padahal tubuhnya masih bagus lho. Buah dadanya juga masih padat, kulitnya masih mulus. Tapi hal itu semata-mata ingin mengimbangiku di ranjang aja katanya. Aku bebas menginginkan bundaku kapan saja. Lalu bagaimana awal mula aku dengan Kak Vidia?
Awalnya adalah aku harus menemaninya naik gunung. Nah lho? Yup, karena ia adalah seorang aktivis maka aku harus menemaninya. Muhrimnya bo'. Awalnya aku menolak, tapi ia bilang, "Aku belum punya suami, dan kamu adikku!"
Yah, jadinya aku ikut deh. Acara naik gunung itu merupakan acara ekstra kampus. Kami terpisah jadi beberapa group. Aku pun berkenalan dengan teman-teman kakakku, terutama yang cewek dong. Mengetahui hal itu malah aku dijewer ama kak Vidia. Tingkah polah kami memang kekanakan kalau bersama-sama. Hal itu membuat hiburan tersendiri bagi teman-temannya. Karena tak biasanya kakak adik seakrab itu.
Nah, ketika malam harinya setelah acara api unggun. Kak Vidia memanggilku. Aku yang sedang ngobrol dengan teman-temannya segera menghampirinya.
"Ada apa, kak?" tanyaku.
"Aduh, kebelet pipis nih!" katanya. "Anterin dong."
"Waduh...." kataku.
"Koq waduh, kayak kita bukan saudara aja," katanya. "Tolong anterin! Masak aku minta anak cowok lain?"
"Iya deh, iya deh," kataku.
Kami berdua pun menjauh dari kemah. Agak jauhan dikit sih, tapi itulah sialnya. Aku lupa jalan. Kak Vidia membawa tissu. Kemudian ia bersembunyi di balik pohon. Aku cuma bawa senter saja. Setelah beberapa saat kemudian, kak Vidia selesai.
"Udah, balik yuk!" katanya.
"Yuk!" kataku.
Nah, saat itulah aku lupa arah. "Sebentar, tadi kita ke kanan atau ke kiri?" tanyaku.
"Waduh, aku ya mana tau? Kamu gimana sih?" tanyanya panik.
"Ya udah, kita ke kanan aja," kataku.
Kami pun ke kanan. Karena ini bukan jalan setapak, tapi rerumputan dan semak belukar, kami pun bingung. Setelah lama berjalan, kami makin jauh masuk ke dalam hutan. Perfect. Mana malam hari lagi.
"Lho, koq makin jauh ke hutan?" gumamku.
"GImana sih? Tersesat kaaaan??" katanya.
"Sebentar... balik lagi yuk," kataku. Aku pun berbalik lagi. Kami berputar-putar hingga tak tahu arah. Saat itulah aku pun makin sadar bahwa kami makin tersesat.
"Bagus, sekarang kita makin tersesat," kataku.
"Aduh... gimana dong?" tanyanya.
"Aku ndak bawa Handphone nih," kataku.
"Aku juga, tapi di sini mana ada sinyal, dodol!" katanya.
"Eh, situkan yang suruh dianterin, mana aku tahu kalau kita nanti bakal tersesat?" kataku.
"Wooooiii!!" teriak kakakku memanggil teman-temannya.
"SSSTTTT!!" kataku.
"Apa sih? Biar ada orang yang denger tauk!" katanya.
"Bego ya, kakak? Kalau kakak teriak-teriak, siapa yang akan datang? Kita ini di hutan! Ingat itu, Kak!" kataku.
Kak Vidia menangis. Ia memelukku. "Koq jadi begini?" tanyanya. Ia menangis tersedu-sedu, "Bunda, Vidia mau pulang."
"Udah ah, koq nangis sih? Kita cari sungai saja. Biasanya kalau ada sungai maka kita tinggal ikuti aja muaranya pasti akan ketemu peradaban," kataku.
Aku mencoba menghibur kak Vidia. Akhirnya ia berhenti menangis. Kami pun berjalan lagi, membelah hutan, tanpa arah. Akhirnya kami menemukan suara yang deras. AIR TERJUN!
Tapi karena malam hari, kami tak tahu apapun dan bagaimana pemandangannya. Hanya nyala senter saja yang bisa menerangi sekarang ini. Kemudian saat itulah aku melihat sebuah gua. Lho? Ada gua?
"Lihat, ada gua!" seruku. "Kita istirahat di situ saja dulu. Besok kita lanjutkan. Ini sudah malam dan dingin banget."
Kabut pun makin tebal. Kak Vidia dan aku masuk ke gua itu. Cukup bersih. Aku itu ada di sebelah air terjun. Kak Vidia duduk di dalam gua, aku mencari kayu bakar dan mencoba menyalakan api. Cukup susah payah aku melakukannya sampai kemudian aku pun bisa menyalakannya. Untung saja aku membawa korek api. Paling tidak malam ini jadi tak begitu dingin.
Aku duduk bersandar di dinding gua sambil menjaga api agar tetap hangat. Saat itulah kak Vidia tampak menggigil. Sebenarnya aku juga menggigil. Aku pun mendekat ke kakakku dan memeluknya. Kami pun berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin.
Malam makin larut. Api mulai menghangati ruangan gua.
"Aku takut, Don, ndak bisa ketemu bunda lagi," katanya.
"Jangan gitulah, besok kita pasti akan tahu jalan pulang. Karena percuma kalau sekarang kita paksa juga, ndak tau jalan. Kalau saja kita tahu arah utara, mungkin kita bisa pulang, karena kalau terus ke utara kita akan ketemu posko pintu masuk tadi," kataku.
Kak Vidia mengangguk. Api mulai mengecil, kayunya pun mulai habis. Aku makin erat memeluk kak Vidia. Kak Vidia juga makin erat memelukku. Dan... apinya padam. Hawa dingin mulai menusuk lagi.
"Kak, sebaiknya kak Vidia aku pangku saja," kataku.
"Ih, ogah ah, Kenapa memangnya?" tanyanya.
"Biar hangat, coba deh sini," kataku.
Kak Vidia pun mengikutiku. Ia duduk di pangkuanku. Trus memelukku, "Begini?"
"Bukan, buka baju kakak bagian atas!" kataku.
"Kamu gila ya? Aku ini kakakmu, jangan macam-macam!" katanya.
"Kita ini darurat, aku janji deh ndak macam-macam. Ikuti saja!" kataku.
Kak Vidia ragu. Ia berpikir. Sambil giginya gemertuk. "Ya udah deh, tapi ingat jangan macem-macem ya!?" katanya kemudian.
Ia membuka kancing bajunya. Aku tak bisa melihatnya karena gelap. Aku pun membuka bajuku yang atas.
"Sudah," katanya.
"Peluk aku," kataku.
Ia pun memelukku.
"Eh, tunggu!" kataku. "Branya dicopot juga dong!"
"Kamu udah gila ya?"
"Kak, kita perlu menghangatkan diri pakai tubuh kita, kakak mau mati kedinginan di sini?" tanyaku.
Ia pun akhirnya luluh juga. Dicopot pengait branya. Kemudian ia naikkan branya, sehingga buah dadanya terekspos. Sayangnya gelap. Aku tak bisa jelas melihatnya. Sementara yang di bawah sana tak bisa diajak kompromi. Langsung tegang.
"Sekarang peluk aku, Kak!" kataku.
Dan kami pun berpelukan, tanganku masuk ke dalam bajunya. Tangan kakakku juga masuk ke dalam bajuku. Kami saling mendekap erat untuk memberikan kehangatan. Dadaku beradu dengan buah dadanya. Aku bisa merasakan putingnya yang mengeras karena dingin menekan di dadaku. Dan, yang agak mengejutkan adalah selakangan kami saling menempel. Tentu saja kakakku merasakan sesuatu di bawah sana.
"Dik, jangan macem-macem ya, ingat aku kakakmu," katanya memperingatkan.
"Iya, aku mengerti, kak. Tapi aku ‘kan juga lelaki normal," kataku.
Lama kami berpelukan seperti itu. Dada kami mulai menghangat.
"Mulai hangat, dek," kata Kak Vidia.
"Iya, Kak." kataku. "Kak Vidia, maaf ya. Aku melakukan ini,"
"Tidak mengapa. Kakak ngerti koq," katanya.
Saat itulah, entah kenapa aku menggosok-gosok punggung kakakku. Dia juga demikian. Aku masih ingat warna pink puting kakakku. Setan pun datang. Aku berdebar-debar. Kak Vidia bisa merasakan debaran jantungku. Dia juga demikian.
"Baru kali ini kakak beginian dengan lelaki, rasanya nyaman," katanya.
"Kak, boleh Doni memegang dada kakak?" tanyaku.
"Dek, ingat, aku kakakmu," katanya.
"Iya, aku tahu, sebentar saja kak. Doni ndak pernah megang punya wanita, kepengen aja. Gak papa kan? Kita juga kan pernah mandi bersama dulu," kataku membujuk.
"Tapi kan itu kita masih kecil," katanya.
"Boleh ya, kak, sebentar saja," kataku.
Kak Vidia ragu. Ia takut membuatku marah akhirnya tak bisa menghangatkan diri lagi dan bisa mati kedinginan. Ia pun bilang, "Iya, sebentar saja ya."
Yes! pikirku.
Tanganku pun bergerak memegang buah dada yang sejak dulu ingin aku pegang itu. Pertama aku cuma menangkup saja, tapi selanjutnya, aku meraba, mengusap, dan memijatnya lembut. Penisku makin tegang aja di bawah sana. Putingnya yang berwarna pink itu aku pencet-pencet.
"Dek... udah... jangan....!" katanya.
Aku terus melakukannya, merempon istilahnya. Sambil sesekali memelintir-melintir. Kak Vidia mulai gelisah. Kalau ia lepas pelukannya, maka ia takut, kalau ia biarkan, maka aku akan bebas melakukan apapun kepada tubuhnya. Dan dugaannya tak meleset. Kak Vidia lalu mengeluarkan tangannya dari balik bajuku dan memeluk leherku.
"Jangan, dek... aku kakakmu!" rintihnya.
Tanganku bergantian meremas buah dadanya. Kiri-kanan. Sedangkan tangan kiriku mengusap-usap pantatnya dengan memasukkannya ke dalam roknya dan CDnya. Ruangan gua makin panas. Kak Vidia dilema. Ia cuma membiarkanku melakukan hal itu kepadanya. Aku lalu berhadapan dengannya, aku tak tahu raut wajahnya seperti apa sekarang, tapi aku tahu tempat bibirnya di mana. Bibirku kemudian menempel di bibirnya. Kak Vidia makin pasrah. Ia membiarkan lidahku menari-nari di dalam mulutnya menghisap lidahnya, menyapu langit-langitnya. French Kiss itu membuat Kak Vidia klepek-klepek.
"Kak, aku cinta ama kakak," kataku.
"Dek Doni... jangan... hhhmmm,"
Aku menciumnya lagi. Aku lalu turun ke dadanya, kuhisap putingnya. Kujilati. Manis sekali.
"Deeekk... oohhh... hhhmmm..."
Aku terus meremas, menciumi dan menyusu ke dadanya. Kak Vidia makin gelisah. Kalau ia melepaskanku ia takut kedinginan. Akhirnya ia pun nekat, ia mendorongku. Ia menjauh dariku.
"Adek, kenapa adek melakukan hal ini?" tanyanya.
Aku diam.
Cukup lama aku diam menunggu reaksinya. Kemudian aku merasakan ia meraba-raba dalam gelap mencari kakiku. Ketika ia merasakan kakiku, ia pun memelukku.
"Maafkan kakak, karena salah kakak adek jadi begini," katanya.
Aku tak tinggal diam. Aku tak ingin melepaskannya lagi. Segera aku peluk dia, kupaguti bibirnya. Ia gelapan. Aku baringkan dia di atas batu gua. Aku kemudian menurunkan celana trainingnya, juga CDnya. Roknya aku naikkan. Celananya sudah lepas dan aku melepaskan celanaku, aku segera turun ke sana dan menghisap memek perawannya.
"Dek... jangaaan... aahhkk!" keluhnya.
Ia meronta-ronta, tapi tak ingin melepaskanku. Aku menjilati memeknya yang bersih itu, tak ada bau kencing, bukti bahwa ia sangat bersih menjaga tempat privasinya. Aku sapu lidahku di bibir vaginanya. Lalu aku jilat-jilat seperti kucing, kucolok-colok di lubangnya. Dan yang terakhir aku hisap klitorisnya. Klitoris kakakku ini lebih besar dari punya bunda. Aku hisap hingga pinggulnya terangkat.
"Deekk... kok jadi enak sih... kakak enak..." katanya mengerang.
Aku mengulangi lagi memakan daging kenyal itu. Kuhisap-hisap, dan kutekan-tekan lubang itu dengan lidahku. Klitorisnya aku mainkan, kuhisap, kujilat dan kupijat-pijat dengan bibirku. Kak Vidia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dek... kakak mau pipis... kakak mau pipis... maaf, dek... kakak pipiiiiiiiissss!!" kata kak Vidia.
Benar saja, kak Vidia banjir. Ia orgasme. Aku mengisapnya. Beberapa lendir itu kuminum. Agak hangat dan asin. Aku membersihkan bibirku. Kak Vidia lemas di atas batu gua. Aku tersenyum. Kuposisikan penisku. Kuangkat pantatnya. Penisku pun mulai masuk perlahan... perlahan... kepalanya masuk, tapi susah.
"Ahhkkk... deekk... sakit... jangan!" katanya. Tangannya meraba memeknya dan mendorong perutku. Tapi tak begitu kuat. Aku dorong lagi. Jemarinya menyentuh penisku. Memeknya berkedut-kedut, seolah-olah menyedot-nyedot punyaku.
Aku tarik lagi kemudian dorong, pelan-pelan. Tarik dorong-tarik dorong. Setiap aku dorong tubuhnya bergetar, kudorong, bergetar lagi dan... SREETTT...!! Aku seperti merobek sesuatu dan tiba-tiba seluruh penisku masuk semua.
"Adeeeekk... oooohhh..." ia meraba penisku yang sudah masuk semua. "Kenapa adek melakukan ini? Kenapa adek rela memerawaniku?"
"Kak, aku cinta ama kakak," kataku. Kemudian aku menggoyang. Aku menindih tubuhnya. Ruangan itu menjadi panas. PLOK PLOK PLOK, suara selakangan kami beradu. Rasa dingin sudah tak ada artinya lagi. Yang ada adalah usaha untuk meraih kenikmatan bersama.
Awalnya kak Vidia mengeluh sakit dan perih. Tapi lama kelamaan ia cuma mengeluh nikmat. Ah dan uh keluar dari mulutnya. Pikiran kami cuma ada nafsu. Gua itu menjadi saksi bisu bagaimana kedua kelamin kami bersatu. Aku menghisap putingnya lagi. Putingnya sangat mengeras. Aku yakin ia sangat menggairahkan kalau aku bisa melihatnya. Aku masih membayangkan mulusnya dan putihnya kulit kakakku dari video-video yang aku simpan.
Pantatku terus bergoyang hingga aku tak tahu lagi kapan aku bertahan dengan posisi seperti ini, tapi aku makin cepat menggoyangnya.
"Dek, kakak mau keluar lagi. Kakak mau pipis," katanya.
"Kak, aku juga udah di ujung. Keluar bareng yuk," kataku.
"Jangan di dalam, dek, plisss... jangan..." katanya.
"Ndak bisa, kak, enak banget soalnya. OOOHHH... AAAHH," kataku.
"Dek... kamu brengseeekk... kakakmu sendiri dientot... pejumu... pejumu... muncrat!!" katanya.
"Banyak, kak, banyak banget!" kataku. "OH... memek kakak enak, seret, penisku nagih, kak... keluar... ooooohhhh!"
"Deek... adekku yang ganteng... jadi bapak anakku... ini masa suburku, dek, aku hamil... ohhh... hamil deh... aaaahhkkk!" racaunya.
Satu, dua, tiga, empat, lima... sepuluh kali semprotan. Spermaku banyak banget memancar di rahimnya. Kami berpelukan erat sekali. Dan akhirnya, karena kedinginan dan kelelahan, kami pun tertidur.
***
Sinar matahari membangunkan kami. Gua menjadi hangat. Kak Vidia terbangun pertama kali, disusul aku. Ia melihat vaginanya yang mengeluarkan lendir putih dan merah darah. Darah perawannya. Kak Vidia menoleh ke arahku, lalu ia menamparku dengan keras.
"Kenapa? Kenapa adek melakukan ini?" tanyanya. "Adek sudah janji bukan?"
"Maafin adek, kak," kataku. "Doni khilaf,"
"Enak saja, khilaf. Kalau kakak hamil mau tanggung jawab?" tanyanya.
"Iya, aku akan tanggung jawab," kataku.
"Lalu bagaimana kalau sampai bunda tahu? Betapa malunya bunda," kata kakak sambil menangis. Ia memeluk kakinya yang tak tertutup apapun itu. Aku lalu memeluknya. Ia tak menolakku.
"Aku akan bertanggung jawab," kataku. "Mulai sekarang Doni yang jadi suami kakak."
Kakakku diam. Ia cuma menangis. Tangisnya mulai berhenti ketika aku mengusap-usap tubuhnya. Dan aku pun memagutnya, kami berpagutan lagi.
"Dek... sudah, dek," katanya. "Kita pulang yuk!"
"Sekali lagi, kak," kataku.
"Adekku... suamiku," katanya.
Aku menciumi bibirnya, kami lalu telanjang. Sinar matahari sudah masuk, kini aku bisa melihat jelas tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Aku menciumi dan menjilati lehernya yang jenjang. Wangi tubuhnya aku hirup. Dadanya aku cupangi, ketiaknya aku hisap, hal itu membuatnya menggelinjang hebat. Kami memberikan usapan dan ciuman, serta hisapan. Bibir merah muda kakakku pun menciumi tubuhku, putingku, leherku, bibirku, semuanya. Bahkan penisku pun
diciuminya.
Aku menuntunnya untuk menungging. Aku posisikan penisku tepat di bibir vaginanya, aku dorong pelan. BLESS... masuklah semuanya. Aku lalu mulai menggoyang. Kakakku merintih-rintih keenakan. Ia sepertinya tak terasa sakit lagi. Aku menyodoknya sambil meremas-remas toketnya yang putingnya berwarna pink itu. Cukup lama aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya membentur-bentur selakanganku. Aku pun meremas-remas pantatnya, sambil kubelai dengan kukuku di punggungnya.
"Ampun dek, ampun, jangan! ahh... ahh... ohh..." keluhnya.
"Kak, pantat kakak enak, memek kakak juga enak," kataku.
Aku terus memompa keluar masuk. Sepertinya waktu itu sangat lama. Aku bisa menikmati setiap centi penisku menggesek kulit rongga vagina kakakku. Dan aku terkadang menghujam sedalam-dalamnya, vaginanya benar-benar menyedot-nyedot penisku. Aku kemudian berhenti. Kak Vidia tampak lemas. Saat penisku dicabut ia menjerit kecil, "Aww.."
Ia terkulai, kubalikkan tubuhnya. Kubantu ia untuk bangun. Kusuruh ia duduk di pangkuanku. Sebelumnya aku memposisikan kemaluanku masuk lagi ke dalamnya. SLEB... SRETTT... lagi-lagi rongga vaginanya menghisap dan meremas penisku. Oh... seperti inikah rasanya perawan itu. Kami sekarang berhadap-hadapan. Tak ada rasa malu lagi. Ia masih memakai kerudungnya, tapi bawahnya polos.
"Aku cinta ama kakak," kataku.
"Ini cinta nafsu, dek, ini ndak bener," katanya.
"Tapi kakak suka kan?" tanyaku sambil menekan pantatku ke atas.
"Ohh... adekku yang nakal. Habis ini udah ya, kakak capek," katanya.
Aku lalu merebahkan diri. Ia duduk di atasku. Di posisi ini ia mengangkat pantatnya naik turun, sesekali ia gerakkan maju mundur. Buah dadanya aku remas-remas, ia memegangi tanganku.
"Ohh... dek, kakak hina sekarang... sekarang kakak seperti pelacur... ohh... kakak malu, Dek." katanya.
"Engkau pelacurku, kak," kataku. "Oh... kak Vidia."
"Sebenarnya aku tak mau... tapi penismu, dek, ohhh... bikin ketagihan. Kakak ingin saja diperkosa kamu... hhhmmm... ohh... ahh," katanya.
"Terus, kak, goyang!" kataku.
Kak Vidia menggoyang-goyangkan pantatnya, hingga makin lama makin cepat. "Dek, kakak mau sampai... mau sampai... samp...." ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan kedua pahanya menghimpit pinggangku. Aku merasakan sesuatu cairan membasahi penisku. Ia lalu ambruk di atasku.
Pinggulnya bergetar, merasakan nikmatnya orgasme yang baru saja ia raih. Aku pun kemudian melepaskan kerudungnya, tampaklah sesosok wajah yang cantik. Matanya jeli, bibirnya tipis dan lembut. Rambutnya panjang disanggul. Aku pun melepaskan sanggul itu. Kini rambutnya terurai. Kak Vidia diam menikmati sisa-sisa orgasme. Aku kemudian berguling. Kini bergaya misionaris.
Mata Kak Vidia masih terpejam. Aku kemudian mulai bekerja lagi. Aku sedikit berjongkok, Pahanya aku naikkan hingga lututnya sampai ke samping kepalanya, dengan posisi ini aku lalu memompa penisku naik turun. Kak Vidia pasrah, ia hanya menjerit nikmat ketika penisku menggesek-gesek rongga kemaluannya.
"Aaahhkkk... deekk... nikmatt banget... terusss..." katanya.
Aku pompa terus keluar masuk. Kemaluannya yang gundul tanpa rambut membuatku makin terangsang saja. Pagi-pagi kami sudah mandi keringat. Aku bisa melihat peluh sebesar jagung di keningnya. Bahkan tubuhku pun basah oleh keringat. Setelah itu tak berapa lama kemudian aku merasa ingin keluar. Aku posisikan diriku menindihnya, berbaring. Kupeluk dan kucium dia. Pantatku naik turun dengan cepat.
"Kak, aku keluar... ohh... kakk... kakakk, penisku mau nembak lagi," kataku.
"Deekk... hamili kakak, dek... ahhhkkkk... kakak pasrah... tembak rahim kakak ama pejuh angetmu!!" katanya.
"Kaaaakkk.... aku muncraaat!" kataku.
CROOOOTTT!! CROOOTTT!! CROOOTT!!
Kedua bibir kami menyatu, rasanya kami semua melayang ke awan. Kakakku rela menerima spermaku kali ini. Ia memelukku erat, kakinya mengapit dan mengunci pinggangku. Spermaku terbenam semua di dalam vaginanya. Aku biarkan beberapa saat penisku ada di sana. Meresapi kedutan-kedutan rongga kemaluan Kak Vidia. Hingga kemudian penisku mengecil sendiri. Aku kemudian menariknya.
Tampak spermaku meleleh dari kemaluannya. Kak Vidia lemas. Ia mengatur nafasnya, matanya terpejam pahanya terbuka. Aku lalu merebahkan diri di sebelahnya.
***
Kami setelah itu membersihkan diri di air terjun. Tentu saja mandi keramas, tapi tanpa shampoo. Dingin sekali airnya, setelah itu kami mengikuti arah matahari, sehingga akhirnya sampailah kami di pos yang aku maksudkan. Rombongan kami ternyata juga mencari kami. Kami kemudian bercerita bahwa kami tersesat kemudian bermalam di gua.
Insiden itu mengubah hidup kami berdua. Kami seperti orang pacaran sekarang. Kak Vidia selalu manja kepadaku. Awalnya bunda tidak curiga terhadap hal ini. Bahkan Kak Vidia sekarang berani untuk tidur di kamarku, dan kami terkadang melakukannya lagi di kamarku.
Baiklah ini cerita Kak Vidia. Hubungan kami sangat rahasia sebenarnya. Aku dan bunda masih melakukannya, juga dengan kak Vidia. Dan untunglah, kak Vidia juga masih menstruasi. Tidak jadi hamil.
Satu-satunya yang memergokiku bercinta dengan bunda adalah Nuraini. Saat itu aku tak mengira kalau Nuraini akan pulang lebih awal. Aku dan ibuku sedang bercinta hebat di atas kasur. Dan saat itu akulah yang sadar. Aku lupa menutup pintu, ibuku membelakangi pintu dan posisiku saat itu memangkunya. Terlihat jelas penisku masuk ke kemaluannya dan Nuraini terbelalak menyaksikan kami berdua. Ia mematung sejenak, namun karena aku juga menatap matanya, ia pun segera pergi. Segera setelah itu aku menggenjot bunda lebih cepat untuk orgasme. Setelah selesai. Aku buru-buru mencabut penisku.
"Tumben cepet, ada apa?" tanyaku.
"Nuraini melihat kita, bunda," jawabku.
"Apa?" bunda kaget sekali.
Ia segera berpakaian. Aku juga. Dan saat itu tampak Nuraini diam saja melintasi kamar kami. Aku dan bunda saling berpandangan.
"Nur! Nur!" panggil bunda. Tapi Nuraini tak menoleh.
***
Malamnya Nuraini tampak membisu di depan tv. Aku dan bunda pun ada di sana.
"Kenapa bunda dan kakak melakukan hal itu?" tanyanya.
"Maafkan bunda, Nur, bunda melakukannya karena memang ini salah bunda. Karena bunda sudah lama ditinggal ayahmu. Dan karena bunda takut untuk dekat dengan lelaki lain," kata bunda.
"Tapi kenapa harus kak Doni?" tanyanya.
"Ya karena bunda takut dengan lelaki lain, itulah sebabnya," jawab bunda.
Nuraini menutup wajahnya. "Terus terang Nur malu bunda, malu. Kenapa bunda malah melakukan hal yang memalukan itu bersama anak sendiri?" tanyanya.
"Nur, dengarlah... kakak melakukan ini karena suka sama suka. Bukan karena paksaan dan juga karena kakak kasihan kepada bunda. Tahukah kamu bagaimana bunda sangat merindukan ayah? Kalau misalnya bunda dengan lelaki lain yang tidak jelas melakukannya, apa kamu rela? Mau kamu bersama lelaki lain yang tidak jelas asal-usulnya, rela kamu punya ayah baru yang tidak bisa membahagiakan bunda?" tanyaku.
Nuraini diam. Ia menatapku. Ia berpikir sejenak. "Tapi... kenapa harus kakak?" tanyanya.
"Karena kakak orang yang mendekati ayah. Kakaklah orang yang dibutuhkan oleh bunda dan karena kakak selalu ada di samping bunda, makanya siapa lagi yang bisa dipercaya oleh bunda? Kakak selalu ada di sisi Bunda, kakak tahu ini salah, tapi apakah kamu tega dengan perasaan bunda?" tanyaku.
Nuraini terdiam. Ia melihat ke arah bundanya.
"Nur, maafkan bunda," bunda memeluk Nuraini.
"Nur bisa memaafkan bunda. Asalkan Nur minta satu hal, bunda," kata Nur.
"Apa itu, sayangku?" tanya bunda.
"Ijinkan Nur bersama bunda menjadi suami kakak," kata Nur dengan lugu. Kami berdua terkejut.
"Nur, itu tidak mungkin," kata bunda. "Kamu adiknya."
"Kalau bunda boleh kenapa Nur tidak? Sebenarnya saya sudah lama mengagumi kakak sendiri, mungkin Nur terkena sister complex, tetapi terus terang Nur kecewa ketika melihat Kak Doni begituan ama bunda, cemburu Nur. Cemburu ama bunda," kata Nur sambil terisak.
Bunda terdiam. Ia pun bingung. Saat itulah Kak Vidia baru pulang dari kampus. Ketika melihat kami semua berkumpul ia pun bingung. "Ada apa?" tanya Kak Vidia.
"Baiklah, memang semuanya harus tahu apa yang terjadi karena kita adalah keluarga," kataku. Kemudian aku menceritakan semuanya. Hubunganku dengan bunda, dan bagaimana aku suka kepada kakakku sendiri. Kemudian juga Nur yang juga suka. Ini benar-benar keluarga incest.
"Kita semua memang salah, ini sudah terlanjur," kata bunda. "Maafkan bunda yang tidak bisa mendidik kalian. Baiklah, ini hanya jadi rahasia kita. Maukah kalian menjaganya? Vidia? Doni? Nur?"
Kak Vidia tampak matanya berkaca-kaca.
"Mulai sekarang, Doni adalah kepala rumah tangga. Terserah kepada dia ingin menggilir siapa. Bunda ijinkan dia menjadi suami kalian. Demi keutuhan keluarga ini. Bagaimana? Kalian setuju?" tanya bunda.
Kak Vidia langsung memeluk bundanya, "Bunda, Vidia sangat bahagia sekali." Nur juga memeluk bunda. Aku terdiam. Bingung dengan keadaan ini sekarang.
"Doni, sekarang kamu adalah suami kami. Perlakukanlah kami dengan baik. Di luar memang kita adalah keluarga, tapi di dalam kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jadilah kepala keluarga yang baik. Malam ini bunda akan menyiapkan Nur untukmu, karena Nur masih gadis. Vidia, tolong siapkan suamimu," kata bunda.
Kak Vidia mengangguk. Aku kemudian digandeng kak Vidia ke kamarnya. Di dalam kamarnya, kak Vidia mencubit pipiku. "Kalau sainganku bukan bunda dan adikku sendiri, maka aku pasti akan marah habis-habisan kepadamu, dek. Tega-teganya berselingkuh," kata kak Vidia.
"Maafkan aku, kak." kataku.
Kak Vidia menggeleng. "Kau tidak salah. Ibu memang sedang rindu kepada ayah, pantas kalau beliau memilihmu. Karena kamu sangat mirip ayah. Entah kenapa, aku malah senang. Sini copot bajunya, aku mandiin."
Kak Vidia cekikian. Dia kemudian melepaskan bajuku satu per satu. Lalu ia pun begitu. Kami berdua masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Baru bulan kemarin kami membangun kamar mandi ini. Di dalam kamar mandi ini kami membersihkan diri, tapi juga sebenarnya adalah saling membelai. Aku menciumnya sambil memberikan sabun ke tubuhnya. Kak Vidia juga begitu, ia mengusap sabun ke seluruh tubuhku, bahkan menggosok-gosok dadaku, perut, ketiakku, penisku diurut-urut. Aku juga menyabuni buah dadanya, pantatnya. Ketika penisku yang tegang itu menyentuh kemaluannya ia mencubit perutku.
"Simpan tenagamu buat Nur, kita lakukan ini besok saja ya. Ini nih, udah besar nakal juga ternyata," ia meremas otongku. Aku mengangguk.
Air pun mengguyur tubuh kami, terasa wangi tubuhku. Setelah itu aku balik ke kamarku, meninggalkan kak Vidia di kamarnya.Di sana aku memakai baju yang terbaik. Entahlah, aku koq malah seperti pengantin. Di dalam kamarku aku menunggu. Entah apa yang akan terjadi kemudian. Saat itulah pintu kamar diketuk, Kak Vidia sudah ganti baju. Ia lalu duduk di sebelahku.
"Malam ini, engkau akan mengambil keperawanan Nur. Ada rasa tak rela sih, tapi karena Nur adalah adikku juga maka aku nasehatkan kepadamu, tolong jangan sakiti dia seperti engkau menyakitiku dulu," katanya.
"Apakah dulu aku menyakiti kakak?" tanyaku.
"Bukan, maksudku saat pertama kali masuk, aku sangat perih, perih sekali. Aku takut dia nanti kaget dengan ukuranmu itu. Hati-hatilah, nikmatilah malam pertama ini. Aku akan tunggu kamu besok, ok?" kak Vidia mengedipkan mata. Kami lalu berciuman sebentar, setelah itu ia meninggalkanku.
Tak berapa lama kemudian pintu diketuk lagi, Nur masuk diantar oleh bunda. Alamak cantik sekali. Aku tak pernah melihat Nur secantik ini. Ia didandani oleh bunda seperti bidadari. Ia masuk ke kamarku.
"Bunda tinggal ya," kata bunda. Lalu ia pergi. Nur kemudian duduk di sampingku.
"Ini Nur? pangling kakak," kataku.
"Kak, Nur masih tak tahu, bimbing ya," katanya.
Aku mengangkat wajahnya. Kukecup keningnya. Kedua kelopak matanya, hidungnya, pipinya, lalu bibirnya. Saat itu Nur masih kaku. Tapi aku tuntun. Kubuka sedikit mulutnya dan lidahku dan lidahnya sudah saling menghisap. Lipgloss yang ia pakai terasa manis. Aku kemudian mengajak dia berdiri. Nur tak terlalu tinggi. Ia setelingaku. Kulepas bajunya satu per satu. Ia pun melepas bajuku. Kini kami berdua hanya memakai celana dalam. Kerudungnya aku lempar ke lantai. Kusuruh ia berlutut.
"Buka celana dalamku ya," kataku.
Nur melihat tonjolan besar di dalam sana. Ia penasaran dan ragu. Kemudian perlahan ia menurunkannya. Sebatang daging keras, berurat, panjang dan besar tiba-tiba keluar. Ia agak kaget. Entah karena ukurannya atau yang lain.
"Coba pegang, ciumi dan rasakan," kataku.
Nur pun melakukannya. Ia masih amatir. Terasa kaku bila memegang penisku. Ia ciumi kepala penisku. Rasanya tak muat kalau penis ini masuk ke mulutnya yang mungil. Kutuntun dia untuk mengurut penisku. Kemudian aku ajari untuk menjilatinya, Nur tidak jijik, malah ia antusias, selalu bertanya, "Seperti ini? Apakah seperti ini?"
Ia kutuntun untuk menghisap telurku, menjilati pangkal penisku, kemudian memasukkan penisku ke mulutnya. Benar penisku tak cukup. Bahkan cuma kepalanya saja yang bisa masuk ke mulutnya yang mungil. Maka dari itu ia berikan rangsangan dengan memainkan lidah di ujung penisku, sambil mengocoknya. Enak sekali. Aku nikmati sensasi mulutnya, lidahnya memberikan rangsangan yang luar biasa, mungkin karena ia masih lugu ia melakukan apapun yang aku inginkan. Setelah agak lama ia mengoral, aku menyuruhnya menyudahinya.
Nur aku suruh berdiri, kuciumi dia. Ia menyambut ciumanku, kemudian kuciumi dan kuhisap lehernya, kujilati telinganya. Ia menggelinjang. Saat aku hisap lehernya, kutinggalkan bekas di sana. Aku merasakan bulu kuduknya merinding. Kemudian aku turun ke buah dadanya yang mirip bunda besarnya. Aku memang seakan tak percaya ia masih kecil tapi buah dadanya besar. Kubuka pengait branya. Saat itulah seolah-olah bra itu menahan luapan susu. Langsung buah dada itu seperti meloncat. Bra itu pun aku buang. Kemudian aku beri lagi cupangan-cupangan di buah dadanya yang putih, seputih susu. Lalu ia aku ajak untuk merebahkan diri ke ranjang.
Kuremas-remas buah dadanya, kanan dan kiri. Kupenceti putingnya. "Ohh... kaakk..." keluhnya.
Aku menghisapnya, menghisap puting yang berwarna pink kecoklatan itu. Kujilati, kuhisap lembut, kuat sambil kuremas. Nur meremas-remas rambutku, meremas-remas kepalaku. Kurasakan bulu kuduknya merinding lagi. Dan ketika aku jilati di bagian buah dada dan ketiaknya, ia merintih hebat. Sepertinya itu titik hotspotnya. Kumainkan lidahku di sana.
"Kakk... jangan disitu, geli... Nur... Nur mau pipis..." katanya.
Aku tak peduli, ia mendorong tubuhku agar tidak melakukan hal itu di situ. Aku tetap pada pendirianku, kujilati tempat itu pantatnya pun terangkat dan ia meringkuk.
"Nur pipis, kak, Nur pipis," katanya.
Aku menghentikan aktivitasku. Kuraba kemaluannya. Becek, banjir lendir. Ia sudah orgasme hanya dengan begitu saja? Aku lalu turun ke perutnya. Kuciumi perutnya, ketika kuciumi tempat di bawah perutnya antara vagina dan perut, ia merinding lagi. Kuteruskan sampai ke vaginanya, ia menghimpit kepalaku dengan kedua pahanya.
"Kak, Nur pipis lagi," katanya.
SERRR... SERRR... aku melihat cairan bening kental menyemprot dari vaginanya. Ia sudah orgasme untuk kedua kali? Aku menggeleng-geleng. Kuciumi pahanya, kujilati, kuhisap keharuman tubuhnya. Dan sepertinya mau tak mau Nur harus siap sekarang.
"Kaak... itunya Nur gatel banget," katanya.
"Nur, kakak mau masukin, udah siap?" tanyaku.
"Siap, kak, masukin aja," katanya.
Aku dengan perlahan memposisikan penisku untuk masuk. Lendir yang keluar dari kemaluannya mempermudah posisi penisku untuk bisa masuk, sesenti dua senti. Nur meremas sprei tempat tidurku. Tidak bisa masuk. Aku tekan, tarik, tekan, tarik, hingga kepala penisku masuk semua. Dan ketika aku dorong lagi ada sesuatu yang mengganjal. Wajah Nur berubah. Ia memejamkan matanya kuat-kuat dan meringis. Aku menciumi bibirnya untuk memberikan efek agar ia tak merasa sakit. Penisku berkedut-kedut, ditambah rongga kemaluannya yang makin lama makin meremas-remasku. Satu tekanan dan SREEETTT... Nur memelukku erat.
Ia mencakar punggungku dengan kukunya, aku menindihnya memeluknya sambil kucium dia. Kedua pahanya mengapit pinggulku. Penisku diremas-remas oleh rongga yang sempit. Memek Nur serasa vacum cleaner, menyedot-nyedot penisku, meremas-remas seperti penggiling, ngilu rasanya tapi enak. Aku mendiamkannya sejenak merasakan sensasi ini.
"Kak, Nur udah tidak perawan ya sekarang?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Ia memelukku, "Nur bahagia banget bisa mempersembahkan keperawanan Nur buat kakak."
Aku lalu mendorong naik turun. Nur meringis lagi. Awalnya ia kesakitan, setelah agak lama aku goyang secara teratur ia pun tak sakit lagi, malah ikut menggoyangkan pantatnya.
"Kak, seperti inikah rasanya bercinta. Nur merasa enak sekali, penis kakak serasa penuh," katanya.
"Nur, kakak merasa enak juga. Memek Nur meremas-remas penis kakak," kataku.
"Kakak suka?" tanyanya.
"Iya, kakak suka," jawabku.
"Aku cinta ama kakak," katanya.
"Aku juga," kataku.
Aku pun berpacu lagi, menuju puncak kenikmatan. Suara selakangan kami memenuhi kamarku. CLEKK... CLEEKK... CLEEEK... becek sekali vagina Nur, membuat pelumas untuk bisa penisku bergerak keluar masuk.
"Nur, kakak mau keluar," kataku. Aku sudah tak kuat lagi, rangsangan memeknya terlalu kuat, aku seperti diremas-remas, apalagi Nur juga pinggulnya ikut gerak. Sensasi ini tak bisa kutahan lagi untuk ditumpahkan.
"Nur ingin hamil, kak, Nur ingin punya anak dari kakak," katanya.
"Nur... ohhh,"
"Kaaakkk.... aahh... ahhh... aaahhhhh,"
Meledaklah spermaku di dalam rahimnya. Nur memelukku erat, penisku banjir oleh lendir. Rahimnya kusemprot berkali-kali, entah belasan kali rasanya. Ngilu sekali, apalagi aku benamkan penisku sedalam-dalamnya hingga mentok. Aku yakin itu spermaku berhamburan mencari ovum. Di dalam sana penisku berkedut-kedut, menyeruak memompa cairan-cairan kenikmatan mencari tempatnya. Membasahi rongga yang dingin, menghangatkan rahim Nur. Nur mengapit pinggulku dengan kedua pahanya. Dada kami bersatu, tubuh kami bersatu, hingga kemudian ia pun lemas.
Aku tak mencabut penisku dulu. Membiarkan semprotannya berhenti, aku tekan biar semua spermaku habis dulu, setelah itu perlahan aku cabut. Nur meringis ketika penis itu aku cabut. Seketika itu sebagian sperma ikut keluar bersama darah perawan, bercampur menjadi satu.
Setelah itu kami tidur dalam satu selimut. Nur memelukku. Kami melewati malam yang indah itu dan tak terasa pagi pun menjelang.
***
Aku terbangun, tak mendapati Nur. Tapi di meja kamarku aku bisa mencium aroma kopi. Apakah itu yang membuat Nur?
Aku kemudian bangun dan melihat spreiku ada bercak darah. Aku pun berpakaian dan keluar kamar. Masih sepi, orang-orang belum melakukan aktivitas. Nur sepertinya mandi, aku pun ke kamar mandi. Aku tak perlu mengetuk pintu, langsung masuk. Ternyata benar. Ia mandi.
"Kakak?" ia tersenyum.
Aku kemudian ikut mandi bersama. Kulepaskan bajuku. Kami kemudian berpelukan di bawah shower. Berciuman, saling membelai. Aku pun terangsang lagi. Ia kudorong ke dinding kamar mandi. Kaki kirinya aku angkat, dan penisku aku masukkan ke memeknya. BLESS, lancar. Aku pun menggoyangnya. Nuraini memejamkan matanya,aku menghisapi teteknya, pantatku menghujam ke memeknya dengan irama yang menggairahkan. Karena masih pagi mungkin, aku cepat sekali keluar. Apalagi memeknya masih seret dan menyedot-nyedot. Spermaku pun keluar. Ia memelukku.
"Kakak ih, belum apa-apa udah langsung nyerang. Nur pipis lagi nih," katanya.
"Kamu koq gampang banget pipis sih?" tanyaku.
"Ndak tau, kak," katanya.
Penisku aku cabut.
"Sini aku bersihin," kata Nur.
Ia pun menyabuni tubuhku. Hari itu adalah hari teraneh dan terbahagia dalam hidupku.
Begitulah ceritaku terhadap keluarga-keluargaku. Menjadi suami dari ketiga anggota keluarga sendiri itu tak mudah. Tapi walaupun begitu, tak ada satu rasa cemburu. Bahkan ketika aku ngentot dengan Kak Vidia di ruang tamu misalnya, bunda tahu tapi membiarkan. Atau ketika aku bercinta dengan bunda di dapur misalnya, aku tak malu lagi atau sembunyi-sembunyi. Ketika Nur melihatnya ia diam saja, memaklumi. Dan ketika Nur menjerit-jerit keenakan ketika kami bercinta di sofa, Kak Vidia malah bilang agar jangan kenceng-kenceng jeritnya.
Pengalaman yang aneh adalah ketika mereka bertiga mengoral penisku. Awalnya sih cuma bercanda saja.
"Ih, kak Doni, kepengen bercinta di mana aja. Di dapur, di sofa, di ruang tamu, di kamar mandi. Dasar," kata Nur.
"Iya nih, mentang-mentang punya tiga istri," kata Kak Vidia.
Saat itu bunda sedang mengoralku. Aku duduk di sofa dan bunda berlutut di hadapanku. "Kalau mau, ya silakan ikutan," kataku sambil tertawa.
Nur dan Vidia berpandangan, mereka berdua mengangguk. Lalu tiba-tiba mereka berada di dekat bunda berlutut juga di hadapanku. Mereka membagi penisku. Menjilati bergantian, mengoral bergantian. Kadang berebut telurku. Aku yang mendapatkan perlakuan ini tentu saja mana tahan. Dan ketika spermaku keluar, mereka saling berebut untuk menghisapnya dan menjilatinya sampai bersih. Ohhh... nikmatnya.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment