rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Sunday, 5 July 2015

Lukisan Petaka (lula kamal)



“Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini?” Lula bertanya pada remaja laki-laki yang duduk di depannya.

“Saya ke sini bukan karena keinginan saya sendiri, tapi orang tua saya yang memaksa.” jawab Azzam, sambil matanya nanar menatap meja.

“Ya, baiklah… baiklah... Jadi, ada masalah apa?” Lula memperhatikan bagaimana tubuh kurus Azzam gemetar, anak itu tampak sangat terguncang.

“Mereka… mereka menganggap saya gila.” sahut bocah itu, air mata mulai mengalir di sudut matanza yang cekung.

“Maaf?” Lula ingin memastikan kalau ia tidak salah dengar.

“MEREKA MENGANGGAP SAYA GILA!” Azzam mengulang lagi perkataannya, kali ini lebih keras, dan makin banyak pula air mata yang tumpah di pipinya. Bocah itu tergugu.

“Te-tenangkan dirimu, Zam… err, kamu bisa menceritakan kejadiannya padaku secara perlahan-lahan.” Lula mencoba menenangkan. Ia memperbaiki duduknya, meletakkan bokong bulatnya lebih nyaman lagi ke kursi.

“Ini semua karena lukisan bintang jatuh itu!” jawab Azzam lirih.

“Sebentar, aku akan mengambil kertas kosong dan mencatat beberapa poin penting yang kamu sampaikan. Baiklah, humm… lukisan bintang jatuh? Maksudmu sebuah lukisan yang menggambarkan bintang jatuh?” Lula mulai mencoret-coret catatannya. Payudaranya yang besar sedikit berombak saat ia melakukan itu.

“Ya, lukisan bintang jatuh pembawa sial!” seru Azzam, tampak sangat geram.

“Eh, kenapa kamu beranggapan lukisan itu membawa sial?” Lula menatap mata bocah itu yang masih merah dan penuh dengan air mata itu.

“…” Azzam terdiam, matanya lekat memandang wanita cantik yang sekarang ada di depannya. Seperti baru sadar kalau wanita yang berpakaian putih ini adalah Lula kamal, artis sekaligus dokter cantik yang sering ia lihat di TV.

“Azzam?” Lula memanggil, menarik lagi bocah itu ke alam nyata.

“L-lukisan itu, entahlah… ada yang aneh dengan lukisan itu.” bahu Azzam bergidik saat mengatakannya, tapi matanya masih lekat memandang Lula, eh... ralat: payudara Lula. Ya, mata Azzam sedang terarah kesana sekarang, memperhatikan betapa besar dan menariknya daging kembar itu.

“Aneh bagaimana? Apakah lukisannya terlihat menakutkan?” tanya Lula, tidak menyadari ke arah mana mata si bocah terarah.

“T-tidak, tidak! B-bukan menakutkan… tapi, aneh…” Azzam menelan ludah, dalam pikiran mudanya mulai terbentuk bayangan sepasang payudara yang besar dan putih mulus milik Lula, dengan puting coklat kemerahan seukuran jari yang mencuat indah ke depan.

“Hmm… kamu bisa menceritakannya dengan lebih detail?” Lula menggeser duduknya, menempatkan kedua susunya di atas meja.

Azzam yang melihatnya, jadi makin susah untuk ngomong. “S-saya ceritakan d-dari awal?”

“Ya, ceritakan semuanya, aku siap mendengarkan.” Lula menyiapkan penanya, siap mencatat apapun yang penting.

“Lu-lukisan ini, warisan dari mendiang nenek saya…” Azzam memulai, matanya sama sekali tak berkedip, terus memperhatikan payudara sang dokter yang dirasanya semakin membusung. ”... lukisan yang menggambarkan pemandangan alam di malam hari di suatu padang rumput di daerah pegunungan, dengan fenomena alam berupa bintang jatuh.”

“Lalu apa yang aneh dengan lukisannya?” tanya Lula, jari-jarinya mulai bergerak untuk menulis.

“Susunya... eh, bintangnya…” jawab Azzam gugup. Kemontokan payudara Lula membuatnya susah untuk konsentrasi.

“Susu apa bintang?” Lula bertanya menggoda. Senyum yang tersungging di bibir tipisnya makin membuatnya terlihat menarik.

Azzam ikut tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya. “Lukisan itu menggambarkan langit malam kelam dengan sepuluh titik terang berwarna putih yang dapat saya pastikan itu adalah sekumpulan bintang. Salah satu bintang digambarkan lebih rendah daripada sembilan bintang lain dan memiliki ekor di belakangnya. Itu adalah bintang jatuh.” terangnya.

“Sepertinya aku sudah bisa membayangkan bagaimana lukisan itu. Tapi, semuanya normal-normal saja kan?” tanya Lula, catatan di bukunya semakin banyak sekarang.

“Sangat tidak normal! Saat pertama kali saya melihat bintang jatuh itu, Widya, salah seorang teman saya yang paling cantik, diperkosa orang. Akibatnya, dia harus opname di rumah sakit karena kemaluannya robek. Sulit saya terima, karena setiap hari dia selalu diantar jemput sopir.” membayangkan paras Widya yang cantik, ditambah dua bulatan daging milik Lula yang sekarang ada di depan matanya, membuat penis Azzam perlahan menggeliat.

“Ehm… kurasa itu hanya sebuah kebetulan.” sahut Lula. ”Kemana si sopir saat kejadian itu?” tanyanya.

“Mobilnya mogok, jadi agak telat sampai di sekolah. Widya yang tidak sabar menunggu, memilih untuk pulang jalan kaki. Saat itulah dia diperkosa. Pelakunya belum diketahui sampai sekarang. Dan saya yakin, INI BUKAN KEBETULAN!” Azzam membantah, terlihat sangat yakin.

“Apa maksudmu?” Lula bertanya tidak mengerti.

“Setelah kejadian itu, bintang jatuh di dalam lukisan menghilang tanpa bekas.” kata-kata Azzam bergema di ruangan itu.

“…” Lula terdiam, tangannya yang dari tadi sibuk menulis, sekarang berhenti. Ia berusaha mencerna sekaligus membantah keterangan Azzam, tapi dia kehabisan kata-kata. “Serius?” akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut manisnya.

“Tentu saja! Saya tidak mungkin salah lihat.” Azzam terlihat sangat emosional, se-emosional penisnya yang semakin tegak membesar.

“Mungkin terkena kotoran yang menempel? Atau…” Lula mencoba memberi alternatif.

Tapi Azzam langsung memotongnya. “Tidak mungkin! Karena hilangnya benar-benar alami. Tak ada bekas kotoran atau apa pun. Seolah bintang jatuh itu tidak pernah ada di dalam lukisan.”

“Aneh…” Lula bergumam. Ia meletakkan ujung penanya di pipi, tampak tengah berpikir keras.

“Apa saya bilang!” Azzam mengangguk, matanya makin melotot memandang payudara Lula yang sekarang tidak terhalang tangan. Wuih, benda itu memang benar-benar menggoda. Sudah besar, terlihat sangat bulat lagi. Pasti rasanya empuk sekali, batin Azzam dalam hati. Penisnya makin membesar saja di dalam celana.

“Eh, ya… oke… ini memang aneh, sulit untuk dipercaya. Tapi mungkin saja kamu mabuk saat itu atau…” Lula kembali menekuri catatannya.

“Saya masih enam belas tahun, Dok! Saya tidak mungkin meminum minuman keras!” sela Azzam cepat, merasa dilecehkan.

“Oh, oke… maaf…” Lula tersenyum, dia sedikit memajukan dadanya, membuat bulatan payudaranya makin terlihat membusung.

“D-dokter pasti tak akan percaya akan ceritaku selanjutnya.” dan Azzam menikmati pemandangan indah itu dengan senang hati.

“Tak apa-apa, ceritakan saja!” Lula mempersilahkan.

“…” tapi bukannya membuka suara, Azzam malah sibuk membenahi celananya.Penisnya sudah ngaceng sempurna sekarang, terasa ketat di sela selangkangannya, sakit sekali.

“Jadi?” Lula menunggu dengan senyum di bibir.

Azzam meluruskannya sebentar sebelum akhirnya menjawab. “Enam hari… enam hari sejak kejadian itu, lukisan tersebut menampakkan kembali gambar bintang jatuh.” katanya sambil menghembuskan nafas lega. Penisnya sudah mapan sekarang, terasa lebih nyaman.

“…” Lula tidak berkomentar, hanya tangannya yang bergerak untuk kembali sibuk mencatat.

“Bintang di langit yang semula ada sembilan, mendadak berubah menjadi delapan.” Azzam meneruskan kata-katanya.

“Oke, ini mulai terdengar absurd.” Lula mengutarakan pikirannya.

“Saya juga merasa begitu! TAPI INI SUNGGUHAN!” seru Azzam agak lebih keras, takut dikira berbohong.

“Zam, kamu tidak menggunakan obat-obatan kan?” tanya Lula lembut, dia tidak mau pertanyaannya menyakiti perasaan bocah itu.

“SAYA TIDAK SEDANG BERCANDA, DOK!” tapi tetap saja Azzam merasa tersinggung.

“La-lalu? Apa yang terjadi setelah kau melihat bintang jatuh itu lagi?” Lula mengubah topik.

“Salah seorang teman kecilku… Dia juga diperkosa di rumahnya!” Azzam berkata pedih. Terbayang di pikirannya wajah manis Adelia saat mereka bermain bersama 8 tahun yang lalu.

“Wahahaha, ini tidak mungkin.” Lula tertawa, tapi segera terdiam begitu menatap wajah garang si bocah.

“INI KENYATAAN, DOK!” Azzam sedikit berteriak.

“Tidak, ini kebetulan.” Lula masih tidak percaya dengan omongan bocah itu.

“TIDAK! INI BUKAN KEBETULAN! Berhentilah meragukan cerita saya, Dok!” Atau aku remas susumu! ancamnya, tapi dalam hati. ”Inilah kenapa orang tua saya menganggap saya gila. MEREKA TIDAK PERCAYA AKAN CERITA SAYA!” Azzam kembali ingin menangis.

“Eh… iya… baiklah… biarkan aku berpikir sejenak.” Lula membaca kembali catatannya, mencari apapun yang aneh dan tidak wajar. Dan hasilnya, semua terlihat tidak wajar!

“…” sementara itu, Azzam memanfaatkan kesempatan itu untuk mengamati tubuh si Dokter lebih lekat lagi. Dengan rambut disanggul ke belakang, Lula terlihat sangat cantik dan seksi. Kulitnya putih bersih. Meski tubuhnya tidak terlalu langsing, tapi karena lumayan tinggi, jadinya terlihat montok dan berisi. Dan inilah yang paling mencolok, dadanya begitu menonjol ke depan, membulat tegak, apalagi sore ini dia mengenakan blouse bahan kaos yang ketat warna krem, dengan jaket putih yang tidak dikancingkan, makin mempertegas keindahan bentuk sepasang payudaranya. Dipadu dengan rok mini warna coklat tua, yang membuat sepasang kaki mulusnya makin bersinar menyilaukan.

“Ok, jadi begini... kamu bilang, setiap kali kamu melihat bintang jatuh, ada orang yang kamu kenal mengalami pemerkosaan? Kemudian jumlah bintang di dalam lukisan berkurang. Ini absurd, Zam!” Lula menyampaikan kesimpulannya.

“TAPI INI NYATA!” Azzam bersikeras. ”Saya mohon, percayalah pada saya, Dok. Saya berbicara jujur. Dan saya sedang dalam kondisi sehat. Saya tidak mabuk, saya tidak...”

“Baiklah, Zam…” Lula mengangguk, dia bisa mengerti bagaimana perasaan bocah itu. ”Apa pemerkosaan selalu terjadi bertepatan dengan saat kamu melihat lukisan bintang jatuh itu?” tanyanya kemudian.

“Tidak persis sama. Biasanya ada selang beberapa jam atau hari. Lalu, bintang itu hilang setelah pemerkosaan terjadi.” sahut Azzam, lega karena si dokter cantik akhirnya percaya.

“Dan setelah lewat enam hari, bintang jatuh kembali muncul dengan jumlah bintang di langit berkurang?” Lula menebak.

“Ya, seperti itu…” Azzam mengedikkan bahunya, membenarkan ucapan wanita cantik itu.

“Oke, aku asumsikan kamu berbicara dengan jujur. Artinya ini adalah pengalaman supernatural. Ini memang terjadi pada sebagian orang. Tapi, untuk kasus seperti ini rasanya aneh sekali.” Lula mengetuk-ngetukkan penanya ke meja. Kertasnya sudah hampir penuh oleh catatan.

“Saya tidak tahu, semuanya saya alami begitu saja.” Azzam menyahut.

“Lalu apa yang kamu lakukan setelah menyadari kemungkinan keterhubungan antara lukisan dengan kejadian di sekitarmu?” tanya Lula, dia kembali menggeser duduknya. Padahal kursinya terlihat cukup empuk, tapi bokongnya yang bulat dan besar seperti tidak nyaman.

“Saya meminta orang tua saya untuk menyingkirkan lukisan tersebut.” Azzam melirik sekilas paha putih mulus Lula yang sedikit tersingkap ketika wanita itu memindahkan kakinya.

“Berhasil?” Lula bertanya lagi.

“Hanya dua hari. Lukisan itu kembali dipasang setelah dua hari.” jelas Azzam, penisnya terasa semakin membesar saja di dalam celana.

“Kenapa?” dengan mata bulatnya yang lebar, Lula menatap bocah kelas 1 SMA itu.

“Karena mereka menganggap lukisan itu warisan yang berharga dari mendiang nenek saya. Mereka ingin menjaganya.” Azzam membalas dengan kembali menatap payudara Lula lekat-lekat.

“Aneh, memangnya mereka tidak melihat keanehan pada lukisan itu? Misalnya gambar bintang yang berkurang itu?” untuk yang sekarang, Lula menyadari ke arah mana mata si bocah memandang, tapi dia membiarkannya saja.

“Mereka… mereka tidak percaya akan hal itu. Di mata mereka, lukisan itu tampak normal dengan jumlah bintang yang tidak berubah.” jelas Azzam, dia tampak kesulitan saat mau menelan ludahnya.

“Jadi, hanya kamu yang bisa melihat fenomena menghilangnya bintang dari lukisan?” tanya Lula, terus berusaha mengorek keterangan. Biar saja bulatan payudaranya menjadi santapan asal itu bisa membuat Azzam tenang.

“Kurasa begitu…” Azzam mengangguk. Matanya tak berkedip sama sekali, dia berusaha memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh si dokter cantik dengan semaksimal mungkin.

“Setelahnya...“ Lula terus memancing.

“Mereka membawa saya ke sini.” bayangan payudara Lula yang berada dalam genggamannya membuat penis Azzam yang sudah ngaceng berat menjadi semakin tegang dan kaku.

“Hmm, baiklah. Mereka menganggapmu mengalami beban mental dan membawamu ke dokter, pilihan yang tepat…” Lula mengangguk dan tersenyum.

“Tapi, Dok…” Azzam keberatan dibilang mengalami gangguan jiwa. Dia masih waras, masih sangat waras malah. Buktinya, dia masih bisa ngaceng melihat Lula yang begitu cantik dan seksi.

“Ya, aku berasumsi kamu berbicara apa adanya. Tenang saja. Walaupun sedikit aneh, aku mempercayainya.“ Lula meletakkan penanya dan bersandar di kursi. Tubuh montoknya makin terlihat menggiurkan saat dia menegakkan punggung.

“…” lagi-lagi Azzam tak berkedip saat melihatnya. Wanita seperti inilah yang selalu hadir dalam mimpi dan fantasinya setiap malam. Bukan main indahnya tubuh dokter yang satu ini. Perut Lula yang langsing dan BH yang nampak ketat menempel pada buah dadanya yang ampuun... besar dan menjulang, bikin penisnya makin nyut-nyutan. Sejenak Azzam menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.

“Lalu, kapan terakhir kali kamu melihat lukisan itu?” Lula bertanya lagi, terlihat tak peduli dengan tatapan nakal si bocah.

“Tadi pagi… saya tidak sengaja melihatnya dan sudah tergambar satu bintang jatuh di sana. Tak ada lagi bintang di langit.” jelas Azzam dengan nafas mulai berat.

“Oh ya? Lalu apakah selama ini kecelakaan terus terjadi pada orang terdekatmu?” Lula menanyakan sesuatu yang ia sendiri sebenarnya tahu jawabannya.

“Ya. Terry, tetangga sebelah rumah saya, dia diperkosa saat suaminya sedang dinas jaga malam. Selanjutnya, mbak Mia, kakak ipar saya, diperkosa oleh seseorang yang pura-pura bertamu ke rumahnya. Lalu ada bu Aida, ibu teman saya, diperkosa saat suaminya tidak ada di rumah. Juga ada Emily, teman kakak saya, yang diperkosa sepulang dari main ke rumah. Selanjutnya, Bu Asih, teman arisan ibu saya, juga diperkosa...”

“Tu-tunggu!” Lula memotong, merasa ada yang aneh dengan keterangan Azzam.

“Ya?” Azzam menunggu, siap dengan segala kemungkinan pertanyaan.

“Semuanya diperkosa tanpa diketahui siapa pelakunya?” tanya Lula.

“Ya, begitulah… mereka sadar telah menjadi korban perkosaan, tapi tidak punya bayangan atau memori bagaimana peristiwa itu bisa terjadi.” jelas Azzam.

”Mereka lupa?” tanya Lula tak percaya. Baru kali ini dia menghadapi kasus seperti ini.

Azzam mengangguk. ”Lupa saat pemerkosaan terjadi. Tapi ingat sebelum dan sesudahnya.” jelasnya.

Lula menggeleng-gelengkan kepala, ”Aneh!” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. ”Eh, sebentar...” seperti mendapat ilham, Lula kembali melihat catatannya. Setelah membaca sebentar dan membuat beberapa coretan, dia kembali memandang Azzam, si bocah balas menatap dengan mata tak pernah beralih dari gundukan dada si dokter.

“Sudah kuduga ada yang aneh. Setelah dipikir-pikir, aku baru menyadari apa itu…” Lula mengangguk-angguk, tampak puas dengan hasil analisanya. ”Zam, siapa yang terakhir kali mengalami pemerkosaan?” dia bertanya.

“Minggu lalu, Rina, anak Pak RT yang juga teman adikku. Diperkosa setelah pulang dari les.” jawab Azzam.

”Apakah adikmu ikut les?” tanya Lula lagi.

”Ya.” Azzam mengangguk. ”Saya yang menjemput mereka, seperti biasa.”

“Benar sekali, tidak salah lagi…” Lula mengetukkan penanya dengan keras ke atas meja, membuat Azzam sedikit kaget.

“Benar apanya, Dok?” tanya si bocah tidak mengerti.

“Ah, tidak, tidak apa-apa… Aku hanya sedang berpikir. Tidak salah lagi, ini bukan sebuah kebetulan.” cetus Lula.

“Jadi sekarang dokter percaya pada saya?” tanya Azzam penuh harap.

“Kurang lebih ya. Tapi masih ada satu hal yang mengganjal...” Lula menggantung ucapannya.

“Apa itu, Dok?” tanya Azzam antusias.

“Para korban itu… apa kamu sempat berinteraksi dengan mereka semua?”  tanya Lula, suaranya terdengar tegang.

“Err… ya, se-sepertinya begitu.” Azzam membenarkan. “Walau hanya sebentar…” tambahnya kemudian.

Tapi itu sudah cukup untuk membuat Lula langsung gemetar dan pucat pasi. “Ini gawat!” katanya ketakutan.

“Eh? Kenapa, Dok?” Azzam masih tidak mengerti.

“Menurutku, setelah bintang jatuh itu muncul, wanita pertama yang kamu jumpai akan menjadi korban pemerkosaan, begitu!” terang si dokter cantik.

”...” Azzam terdiam, tampak berpikir dan mengingat-ngingat. Setelah itu dia mengangguk lemah. ”Dokter benar!” tampak kekecewaan dan penyesalan yang amat dalam di raut mukanya yang memelas.

“Eh, tunggu!” Lula tersadar, lalu cepat-cepat dia mengutarakan pikirannya. “Dan kalau memang pola ini benar, maka korban selanjutnya adalah... katakan padaku, Zam… siapa wanita pertama yang kamu ajak bicara hari ini, selain keluargamu tentunya karena kutukan ini sepertinya tidak berlaku untuk mereka?” tanyanya gemetar, takut dengan jawaban yang akan diberikan oleh si bocah.

“…” Azzam terdiam, berusaha mengingat.

“Zam, katakanlah…” Lula meminta, suaranya lirih dan parau.

“Eh, itu…” Azzam memucat begitu tahu siapa orangnya.

“Jangan bilang…” Lula ikut pucat, bisa menebak apa jawabannya.

“B-benar, Dok… Dokter Lula adalah wanita pertama selain keluarga yang berinteraksi dengan saya hari ini.” kata Azzam. Tersirat penyesalan yang amat sangat di matanya yang sipit.

“Be-begitu ya?” meski sudah mengira, tak urung Lula tetap lemas juga saat mendengarnya.

“M-maafkan saya, Dok… saya tidak bermaksud…” Azzam berdiri, ingin meminta maaf pada Lula karena sudah menimpakan nasib buruk pada wanita cantik itu.

”Pergilah, Zam! Konsultasi ini sudah selesai. Terima kasih sudah datang kemari…” Lula memalingkan muka, setitik air bening mulai menetes di sudut matanya yang lentik.

“T-tapi, Dok...” Azzam tidak sampai hati meninggalkannya.

”Pergilah, Zam!” Lula berseru, sedikit lebih keras. Dia berdiri dan membuka pintu, mengusir si pembawa petaka dengan halus.

“Ehm, i-iya, Dok. Baik!” meski tidak enak hati, Azzam sempat memperhatikan bagaimana goyangan pinggul Lula saat wanita itu berjalan tadi. Ugh, sungguh menggiurkan. Kalau saja situasinya tidak segawat sekarang, ingin rasanya ia disini seharian, menemani dokter setengah baya yang cantik dan seksi ini.

Sepeninggal Azzam, dengan badan masih gemetar dan jantung berdegup kencang, Lula bergegas masuk ke kamar pribadinya yang terletak tepat di sebelah ruang prakteknya. Kamar itu sebenarnya cukup besar, tapi jadi terasa sempit dan sesak oleh kehadiran ranjang besi berlapis kasur busa mahal tepat di tengah ruangan. Di pojok, ada lemari susun dari kayu yang bersebelahan dengan jendela lebar berkaca gelap. Lula segera menarik tirainya yang bergambar bunga untuk menghalangi pandangan orang, dia ingin mengganti baju.

Sambil membayangkan nasib buruk yang akan menimpanya, Lula mengaduk isi lemari. Dari sana, diambilnya sebuah daster berwarna putih. Untuk sesaat dipandanginya daster itu, seperti menimbang apakah cocok untuk membalut tubuh sintalnya. Kemudian setelah memutuskan, tanpa memperhatikan kiri kanan, Lula mulai melepas blus dan rok pendeknya yang sudah basah oleh keringat. Gara-gara AC di ruang prakteknya rusak, dia jadi harus ganti seperti ini tiap hari. Besok harus beli yang baru, batin Lula pada dirinya sendiri.

Sekarang hanya tinggal BH dan celana dalam berwarna putih berenda-renda yang menempel di tubuh mulusnya. Sekujur tubuhnya yang seksi itu nyaris telanjang, payudaranya yang sekal dan padat terlihat begitu menonjol dengan puting yang berwarna merah kecoklatan membayang di balik mangkuk BH-nya, sementara pinggangnya yang ramping ditambah pinggul yang bulat padat bertemu membentuk segitiga berbelahan sempit yang bersih rapi tanpa bulu.

Lula baru saja akan memakai daster yang didapatnya di lemari, ketika tiba-tiba pintu ruang kamarnya terbuka dan seseorang menyerbu masuk, lalu menutup pintu dan menguncinya. Lula yang masih setengah telanjang, menjerit kaget bercampur marah. ”Hei, apa yang kau lakukan? Pergi dari sini!” hardiknya dengan nada tinggi melengking.

Tapi si penyusup menanggapinya dengan seringai liar. ”Tenang saja, Dok. Saya cuma pingin melihat keindahan tubuh dokter dari dekat. Dan ngomong-ngomong, saya sudah ingat semuanya sekarang!” kata Azzam kalem.

”Keluar, Zam... Jika tidak, aku akan teriak!” sengit Lula sambil menutup tubuh polosnya dengan daster, belahan payudaranya yang menonjol tampak mengintip malu-malu dari sela-sela BH-nya.

Azzam buru-buru menegak air liur saat melihatnya. ”Semua korbanku berkata begitu, Dok.” seringainya. ”Silakan berteriak sekerasnya, tidak ada yang akan menolong dokter sekarang.”

”J-jadi kamu yang melakukannya! Kamu yang memperkosa mereka semua!” Lula mundur ke tembok, menjauhi si bocah pembawa petaka, sadar akan bahaya yang mengancam dirinya.

Azzam mengangguk. ”Jadi sebaiknya dokter nurut saja sama saya. Percuma melawan, toh hasilnya akan sama. Saya tidak ingin menyakiti bu dokter, saya cuma ingin merasakan kehangatan dan kelembutan tubuhmu.” jawabnya masih dengan ketenangan yang sama seperti sebelumnya.

Mendengar itu, Lula segera berteriak sekencang-kencangnya. ”TOLONG! SIAPAPUN, TOLONG AKU!” dia berusaha untuk menyelamatkan diri.

Azzam menggelengkan kepala. ”Percuma, Dok. Tulah bintang jatuh telah menjauhkan semua orang dari tempat ini. Tidak akan ada yang datang menolong dokter. Siapa pun yang terpilih, tidak akan bisa menghindar!” sambil berkata begitu, Azzam mulai berjalan pelan mendekati si dokter cantik.

”Ja-jangan, Zam! Ampuni aku!” Lula menggeleng. Tubuh sintalnya terlihat lumpuh dan gemetar.

Kontras dengan wanita cantik itu, Azzam terlihat begitu yakin dan pasti dengan segala tindakannya. Sosok bocah lugu 16 tahun yang tadi menangis sesenggukan saat menceritakan kisahnya, kini hilang entah kemana, terganti dengan sosok monster pemakan wanita yang siap untuk menyantap hidangannya. Mata Azzam tak berkedip memandangi tubuh mulus Lula, hidungnya kembang kempis dengan suara berat, raut mukanya sudah merah kecoklatan, sementara air liur mulai menetes dari sudut bibirnya yang menghitam. Penisnya yang kaku dan keras, tampak menonjol dari balik celana, siap untuk keluar dan menemukan mangsanya.

Lula bukannya tidak tahu hal itu, tapi dia benar-benar tidak sanggup untuk melawan. Mendadak tubuhnya terasa lemas dan tak bertenaga, sementara kakinya menjadi tambah gemetar. Bahkan dia tak sanggup untuk menyangga bobotnya lebih lama lagi. Apakah begini yang dirasakan semua korban itu? Batinnya dalam hati sebelum ambruk di lantai. Badannya lumpuh oleh ketakutan dan kekalutan.

”Itu lah yang terjadi pada semua korbanku, Dok!” kata Azzam seperti menjawab pertanyaannya. Senyum kemenangan terukir di bibirnya yang tebal.

Lula diam saja. Hatinya terasa sedih dan sakit, tapi tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Malah sekarang terjadi sesuatu yang aneh pada dirinya. Degup jantungnya terasa semakin cepat, begitu juga dengan aliran darahnya. Nafasnya mulai memburu, sementara keringat dingin mulai mengalir di dahi dan lehernya yang jenjang. Tidak! Aku tidak mungkin terangsang! Lula berusaha melawan perasaan itu. Tapi cairan bening yang mulai merembes keluar dari lubang vaginanya, tidak bisa dibohongi.

Azzam yang melihatnya, dengan senyum makin lebar, segera meraih tangan Lula dan membawa wanita cantik berpostur tinggi itu ke arah tubuhnya untuk dipeluk. Dalam keadaan normal, Lula pasti menolak dilecehkan seperti itu. Tapi sekarang, karena pengaruh sihir lukisan, dia cuma bisa diam dan menurut apapun perlakuan Azzam. Dalam pelukan si bocah, Lula menangis sesenggukan karena tak bisa melawan, cuma itu yang bisa ia lakukan.

Azzam yang sudah terasuki nafsu setan, tidak mempedulikannya. Dia meraih dagu Lula dan memagut bibir Lula yang lebar tapi tipis untuk kemudian melumatnya dengan gemas. Lula berusaha mengatupkan bibirnya agar si bocah tidak bisa mengulumnya. Namun upayanya itu hanya bertahan beberapa detik, setelah Azzam mendekap tubuhnya makin erat, ia pun menyerah. Gesekan antara tubuhnya dan tubuh si bocah malah menimbulkan nikmat yang amat sangat, yang pada gilirannya makin menambah nafsu birahinya. Tanpa sadar, secara perlahan-lahan, Lula pun membuka mulutnya.

Azzam segera menerobos, lidahnya membelit dan menjilati seluruh rongga mulut si dokter cantik, mengajaknya untuk saling menghisap dan bertukar air liur. Lula, meski masih dengan agak berat hati, mulai meladeninya. Bibirnya yang tipis mencari, mengejar kemana pun lidah Azzam bergerak, menghisap bibir tebal pemuda tanggung itu dan menelan ludah mereka yang keluar semakin banyak. Bunyi decapan dan desisan dengan cepat memenuhi ruang kamar yang tidak begitu besar itu.

”Auw!” jerit Lula ketika dengan sekali sentak, Azzam berhasil melepas kait BH-nya. Payudaranya yang bulat dan padat, yang dari tadi cuma mengintip sebagian,  kini terburai keluar, menggantung telanjang di depan dadanya, terlihat begitu menggairahkan. Bentuknya sangat bagus dan sempurna meski ukurannya sangat besar, benda itu terlihat masih sangat kenyal dan padat, tidak terlihat turun sama sekali, dengan puting susu merah segar seukuran ibu jari yang mencuat indah ke depan.

”Wow!” Azzam kesulitan menelan ludah saat melihatnya, ternyata payudara Lula lebih indah dari yang ia bayangkan sebelumnya. Gemetar, tangannya terjulur untuk memegang dan mengelusnya, ”Ohh... lembut sekali, Dok!” gumam Azzam sambil terus bergerak menjelajahi payudara Lula yang mulus dan terawat. Dia meremas-remas dan memijiti benda bulat kembar itu dengan dua tangan, bersamaan kiri dan kanan. Puting susunya yang terasa mengganjal di telapak tangan, tidak lupa ia pilin dan tarik-tarik ringan, sesekali juga dijepitnya diantara jari dan dipencetnya kuat-kuat. Azzam tampak gemas sekali dengan benda itu.

Lula mengejang mendapat perlakuan seperti itu. Kesadarannya mulai hilang, apalagi saat Azzam mulai menjilat dan menghisap putingnya, ia pun makin tenggelam dalam dorongan nafsu seksual yang amat dahsyat, yang tidak mungkin ia lawan balik. ”Oughh... Zam!” rintihnya pelan dengan tubuh bergetar merasakan lidah si bocah menyapu permukaan payudaranya yang sensitif, untuk kemudian hinggap di putingnya dan menghisap kuat-kuat disana, nenen seperti bayi yang baru lahir, menghisap bergantian kiri dan kanan.

Dengan mulut masih menempel di payudara Lula, Azzam perlahan membaringkan tubuh mulus si dokter cantik ke atas kasur yang ada di tengah ruangan. Tangannya mulai meraba dan mengelus-elus sepasang paha panjang dan putih mulus milik sang dokter yang berada di hadapannya. Tangan Azzam bergerak mulai dari lutut hingga ke pangkal paha, dan berakhir di celana dalam putih berenda yang dipakai oleh Lula Kamal. Lalu dengan kasar dia menarik celana dalam itu hingga terlepas. Lula sekarang benar-benar sempurna telanjang bulat terbaring di depannya. Azzam memandangi kemulusan tubuh wanita itu dengan takjub.

”Dari semua korbanku, dokter lah yang paling cantik!” bisiknya dengan deru nafas memburu. Azzam mulai menelusuri sekujur tubuh telanjang Lula dengan bibir dan tangannya. Bibir Lula yang merah segar tak henti-hentinya ia lumat, sementara tangannya terus menggerayangi dan meremas payudara Lula yang bulat membusung. Bahkan dalam kondisi berbaring seperti sekarang, benda itu masih terlihat padat dan berdiri tegak, benar-benar membangkitkan gairah.

Sambil memilin-milin putingnya, Azzam menjilati perut dan pinggang Lula yang sedikit berlemak. Kemudian dia membuka paha wanita itu lebar-lebar hingga ia bisa melihat vagina Lula yang sempit, yang licin tak berbulu. Lula memang secara rutin selalu mencukur rambut kemaluannya, dia suka selangkangannya bersih daripada ditumbuhi bulu-bulu keriting yang bikin gatal.

Azzam pun mendekatkan wajahnya dan dengan ujung lidah, dia menyapu liang vagina Lula secara perlahan, dari bawah ke atas. Hmm, rasanya lembut sekali, baunya juga sangat wangi, sungguh berbeda dengan vagina korbannya yang lain. Dia jadi ketagihan. Menjulurkan lidahnya makin panjang, Azzam pun menjilat dan menghisap vagina itu dengan rakus.

”Ohh... ahh... ohh... ehsss...” tanpa sadar, Lula mulai mendesah merasakan kenikmatan yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Apalagi saat Azzam mengemut dan menghisap klitorisnya, dia makin tak tahan. Dengan tubuh menggelinjang cepat, Lula pun menjerit. ”Arrghhhhh...!” gairah yang dari tadi ia tahan, akhirnya meledak juga.

Azzam yang mengetahui Lula mulai terangsang, makin buas menggeluti tubuh mulusnya. Dia mengangkangkan kaki Lula dan membenamkan wajahnya makin dalam ke belahan vagina wanita cantik itu. Bibir dan lidahnya bergerak makin cepat, terus-menerus mengorek dan menjelajahi liang sempit Lula yang terasa semakin licin dan basah. Sementara tangannya yang kurus, tak henti-hentinya meremas dan memijit-mijit payudara Lula sambil tak lupa memilin-milin putingnya.

”Oohh...!!!” tak kuat menahan gairah, Lula pun akhirnya mengalami orgasme. Tubuh montoknya mengejang sesaat sebelum akhirnya melemas kembali. Dari dalam vaginanya, mengucur deras cairan bening yang hangat tapi agak kental.

Melihat korbannya sudah tidak berdaya, Azzam tersenyum puas karena berhasil menaklukkan dokter cantik yang juga artis itu. Perlahan dia membuka pakaiannya satu-persatu sampai telanjang bulat, sama seperti Lula. Penisnya yang panjang dan besar sudah terlihat tegak mengacung dengan begitu gagahnya. Sedikit kasar, Azzam menarik tubuh Lula yang tergolek lemas bugil di atas ranjang, perlahan diangkatnya kaki wanita itu ke atas, lalu dibukanya lebar-lebar hingga ia bisa melihat lubang vagina Lula dengan jelas. Benda itu itu tampak sangat basah, juga sedikit menganga, siap untuk menerima kehadiran penisnya.

Menempatkan dirinya tepat diantara kedua kaki Lula, Azzam pun melakukannya. Pelan-pelan dia merebahkan diri dan menindih tubuh mulus sang dokter cantik sambil sesekali mencium bibir Lula yang tipis. Lula hanya bisa menggeliat sambil mendesah nikmat merasakan sentuhan ujung penis Azzam di bibir kemaluannya.

Lula sebenarnya mengetahui kalau sebentar lagi statusnya sebagai seorang wanita terhormat akan direnggut secara paksa, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kutukan lukisan telah menguasai dirinya, membuatnya pasrah pada nafsu birahi, sehingga tidak mampu untuk melawan sedikitpun. Malah yang ada, vaginanya seperti senut-senut, terasa sangat gatal, dan berharap penis besar Azzam segera menggaruknya untuk menuntaskan rasa dahaganya. Pelan tapi pasti, Lula mulai berharap agar persetubuhan itu segera berlangsung!

”Ini dia, Dok. Tahan ya!” Azzam mendorong pantatnya maju, membuat penisnya menyeruak masuk ke dalam vagina Lula secara perlahan-lahan. Lula meringis menahan sakit sekaligus enak pada liang vaginanya.  Vaginanya yang masih terasa sempit meski dia sudah pernah melahirkan. Azzam sendiri merasa kesulitan saat akan memasukkan penisnya lebih jauh, dia merasakan jepitan vagian Lula begitu kuat, seperti melawan desakan penisnya. Tapi dengan satu dorongan kuat, batangnya pun akhirnya amblas seluruhnya. Masuk. mentok di dalam vagina Lula, hingga menabrak mulut rahim wanita cantik itu.

”Arghhh...” Lula merintih kecil merasakan penis Azzam yang besar dan panjang memenuhi liang vaginanya. Meski terasa nikmat, tak urung air matanya tetap mengalir juga membasahi pipinya yang mulus. Sebagai seorang istri, sepasrah apapun dia, tetap ada sedikit rasa menyesal di relung hatinya. Dia telah mengkhianati cinta sang suami.

”Ehh...” Azzam mengerang lirih. ”Gila, vagina dokter kenceng banget!” serunya kegirangan. Bocah itu masih diam, tetap pada posisi semula. Dia membiarkan penisnya terbenam dalam di vagina Lula yang sempit dan hangat tanpa berusaha untuk menggerakkkannya. Dia ingin menikmati kedutan dinding vagina Lula yang menyelimuti seluruh batangnya, membuat penisnya serasa diremas dan dipijit-pijit halus. Nikmat sekali.

Selama tiga menit, tidak ada pergerakan apapun dari keduanya. Lula yang sudah terangsang berat, akhirnya jadi tak tahan. Apalagi di dalam vaginanya, penis Azzam terasa semakin mengeras dan membengkak besar. Sambil pura-pura mendesah, dia pun mulai menggoyangkan pantatnya, menariknya maju mundur, sambil sesekali memutarnya, hingga membuat penis Azzam  yang menancap dalam, mulai tertarik keluar masuk.

”Ahh... Zam!” desah Lula pelan saat penis si bocah mulai menyetubuhinya. Dan rintihannya berubah menjadi jeritan kecil saat Azzam tanpa peringatan sebelumnya, mendesakkan penisnya kuat-kuat hingga menusuk begitu dalam. Lula menggigit bibirnya merasakan sakit sekaligus nikmat pada lubang vaginanya.

Sementara itu, Azzam terus bergerak memompa tubuhnya untuk menggenjot tubuh mulus Lula dengan penisnya yang besar dan panjang. Mula-mula pelan, tapi saat vagina Lula dirasanya mulai terbiasa dan menjadi bertambah basah, bocah itu pun mempercepat genjotannya. Badan Lula sampai terguncang-guncang karenanya, kaki wanita itu mengejang-ngejang, kedua payudaranya bergoyang cepat, secepat tusukan Azzam yang semakin brutal, sementara kepalanya terdongak ke atas dengan bibir terkatup rapat, antara menahan sakit dan nikmat yang dirasakan di dalam vaginanya. Lula cuma bisa merintih menjerit-jerit merasakan serangan bocah kecil itu.

Azzam yang melihatnya, menjadi semakin bernafsu. Dia memompa semakin cepat sambil mulutnya tak henti menciumi dan menjilati payudara Lula yang bulat besar. Putingnya yang mencuat kemerahan, ia hisap dan sedot-sedot keras, seperti bayi yang sedang menyusu pada ibunya.

”Ahh.. ohh.. ahh...” Lula yang diserang atas bawah, mendesah manja. Sedikit rasa sakit yang sempat ia rasakan di awal permainan, kini telah hilang sepenuhnya, tergantikan oleh rasa nikmat yang amat sangat, membuatnya semakin liar dalam menggerakkan pinggul.

”Oughh...” Azzam menggeram merasakan betapa sempit dan rapatnya vagina dokter cantik itu. Gesekan kemaluan Lula amat terasa di batang penisnya. Ohh... nikmatnya! Sprei di ranjang itu sudah acak-acakan. Dipannya berderit setiap kali Azzam melakukan gerakan menusuk.

”Ohh... ahh... ohh...” desahan Lula juga semakin keras terdengar. Saatnya sudah hampir tiba bagi dia. Dengan mata terpejam dan mulut menjerit-jerit, Lula pun menjemput orgasmenya. Tubuh montoknya terguncang-guncang saat rasa nikmat itu datang. Cairan cintanya menyembur deras, tapi tidak sampai tumpah karena disumbat oleh penis besar Azzam. Penuh kepuasan, Lula menikmatinya sampai tetes terakhir.

Azzam yang sempat menghentikan goyangannya, begitu tahu kalau rasa itu telah berlalu, kembali menggenjot pinggulnya, kali ini lebih keras dan lebih dalam. Vagina Lula yang becek membuat gerakannya menjadi lebih sempurna. Kedua tangannya memegangi payudara Lula yang membusung indah dan meremas-remasnya penuh nafsu. Benda itu tampak mengkilap sekarang, basah oleh keringat.

”Ughh.. aghh.. ughh..” dengan geraman yang makin sering terdengar, Azzam menusukkan penisnya dalam-dalam. Sensasi yang sedari tadi ia kejar, kini terasa sudah semakin dekat. Hingga akhirnya, ”ARGHHHHHH...!!!” dari ujung penisnya, menyembur cairan mani yang amat banyak. Tubuh kurus Azzam berkedut-kedut saat cairan putih yang licin dan lengket itu memenuhi liang rahim Lula.

Dengan nafas masih ngos-ngosan, dan tubuh basah oleh keringat, Azzam ambruk sambil mendekap tubuh mulus si dokter cantik. ”Ohh... saya puas sekali, Dok! Inilah persetubuhan paling nikmat yang pernah saya rasakan!” bisik Azzam di telinga Lula, lalu mencium bibir wanita cantik itu dan melumatnya dengan rakus.

Lula tidak sanggup untuk membalas, bahkan untuk sekedar mebuka mata saja ia tidak mampu. Tubuhnya terasa sangat letih dan lemah. Dan sedetik kemudian, ia pun jatuh ke dalam jurang kehampaan yang gelap dan kelam. Lula pingsan.

***

Keesokan harinya, sebuah surat kabar pagi memberitakan. ”LULA KAMAL (42), ARTIS SEKALIGUS DOKTER TERNAMA, DITEMUKAN TELAH DIPERKOSA DI RUANG PRAKTEKNYA. PELAKU MASIH BELUM DIKETAHUI, DAN SEKARANG MASIH DALAM PENGEJARAN POLISI.”

Azzam menelan ludah. Perlahan-lahan ia melirik ke arah lukisan bintang jatuh yang tergantung di dinding ruang keluarga. Seluruh bintangnya sudah menghilang tanpa bekas. Dan seperti biasa, ia juga lupa kemana saja ia semalam setelah pulang dari konsultasi dengan dr. Lula Kamal. Yang diingatnya cuma kegiatan sebelum itu dan ketika ia bangun tadi. Selebihnya gelap!

END

No comments:

Post a Comment