BAB 10 - MENCARI ISTRI
Petualanganku dengan banyak wanita yang lalu membuatku harus memberikan sebuah keputusan yang mana akan mengubah hidupku sepenuhnya. Yaitu aku harus punya istri. Mbak Juni kah? Atau siapa? Sampai sekarang pun aku tidak pernah bertemu lagi dengan Mbak Juni. Dia sempat mengisi hatiku tapi ia menghilang. Bunda, Kak Vidia dan Nur tahu rasa kehilanganku, dan mereka juga tahu bahwa aku belum sembuh dari rasa kehilangan.
Anakku sudah mulai besar-besar sekarang. Kalau misalnya anak Mbak Juni lahir, barangkali sekarang sudah seusia dengan anak Kak Vidia. Sudah beberapa tahun semenjak terakhir aku bertemu dengannya. Dan aku pun masih belum bisa melupakannya. Tak ada yang mengetahuinya, kerabatnya pun menghilang. Seolah-olah mereka menghilang ditelan bumi.
Aku tak perlu bercerita panjang tentang Burhan. Ia akhirnya diserahkan ke polisi atas tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan. Ia dijatuhi vonis hukuman mati. Setelah ketahuan Anisa adalah anak hasil dari hubungan Laura dengan ayahku, hal itu membuatnya shock. Ternyata tendanganku berakibat buruk kepada dirinya. Ia tak akan punya lagi keturunan. Dan Laura?? Ia memohon maaf kepada Kak Vidia dan Nur.
Laura berjanji ia tak akan berbuat jelek kepada kami. Bahkan sekarang yang membuatku senang adalah ketabahan hati Kak Vidia yang mau memaafkan Laura. Ia bahkan menawarkan untuk tinggal bersama kami karena Laura sudah tak punya tempat tinggal lagi dan kami adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang. Laura sekarang bersedia menjadi bagian dari hidupku. Bahkan Kak Vidia dan Nur pun menyetujuinya dan mau berbagi. Aku ya akhirnya mau memaafkan Laura, walaupun sulit. Tapi lambat laun melihat kesungguhannya aku pun luluh. Ia tak seburuk yang aku kira. Walaupun dulu dia sangat jelek wataknya.
Ia ingin menebus dosa-dosanya di masa lalu. Kehilangan Anisa merupakan hal yang terberat bagi dirinya sendiri. Terlebih yang membunuh suami dan anaknya adalah ayahnya sendiri. Tentu saja hal itu adalah pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan. Tak akan pernah. Setelah menguburkan anaknya sendir itu, Laura lebih sering merenung. Aku belum resmi sih menjadi suaminya. Tapi semenjak ia ada di rumahku, dan seluruh keluargaku setuju, ia sudah kuanggap sebagai bagian dari diriku yang harus aku lindungi. Aku cukup bersyukur itu sperma Burhan tak sampai muncrat di rahim Kak Vidia. Dan karena ketabahan Kak Vidia itu, membuatku makin mencintainya.
Hari itu aku melihat Laura lagi-lagi termenung. Ia berada di kamarnya yang sepi di lantai dua. Hari Minggu ini di rumah bunda, tidak ada siapapun selain Laura. Sebab Kak Vidia dan Nur ada di rumah mereka masing-masing. Aku menyuruh Laura untuk menjaga rumah ini. Sudah hampir setahun setelah kejadian itu. Tapi sepertinya Laura masih memendam rasa bersalah. Hari ini adalah gilirannya. Laura kaget ketika melihatku sudah ada di dalam rumah. Ia menyambutku menyunggingkan senyuman. Walaupun kejadiannya sudah setahun lalu tapi ia sepertinya belum melupakan kejadian itu.
Sebenarnya aku sampai sekarang tidak pernah menyentuhnya. Sedangkan ia selalu memintanya. Tapi aku selalu berikan alasan bahwa aku belum siap. Sekalipun sikapku kepadanya seperti itu, ia benar-benar bisa menunjukkan ketulusannya. AKu selalu dilayaninya, membersihkan rumah, memasakkan makanan, menyiapkan baju, semuanya. Kami resmi menjadi suami istri 6 bulan lalu. Sedangkan Laura sudah tinggal di rumah ini selama setahun.
Aku masuk kamar. Seperti biasa tanganku kubentangkan. Dia melepaskan kancing bajuku satu per satu. Kemudian melepaskan kemejaku. Ikat pinggangku dilepas kemudian, celanaku pun dilepas. Ia telah mempersiapkan pakaian untukku. Kemudian ia memakaikan celana selutut dan kaos oblong. Setelah itu kami biasanya bercakap-cakap sebentar, tapi Laura diam. Aku kemudian duduk di tepi ranjang. Laura membawa seluruh pakaianku untuk dicuci di mesin cuci yang berada di belakang. Tak berapa lama kemudian ia kembali. Sepertinya ada yang berubah pada dirinya tapi aku tak tahu yang mana.
"Sudah makan, mas?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Mau makan? aku sudah masakin cumi rica-rica kesukaanmu," kata Laura.
"Dari mana kau tahu?" tanyaku.
"Nur tadi yang bilang kalau kau pasti tak akan menolak kalau dimasakin masakan itu," jawab Laura. "Makan yuk?"
Iya, ada yang berubah dari Laura. Matanya lebih tulus. Dan aku baru tahu kalau sekarang ini ia sudah berdandan. Ia memakai tanktop yang ada kancingnya, ketiaknya yang berwarna putih kelihatan ketika ia menjulurkan tangannya kepadaku. Bawahannya pakai hotpants.
Akhirnya aku pun makan. Suasana hari itu sungguh berbeda. Aku makan dengan sangat lahap. Dan setelah kenyang, aku istirahat di ruangan tengah. Menyalakan tv dan menonton tv kabel. Laura bersandar kepadaku. Rasanya hari ini aku merasa nyaman di rumah ini. Laura sudah mulai berubah. Walaupun mungkin berat baginya harus kehilangan seluruh anggota keluarganya. Kami tak berbicara satu sama lain. Diam dalam keheningan. Walaupun tv bersuara tapi kami sebenarnya menontonnya dengan tatapan kosong. Hingga kemudian ia pun berbicara.
"Kau masih marah kepadaku selama ini?" tanya Laura.
Aku tersentak. Pertanyaannya ini langsung to the point. Aku menggeleng.
"Benarkah?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
"Lalu kenapa kau masih dingin kepadaku? Sedangkan Vidia dan Nur sudah memaafkanku dan menjadikan aku saudara mereka," Laura kemudian menaikkan kakinya, ia naik ke atas pahaku dan menghadapku. Aku secara refleks meletakkan tanganku di pinggangnya. "Aku sudah menjadi istrimu, dan kau sama sekali tak pernah menyentuhku selama ini. Don, aku juga butuh belaian, pliss... lakukanlah kepadaku malam ini ya...?"
Aku sebenarnya merasa kasihan kepadanya. Mungkin karena ia sudah terlau banyak kehilangan, hingga sekarang hanya akulah satu-satunya orang yang bisa mengisi hatinya. Aku menatap matanya lekat-lekat. Matanya tampak sayu. Sudah tidak tampak seperti mata yang menatapku dengan tajam seperti dulu. Wajahnya tidak dipenuhi dengan make-up. Ia selalu ingin tampil cantik di hadapanku dan aku sampai sekarang tak pernah tahu. Aku tak tahu kalau tubuhnya begitu wangi. Tangannya kini menarik T-shirtku ke atas hingga terlepas. Wajahnya mendekat ke wajahku. Ia mencium bibirku. Nafasnya kini mengendusku.
"Don... tolonglah, jangan kau siksa aku! Pliiisss... kumohon!" katanya. Ia menciumi leherku, pundakku, kedua putingku pun dikecupnya hangat.
Mau tak mau aku pun mengikuti iramanya. Tanganku mulai menggapai tank topnya. Kancing tanktopnya kulepas satu per satu. Dari luar aku sudah bisa merasakan puting susunya mengeras. Pertanda ia tak memakai bra. Begitu kancingnya terbuka semua, menyembulah sepasang buah dada puting dengan puting kemerahan. Laura menaikkan badannya dan menempatkan puting susunya sebelah kanan tepat di mulutku. Aku pun melahapnya. Aku kenyot. Aku hisap.
"Ohh... Donii... suamiku... engkaulah suamiku sekarang. Aku cinta kamu, aku cinta kamu, aku cinta kamu!" erangnya.
Laura memberikan dadanya yang sebelah kiri untuk aku perlakukan sama seperti yang sebelah kanan. Tanganku menelusup ke belakang tanktopnya, perlahan aku tarik agar tubuh bagian atasnya benar-benar polos. Punggungnya sekarang tak ada penghalang lagi. Aku membelainya, kedua telapak tanganku mengusap punggung yang mulus nyaris tanpa cacat itu. Kemudian kedua tanganku masuk ke hotpantsnya. Pantatnya pun aku remas-remas.
"Donnn... ohh.. iya, menyusulah, ayooo...!" keluh Laura.
Kami kemudian berciuman lagi. Kali ini lebih hot. Lidah kami saling menghisap. Dada kami pun saling menempel, kehangatan mulai menjalar di seluruh persendian kami. Kemudian aku bangkit sambil menggendongnya, sementara kami masih berciuman. Laura melingkarkan kedua tangannya di leherku. Kedua kakinya rapat mengapit pinggangku. Kugendong dia hingga masuk ke dalam kamar. Kuturunkan dia. Laura berbaring dengan keadaan pasrah. Kutarik hotpantsnya hingga ia telanjang. Aku pun menurunkan kolorku. Kini tak ada sehelaipun benang yang menutupi tubuh kami. Laura bangkit kemudian secepat kilat menyergap penisku dengan mulutnya. Ouuhhh...aku masih berdiri di tepi ranjang, tapi dia sudah sigap menangkap penisku.
Kepalanya maju mundur dengan teratur. Sepertinya ia benar-benar dahaga. Dielus-elusnya buah pelerku dengan kedua tangannya, secara bertahap ia lakukan itu hingga kemudian ia gemas dan meremas-remas buah zakarku. Matanya menatapku. Ia pastikan aku mendapatkan kenikmatan atas perilakunya itu. Kepala penisku diusap-usap oleh lidahnya. Lidahnya bagaikan lidah ular yang menjulur, menjilat dan memutar-mutar di kepala kemaluanku. Ia lalu menghisapnya, mengulumnya dan mengocoknya dengan mulutnya yang indah. Tanganku pun mulai aktif meremasi buah dadanya. Kupelintir-pelintir putingnya, sambil sesekali kupencet. Mata Laura terpejam tapi mulutnya dan tangannya tetap aktif memberikan rangsangan kepada batang kemaluanku.
Kudorong dia sekarang. Ia merebahkan diri. Tangannya diangkat ke atas sehingga ia menampakkan ketiaknya yang putih mulus. Badanku sudah berada di atasnya, penisku mulai menyentuh bibir vaginanya. Aku sama sekali tak menuntun batang kemaluanku. Ia sudah menemukan caranya sendiri. Wajahku dan wajahnya berhadapan. Pantatku kuangkat sedikit, memposisikan kepala penisku persis di belahan vaginanya yang sudah becek.
"Ayo suamiku, tembus aku, masukkan!" katanya.
Pantatku kudorong. Pionku mulai masuk. Gesekan antara dua kulit kemaluan pun kini terjadi lagi. Seketika itulah seperti sebuah tegangan listrik menghajar seluruh pinggul hingga punggungku. Kenikmatan itu naik ke otak hingga ke ubun-ubun. Wajahku mendongak. Kemaluan Laura sangat rapat. Mungkin karena sudah hampir setahun tak pernah dipakai sehingga benar-benar seret.
"OOhhh... suamiku...!" Laura menatapku. Wajahnya menyiratkan kenikmatan yang ia tak bisa lukiskan. Kakinya mulai menghimpit pinggangku. Gesekan batang kemaluanku pun makin lama memberikan efek yang luar biasa pada diriku. Aku makin bersemangat untuk ngentot dengan dia. Lubang ini dulu pernah dimasuki oleh ayahku, sekarang akulah yang memasukinya. Laura memegang wajahku. Ia ingin melihat ekspresiku ketika bercinta.
Aku tak ingin melewatkan kesempatan ini, karena aku sudah birahi. Libidoku sekarang mulai terpacu, detak jantungku berpacu seperti kereta api. Ku ciumi leher Laura yang jenjang. Ia menengadahkan wajahnya. Laura tahu bahwa leher adalah sasaran yang paling ingin diincar oleh laki-laki selain buah dada. Lelaki lebih suka untuk menghisap leher wanita dan memberikan bekas cupangan di sana. Disamping itu, cupangan yang ada di leher itu merupakan sebuah hadiah cinta dari sang lelaki. Terlebih ketika bibir si lelaki menghisap kulit leher, maka bulu kuduk si wanita pasti akan berdiri. Itulah tanda-tanda si wanita sudah tunduk dan ingin dipuaskan. Lidahku bergerak ke belakang telinganya. Kugigit kecil daun telinga Laura.
"Don... ohh... berikan semuanya Don, berikan semua cintamu untukku... cintailah aku!" kata Laura.
Kepalaku bergeser ke pundaknya. Kuciumi pundaknya. Aku tertarik dengan ketiaknya yang tak berbulu itu. Bahkan aku tak melihat sedikit pun bulu di sana. Entah itu bekas dicukur ataupun tidak. Ia benar-benar murni tak mempunyai ketiak berbulu. Baunya pun sangat wangi. Aku menciumi daerah lipatan ketiaknya. Laura menggelinjang. Efeknya vaginanya mengapit penisku dengan kuat. Aku makin keenakan. Kulakukan menjilati pangkal ketiaknya dan menghisap area ketiak dengan buah dadanya. Hal itu membuat ia makin erat memelukku. Pinggulnya didorong hingga kemaluanku makin dalam saja ke rahimnya.
"Terus, Doni... suamiku, terus... aku suka digituin!" katanya.
Kuulangi lagi perbuatanku. Laura makin menggelinjang, ia menggoyangkan sendiri pantatnya. Kurasakan bulu kuduknya berdiri. Sementara itu kocokan terus aku lakukan. Laura menggeleng-geleng, matanya terpejam, ia menggigit bibir bawahnya. Ia meringis beberapa kali saat penisku menghujam lebih dalam.
"Don... aku.. aku nyampee... aku nyampeee!" kata Laura.
Aku makin cepat goyangkan pinggulku. Dan Laura pun mendekapku dengan erat. Erat sekali Wajahnya terangkat dan pinggulnya menekan penisku sampai benar-benar mentok. Cairan kewanitaannya mengalir deras membasahi batang kemaluanku. Ia bertahan untuk beberapa detik, setelah itu ia lemas. Pelukannya longgar lagi. Kemaluanku aku cabut sebentar. Kuamati tubuhnya yang seksi. Selama ini aku tak pernah tahu bahwa Laura punya tubuh sebagus ini. Ia mirip palonk, tapi ia benar-benar Jawa tulen. Kulitnya terutama. Wajahnya sih tidak. Ia beberapa kali mengganti model rambut, mulai dari lurus, bergelombang dan sekarang lurus lagi. Aku tak tahu bahwa wanita ini sekarang tunduk kepadaku, menyerahkan hidupnya untukku. Wanita yang dulu pernah ditundukkan oleh ayahku. Aku tarik tangannya. Ia mengikutiku.
Sekarang Ia duduk di pangkuanku. Penisku kuarahkan ke sarangnya dibantu dengan tangannya. Tak ada halangan yang berarti. Penisku lenyap begitu saja ke dalam liang senggamanya. Kami berciuman lagi. Pinggangnya kini naik turun memompa penisku keluar masuk. Laura benar-benar ingin memberikanku kepuasan. Ia belai-belai dadaku, diusapnya rambutku, apapun ia lakukan untukku sekarang. Penisku rasanya penuh sekali di dalam sana. Walaupun dengan pelicin dari cairan kewanitaannya, tapi rasanya masih seret. Selama beberapa menit ia bergoyang naik turun, kemudian sekarang berubah memutar. Antara naik, turun, depan, belakang, kiri, kanan. Ritmenya ini membuat kemaluanku sangat terasa enak. Mungkin sekarang sudah on maksimal. Aku bisa merasakan betapa ngilunya penisku.
Tiba-tiba Laura berhenti. Ia memberi isyarat kepadaku untuk berhenti sejenak. Aku turuti saja. Ia kemudian melepaskan penisku. Ia kemudian berbalik dan memposisikan liang senggamanya ke penisku yang tegak berdiri. Lalu BLESSS... masuk lagi. Kini pantatnyalah yang menghantam selakanganku. Aku suka posisi ini. Aku berlutut ia juga berlutut tapi ia naikkan sedikit pantatnya dan membuat penisku masuk ke vaginanya dari belakang. Aku menumpu tubuhnya dengan meremas dadanya. Ia menoleh ke belakang, matanya tampak memancarkan wanita yang sedang dilanda birahi dan ingin dipuaskan berkali-kali. Lalu ia pun ambruk menungging.
Aku serang dia dengan posisi doggy style. Buah dadanya menggantung bergerak depan belakang. Saking gemasnya aku pun meremas-remas keduanya. Pantatnya pun sangat menggairahkan. Tapi rasanya kemaluanku tak ingin cepat-cepat keluar walaupun benar-benar rasanya nikmat. Kubelai punggung Laura. Ia mengaduh, melenguh, pantatnya pun mengimbangi goyanganku maju mundur. Aku terus memompanya, detik demi detik serasa lama. Suara adu pantat dan perut menjadikan satu-satunya musik yang membuat kami makin birahi. Hingga kemudian aku menghentikan goyanganku dan menyuruhnya untuk tidur miring.
Kini posisinya miring ke kanan. Kakinya diposisikan untuk menerima penisku sehingga agak diangkat sedikit. Aku masih berlutut, untuk menuju ke sarangnya sang burung tak terlalu sulit. Sekali tancap ia tinggal mengikuti aliran lendir yang keluar dari kemaluannya yang bersih tanpa bulu. Lalu SLEBB... masuk lagi. Laura mengeluh, "Ooohh... aaahh.. Doon... nikmat banget"
"Laura, aku ingin punya anak darimu," kataku.
Tangan kirinya menggapai tanganku. "Iya, lakukanlah suamiku, lakukanlah. Semburkan sperma hangatmu ke dalam rahimku. Itulah yang aku inginkan!"
Aku mulai menggerakkan pinggangku. Pelan... pelan... agak cepat... agak cepat... lalu cepat. Aku kumpulkan seluruh energi ke buah zakarku. Entah mengapa saat ini aku sangat ingin mengeluarkan sperma ke rahimnya. Setiap gesekan kelaminku ke kelaminnya Laura meringis keenakan. Ia tahu bahwa aku akan keluar. Testisku mulai mengeras, memproduksi milyaran sel sperma yang bisa jadi bakal menjadi anakku kelak. Aku sudah tak ingat apapun tentang masa lalu Laura. Mungkin memang ia wanita yang menyakiti bundaku, tapi sekarang ia sudah taubat. Sekarang semuanya sudah memaafkan dia walaupun berat. Termasuk aku. Anisa, semoga engkau memaafkan aku, bunda, semoga engkau memaafkan aku. Aku ingi menebus semua kesalahanku. Penisku makin keras. Laura bisa merasakannya.
"Mau keluar sayang??? Keluarin... aku bisa merasakan kerasnya punyamu!" katanya.
Aku hentakkan dengan cepat, seperti dikejar waktu. Penisku makin keras, buah zakarku sepertinya ingin memberitahu bahwa produksi sperma sudah siap. Dan benar, ketika cairan putih kental itu tak bisa lagi ditampung di zakarku, segera saja cairan itu melewati pipa di batang kemaluanku. Terkumpul di kepala penisku, kemudian menembak seperti selang pemadam kebakaran yang tertahan berkali-kali. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh... Sepuluh tembakan, kuhitung semuanya. Sisanya kedutan-kedutan kecil yang mengakhiri goyangan kami. Laura pun sepertinya orgasme lagi. Matanya memutih, bibirnya mengatup, pantatnya bergetar hebat. Rasanya baru kali ini aku merasakan orgasme sedahsyat ini. Tidak, aku pernah merasakan hal ini. Iya, aku pernah. Bersama bunda.
Aku terdiam beberapa saat. Melihat tubuh polos Laura yang sedang dilanda orgasme. Perlahan aku cabut penisku. Ia meringis tertahan. Penisku mengkilat terkena cairan dari kemaluan kami. Aku lalu ambruk di sampingnya sambil memeluknya. Laura tersenyum manis kepadaku. Ia mengangkat selimut dan kami pun tidur dengan rasa kepuasan yang selama ini tertahan.
"Aku sudah memaafkanmu Laura, aku sudah memaafkanmu!" kataku. Lalu kami pun terlelap hingga pagi.
***
Kesibukanku di toko tak berubah. Sama seperti hari-hari biasa. Namun sekalipun sekarang aku sudah punya tiga istri, rasanya aku masih tak bisa melupakan satu orang. Yaitu mbak Juni. Aku masih menyimpan fotonya. Apalagi meja yang selama ini ia pakai tak boleh aku berikan kepada siapapun. Barang-barangnya semuanya masih disitu. Aku menyuruh petugas OB untuk membersihkan mejanya setiap hari walaupun tidak ada orangnya. Aku masih menganggap ia sebagai karyawanku. Bahkan aku pun tiap bulan masih menggajinya dan selalu kutransfer ke rekeningnya, dengan harapan ia akan datang kepadaku lagi. Tapi setelah bertahun-tahun ia tak pernah mengabari aku, ia seperti hilang begitu saja. Hingga aku diberi tahu bahwa seluruh uang yang aku transfer selama ini dikembalikan lagi. Dan ia menutup rekeningnya.
Aku sudah menyebar fotonya kepada seluruh kenalanku. Kepada seluruh rekan facebookku. Tapi tak ada kabar baik. Anak-anakku sudah mulai besar. Kini Kak Vidia sedang hamil lagi anak kedua kami. Nur juga hamil anak kedua. Dan dari Laura, lahirlah anak perempuan. Aku beri nama Juni. Karena aku memang sangat merindukannya. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari perjalanan hidupku. Dengan kepercayaan dan cintalah kami semua rukun. Aku sangat senang dengan apa yang aku capai sekarang. Dulu kami kekuarangan, sekarang kami serba berada. Dulu kami cuma punya satu toko, sekarang toko kami ada di mana-mana. Bahkan mungkin kalau aku menginginkan semua wanita-wanita yang dulu pernah aku tiduri aku ambil juga bisa. Tapi aku tak ingin melakukan itu.
Ketika aku berjumpa lagi dengan Bu Dian tetanggaku yang dulu itu. Kami tak pernah lagi membahas soal ranjang. Kami sekarang sudah punya kehidupan masing-masing yang tak mungkin terusik lagi. Walaupun memang sebenarnya aku masih penasaran kalau anak yang lahir itu adalah anakku. Aku masih tetap berbuat baik kepadanya dan kadang masih menengoknya. Begitu juga dengan Bu Is, ataupun Erna yang kami masih sering main mata sebenarnya. Tapi tak pernah ada seseriusan lagi. Naura, sekarang sedang dipinang oleh seorang pemuda yang mau menerima dia apa adanya. Ia sedang bahagia. Aku tak mau mengusik dirinya. Walaupun setiap kali kami bertemu, pasti ada sesuatu yang aneh. Mungkin hanya ia yang mengerti keadaanku yang sulit. Atau mungkin tidak.
Aku punya niatan gila kali ini. Touring lintas Sumatra. Memang terdengar gila. Tapi itulah aku. Aku jadwalkan selama kurang lebih satu bulan aku akan melintasi jalanan pulau Sumatra dari Jambi hingga ke Aceh. Dan terakhir aku akan selfie di pulau Sabang. Itu cita-cita konyol. Tapi aku lakukan juga. Aku tak mengajak siapapun. Niatanku memang ingin melakukan petualanganku seorang diri. Sambil ingin mengetahui kekayaan alam Indonesia. Dan siapa tahu juga aku nanti bakal ketemu jodohku. Yah, mungkin aku terlalu berharap kepada mbak Juni. Sampai sekarang aku tak dipertemukan.
Aku pun mulai mengabadikan perjalananku ke dalam tulisan, blog, dan upload foto-fotoku di facebook dan jejaring sosial. Ternyata banyak yang suka. Bahkan karena tulisanku yang menceritakan selama perjalanan ini, blogku banyak dikunjungi oleh orang-orang. Bahkan ketika aku melewati Danau Toba dengan pemandangannya di sekelilingnya yang indah, blogku mendapatkan hits tertinggi yaitu 200.000 dalam waktu sehari. Aku sempat ditelpon oleh penyedia hosting dan domain, apakah webku terkena serangan, ternyata tidak.
Dan selama perjalanan ini aku pun terus bertanya tentang mbak Juni, siapa tahu ada orang yang kenal. Setiap kali aku ketemu orang di akhir kesempatan aku selalu memberikan foto mbak Juni. Tetapi tak ada yang tahu tak ada yang kenal. Walaupun memang ada yang katanya mirip. Tapi aku yakin bukan dia. Hingga di akhir perjalanan. Sampailah aku di tanah Rencong.
Aku tak menyangka perjalananku lintas sumatra sudah sampai puncaknya. Sebentar lagi aku akan sampai di Sabang. Setiap hari aku selalu menyisihkan waktu untuk menelpon keluargaku semuanya. Mereka juga ternyata mengikuti perjalananku di jejaring sosial. Dan aktif berkomentar. Kak Vidia sangat merindukan aku. Nur juga. Apalagi Laura. Aku mencintai mereka semua.
Aku pun kemudian menginap di sebuah hotel. Di depan hotel itu ada sebuah baliho besar dengan tulisan "Visit Aceh" ada seorang wanita memakai baju adat aceh seolah menyapaku. Hotelnya tak terlalu mewah, memang aku ingin sedikit melakukan pengiritan. Bukan berarti pelit. Menyetir selama hampir 4 jam cukup melelahkan. Ketika aku check in, aku tak basa-basi. Langsung kuangkat barang bawaan masuk kamar, mandi dan tidur. Capek sekali. Bangun hari sudah pagi lagi.
Hari ini aku berniat untuk jalan-jalan sambil membawa kamera LSR. Setelah sarapan yang mengenyangkan dengan 2 potong sandwich dan segelas kopi susu. Aku pun mulai jalan-jalan. Aku tak memakai baju yang begitu formal. Cukup jeans dan kaos oblong serta topi untuk melindungi diri dari teriknya matahari. Kupotret kehidupan rakyat Aceh, hampir semua perempuannya memakai jilbab. Dan sesekali kulihat polisi syari'ah hilir mudik. Pemandangan itu tak luput dari jepretanku.
Aku mampir ke sebuah pasar tradisional. Di sini aku membeli salah satu buah durian yang asli dari aceh. Duriannya sangat besar isinya. Aku baru pertama kali ini melihatnya. Katanya buah ini di petik dari salah satu desa di Aceh. Aku sempat bertanya-tanya tentang buah ini kepada penjualnya. Bahwa buah ini hanya ada di Aceh. Katanya sih kalau di tanam di Jawa ndak bakal bisa. Siapa tahu, aku sendiri belum pernah mencoba.
Ketika keliling pasar inilah aku kemudian secara tak sengaja ditabrak oleh seorang anak kecil. Ia seorang anak laki-laki. Anak kecil itu kebingungan. Usianya mungkin sekitar 4 tahunan. Sama seperti anakku.
"Adik kecil, sama siapa?" tanyaku.
Ia menoleh kiri kanan. Ia seperti mencari seseorang. "Bunda?! Bunda?!" panggilnya.
"Mencari bunda?" tanyaku. "Udah cup cup, mana bundanya?"
Seorang wanita menghampirinya. DEG... Saat itulah jantungku serasa berhenti berdetak. Wanita itu...
"Faiz, udah bunda bilang jangan lari-lari bukan? Nabrak paman ini jadinya. Ayo!" wanita itu membantu sang anak kecil itu. Kemudian ia menatapku, "Maaf ya pak, tidak sengaja."
"Mbak Juni??" gumamku.
Wanita itu tersentak. Ia seperti terperanjat. Saat itu dunia seperti berhenti. Aku ingat wajah itu. Wajah yang selalu aku lihat tiap hari. Walaupun pada gambar. Sekarang wajah itu tertutup kerudung putih. Masih cantik seperti dulu. Jantungku berdegup lebih kencang. Lebih kencang seakan-akan aku sedang menempuh lari maraton.
"Eh.. ssii..siapa?" tanyanya.
"Kamu mbak Juni bukan?" tanyaku.
"Tidak, bapak salah orang. Permisi!" katanya. Ia pun segera bergegas meninggalkanku.
"Tunggu! Tunggu dulu!" kataku. Aku mengejarnya. Aku tak ingin melepaskannya. Aku bertemu dia lagi. Aku sudah bertemu dia. Orang yang selama ini ku cari. "Tunggu! Juniiiii!!"
Tapi larinya sangat cepat. Ia sudah berada di luar pasar. Tampak sebuah mobil sudah menunggunya. Mobil yang cukup mewah. BMW new Series. Ia sudah masuk mobil itu. Aku mengejar mobil itu agar berhenti tapi terlambat. Mobil itu sudah pergi. Aku yakin dia mbak Juni. Ternyata selama ini ia ada di sini. Dan aku pun sudah berhasil mengingat-ingat plat nomor mobil tadi.
***
"Ric?!" aku menelpon salah seorang kenalanku yang ahli dalam dunia hacking yang bernama Ricard. "Butuh bantuan lu nih."
"Anjrit! Doni?? Masih hidup lo?" tanyanya.
"Monyet, ya hiduplah. Eh aku ada plat nomer nih, kau bisa lacak nggak rumahnya di mana?" tanyaku.
"Oh beres, like old times," katanya. "Kirim aja ke BBM, ntar aku kasih alamatnya."
"OK, trims ya?!"
Malam itu aku di hotel sedang galau. Tak bisa tidur. Akhirnya malam hari itu aku habiskan untuk menonton tv hingga pagi. Benar-benar bosen. Aku pun masih belum bisa tidur. Setelah sarapan yang lezat dengan nasi goreng dan teh hangat. Aku kemudian check out. Aku masih harus melanjutkan perjalananku untuk sampai di Sabang. Perjalanannya tak begitu lama sebenarnya. Hingga kemudian aku mendapatkan balasan dari Ricard. Alamatnya pun aku simpan. Tujuanku ke Sabang pun aku urungkan dulu. Mencari alamatnya.
Aku berputar-putar di Aceh, mencari alamatnya. Nyasar sana, nyasar sini, hingga kemudian sampailah di sebuah komplek. Tampak beberapa bangunan elit. Dan aku pun sampai di sebuah alamat yang ditunjukkan oleh Ricard. Sebuah rumah yang cukup megah. Dan mobil itu terparkir di dalamnya. Aku tak mungkin nyelonong masuk ke sana langsung. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah itu. Kebetulan tak jauh dari situ ada sebuah warung kecil. Sepertinya memang penduduk sekitar. Aku pun mampir ke warung itu sambil beli kopi aceh dan pisang goreng.
Tak butuh waktu lama, tangan ibu-ibu pemilik warung yang sudah pengalaman selama bertahun-tahun itu sudah membawakan aku gelas terbalik berisi kopi disebuah lepek atau piring kecil. Dan minumnya cukup unik yaitu gelasnya dimiringin sedikit. Yup, beginilah cara menikmati kopi Aceh. Aku pun kemudian tanya-tanya mengenai daerah itu, sambil menyinggung siapa pemilik rumah itu.
Dari dudukku dan kongkong selama kurang lebih 15 menit, aku pun mendapatkan informasi bahwa rumah itu adalah rumah salah seorang bangsawan asli dari Aceh. Tengku Nadhim. Harapanku pun hampir putus, apakah mbak Juni menikahi salah seorang bangsawan ini? Kalau iya... aku bakal patah hati seumur hidup. Usut punya usut ternyata tak ada yang namanya Juni. Adapun Tengku Nadhim baru saja mengangkat anak beberapa tahun yang lalu. Namanya Aula. Dahiku berkerut, berpikir keras. Namanya Aula? Kenapa? Apakah aku salah orang?
Karena ini orang besar dan bangsawan. Maka aku pun harus memperlakukan orang ini seperti bangsawan. Dengan cara yang tidak mudah--dengan bantuan Ricard tentunya, aku pun berhasil mendapatkan nomor telepon pribadinya Tengku Nadhim. Aku telepon dia. Tak ada yang mengangkat. Cukup sabar aku menelpon dia berkali-kali tapi tak diangkat. Mungkin karena nomorku tidak dikenalnya dan dia tak sembarangan memberikan nomor teleponnya. Aku pun memaklumi.
Malam itu aku menginap di hotel yang tak jauh dari komplek itu. Sambil malam harinya mengamati rumah itu dari jauh. Kalau-kalau siapa tahu mbak Juni keluar. Dan benarlah. Penantian panjangku tak sia-sia. Mbak Juni keluar dari rumah. Tampak ia membuka pagar lalu berjalan. Ia memakai jilbab lebar dan sesekali berkibar terkena angin. Ia agak buru-buru, aku mengikutinya dari kejauhan. Ternyata ia berbelok di sebuah swalayan yang tak jauh dari rumahnya. Aku mempercepat langkahku. Aku ingin menanyakan banyak sekali pertanyaan kepadanya.
Beberapa orang polisi syari'ah tampak mondar-mandir di komplek ini. Kalau aku ketahuan berduaan dengan dia bisa berabe nih. Aku pun menyusul masuk ke dalam swalayan. Di dalamnya ternyata cukup luas. Swalayan ini memanjang ke belakang. Wanita yang mirip mbak Juni itu tampak sedang berada di rak obat. Aku berjalan memutar agar bisa menyapanya dari belakang, karena aku tak mau mengejutkannya. Tapi mungkin ia lebih terkejut kalau aku sapa dari belakang.
"Mbak!" sapaku.
Wanita itu kaget. Ia berbalik ke arahku. "Kau??!"
Aku langsung memegang tangannya. Sambil meletakkan telunjukku di bibirku. "Ssshhh...!"
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.
"Mbak Juni, kenapa mbak menghilang dariku selama ini? Kenapa?" tanyaku.
"Aku bukan Juni," katanya.
"Tidak mungkin. Kau mengenalku. Kau mengenalku kemarin. Bahkan kalau tidak kenapa kau bilang 'Apa yang aku lakukan di sini?'"
Ia tak menjawab. Tampak matanya berkaca-kaca.
"Kumohon mas, pergilah! Aku tak mau bertemu kamu lagi," katanya sambil terisak.
"Kenapa? Apa salahku? Ketahuilah selama ini aku mencarimu, selama ini pula aku selalu memikirkanmu. Kenapa kau menghindar?" tanyaku. Entah kenapa mataku juga berkaca-kaca. Entah karena perasaan bahagia atau karena perasaan kerinduan yang memuncak.
"Mas, sudahlah. Aku bukan Juni. Aku Aula. Juni adalah masa lalu mas. Mas jangan dekati aku lagi. Aku mohon!" katanya. Ia menarik tangannya dariku.
"Katakan anak kemarin itu adalah anakku. Hasil hubungan kita!"
Ia diam membisu. Air matanya meleleh. Ia pun terisak. "Sudah, mas. Biarkan aku pergi! Kumohon!"
"Katakan apa salahku? Katakan kau masih mencintaiku!"
Ia mengangguk, "Aku masih mencintai mas. Tapi... aku tak bisa... maafkan aku, mas..."
Setelah itu aku melepaskan peganganku. Ia lalu berlari menuju kasir sambil membawa obat entah apa yang ia bawa tadi. Kasir tampak kebingungan melihat ia menangis. Setelah membayar dan membawa barangnya ia segera pergi dari tempat itu. Aku tak sanggup untuk mengejarnya. Kakiku lemas. Entah apa yang sedang dialami olehnya. Kenapa ia merubah namanya segala? Tapi secercah harapan masih ada. Ia masih mencintaiku.
Bersambung
No comments:
Post a Comment