BAB 9 – HORROR
Narasi oleh Doni
Aku tak percaya atas apa yang barusan diceritakan oleh Laura. Tapi kalau itu kenyataan maka, Anisa dan aku sama saja incest. Dan aku telah melakukan sebuah kesalahan.
"Kalau begitu celaka!" gumamku. Aku segera keluar dari rumah itu.
"Don, ada apa? Ada apa?" tanya Laura.
"Tetap di sini, tunggu sampai aku kembali!" kataku.
Mobil aku pacu dengan sangat kencang. Tujuanku hanyalah satu, yaitu sampai ke rumah Anisa tepat waktu. Sebab aku sudah menyuruh orang untuk menyuntikkan obat perangsang ke tubuh si William, suaminya Laura, agar ia jadi horni dan menyetubuhi Anisa. Bodohnya aku, tapi aku juga tak tahu semua ini. Ini semua salah ayah. Kenapa ia melakukan hal ini. Kalau saja aku tahu Anisa itu saudariku sendiri, aku tak akan melakukannya. Bodooooohhh!!
Butuh waktu kurang lebih 2 jam hingga aku sampai di rumahnya. Dan 2 jam ini waktu yang sangat lama karena harus bergelut dengan kemacetan yang biadab. Setelah aku sampai tidak jauh dari rumah Anisa, aku memakirkan mobilku. Suasana perumahan ini sepi, tapi paling tidak kalau parkir mobilku jauh dari rumahnya tak akan ada orang yang curiga.
Sebenarnya tujuanku adalah agar suami Laura bisa bercinta dengan Anisa dengan obat perangsang itu. Tapi mendengar cerita Laura, aku yakin rencanaku berantakan semua. Aku memang orang yang bodoh karena sudah dibutakan oleh balas dendam. Aku memakai jaket hitam dan topi. Sebisa mungkin jangan sampai ada orang yang mengenaliku. Dengan langkah terburu-buru aku pun menuju ke rumahnya. Pagar langsung aku buka dan masuk ke halaman.
Aku segera masuk ke rumah Anisa tanpa permisi. Pintu aku dobrak dan bergegas aku segera masuk ke kamarnya. Suasana rumah ini terlalu sepi. Lebih sepi daripada yang aku duga. Sampai-sampai telingaku berdengung karena sepinya. Perasaanku mulai tak enak. Sesuatu membisiki agar aku tak usah ke kamarnya. Tapi aku harus. Aku harus menghentikan ini karena aku tidak mau melanjutkan permainan ini. Aku cukup bisa menghajar si William itu dan mengambil Anisa.
Dan aku terlambat. Tubuh keduanya telanjang, saling bertumpuk. Tapi ada yang aneh, aku mencium bau anyir darah. Kepala William berlubang dan darah mengucur Anisa juga demikian. Apa yang terjadi???
William menindih Anisa, tangannya masih seolah seperti menumpu tubuhnya. Sepertinya ia sedang bercinta dengan Anisa. Sedangkan Anisa dengan ekspresi terbelalak menatap langit. Di kepalanya juga ada lubang menganga berasap. Paling tidak mereka berdua sepertinya baru saja dibunuh. Kenapa? Siapa pelakunya? Aku berpikir keras. Apakah teman-teman gengku? Tak mungkin, aku tak pernah menyuruh mereka untuk membunuh. Lalu siapa? Laura juga tak mungkin. Kedua istriku? Tidak mereka terlalu alim dan brutal untuk bisa membunuh kedua orang ini dengan sadis.
Aku pun panik, karena aku baru kali ini melihat mayat. Aku telepon polisi? Tidak mungkin. Kalau polisi bertanya-tanya tentang apa yang terjadi apa jawabku? Aku berpikir keras. Menyingkirkan mayat ini pun tidak mungkin. Satu-satunya cara adalah aku harus pergi dari tempat ini. Kubersihkan seluruh tempat yang pernah aku sentuh agar tak meninggalkan sidik jari.
Mulutku gemetar dan aku segera meninggalkan rumah Anisa. Sialnya adalah aku membawa mobil, semoga tak akan ada yang bisa mengenali mobilku. Secepat kilat aku segera kembali ke tempat Laura. Kuhubungi satu per satu nomor teman-teman gengku. Tapi ponsel Tanto mati, ponsel Parto mati, ponsel Bejo juga mati. Ada apa ini? Pulang pergi itu membuatku melakukan perjalanan seharian. Aku pun sampai ke tempat Laura disekap.
Rumah itu sepi, tak ada tanda-tanda keberadaan Bejo dan yang lain. Aku segera masuk dan membuka kamar Laura. Ia duduk di sana dengan sudah memakai baju. Ia pasti kebingungan melihatku gemetar. Kutak tega untuk menceritakan apa yang terjadi. Tapi aku harus membuatnya tenang dahulu.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau ketakutan seperti itu?" tanya Laura.
"Ada sesuatu yang terjadi," kataku.
"Apa?" tampak Laura makin penasaran.
"Kuharap kau tenang," kataku.
"Iya, katakan apa yang terjadi? Apakah ini tentang Anisa?" tanya Laura.
Aku mengangguk.
"Apa yang terjadi kepadanya?" tanya Laura panik. Naluri keibuannya pun bangkit.
"Sebentar, aku kalau tidak salah punya video cctv. Sebentar!" aku segera keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju ruang tengah. Di sana aku mengeluarkan mesin CCTV yang ada di bahwa rak TV. Aku kemudian melihat tanda lampunya masih menyala. Bagus, berarti aku pastinya masih bisa melihat streamingnya.
Laura mengikutiku turun dari kamarnya. Aku mulai melihat seluruh rekaman. Kusetting waktunya ketika kemarin sewaktu aku menyekap Laura. Saat itulah tubuhku lemas. William, suaminya Laura, di dalam rekaman itu sedang mencumbui Anisa. Dan Anisa pun tampaknya pasrah. Laura menutup mukanya, ia pun menangis.
"Apa yang tejadiiii??? ohh... tidaaakk, tidaakk... Don, kenapa kau biarkan mereka. Kenapa??? Kalau kau ingin hancurkan hidupku jangan libatkan anakku!" kata Laura.
"Bukan ini!" kataku. "Lihat setelah ini!"
Laura memperhatikan videonya dengan seksama. Aku pun mempercepat video dari kamera cctv yang aku pasang di kamar Anisa. Di rekaman yang dipercepatkan itu, aku benar-benar melihat pemandangan yang sangat menggairahkan. Tampak Anisa mengoral William, kemudian bergantian ia dioral. Lalu mereka saling menyatu dan bercinta dengan hebat. William orgasme berkali-kali. Mereka melakukan dengan berbagai gaya dan wajah Anisa tampak melakukannya tanpa dosa. Dan pada saat terakhir ketika William berada di atas saat itulah ada orang dengan memakai pakaian serba hitam dan topeng masuk ke kamar. William dan Anisa belum sempat berbuat apa-apa keduanya ditembak persis di kepala. Laura yang melihat itu menutup mulutnya. Ia tak mampu berkata apa-apa.
"Ini di luar kehendakku," kataku. "Aku tak tahu siapa dia, dan lihat... beberapa saat setelah ia keluar aku masuk ke kamar dan ketakutan, panik, kubersihkan seluruh tempat yang pernah aku sentuh."
"Siapa pelakunya?" tanya Laura.
"Aku tak tahu, apa suamimu pernah punya musuh?" tanyaku.
Ia menggeleng.
"Sebaiknya kita pergi dari sini," kataku.
Aku segera menarik tangan Laura. Kami pun segera meninggalkan tempat tersebut. Aku tak punya tujuan, dan tak bisa kembali. Kalau aku kembali aku pasti akan jadi saksi dari pihak kepolisian, tapi karena aku yang terakhir masuk ke sana aku pasti jadi tersangka. Saat dalam perjalanan itulah ada SMS masuk dari Bejo. Isinya agar aku segera menemuinya di tempat ia biasa nongkrong. Kalau waktu malam seperti ini biasanya ia nongkrong di bawah jembatan bersama teman-temannya.
Setelah perjalanan yang melelahkan akhirnya kami sampai di muka gang. Kuparkir mobilku tidak jauh dari sana. Perasaanku berkecamuk, antara percaya dan tidak. Tiba-tiba aku punya saudari dan tiba-tiba juga dia sudah tewas begitu saja. Dan tiba-tiba juga aku baru saja bercinta dengan sepupuku sendiri. Tiba-tiba juga aku melihat suaminya tewas di saat sedang bercinta dengan anaknya. Kepalaku makin berat dan pusing memikirkan ini semua.
Dari gang kecil itu, aku terus berjalan hingga melewati jalanan berkelok-kelok, menyusuri anak tangga yang menurun, kemudian sampai ke sebuah pinggiran sungai. Kurang lebih 100 meter dari tempat itu ada sebuah jembatan. Jembatan itu dihiasi lampu-lampu yang mentereng, sehingga pantulannya di sungai sangat indah. Bau air yang tercemar polusi itu serasa tak menjadi soal bagi mereka yang tinggal di bantaran sungai. Terlebih jam seperti ini masih ada saja mereka yang memanfaatkan air yang tercemar itu. Beberapa waktu kemudian aku sampai di bawah jembatan.
Tapi tempat itu sepi sekali. Karena tak ada penerangan, aku hanya bisa bingung di mana Bejo. Makin bingung lagi ketika aku mendapatkan SMS darinya.
"Bejo sudah tiada. Silakan cari mayatnya disekeliling tempatmu berdiri"
Isi SMS itu sangat mengejutkanku. Aku kemudian memakai cahaya di ponselku untuk bisa menerangi beberapa sudut tempat di bawah kolong jembatan. Hingga aku menemukan seseorang sedang bersandar di tembok. Betapa kagetnya aku. Aku bisa mengenali kalau itu adalah Bejo. Mulutnya mengeluarkan darah banyak. Kuhampiri dengan perlahan setelah beberapa saat berada di depannya. Aku menyoroti mulutnya dengan ponselku. Tampak mulutnya ditembak hingga tembus ke belakang. Serasa perutku mual saat itu juga. Aku pun muntah-muntah.
Laura pun tak tahan, hingga kami berdua mual. Siapa orang ini? Siapa yang membawa ponsel Bejo? Dan setelah itu SMS yang mengejutkan datang lagi. Kali ini bersamaan. Dari Parto dan Tanto. Isinya sama.
"Temui Aku Di Rumah, Penting!"
Akhirnya mau tak mau aku harus pergi dari tempat itu. Aku menuju rumah Parto. Hasilnya pun sama. Dan lebih sadis, seluruh keluarga mereka dibantai. Caranya sama, ditembak sampai mati. Siapa mereka ini? Kenapa mereka melakukan hal ini. Dan di rumah Tanto pun demikian. Tanto dibunuh beserta keluarganya. Dengan cara ditembak sampai mati. Mau tak mau akhirnya aku dan Laura harus menyembunyikan diri di sebuah hotel. Kami menyewa sebuah hotel untuk tempat bersembunyi sementara waktu dan menunggu perkembangan lebih lanjut.
Laura dan aku menggigil. Ia memelukku dan berusaha menenangkanku. Bagaimana mungkin orang-orang itu bisa dibunuh begitu saja. Siapa pelakunya. Kalau ia bisa meneleponku dari ponsel Bejo, berarti ia tahu siapa aku. Jadi kurang lebih aku adalah sasaran mereka. Mereka? Apakah pelakunya lebih dari satu? Aku tidak tahu. Laura tak sanggup lagi menemaniku hingga ia lelah dan tertidur. Aku masih membuka mataku berpikir siapakah musuhku kali ini. Apakah aku harus pulang? Tidak. Kalau aku pulang, mereka pasti akan menarget keluargaku juga. Aku pun kemudian menelpon Kak Vidia dan Nur.
"Halo?" sapaku.
"Ya... oh... papah, ada apa?" Tampak kudengar suara Kak Vidia sedikit parau. "Malem banget nelponnya, ada sesuatu?"
"Oh, tidak ada apa-apa, c-cuma ingin dengar suaramu saja," kataku.
"Ah papah, romantis banget malem-malem gini. Gombalnya besok aja deh, capek nih ngurus si kecil. Apa papah lagi kepengen?" tanyanya.
"I-iya nih, kangen ama kamu," kataku.
"Mau kami kerjai lagi seperti kemarin?" tanyanya.
"Hush, awas ya! Besok aku balas kamu," kataku.
"Hihihi, coba aja, udah ah... ngantuk nih pah, sambung besok ya?" katanya.
"Iya, selamat tidur sayangku," kataku.
"Bye papah," kata Kak Vidia setelah itu menutup telepon.
Kemudian aku menelpon Nur. "Halo, Nur?" sapaku.
"Hmm... siapa ini...??" suaranya parau. Ia juga terbangun sepertinya.
"Ini aku," kataku.
"Oh.. papah, ada apa pah?" tanyanya.
"Tidak ada apa-apa, cuma ingin nelpon saja. Gimana si kecil?" tanyaku.
"Baik-baik saja sih, tadi sempat rewel sebentar tapi udah tenang setelah mimik susu," katanya.
"Oh begitu, baiklah lanjutkan tidur saja kalau begitu," kataku.
Semua keluargaku aman. Kalau begitu siapa yang melakukan semua ini? Apakah tetangga-tetanggaku itu? Mungkinkah suami mereka marah karena perlakuanku kepada istri-istri mereka? Aku tak habis pikir. Dan aku pun terlalu lelah setelah menyetir seharian dan menemukan banyak mayat. Aku pun tertidur di samping Laura.
***
Pagi sudah datang, aku kesiangan. Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi. Laura masih tertidur, dengkurannya halus. Entah kenapa aku sekarang jadi orang yang sangat ingin menjaga sepupuku ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku yang harus menjadi targetnya? Aku mengambil bungkus rokok, kubuka pakaianku dan kubuka jendela. Angin segera masuk dari jendela. Kunyalakan dan kuhisap rokokku dalam-dalam. Sambil terus berpikir apa yang setelah ini aku lakukan. Banyak pertanyaan dan banyak yang tak bisa kujawab.
Dari lantai dua hotel ini, aku bisa melihat halaman parkir. Tampak kendaraan-kendaraan sedang mengantri karena macet di jalan raya. Beberapa jendela kamar hotel pun terbuka. Nampaknya tamu hotel kali ini cukup banyak. Aku teringat mungkin ada berita tentang pembunuhan yang terjadi barusan. Aku segera menghidupkan tv. Dan benar, tepat ketika aku menyalakan chanel tv lokal, langsung ada berita pembunuhan. Berita pembunuhan Bejo, kemudian berita pembunuhan keluarga Parto dan Tanto. Lalu disusul berita pembunuhan ayah dan anak ketika sedang beradegan ranjang. Mereka semua dikenal baik oleh para tetangga dan tak punya musuh. Polisi masih melakukan visum terhadap mayat-mayat yang ditemukan. Dan sepertinya mereka mempunyai benang merah bahwa kasus tersebut berhubungan, karena projektil peluru yang ditemukan ukurannya sama, dan sepertinya dari senjata yang sejenis.
Laura terbangun, dan menyaksikan berita itu. "Apa yang kita lakukan sekarang?" tanyanya.
"Sementara ini kita masih menunggu keadaan. Sebentar lagi mungkin kau akan dihubungi oleh pihak yang berwajib. Aku ingin kau tak menceritakan apapun tentang apa yang kita lakukan," kataku.
"Iyalah, bodoh apa aku?" katanya.
"Tapi aku tak percaya kepadamu, camkan itu. Kalau sampai kau bilang sesuatu yang membahayakan aku, aku akan memburumu!" kataku.
"Don, sudahlah. Aku sudah minta maaf kepadamu. Aku rela sekarang engkau lakukan apapun kepadaku, bahkan engkau bunuh aku pun agar kau puas aku rela!" kata Laura.
Aku lalu menjambak rambutnya. Ia menatapku dengan tajam. Matanya tampak seperti tak ingin lepas dariku.
"Aku bersungguh-sungguh," kata Laura. "Aku sudah janji kepadamu. Aku bukan orang yang sering mengingkari janji."
Aku lalu melepaskannya. Terlalu percuma energiku kuhabiskan untuk marah-marah. Aku ingin menghabiskan energiku untuk hal yang lain, seperti menelpon ponsel Bejo atau Parto atau Tanto misalnya. Aku kemudian mulai menelpon Bejo. Tak ada jawaban. Parto kutelpon tak ada jawaban, Tanto pun begitu. Namun ponsel mereka masih nyambung. Itu artinya ponsel mereka dibawa oleh pelaku. Dan pelaku tahu kalau aku akan menelpon. Berkali-kali aku menelponnya tapi tak ada yang mengangkat akhirnya aku pun menyerah. Kubiarkan ia menelponku. Ia pasti akan menelponku, sang pelaku pasti ingin sesuatu dariku.
Satu hari kami menginap di hotel. Polisi pun sudah menelpon Laura dan memberitahu kondisinya. Aku pun menyuruh Laura untuk pulang saja agar polisi tidak curiga. Akhirnya ia setuju untuk pulang. Aku yang mengantarnya sampai di rumahnya. Setelah itu aku kembali lagi ke hotel. Dua hari, tiga hari berlalu dan tak ada kabar dari si pelaku. Entah apa maksudnya dengan membunuh orang-orang itu. Akhirnya pada hari keempat, aku pun pulang. Lebih tepatnya ke rumah bunda. Terakhir kali rumah itu dihuni oleh Kak Vidia dan Nur, tidak tahu sekarang apakah sepi ataukah ada orangnya.
Tinggal selama beberapa hari di hotel merupakan keputusan yang tepat kurasa. Aku tak dicari siapapun. Tak ada yang menelponku kecuali istri-istriku. Aku kira semuanya fine-fine saja, hingga aku tak percaya terhadap apa yang terjadi setelah itu.
***
The Twist
Malam telah merayap mengerubung seperti semut hitam. Perasaanku mulai tenang karena polisi sepertinya tak menaruh curiga kepadaku. Pulang ke rumah merupakan sesuatu hal yang lebih nyaman kurasa. Ibarat pepatah bilang, "Rumahku adalah surgaku" mungkin memang benar. Di rumah aku bisa menemukan kedamaian daripada di luar sana. Rumah sepertinya sepi, terlihat ruangan masih gelap. Maka dari itu aku tak menaruh curiga bahwa ada orang di dalam sana. Namun ketika aku memasukkan anak kunci ke lubangnya sepertinya ada yang aneh. Pintu tidak terkunci. DEG, jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Aku melihat di keset tampak ada jejak kaki. Sejujurnya aku ketakutan. Tapi karena sudah terlanjur, aku harus siap. Kubuka pintu rumah dan masuk.
Setelah beberapa langkah maju BUK! Aku tak sadar.
Tak berapa lama kemudian aku terbangun. Diriku duduk di sebuah kursi dengan keadaan tanganku terikat ke belakang. Aku mulai membuka mata. Tapi keadaan masih gelap. Kucoba untuk berdiri.
"Duduk!" sebuah suara sedikit parau mengejutkanku.
"S-siapa?" tanyaku. Aku tak bisa melihat siapa-siapa di ruangan tanpa cahaya ini. Namun kakiku menyentuh kursi.
"Duduk saja!" kata suara itu. "Sebuah revolver sudah mengarah kepadamu, kuharap kau tak macam-macam."
Dengan gemetar, aku pun duduk. "Siapa kau?" tanyaku.
"Tak kusangka kau benar-benar orang yang bejat. Apa kau tahu, kau telah menyakiti orang-orang yang aku sayangi?" katanya lagi. Suaranya seperti orang tua. Dari nadanya ia adalah seorang laki-laki. Ya, laki-laki yang sudah tua.
"Kau ini siapa? Apa maumu?" tanyaku.
"Apa yang aku inginkan?" katanya. "Aku tak inginkan banyak hal. Aku hanya ingin merebut kembali apa yang dulu pernah ada. Aku hanya ingin merebut kembali kebahagiaan yang dipunyai oleh orang-orang yang aku cintai. Kau tidak mengerti apa itu cinta, cinta yang butuh kepada pengorbanan, bukan nafsu semata. Nyatanya kau telah melakukan hal yang sama sekali tak pernah aku duga. Bagaimana mungkin kau bisa merengkuh cinta dari ibumu sendiri? Juga saudari-saudarimu? Bahkan punya anak dari mereka. Otakmu benar-benar sudah tidak waras."
Aku mulai mengingat-ingat suara ini, siapa dia? Tapi aku tak pernah punya memori tentang suara orang ini. Bagaimana ia bisa mengetahui permasalahan ini sampai sedetail itu.
"Kau mungkin terkejut sekarang dan bertanya-tanya, bagaimana aku bisa tahu," orang itu mengambil nafas sejenak. "Sebenarnya kalau hanya soal uang, aku bisa melakukannya. Membayar orang-orang yang membuat identitas palsu atas dirimu agar tak diketahui sebagai incest, aku bisa mendapatkan semuanya. Bahkan sebagai bonus, aku melihat rekaman perkosaan Laura atas dirimu dan orang-orang biadab itu. Ya, kalau kau tanya apakah aku membunuh mereka semua, benar sekali. Aku yang membunuhnya dan tak ada yang sulit bagiku."
"Kau ini siapa?" tanyaku.
Saklar pun dinyalakan sehingga lampu ruangan menyala. Terkejutlah aku di hadapanku ada tiga orang yang sedang terikat dan mulut mereka dilakban. Kak Vidia, Nur dan... Laura??? Bagaimana bisa mereka ada di sini. Dan seorang lelaki bertubuh tegap tampak baru saja menyalakan saklar lampu. Wajahnya menunjukkan ia sudah tua. Sementara itu Kak Vidia, Nur dan Laura terikat di kursi. Dari mata mereka yang berkaca-kaca, aku tahu bahwa mereka sama sekali tak berdaya. Apa yang terjadi? Siapa lelaki ini? Aku sama sekali tak mengenalnya.
"Aku tahu kau tak mengenalku. Tentu saja kau tidak mengenalku, karena kau tak pernah bertemu denganku. Tapi aku tahu seluruh kehidupanmu. Kalian semua masih keluargaku. Dan aku akan memberitahukan siapa aku. Namaku Burhan, ayah Laura," katanya.
Kata-katanya itu mengejutkanku. Ayah Laura. Ta... tapi kalau memang ia pelakunya, lalu kenapa ia membunuh Anisa, cucunya sendiri?
"Mungkin banyak pertanyaan-pertanyaan di benakmu sekarang ini," ia berkata sambil sedikit terisak. Diseka matanya yang mengeluarkan air mata. Tangan kanannya masih memegang revoler berwarna perak. Saat ini jantungku berdetak lebih kencang dan rasanya adrenalinku terpacu.
"Biar aku jelaskan sedikit. Melihat orang-orang brengsek itu memperkosa putriku, aku sangat terpukul. Sebagaimana aku terpukul mengetahui kenyataan bahwa ayahmu telah menghamili Laura. Aku pun telah membunuhnya. Iya, akulah orang yang telah menghabisi ayahmu. Kubuat seperti kecelakaan. Orang itu tak pantas untuk hidup. Dan semenjak itu, akupun benci kepada cucuku sendiri. Cucu yang dulu aku sayangi ternyata adalah hasil dari perbuatan zina. Rasanya dendam yang ada di dalam hatiku ini belum lunas. Apalagi setelah mengetahui adikku meninggal tapi meninggalkan seorang anak. Dengan siapa dia berhubungan? Dengan siapa ia menikah? Aku pun curiga dan mulai menggali informasi tentang siapa suaminya. Ternyata suaminya adalah kau. Anaknya sendiri."
Burhan duduk di sofa. Revolver itu tetap berada di tangannya. Aku pun memutar otak bagaimana caranya agar bisa melumpuhkan orang ini.
"Sungguh aku terpukul. Sangat terpukul, aku dilanda amarah, kuhabisi orang-orang yang memperkosa Laura. Aku pertama kali membunuh suami Laura dan anaknya. Mereka berdua tak pantas hidup. Bagaimana mungkin ayah dan anak melakukan perbuatan itu? Dan kemudian kubunuh ketiga orang brengsek itu yang kau bayar untuk menyetubuhi Laura. Dan sekarang tinggal kau sendiri, revolver inipun tinggal satu peluru. Rasanya cukup untuk melepaskan timah panas ini ke kepalamu," kata Burhan.
"Anak-anakku, kau apakan mereka?" tanyaku.
"Tenang saja, aku akan cari cara untuk membunuh mereka. Kau tak perlu khawatir," jawabnya.
Brengsek. Bagaimana ini?
Laura tampak ingin berkata-kata. Tapi karena mulutnya tertutup lakban ia hanya bisa bergumam. Kak Vidia dan Nur menangis. Mereka mencoba berteriak tapi tak bisa. Kata-kata yang keluar dari mulut Burhan benar-benar membuat mereka takut. Apalagi dengan kenyataan bahwa ia pasti akan membunuh kami semua.
Burhan pun kemudian berdiri. Ia mengusap rambut putrinya. Ia ciumi kepala putrinya lalu menampar wajahnya. Orang ini sepertinya tidak waras. Kemudian ia menampar wajah Kak Vidia, disusul juga dengan Nur.
"Hentikan!" kataku.
Ia mengacungkan pistolnya ke arahku. Aku tak bisa berdiri dan hanya menyaksikan perbuatan Burhan.
"Hei, pelacur?!" Burhan menjambak kerudung Kak Vidia. Ditodongkan revolver tepat di pelipisnya. Aku tak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa menyaksikan semua itu. "Berapa banyak kau bercinta dengan suamimu? hah? Kau mungkin sekarang sedang ketakutan. Tak perlu khawatir, kalau kau ketakutan itu wajar. Doni, aku ingin kau tahu bahwa orang tua ini pun masih gagah, masih bisa memuaskan wanita. Aku ingin kau lihat bagaimana aku akan memperkosa istri-istrimu, hahahahaha...."
"Brengsek! Sebaiknya kau tembak aku saja daripada kau melakukan hal itu!" kataku.
"Kau kira aku tak bisa melakukannya? Tidak tidak tidak. Memang revolver ini cuma satu peluru tapi aku bisa menembak ke salah satu keluargamu. Mau Vidia dulu, ataukah Nur, ataukah anak-anakmu dulu?" Burhan mengancamku.
Lagi-lagi aku cuma bisa diam. Kursi yang aku duduki sangat jauh dari manapun. Aku hanya bisa duduk. Ikatan ini sangat kuat, aku tak bisa bergerak dari kursi. Namun aku terus menerus berusaha meronta agar ikatan yang mengikat tanganku bisa lepas.
Burhan membuka lakban yang menutupi mulut Kak Vidia. Kak Vidia tampak menangis. Revolver itu mengarah ke pelipisnya dan tiba-tiba Burhan mencium bibirnya. Bangsat, aku ingin segera menghajar orang tua ini, tapi takut kalau pistol itu meletus dan kak Vidia jadi korban. Kak Vidia tak bisa melawan, ia berusaha menghindar dari lumatan lelaki yang tak lain adalah pamannya sendiri ini. Setelah puas menghisap sari mulut Kak Vidia Burhan berbuat lebih jauh lagi. Ia membuka resleting celananya dan mengeluarkan batang penisnya. Batang penisnya tampak sudah tegang.
"Jangan teriak atau peluru ini menembus kepalamu, sekarang berikan pamanmu ini kepuasan seperti yang kau berikan kepada adikmu!" perintah Burhan.
"Tidaaak...!" Kak Vidia berteriak, namun lagi-lagi ia ditampar.
Bangsat, aku tak bisa bergerak. Kalau saja aku bisa bergerak. Aku pun berusaha menggesek-gesek tali yang mengikatku dengan cara meronta-ronta. Lelaki ini benar-benar sudah gila.
Laura tampak menggeleng-geleng dan juga meronta-ronta. Nur pun demikian. Dari air matanya aku bisa pastikan ia sedang berusaha untuk bisa lepas dari ikatannya. Kak Vidia kemudian terdiam. Ia melirik ke arahku. Aku menggeleng agar dia tidak melakukannya. Tapi ia pun mengangguk. Ia dipaksa untuk membuka mulutnya, ujung revolver itu masuk ke mulutnya. Kak Vidia ketakutan. Akhirnya ia buka mulutnya. Saat itulah sebatang daging masuk ke dalam mulutnya dan ujung revolver itu keluar dari mulut Kak Vidia. Kak Vidia tak bisa berontak. Penis berkulit hitam dan berotot itu masuk ke mulutnya.
"Ayo hisep, dasar pelacur!" Burhan mengumpat lagi. Kak Vidia tak bisa melawan. Mulutnya pun menjadi sebuah alat kenikmatan untuk memuaskan nafsu Burhan yang sudah kalap. Kak Vidia menyedot penis itu hingga pipinya kempot. Kepalanya pun ditarik-tarik dengan kasar oleh Burhan.
"Ahh... bedebah, baru kali ini aku nikmatin disepong cewek berjilbab. Teruss... yaaa gitu, lidahmu juga dong mainin di kepalanya. Jangan diem aja!"
Sementara Burhan sedang menikmati sepongan Kak Vidia, aku mengatur strategi cara agar aku bisa melumpuhkannya. Dengan keadaan terikat ini aku tak mungkin bisa leluasa. Satu-satunya cara yang harus aku lakukan adalah melepaskan ikatan. Namun karena saking kuatnya ikatan ini, mungkin butuh waktu. Bisa saja aku dengan kakiku berjalan sambil tanganku masih terikat di kursi. Tapi itu ide buruk. Di film-film berjalan dengan kursi terikat itu bisa saja terjadi. Apalagi sang jagoan bisa langsung menghantamkan kursinya ke arah musuh, tapi ini realita guys! Gila apa??? Salah-salah itu revolver meletuskan isinya ke kepala kak Vidia. Tapi spekulasi juga sih, antara yakin dan tidak yakin terhadap isi dari revolver itu. Apakah benar tinggal satu pelurunya? Ataukah tidak? Atau ia cuma menggertak padahal revolver itu tidak ada isinya?
Kemudian aku punya ide yang agak gila. Tapi aku tak yakin itu akan berhasil. Meskipun begitu patut dicoba. Yang harus aku lakukan pertama kali adalah melepaskan ikatan ini. Aku terus berusaha untuk bisa lepas. Dengan sekuat tenaga aku mencoba untuk bisa melonggarkan ikatannya. Tanganku sakit, pergelangan tanganku mungkin sudah lecet. Aku bisa merasakan perihnya di pegelangan tanganku.
Kak Vidia masih mengoral penis Burhan. Kepalanya naik turun memberikan efek kenikmatan surgawi bagi Burhan. Burhan sendiri masih waspada. Ia menekan sampai deep throat. Kak Vidia hampir saja muntah. Ia tersedak.
"Anjing, enak banget seponganmu. Pantes saja adikmu bisa setia banget sama kamu," kata Burhan. Kemudian lagi-lagi ia menjambak kerudung Kak Vidia lalu penisnya dimasukkan lagi ke mulut kak VIdia. Kali ini pinggulnya bergoyang dengan cepat.
Kak Vidia gelagapan. Burhan sepertinya mau keluar, ekspresi wajahnya menandakan itu semua. Dan tiba-tiba ia menahan kepala Kak Vidia dan penisnya dimasukkan sedalam-dalamnya ke dalam mulut kak Vidia. Kak Vidia gelagapan. Pinggul Burhan menghentak-hentak beberapa kali. Lalu ia cabut penisnya dari mulut Kak Vidia.
"Aaaahhh... enak banget, manis!" kata Burhan. "Baru kali ini aku merasakan oral seenak ini."
Kak Vidia langsung muntah. Muntahannya bercampur dengan sperma si Burhan. Dari mulutnya tampak air liurnya meleleh. Burhan lalu tak tinggal diam. Ia segera merobek baju Kak Vidia. Gamis kak Vidia pun terbuka. Bra yang menutupinya pun kemudian ditarik ke atas. Segera saja dua bukit kembar milik Kak Vidia terekspos.
"Lho, lho, lho. Putingmu koq menggoda banget. Masih kemerahan warnanya. Pasti ini keturunan adikku bisa sampai seperti ini. Dan pasti ada ASI-nya bukan? Aku coba ya?" kata Burhan. Ia langsung mengenyoti buah dada Kak Vidia. Kak Vidia tak bisa berbuat banyak ia hanya mengaduh dan mengeluh ketika hisapan-hisapan di teteknya membuat air susunya ikut keluar. Burhan menikmatinya. Ia dengan gemas meremas-remas ke buah dada keponakannya itu.
Kak Vidia tak mampu melawan saat putingnya dirangsang. Burhan ternyata mampu menaikkan libidonya. Revolver itu sudah ditaruh di lantai. Otakku masih bekerja, aku harus tetap mencoba melepaskan tali yang mengikat ini. Sementara itu Kak Vidia terus dirangsang oleh Burhan. Burhan tak hanya mengisapi teteknya, tapi kulit payudara Kak Vidia yang putih itu pun tak luput dari hisapan-hisapan. Hingga di bawah cahaya lampu sepasang buah dada itu mengkilat karena ludah dari Burhan. Lebih jauh lagi sekarang Burhan menaikkan rok Kak Vidia dan mengangkat kedua paha kakakku itu.
Ia dengan kasar menarik celana dalam Kak Vidia dan dilempar begitu saja. Burhan berhenti sejenak. Ia menoleh ke arahku. Aku menatap matanya dengan tajam.
"Sialan, pantes saja kamu suka ama kakakmu sendiri. Memeknya legit seperti ini," kata Burhan. Sejurus kemudian mulutnya sudah berada di belahan memek Kak Vidia.
Kak Vidia meronta-ronta dan menjerit. Siapapun wanita kalau dirangsang seperti itu pasti tak akan tahan. Kak Vidia meneteskan air mata. Ia menggigit bibirnya menahan rasa geli yang kini mulai menyerang sekujur tubuhnya. Tangan Burhan masih saja menggerayangi toket kakakku itu.
Lidah Burhan sudah basah oleh cairan kemaluan Kak Vidia. Ditambah lagi ia menjilati klitoris kakakku sehingga kak Vidia tak bisa lagi menahan kegelian ini. Ia mendekapkan pahanya hingga mengapit kepala Burhan. Burhan kemudian tertawa terbahak-bahak ia menghisapi cairan kewanitaan Kak Vidia hingga tak bersisa.
"Hahahaha... aku ternyata bisa membuatmu orgasme ya?" kata Burhan.
Aku merasakan tali yang mengikatku sudah terasa sedikit longgar. Berarti usahaku tak sia-sia. Aku ulangi lagi menggesek-gesek tali yang mengikatku. Dan dengan terpaksa lagi-lagi aku harus menikmati perkosaan Kak Vidia di hadapanku. Burhan sudah menurunkan celananya. Kini tubuh bagian bawahnya sudah tak punya penghalang lagi. Kak Vidia terikat di kursi, kakinya dinaikkan dan ditekuk, sehingga ia tak bisa meronta selain menerima apa pun yang akan dilakukan Burhan. Penis Burhan yang besar itu mulai menyentuh bibir kemaluan Kak Vidia. Kemudian dengan dorongan pelan kepala penis berwarna kemerahan itu masuk ke liang senggama. Liang yang selama ini aku masuki sekarang dimasuki penis lain.
"Ohhh... anjiingg... enak banget..." racau Burhan. "Pantes kamu kepengen banget ngentot kakakmu sendiri."
Burhan pun kemudian menggoyang pinggulnya maju mundur. Ia merem melek merasakan kenikmatan yang dia rasakan. Burhan mendapatkan kenikmatan surgawi. Gesekan-gesekan kemaluannya dengan kemaluan Kak Vidia membuatnya melayang. Ia menatap wajah kak Vidia yang menyiratkan kenikmatan juga. Bibir kak Vidia terkatup dan giginya menggigit bibir bawah. Wajah kak Vidia yang cantik makin membuat Burhan bersemangat untuk menggenjot kakakku itu. Aku terus berusaha melepaskan diri, sedikit lagi tali itu bisa lepas. Revolver Burhan sudah ada di lantai, aku punya kesempatan.
Burhan terus menggoyangkan pantatnya maju mundur, Laura terus meraung-raung tertahan agar bisa lepas. Nur pun sudah tak sanggup lagi melihat apa yang terjadi dengan kakaknya. Ia mungkin merasa sebentar lagi adalah gilirannya. Ia pun pasrah, terlebih lagi melihatku yang tak bisa berbuat apa-apa. Namun karena rasa khawatirnya Nur itulah aku makin bersemangat untuk bisa melepaskan diri. Sedikit lagi, aku bisa lepas. Dan yang pertama kali aku lakukan adalah membanting kursi ini ke kepala Burhan.
Burhan terus bergoyang, "Aaahh... enak... ohh... hhmmmmhh... paman mau ngecret nih, enak banget empot-empotmu Vidia. Ohhh... yaahh.. yaaahh... paman... pamaaaaan mau keluuuuuaaarr...!" Burhan mempercepat goyangannya. Pertanda orgasmenya sudah di ujung penisnya.
Saat itulah aku bisa terlepas. Aku yang tersadar sudah terlepas dari ikatan ini segera melepaskan tali yang membelit lenganku dan kursi. Setelah itu kuangkat kursi yang kududuki. Kuhantamkan ke kepala Burhan. BRAK!! Kursi itu terbuat dari kayu jati. Pastinya rasanya sakit dan kayu jati ini sangat keras. Bukan seperti yang ada di film-film kursinya mudah hancur. Yang ini tak bisa hancur begitu saja. Burhan tentu saja kaget. Tapi ia tak sempat bergerak karena, pukulan kursi itu tidak sekali, tapi berkali-kali. Hingga ia tersungkur di lantai. Saat itu penisnya tercabut dan ketika jatuh spermanya muncrat dan penisnya berkedut-kedut. Ia ejakulasi sambil pingsan. Dan yang terakhir aku menendak revolvernya agar jauh dari jangkauannya. Spesial kutendang buah zakarnya. Ia pun menjerit lalu pingsan.
Bersambung
No comments:
Post a Comment