Sobri
Handoko, 50 tahun, akhirnya menghela napas lega setelah berhasil memarkir
mobilnya di halaman sebuah rumah yang hampir-hampir dikatakan kumuh itu. Jalan
depan yang begitu sempit memaksa duda beranak satu ini harus berjibaku, mengeluarkan
seluruh kemampuan mengemudinya hanya demi memarkir CRV hitamnya di halaman
rumah yang sedari pagi tadi dicari-carinya. Rumah
itu berdesain kuno, bukan antik. Sepertinya rumah itu telah berdiri sejak zaman
penjajahan Belanda dan belum pernah sekalipun direnovasi. Untungnya, rumah itu
memiliki halaman yang cukup luas dan penuh dengan pepohonan hijau sehingga
setidaknya sedikit membuatnya berkesan teduh dan menyenangkan para tamu.
Pak Sobri
yang bertubuh kurus dengan keriput yang jelas nampak di sana sini, khas pria yang sudah menginjak
usia tuanya, langsung menutup pintu mobilnya sendiri begitu ia keluar. Ototnya
terlihat masih berisi di usia senjanya membuat ia belum tampak seperti
kakek-kakek setengah renta. Di sisi mobil mewah tersebut, telah menunggunya
seorang lelaki paruh baya yang berusia sekitar 30 tahunan yang tadi juga ikut
membantu pak Sobri memarkirkan mobilnya
Lelaki itu
berparas tampan dengan jenggot tipis menggantung di dagunya. Walau pakaiannya biasa saja, kaos oblong dengan sarung, namun tubuhnya
terlihat begitu tegap. Penampilannya kontras sekali dengan Pak Sobri yang
tampil sedikit perlente namun tetap saja wajahnya terkesan buruk rupa dan
bahkan sinar matanya yang tajam melirik kiri kanan terlihat amat menyeramkan.
“Assalamualaikum, Ustadz Mamat. Lama tak ketemu nih, apa kabar di rumah?” tanya pak Sobri pada lelaki yang jauh lebih muda dari dirinya itu sambil menjabat tangannya.
Ternyata lelaki muda itu adalah Ustadz Mamat Salam, seorang dari lulusan
Universitas Islam Madinah yang lumayan cukup terkenal di wilayah Cibubur.
“Waalaikumsalam, Pak Sobri. Alhamdulillah saya baik-baik saja. Bapak juga sehat-sehat
saja kan?“ demikian jawab Ustadz Mamat mulai berbasa-basi dengan Pak Sobri yang
baru datang. Dari cara berbicara mereka tampak bagaikan dua teman akrab yang
sejak lama tidak pernah bertemu.
“Ya, begitulah baik-baik saja. Rumah ustadz terpencil begini, jadinya saya
kesasar melulu, hehe.“ jawab pak Sobri menyambut ucapan ustadz Mamat sambil
berusaha membuat gurauan.
“Yah, beginilah keadaan saya, Pak. Mari silahkan masuk sajalah ke dalam,” sambung ustadz Mamat mempersilahkan tamunya melewati pintu rumahnya.
Begitu masuk Pak Sobri langsung melihat sekelilingnya. Ternyata interior
rumah tersebut tidak jauh berbeda dengan tampilan luarnya. Hanya ada sebuah
meja dan empat buah kursi dari bambu di ruang tamu tersebut, tak ada yang lain.
Ruang tamu dipisahkan dengan bagian belakang rumah tersebut oleh sebuah tirai
hijau besar yang berfungsi sebagai hijab.
“Mari-mari, silahkan duduk, pak Sobri. Seadanya saja, jangan malu-malu. Anggap
rumah sendiri,” ustadz Mamat mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu.
“Ummi, ummi... coba tolong ambilkan minuman, abbi kedatangan tamu nih,”
teriak Ustadz Mamat pada isterinya yang ada di balik hijab.
Begitu Pak Sobri duduk, mereka kembali melanjutkan dialog yang renyah dan
santai. Sepertinya mereka sudah lama kenal dan terlihat begitu akrab.
“Hehe, lalu bagaimana kabar buku terbaru Ustadz, kira-kira kali ini akan
mengambil tema baru apa, atau melanjutkan pelbagai tema lama tapi yang tetap
hangat itu?” tiba-tiba Pak Sobri memulai pembicaraan yang sedikit serius.
Sudah sekitar
2 tahun lebih Ustadz Mamat bekerja sama dengan Pak Sobri dalam penerbitan
buku-bukunya. Pak Sobri yang cukup kaya dan dermawan itu dengan ikhlas membantu
Ustadz Mamat menyediakan dana untuk penerbitan buku-buku berisikan tema agama.
Ia adalah mantan juragan tanah yang ingin bertobat dari perbuatan-perbuatan
nistanya di masa lalu dan berguru pada Ustadz Mamat. Saat ini pun, kedatangan
Pak Sobri adalah untuk membahas soal penerbitan buku-buku agama.
Sejak dahulu,
mereka membahas segala sesuatu tentang penerbitan buku, pada umumnya hanya
lewat tilpon. Paling hanya sekitar 4-5 kali mereka bertemu di kantor
penerbitan. Namun kali ini, Pak Sobri ingin berbicara langsung dengan Ustadz
Mamat di rumahnya. Selain untuk bersilaturrahmi dengan Ustadz Mamat, pak Sobri
sebagai ayah satu orang putri ini memang ingin mengunjungi putri dan menantunya
yang juga tinggal di daerah Cibubur. Ia sendiri tinggal di Bandung. Oleh karena itu, tadi pagi Pak Sobri
sedikit kerepotan mencari rumah Ustadz Mamat yang ternyata cukup terpencil,
karena memang ia baru pertama kalinya mengendarai mobil sendiri memasuki daerah
terpencil itu, beberapa kali ia harus turun dan menanyakan jalan pada orang
yang lewat.
“Kemungkinan besar sih bertemakan Ramadhan, Pak. Seperti yang kita tahu bulan Ramadhan kan sudah dekat, jadi sepertinya ini waktu yang tepat untuk menerbitkan buku bertemakan Ramadhan, sehingga dapat dipakai renungan.” demikian Ustadz Mamat berusaha menerangkan isi karangan bukunya.
“Kemungkinan besar sih bertemakan Ramadhan, Pak. Seperti yang kita tahu bulan Ramadhan kan sudah dekat, jadi sepertinya ini waktu yang tepat untuk menerbitkan buku bertemakan Ramadhan, sehingga dapat dipakai renungan.” demikian Ustadz Mamat berusaha menerangkan isi karangan bukunya.
Mulailah
mereka membahas banyak hal seputar penerbitan buku, mulai dari budget,
deadline, dan desain buku. Mereka begitu asyik berbincang hingga hampir-hampir
mereka tak mendengar ketika isteri Ustadz Mamat memanggil suaminya dengan suara
yang halus hampir tak terdengar.
“Abi, ini silahkan dicoba minumannya bersama,” demikian desah suara lembut nan merdu terdengar dari balik tirai.
Pak Sobri pun
mengerti karena memang para akhwat biasanya memerdukan dan merendahkan suara
bila berbicara dengan suaminya. Sungguh beruntung Pak Sobri bisa mendengar
suara suci nan merdu tersebut, apalagi sesaat kemudian sepasang tangan yang
begitu putih, mulus, terawat, tanpa cela milik seorang isteri yang shalihah
dengan jari-jarinya yang lentik keluar dari bawah tirai sambil menyodorkan
nampan. Dengan mendengar suara dan melihat jarinya saja, darah kejantanan Pak
Sobri yang sudah 5 tahun menduda dan tak tak pernah puas ingin selalu merasakan
belaian wanita itu langsung berdesir.
Namun ia
cepat-cepat menghapus pikiran kotornya, ia sadar bahwa wanita di balik tirai
itu adalah isteri Ustadz Mamat yang merupakan gurunya. Walaupun sebenarnya, Pak
Sobri telah lama sekali benar-benar penasaran terhadap isteri Ustadz Mamat
tersebut, bahkan terbersit keinginan untuk berkenalan, melihat dan menjamah
kulitnya yang pasti halus sangat terawat.
Pak Sobri pun mengingat-ingat akad nikah Ustadz Mamat yang dihadirinya sekitar satu setengah tahun yang lalu di Bandung. Isteri Ustadz Mamat bernama Aida Handayani, anak pertama dari pasangan Arief Ubaidillah, seorang keturunan Arab, dan Siti Nurhana, mantan sinden cantik asli Bandung. Pasangan itu mempunyai 4 orang puteri yang, kata orang, semuanya cantik-cantik dan taat beragama. Baru Aida yang telah menikah dengan Ustadz Mamat, yang lainnya masih gadis.
Putri kedua
mereka bernama Farah Wulandari, lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang
kini menjadi seorang penulis novel islami. Adiknya yang masih 20 tahun, Nurul
Tri Lestari, masih menjalani kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.
Sedangkan yang paling bungsu, Asma Maharani, masih duduk di bangku SMA di
Bandung.
Pak Sobri
mendapatkan informasi itu semua dari Ustadz Mamat sendiri ketika beliau akan
menikah. Waktu itu memang Pak Sobri turut membantu persiapan pernikahan
tersebut karena ia juga tinggal di Bandung.
Pikiran kotor Pak Sobri pun langsung melayang tinggi, “Melihat tangan udah
bikin horny, bagaimana kalau gue bisa melihat seluruh tubuh Ukhti Aida yang
katanya cantik itu, huhu, bagaikan kena undian berhadiah ratusan juta.”
demikian pikir pak Sobri.
Sebelum
bertobat dan berguru dengan Ustadz Mamat, Pak Sobri adalah seseorang yang boleh
dibilang cukup bejat. Dengan harta yang dimiliki, ia sering main perempuan.
Entah berapa orang pelacur yang sudah ia pakai. Minuman
keras dan judi pun telah menjadi makanan sehari-harinya. Sampai-sampai
isterinya tak kuat menahan beban berat seperti itu dan jatuh sakit kemudian
meninggal. Sejak kematian isterinya itulah Pak Sobri mulai ingin bertobat, dan
kebetulan ia bertemu dengan Ustadz Mamat.
Ustadz Mamat membimbingnya untuk kembali ke jalan yang benar, dan sebagai
gantinya pak Sobri membantu Ustadz Mamat menerbitkan buku-buku Islam. Namun
akhir-akhir ini, beberapa teman lamanya datang ke rumahnya dan Pak Sobri pun
sedikit terpengaruh dan kembali menyewa pelacur-pelacur di Bandung. Jadi wajar
kalau pikirannya pun kini dipenuhi dengan imajinasi-imajinasi yang kotor
membayangkan tubuh dari istri gurunya itu.
Seperti doa yang langsung terkabul, tiba-tiba sebuah angin kencang
menerobos masuk dari arah pintu depan dan langsung menembus tirai hijau besar
itu. Ustadz Mamat baru sadar kalau ia telah lupa menutup pintu depan tadi.
Seketika itu pula tirai itu terbuka lebar menampakkan dengan jelas apa yang ada
di baliknya. Pak Sobri pun mendapatkan apa yang baru saja diimpikannya.
Aida Handayani, isteri Ustadz Mamat yang baru berusia 26 tahun itu sedang
terduduk sambil sedikit menunduk. Ia tampak kaget ketika tirai di hadapannya
tertiup angin sehingga terbang dan terbuka lebar. Dan begitu ia menyadari kalau
tamu suaminya yang seumuran ayahnya itu sedang memandangi tubuhnya, ia langsung
berusaha menahan gamis panjang dan cadarnya agar tidak ikut terbang. Ia menahan
cadarnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya berusaha menutup bagian
dada yang terhias dua gunung montok dan juga perutnya yang sangat langsing
datar.
Namun sayangnya, angin nakal itu cukup lama berhembus sehingga Pak Sobri mampu menatap dan mengingat setiap detail tubuh ummahat yang cantik itu dengan jelas. Usaha Ustadz Mamat menutup tirai itu pun tampak sia sia karena tidak juga mampu menutupi tubuh isterinya dari pandangan lapar mata tamunya tersebut. Seketika Pak Sobri meneguk ludahnya sendiri. Ternyata isteri gurunya itu tak hanya cantik, tapi juga seksi dan bahenol. Ia harus banyak berterima kasih pada angin tadi yang telah menunjukkan segalanya, masa bodoh apakah itu angin iblis, pikirnya.
Dahulu ia
hanya mampu membayangkan kira-kira wajah Aida sejak mengetahui ayahnya
keturunan Arab. Ummahat itu pasti mempunyai hidung yang mancung. Pak Sobri
memang tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, hanya bagian matanya saja
karena Aida memakai cadar. Namun mata yang indah dan tajam itu telah cukup
memberitahu bahwa pemiliknya adalah seorang bidadari yang cantik jelita dengan
kulit yang putih mulus tanpa cela.
Namun yang
paling membuat birahi Pak Sobri meledak-ledak adalah gunung kembar di dada
Aida. Ia mampu melihatnya dengan jelas karena posisi Aida yang sedikit menunduk
tadi. Ummahat itu ternyata memiliki payudara yang berukuran melebihi normal. Ia
taksir dari cetakan bra di gamisnya tadi bahwa isteri Ustadz Mamat yang begitu
alim itu berukuran 38. Ukuran payudara sebesar itu benar-benar mampu membuat
para pria begitu bernafsu untuk meremas dan menghisap putingnya yang pasti
masih segar, walaupun se-shalihah apapun pemiliknya tak ada yang wanita yang
sanggup melawan nafsunya sendiri jika buah dadanya diremas dan putingnya
dipilin, dicubit serta digigit oleh lelaki yang tahu bagaimana caranya
menaklukkan wanita.
Tak hanya besar, payudara Aida pasti juga mempunyai bentuk yang kencang, montok dan indah. Pak Sobri dapat mengetahuinya ketika Aida memeluk perutnya sendiri, payudara itu tampak membuncah-buncah seakan memanggil-manggil minta dihisap dan diremas. Body ummahat itu pun sekilas tampak proporsional, begitu seksi menggairahkan bagaikan bentuk gitar Spanyol.
Merasa risih
akan tatapan Pak Sobri yang seperti menelanjanginya itu, Aida langsung berdiri
dan berjalan cepat ke belakang menjauh dari ruang tamu. Namun
malang bagi Aida, karena angin belum juga berhenti bertiup saat itu. Ketika ia
berjalan, Pak Sobri sempat melihat dengan jelas bayangan celana dalam dan
belahan pantatnya yang tercetak jelas di gamisnya yang kebetulan berbahan tipis
dan berwarna cerah karena ia sedang ada di rumah. Pantat ummahat yang seksi dan
bahenol itu bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan, berputar mengebor naik
turun, seolah sedang menggoda mengundang tangan lelaki untuk meremas-remas dan
mencari belahan tangahnya.
Pak Sobri bagaikan telah tak mampu lagi menahan nafsu birahinya yang selama ini terpendam. Ia ingin langsung saja menyelipkan kemaluannya yang cukup besar dan telah mulai berdenyut-denyut ke selangkangan ummahat itu. Namun karena ia sadar bahwa masih ada Ustadz Mamat di hadapannya, maka ia pun menyembunyikan gundukan daging di selangkangannya yang sudah berontak. Ia mencoba bersikap tenang, walaupun bayangan seorang Aida Handayani yang berpayudara besar dan berbody sintal nan seksi itu begitu memancing semangat kejantanannya.
“Pak Sobri, anda tidak apa-apa?“ demikian teguran Ustadz Mamat dengan nada
yang bersifat mengingatkan memecah semua khayalan cabul pak Sobri.
“Owh, tidak ada apa-apa, cuma pusing sedikit. Sampai dimana tadi pembicaraan
kita?” demikian pak Sobri berusaha menutup-nutupi gejolak birahinya yang
semakin meninggi.
Mereka pun kembali memperbincangkan bisnis sampai sekitar 45 menit. Selama
itu pula Pak Sobri terus melirik ke arah hijab berwarna hijau itu, berharap ada
angin lagi dan ia bisa melihat tubuh ummahat seksi impiannya tadi. Namun
semuanya sia-sia, sampai pembicaraan itu selesai, tak ada lagi kejadian aneh di
rumah itu. Hingga akhirnya Pak Sobri pun dengan rasa sedikit penasaran pamit
dan langsung menuju ke rumah anak perempuannya yang berada di daerah Cibubur
juga, namun sepanjang jalan pak Sobri tetap melamunkan istri Ustadz Mamat.
“Aida Handayani, ahh… aku harus bisa merasakan tubuh indahmu itu, persetan sudah menikah dengan Ustadz Mamat, bagaimana dan apapun terjadi aku harus mendapatkan dan merogolmu.” pikir Pak Sobri di dalam mobil sambil mengocok-ngocok kemaluannya sendiri ketika menyetir mobil setelah ia membuka rits celana dan mengeluarkan si ‘otong’nya dari celana dalamnya.
Di malam itu pak Sobri tak dapat tidur dengan tenang, di dalam bayangan mimpinya Aida telah berhasil dijebak dan berada sepenuhnya di dalam genggamannya. Bantal guling yang dipeluk dan ditindihnya semalaman itu diimpikannya adalah tubuh telanjang Aida yang meliuk meronta-ronta menggeliat putus asa ketika berhasil dikuasai dan direjang di kasurnya sebelum akhirnya dengan rintih memilukan merasakan sadisnya nafsu pak Sobri.
***
Sementara itu
di sebuah rumah lain di kawasan Kotamadya Bandung…
“Maaf ya, Farah, bukannya kami tak mau menerima hasil karyamu. Karyamu selalu bagus, kok. Tapi mengertilah, kami sedang dalam kesulitan keuangan. Kami memutuskan untuk sementara memproduksi novel-novel remaja yang bertemakan kisah cinta yang lebih laris di pasaran. Mungkin suatu saat kami akan menerbitkan novelmu, harap bersabarlah. Ditunggu saja ya, pasti akan datang kesempatan,” demikianlah suara lelaki di ujung telepon yang terdengar agak kurang sabar.
“Iya, pak. Saya faham dan mengerti sepenuhnya, terima kasih sebelumnya atas
perhatian Bapak. Assalamualaikum,” terdengar suara perempuan
merdu namun terasa memelas dan amat kecewa.
Pembicaraan
telepon pun terputus. Farah Wulandari kini hanya bisa termenung memandangi
taman belakang rumahnya yang sederhana. Sudah beberapa bulan ini novel-novel
islami karyanya tidak ada yang diterima oleh penerbit. Macam-macam saja alasan
yang dikemukakan penerbit, tapi ia sadar kalau ia harus tetap sabar dan tidak
boleh bahkan tak ada gunanya untuk memaksakan kehendaknya. Disadarinya bahwa
tak mudah menjual buku agama pada saat ini.
Farah adalah sosok seorang akhwat pendiam dengan sebuah kacamata minus tergantung di atas hidungnya. Di usianya yang menginjak 24 tahun, Farah tampak lebih dewasa, baik dari segi fisik maupun mental. Ia tumbuh menjadi seorang wanita yang berdedikasi dan penuh semangat.
Sebenarnya ia memiliki wajah yang begitu mempesona, mirip sekali dengan
kakaknya yang sudah dinikahi Ustadz Mamat. Hidungnya begitu bangir mancung,
pipinya ranum, bibirnya merah merona, kulitnya putih mulus dan terawat,
rambutnya yang panjang hingga punggung selalu tertutup jilbab panjang dan
jubah. Akibat wajahnya yang cantik serta sifatnya yang anggun, tenang dan
tampak begitu alim, banyak pemuda ikhwan-ikhwan pengajian yang jatuh hati
padanya. Namun semuanya ia tolak karena ia berniat ingin membahagiakan orang
tuanya terlebih dahulu sebelum ia dengan hati sukacita dan penuh rela akan
memasuki jenjang pernikahan.
“Siapa itu tadi yang bicara di telpon, Farah, apakah ada urusan penting untuk diselesaikan?” suara lembut Siti Nurhana, ibunda Farah, membangunkannya dari lamunannya yang tak menentu.
“Hmm, dari penerbit, ummi. Katanya novel Farah saat ini belum bisa masuk untuk dicetak.” jawab Farah disertai dengan helaan nafas lembut dan cukup panjang menandakan kecewa.
“Ya sudah sabar saja, nanti juga kalau sudah jalannya kamu pasti dapat. Ummi mau ke rumah sakit dulu ya, nemenin Abi. Kamu nggak apa-apa kan ditinggal sendiri?” demikian lanjut Siti Nurhana mulai menukar pakaiannya sambil berkemas-kemas untuk berangkat menuju ke pangkalan bus.
“Nggak apa-apa koq, ummi. Salam dari Farah yah sama Abi, semoga Abi lekas sembuh dan cepat dapat pulang kembali ke rumah di tengah keluarga kita,” sahut Farah sambil masuk ke kamar.
Kini tinggallah Farah sendirian di rumah. Sudah sekitar lima bulan Pak Arief Ubaidillah terbaring di rumah sakit setelah terkena stroke. Selama itu pula ayah 4 putri itu tidak sadarkan diri di bangsal rumah sakit dan tidak bisa memenuhi kebutuhan nafkah rumah tangga lagi. Dan kini Farah sedang bingung harus kemana ia mencari uang untuk membayar hutang-hutang yang telah menumpuk akibat memenuhi biaya berobat ayahnya.
Di rumah
hanya ada Farah, Asma yang masih SMA, dan ibunya. Farah pun sadar ia tak bisa
meminta Nurul yang sedang kuliah di Jakarta
untuk membantu, karena ia kuliah gratis dengan beasiswa yang diterimanya.
Posisi Aida yang telah berkeluarga seharusnya bisa membantu, namun apa mau
dikata, kondisi keuangan rumah tangga Ustadz Mamat pun tak begitu baik. Farah
sadar, hanya ia satu-satunya yang mampu mengatasi keadaan keuangan yang sama
sekali tidak menggembirakan itu.
Ketika
ayahnya mulai masuk rumah sakit 5 bulan yang lalu, untuk menalangi biaya rumah
sakit, Farah sekeluarga terpaksa meminjam uang pada Mang Burhan, seorang
rentenir kelas kakap di kampung tersebut. Walaupun bunga yang ia ajukan terlalu
tinggi, namun hanya Mang Burhan-lah pada waktu itu yang siap dan mampu
menyediakan uang dalam jumlah besar untuk biaya operasi ayah Farah. Namun masalahnya
batas waktu pengembalian uang tersebut hanya tinggal tiga hari lagi, dan Mang
Burhan telah menelpon kemarin pagi untuk menagih kembali hutang itu.
Oleh sebab itu Farah merasa begitu kecewa setelah tak ada satupun penerbit yang mau menerbitkan novel karyanya. Uang hasil jualan kue Farah dan ibunya pun hanya cukup memenuhi makan mereka sehari-hari, bagaimana dapat untuk membayar hutang?
Berbagai
macam pikiran memenuhi otak Farah sehingga membuat akhwat manis berkacamata itu
tampak muram. Karena tiada jalan lain ditemukan ia pun berniat untuk menemui
Mang Burhan dan bernegosiasi dengannya. Ia akan melakukan apa saja demi
keluarga yang begitu dicintainya.
***
Malapetaka Dimulai : Tragedi Aida
Aida menarik nafas sangat dalam, kemudian dilanjutkan dengan menguap sangat
panjang dan lama sambil menahan rasa kantuknya. Hari ini ia memang bangun amat
dini : sekitar jam 5 pagi Aida telah menyiapkan makan pagi bagi suaminya
karena ustadz Mamat mempunyai tugas. Tugas panggilan yang ditawarkan oleh pak Sobri,
yaitu memberikan ceramah kepada para calon peserta Musabaqoh Tillawatil Qur’an.
Pak Sobri meminta agar ustadz Mamat bersedia memberikan ceramah mengenai agama
kepada para calon, karena adik terbungsu dari istrinya yang bernama Asmirandah
– panggilan sehari-hari Asmi – diharapkan akan ikut pertandingan.
Asmirandah adalah gadis remaja berusia 17 tahun yang kelakuannya sehari-hari
mulai agak menyimpang dari ajaran agama, sehingga mencemaskan orang tuanya.
Oleh karena itu mereka mengambil tindakan dengan menyuruhnya untuk ikut
perlombaan membaca ayat-ayat Qur’an dan sebelumnya mendengarkan ceramah agar
bisa memperdalam pengetahuan agamanya.
Apakah pak Sobri kini berubah menjadi seorang yang alim saleh sehingga
sangat memperdulikan persiapan iman dari calon pengikut musabaqoh, apakah tidak
ada udang dibalik batu?
Jawabannya mudah sekali diduga : tempat dari pemberian ceramah
itu bukan dekat rumah ustadz Mamat, melainkan di desa Jamblang yang tak jauh
dari kota Cirebon. Selain itu, ceramah yang diminta oleh pak Sobri kepada
ustadz Mamat cukup memakan waktu lama sehingga tak dapat diselesaikan dalam sehari.
Memang Pak Sobri menanggung semua biaya perjalanan, biaya penginapan dan segala
akomodasi, di samping itu sebagai balas jasa, ustadz Mamat juga diberikan honorarium
dalam jumlah cukup besar yang dapat dibandingkan dengan penjualan buku hasil
karya sang Ustadz setahun lalu.
Apakah pak Sobri sedemikian baik hati dan menjalankan fitrah sebagai
dermawan?
Semuanya itu ternyata hanyalah muslihat belaka untuk memancing ustadz Mamat
agar bisa meninggalkan istrinya, Aida, selama dua malam. Selama kesempatan itu,
pak Sobri ingin mendekati Aida, ingin merayunya dengan palbagai cara, ingin
merasakan kehangatan tubuh bidadari idamannya itu. Pak Sobri telah dikuasai
oleh bujukan iblis untuk mengatur semuanya – dan memang kemampuan iblis
mengatur tak boleh dipandang ringan.
Seolah awan gelap sedang menyelubungi keluarga ustadz Mamat, maka di hari
pertama yang sama ketika ustadz Mamat berangkat ke Jamblang untuk memberikan ceramah,
Farah pun kebetulan pergi menemui pak Burhan si rentenier kakap untuk negosiasi
memperoleh pinjaman uang. Bacalah episode lain dari cerita ini : « Tragedi
Farah »
Setelah memasak sederhana seadanya untuk makan siang dan menjemur pakaian
kotor yang telah dicucinya di halaman belakang, maka Aida akhirnya memutuskan
untuk sebentar memejamkan mata menghilangkan rasa kantuknya. Adiknya, Farah,
juga telah pergi pagi tadi untuk mencari percetakan lain yang bersedia
menerbitkan buku-buku agama karangannya. Farah tak mau cerita kepada Aida
mengenai rencananya negosiasi dengan pak Burhan karena Farah tahu bahwa Aida
tak senang dan selalu mencurigai pak Burhan sebagai lelaki mata keranjang.
Setelah itu Farah mengatakan akan mengunjungi ayahnya yang masih dirawat di
rumah sakit, karena itu kemungkinan besar akan lama meninggalkan rumah dan
makan seadanya di kantin rumah sakit.
Aida menghela nafas panjang dan merebahkan diri di bangku panjang di dekat
ruang makan. Sayup-sayup seolah muncul terbawa deru angin, Aida mendengar
ketukan pintu dan terdengar namanya dipanggil. Pertama Aida mengira bahwa itu
hanya sekedar mimpi, namun setelah empat lima menit ketukan di pintu depan dan
panggilan namanya tak kunjung berhenti, disadarilah olehnya bahwa itu memang
bukan mimpi, tapi benar-benar ada orang yang mengetuk pintu.
Sebagai istri yang alim shalihah, Aida agak ragu menjawab ketukan pintu,
apalagi mendengar suara panggilan itu jelas keluar dari mulut seorang lelaki.
Aida menjadi takut dan bertekad tak akan buka pintu!
"Ummi Aida, ummi Aida, tolonglah buka pintu. Ban mobil saya rupanya
kena paku hingga bocor, dan saya butuh air karena karburator terlalu panas
sehingga tak mau jalan motornya. Tolonglah, ummi, hanya sebentar saja minta air
dan ganti ban, lalu saya langsung pergi lagi, " demikian terdengar suara
lelaki di depan pintu yang akhirnya dikenali Aida sebagai suara dari pak Sobri.
Di dalam benaknya Aida mulai ragu, bukankah menolong orang sedang kesusahan
sudah menjadi kewajiban setiap manusia, apalagi seorang tekun beragama seperti
ia sendiri. Lagipula yang membutuhkan pertolongan itu bukan lelaki yang sama
sekali asing, melainkan pak Sobri yang di masa lalu sering kerja sama dengan
suaminya untuk menerbitkan buku, juga pak Sobri bahkan hadir ketika pesta pernikahannya
sendiri dengan ustadz Mamat.
Sangat hati-hati Aida mendekati jendela kecil yang tertutup gorden untuk
mengintip keluar dan diharapkannya tak langsung akan terlihat oleh pak Sobri.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh pak Sobri bahwa ban mobil belakangnya di
bagian kiri kempés sehingga mobil itu terlihat miring sebelah. Namun yang
mengejutkan Aida adalah ketika melihat kemeja pak Sobri telah basah kuyup
dengan keringat dan tangan kirinya terlihat berlumuran cairan merah menetes
dari jari-jarinya. Pak Sobri agaknya terluka dan berdarah.
Apakah kealiman dan ke-shalihahan seorang istri setia tetap dipertahankan
dengan tidak menolong atau bahkan mengusir lelaki bukan suaminya itu, ataukah
kesediaan untuk membantu sesuai dengan rasa peri kemanusiaan harus lebih
diutamakan?
Aida tidak dapat memutuskan apa yang harus dilakukannya. Di satu pihak hati
nuraninya menuntut untuk wajib menolong, sementara di lain pihak fikiran
sehatnya masih ragu tak yakin apakah ia tak akan salah langkah?
"Tolonglah, ummi... saya hanya ingin diberikan air dingin untuk
karburator motor, juga minum sedikit sebelum saya ganti ban dan cuci tangan. Kemudian
saya segera akan pergi secepatnya, " demikian ucapan pak Sobri memecahkan
keheningan sejenak, dan dengan kalimat terakhir ini Aida memutuskan untuk
melepaskan prinsip ke-aliman-nya dan bersedia menolong.
Padahal semuanya sudah diatur dan dirancang masak-masak oleh pak
Sobri : ban mobilnya sebenarnya tidak bocor, namun beberapa menit lalu
dilepaskan ventil-nya sehingga sebagian besar udara keluar menjadikan mobil itu
miring. Selama perjalanan ke rumah Aida, dengan sengaja semua jendela ditutup
dan airco tak dipasang, sehingga di tengah teriknya matahari pak Sobri sudah
basah dengan keringat. Cairan merah yang terlihat membasahi jari-jari tangannya
adalah tomato ketchup yang disimpannya minggu lalu ketika makan ayam goreng di
Kentucky Fried Chicken. Sedangkan karburatornya sama sekali tidak kekurangan
air.
Namun seorang wanita seperti Aida tentu saja tak paham mengenai persoalan
mesin mobil, sehingga dengan mudah dapat ditipu! Aida merapihkan pakaian dan
jilbab putihnya yang lebar itu dan dengan menundukkan kepala dibukanya pintu
depan rumahnya dengan perlahan…
Pak Sobri melangkah masuk – Aida telah masuk dalam jebakan!!
"Terima kasih banyak, ummi, saya ambil air saja di jerigen kecil ini.
Mohon untuk ke belakang sebentar untuk hajat kecil dan cuci tangan, dan saya
akan segera pergi lagi," demikian pak Sobri melihat arah belakang rumah di
balik hijab yang ditunjuk oleh Aida.
Setelah itu Aida segera bergegas menuju ke dapur untuk mengambilkan segelas
air minum tamunya. Tak disadari oleh Aida bahwa nafsu birahi pak Sobri telah
naik ke-ubun-ubun ketika melihat betapa menggairahkan langkah Aida di balik
gamisnya yang tak mampu menyembunyikan goyangan bongkah pantat yang begitu
padat bulat, goyangan dan putaran sedemikian alamiah tanpa dibuat-buat!
Aida telah meletakkan segelas air putih di atas meja kecil ruang tamu dan
ingin berbalik untuk kembali ke dapur, ketika mendadak tubuhnya disergap dan
dipeluk dari arah belakang. Teriakannya juga segera teredam karena mulutnya
dibekap oleh tangan lelaki yang sangat besar kasar dan berbulu, tangan yang
beberapa menit lalu dilihatnya berlumuran cairan merah kental kini menyekat
bibir mungilnya.
Aida berontak dan menggelinjang sekuat tenaga berusaha melepaskan dirinya
dari ancaman bahaya yang akan menimpa, namun apalah arti tenaga seorang istri
setia bertubuh asri semampai menghadapi lelaki yang telah lama menginginkannya
dan kini telah menerkamnya bagai singa menerkam kancil lemah – dan kancil ini
segera diseret untuk memasuki kamar tidur!
"Hmmppffh... iieeehmph... tolooong ! N-nggak maau... lepaskan !
Auuw... ieeffhhh... " caci maki suara Aida yang teredam sehingga tak
keluar semuanya.
Pak Sobri tak perduli atas protes dan rontaan korbannya, karena dengan
tenaganya yang sangat kuat ia telah berhasil menyeret mangsanya memasuki kamar
tidur yang selama ini hanya dihuni dan ditiduri oleh Aida dan suaminya yang sah,
yaitu ustadz Mamat. Pergulatan dua insan tak sebanding tenaga itu semakin
menjadi ketika pak Sobri telah berhasil menghempaskan Aida ke atas ranjangnya.
Tubuh pak Sobri yang agak gemuk di atas 75 kilo itu semakin penuh dengan
keringat ketika ia semakin ganas menindih tubuh Aida yang hanya sekitar 46 kilo.
Mulut Aida yang selalu terhias dengan senyum manis itu kini tertutup oleh bibir
dowér pak Sobri. Bukan hanya ciuman-ciuman rakus yang sangat mengganggu, namun
aroma tidak menyenangkan disertai bau rokok membuat Aida sangat muak. Apalagi
ketika dirasakannya bahwa pak Sobri menjulurkan lidahnya yang penuh ludah
menjijikkan menerobos masuk, Aida mulai sangat mual dan terasa ingin muntah.
Aida berusaha mencakar muka dan terutama mata si pemerkosanya, namun pak
Sobri sangat sigap dan langsung dengan hanya satu tangan berotot dan jari-jari
sangat besar bagaikan beruang merejang kedua pergelangan tangan Aida. Ditekan
dan diringkusnya kedua nadi nan langsing itu ke atas kepala yang masih
terlindung jilbab, sehingga Aida tak mampu bergerak apalagi mencakar. Dengan
ditindih tubuh sedemikian berat, Aida merasakan sangat sukar bernafas dan semua
gelinjang gelisah serta rontaannya justru semakin memacu birahi pak Sobri.
Dirasakan oleh lelaki durjana ini betapa lembut nan montok dua bukit gunung
penghias dada Aida, membuatnya jadi semakin horny. Dengan kasar dan tanpa
kesabaran sama sekali, Aida merasakan selembar demi selembar, lapis demi lapis
baju gamis penutup pelindung tubuhnya dihentak ditarik oleh pak Sobri. Amat
berbeda dengan apa yang dialami jika sedang bercinta dengan suaminya, ustadz
Mamat... kini tubuhnya yang muda dan penuh hormon kewanitaan dipaksa menikmati
nafsu hewaniah!!
Aida menjerit dan meratap di dalam jiwanya yang tak rela untuk digagahi
lelaki asing bertubuh kekar yang telah mandi keringat menyebabkan terlihat agak
mengkilat. Aida tak rela menghadapi kenyataan pahit yang dialaminya akibat
kebodohannya membiarkan lelaki asing masuk rumahnya saat ia hanya seorang diri.
Kini semuanya telah terlambat, pak Sobri yang selama ini membantu sang suami
untuk menerbitkan buku-buku berisi agama telah menindih badannya, merejangnya
hingga jadi tak berdaya di atas ranjang, juga menarik dan melepaskan jubah baju
kurungnya satu persatu, menciumi serta menyapu-nyapu lidahnya di rongga mulut,
mencampurkan ludahnya yang berbau rokok dengan ludah Aida yang harum.
Semuanya menyebabkan Aida mulai menangis tersedu terisak menimbulkan iba. Namun
itu tidak menyebabkan pak Sobri menjadi kasihan, bahkan sebaliknya ia jadi semakin
ganas! Lapisan demi lapisan pelindung tubuh istri setia ini dihentakkan dan
ditarik lepas olehnya, sehingga kini hanya tinggal jilbab putih yang menutupi
rambut Aida yang hitam bergelombang sepanjang bahu. Selain itu masih ada BH
berukuran 36B serta celana dalam putih yang menutupi bagian tersembunyi dari
tubuhnya yang sampai saat ini hanya pernah dilihat oleh suami Aida.
Pak Sobri yang telah kesetanan menyeringai buas melihat betapa montoknya
tubuh istri ustadz gurunya itu. “Hmm... harum, wangii nih bibir, mulut atas kamu...
hmmh! Cuup, cuup, apalagi mulut bawah kamu... pernah dicium nggak mulut dan
bibir bawah kamu oleh suami?” tanya pak Sobri diantara kecupan dan dekapan
mulutnya menutup bibir Aida yang memang selalu terlihat merah muda merekah
seolah mengundang untuk dicium.
Aida tak sanggup lagi bertahan terlalu lama, tenaganya mulai habis ditindih
dan direjang habis-habisan, terutama membela pakaiannya yang kini telah
tersebar di atas ranjang dan sebagian jatuh ke lantai.
Pak Sobri paham sekali bahwa wanita idamannya ini mulai takluk di tangannya,
suaranya pun telah lunak terisak-isak dan serak karena tangisannya. Karena itu
ciuman pak Sobri kini mulai meninggalkan mulut Aida, menjalar ke pipinya,
mengecup dan meniup-niup liang telinga Aida, lalu juga dijilatinya rakus.
Tak pernah suaminya melakukan hal ini padanya sehingga Aida merasa
merinding kegelian, terlihat dari bulu-bulu sangat halus yang menutupi kulitnya
jadi agak berdiri, dan isak tangisnya mulai berubah menjadi lenguhan, keluhan
dan desahan-desahan halus sebagai tanda wanita alim ini mulai terangsang!
“Oooh... aaah... aiihh... u-udah, pak ! Toloong, jangaan... saya tak
mau ! Tak rela! Oooh... kasihani saya, pak ! Saya tak mau selingkuh...
saya istri ustadz! Kasihani saya, pak Sobri !” keluh Aida sambil masih
berusaha melepaskan diri dari tindihan badan pak Sobri yang begitu kekar.
Desahan lemah lembut dari mulut Aida terdengar sangat kontras dengan
dengusan berat lelaki yang sedang menggagahinya, apalagi ketika pak Sobri
setelah puas menciumi telinganya, kini mulai turun ke leher jenjang Aida.
Disitu pak Sobri menggigit-gigit dengan gemas sehingga terlihat cupangan-cupangan
bekas bibir dowernya, setelah itu ciumannya turun ke bahu, kemudian wajah pak
Sobri yang berhias kumis bagai sapu ijuk itu melekat di ketiak Aida yang licin
tanpa bulu, dan bagaikan anjing kelaparan mulai menciumi dan menilati kulit yang
sedemikian halus dan peka itu.
Rasa geli tak terkira membuat Aida menggeliat berusaha meronta, tapi apa
daya kedua nadinya tetap direjang di atas kepala oleh satu tangan pak Sobri
yang begitu kuat ibarat belenggu besi. Geliatan dan gelinjang tubuh atas Aida
tak membebaskan kedua nadi tangannya, namun justru membuat buah dadanya tanpa
disadari semakin membusung dan menonjol ke atas. Dan gundukan daging kenyal
montok ini adalah sasaran pak Sobri berikutnya setelah BH-nya ditarik lepas.
Kedua bukit daging yang selama ini menjadi idaman dan impian pak Sobri kini
terpampang di hadapan matanya, dan tanpa menunggu lagi segera dijadikan sasaran
jari-jari tangan kanannya yang bebas. Pak Sobri tahu bahwa Aida akan mulai lagi
melawan dan menjerit-jerit – oleh karena itu ia membekap lagi bibir merekah itu
dengan ciuman ganas sementara jari tangan kanannya meremas dan mengelus buah
dada idamannya sehingga terlihat mulai memerah dan putingnya semakin keras
mencuat ke atas. Kedua paha betis langsing Aida yang kini tak terlindung lagi
juga ditekannya sekuat tenaga ke kasur oleh paha dan betisnya yang penuh bulu
bagaikan gorila.
“Ummh... ini tetek montok banget, kenyal tapi kencang. Pasti tiap malam
dijadikan mainan suaminya, kini jadi milik aku. Biar belum punya anak tapi
mungkin keluar susunya jika diperas,” demikianlah pikir pak Sobri dan oleh
karena itu semakin seru dan ganas ia meremas dan memijit puting kedua payudara
mangsanya, membuat Aida jadi semakin menggelinjang-gelinjang karena kesakitan.
“Enggak mau! Aiihh... j-jangann... auww! U-udah, eemphff... auuw!! S-sakiit...”
Aida meronta-ronta dan berusaha bicara, namun suaranya hanya keluar sebagian
karena terus menerus mulutnya diciumi oleh pak Sobri dengan menjulurkan
lidahnya ke dalam rongga mulut Aida disertai ludahnya yang sangat dibenci dan
amat memuakkan bagi Aida karena berbau rokok.
Mendadak, sangat mendadak pak Sobri menghentikan kegiatan jari-jari tangan kanannya
meremas buah dada Aida, dan sebelum Aida dapat memahami apa yang terjadi,
dirasakannya celana dalam sebagai pelindung auratnya yang terakhir ditarik dan
diselusurkan ke bawah melewati paha betis dan kakinya. Kini sempurnalah Aida
telanjang bulat di dalam cengkraman pemerkosanya, pak Sobri. Terlihat sangat
kontras tubuh bidadari yang putih mulus itu ditindihi oleh tubuh besar hitam
legam berbulu, istri ustadz yang alim shalihah itu tak berdaya lagi membela
kesuciannya!
“Yaa Allah, ampunilah aku ! Hambamu tak kuat lagi menahan malu dan aib
ini,” tangis Aida di dalam batinnya ketika menyadari musibah yang segera akan menimpanya.
Air
matanya mengalir membasahi pipinya yang sedemikian halus, tubuhnya terasa panas
dingin dibasahi oleh keringat yang deras mengucur karena pergumulan dan
pergulatan serta rontaannya yang sia-sia.
Tak ada yang dapat
menghalangi pak Sobri dengan tenaganya, ibarat kesetanan kini ia melepaskan
baju kaos dan celana dalamnya sehingga terlihatlah batang kejantanannya yang
disunat telah menegang dan siap menerobos liang surgawi Aida.
“Tak usah takut,
manis. Bapak tak mau sakiti Aida, rela dan pasrah sajalah. Menyerahlah pada
bapak, nanti Aida akan merasakan surga kenikmatan yang belum pernah kamu alami,”
bisik pak Sobri sambil jari-jari tangan kanannya mengusap-usap kemaluan Aida
yang licin tercukur rapih.
Setelah menemukan
celah yang dicarinya, maka mulailah jari telunjuk dan jari tengah pak Sobri
yang besar memasuki perlahan-lahan liang vagina Aida, sementara ibu jarinya
mengusap diantara belahan bibir kemaluan perempuan alim itu. Perlahan-lahan
tanpa dikehendaki oleh Aida, muncullah tonjolan daging kecil merah muda
diantara bibir kemaluannya dan setiap kali klitorisnya ini tersentuh ibu jari
pak Sobri, maka dirasanya selain geli juga bagaikan terkena aliran listrik yang
menyengat tubuhnya.
Sesuatu yang tak
dimengerti oleh Aida : ia diperkosa, tapi kenapa tubuhnya memberikan reaksi
saat dirangsang? Padahal itu sama sekali bukan salahnya sendiri – tubuhnya yang
begitu padat montok sebagai wanita muda sehat jasmani mempunyai hormon-hormon
kewanitaan yang secara normal membutuhkan ‘nafkah’ lawan jenisnya – itu sudah
kodrat alam, itu naluri dasar perkembangbiakan manusia.
Pak Sobri yang
bukan pertama kali memperkosa wanita muda yang melawan menolak diawal mula
merasakan bahwa daya pertahanan Aida sudah sangat lemah, sebentar lagi bukan
saja ia menerima pasrah terhadap perkosaan, melainkan akan menyerah dan ‘membalas’nya
dengan cara yang biasanya diberikannya kepada sang suami, namun kali ini kepada
sang pemerkosanya…!
Namun pak Sobri
bukanlah pak Sobri jika ia dengan tergesa-gesa melakukan perkosaan. Pak Sobri
bukanlah anak kemarin dulu, bukan anak belasan tahun disaat masuk usia pubertas
melakukan sanggama dengan cara quicky.
Pak Sobri mempunyai rasa ego yang besar, ia menginginkan agar Aida justru akan
ketagihan dan selalu merenungkan, mengingat dan bahkan mengharap agar peristiwa
perkosaan yang dialaminya akan selalu terulang lagi di masa depan. Untuk
mencapai tujuan itu maka Aida harus dibantainya habis-habisan, harus
dibangunkan seluruh nafsu birahinya, harus dihilangkan rasa malunya, pendek
kata : ditransformasi menjadi slutty.
Pak Sobri
menghentikan sementara ciuman dan gigitannya di puting buah dada Aida yang kini
jelas semakin tegang dan mengacung peka itu. Ia memandang wajah Aida yang telah
sayu dan kuyu penuh linangan air mata, namun justru terlihat semakin ayu
cantik. Pak Sobri merebahkan diri agak menyamping di sisi kanan Aida, lengan
kanan Aida ditindihnya dengan dadanya yang bidang penuh bulu itu. Lengan kiri
pak Sobri dengan biseps amat keras diletakkan di bawah Aida yang masih tertutup
jilbab seolah menjadi bantal, sedangkan tangan kiri pak Sobri berada di atas
kepala Aida tetap merejang dan menekan nadi pergelangan perempuan itu ke ranjang
sehingga tak dapat berkutik. Kaki kiri pak Sobri yang juga berbulu dan sangat
kuat menindih paha kanan Aida serta direntangkan melebar ke samping kanan,
sedangkan kaki kanan pak Sobri mulai menekan dan menguakkan paha kiri Aida
semakin melebar ke arah samping kirinya. Dengan demikian Aida telentang
telanjang bulat di ranjangnya dengan kedua tangan tak mampu digerakkan,
demikian pula selangkangannya terbuka lebar tanpa pertahanan untuk melawan jari-jari
pak Sobri.
Menyadari betapa
tak berdaya dan lemah keadaan tubuhnya, maka Aida hanya dapat menangis tersedu-sedu.
Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencerminkan ketidaksetujuannya atas apa
yang sedang dialami, hidung mancung bangir dengan lubang mungil kembang-kempis
menahan isak tangis pada saat dirasakan tubuh bugilnya mengkhianati kemauannya
untuk tetap melawan nafsu.
Pak Sobri semakin
laju meningkatkan rabaan, usapan dan gesekan jari-jarinya di dalam liang Aida
yang mulai basah licin berlendir karena limpahan air mazi dari dinding
vaginanya. Isakan tangis Aida kini mulai berubah menjadi lenguhan, desahan dan
rintihan wanita dewasa yang dilanda rasa gairah dan kenikmatan terlarang.
Semakin lama lenguhan dan desahan itu semakin nyata di telinga pak Sobri yang
semakin cepat menggesek ibu jarinya di kelentit Aida, sementara dua jari lain
masuk semakin dalam ke dalam liang wanita Aida yang telah basah kuyup
berlendir.
Akhirnya dengan
rintihan memilukan hati, tubuh Aida melengkung ke atas dan menegang bagai
sedang sekarat, kemudian mengejang dan gemetar bagai menggigil disaat ia
mencapai orgasme!
Pak Sobri harus
mengerahkan semua tenaganya untuk tetap dapat merejang tubuh Aida yang dilanda
orgasme pertama akibat ulah sang pemerkosa. Beberapa menit kemudian tubuh Aida
perlahan-lahan berkurang ketegangannya, menghempas lemah dan lemas basah
keringat.
Saat inilah yang
telah dinantikan oleh pak Sobri yang tak kalah basah kuyup dengan keringatnya,
dan kini telah siap bersetubuh dengan wanita idamannya tanpa perduli Aida telah
setengah pingsan!
“Gimana sayang, apa
yang kamu rasakan sekarang, letih dan lemas tapi puas kan? Itu hanya sedikit
permulaan saja. Bapak baru mulai merasa gairah dan
segera akan melanjutkan permainan. Nanti neng akan merengek meminta tambah
terus, bapak jamin nanti neng akan selalu ketagihan untuk dirogol. Mau ya, neng
manis?" ujar pak Sobri sambil meletakkan dirinya diantara belahan paha
korbannya.
Betapapun Aida berusaha menutup dan merapatkannya, tapi ia jauh kalah
tenaga. Pak Sobri kini telah bertahta di tengah selangkangannya, kedua
pergelangan kaki Aida nan langsing itu dicekal dengan geram sehingga terlihat
kemerahan, kemudian diletakkannya kedua betis belalang nan langsing dengan
lutut tertekuk itu di pundaknya yang bidang dan lebar. Pak Sobri kemudian
menundukkan kepalanya dan mulai menciumi bagian dalam paha Aida yang begitu
halus. Karena pak Sobri memang sengaja belum cukur selama tiga hari maka bukan
hanya kumisnya tapi juga janggutnya telah ditumbuhi bulu jenggot pendek namun
kasar ibarat sapu ijuk.
Kini pak Sobri dengan sengaja menggesek-gesek dan menciumi paha bagian
dalam Aida yang begitu halus dan peka sehingga terasa sangat geli ibarat
ditusuk-tusuk ijuk. Akibatnya keadaan Aida yang telah lemas setengah sadar
setengah pingsan itu dipaksa kembali bangun melawan rasa geli yang menyiksanya.
Istri setia yang malang ini berusaha membalikkan tubuhnya tapi tak mampu karena
kedua kakinya telah terkangkang lebar dan tergantung di pundak kiri-kanan sang
pemerkosa.
Pak Sobri semakin meningkatkan kegiatannya merangsang istri ustadz idaman
dengan menangkap dan meremas-remas lagi kedua buah dada Aida, terutama
putingnya dijadikan sasaran dipilin dan dicubit ditarik-tarik sehingga Aida jadi
menjerit kesakitan. Pak Sobri tidak perduli semua rintihan dan jeritan Aida
yang memilukan, bahkan kini mulut dan bibirnya tak cukup memberikan cupangan-cupangan
ganas di kedua betis Aida yang putih, namun juga mencapai lipatan paha dan
akhirnya melekat di tengah selangkangan Aida untuk memulai perantauannya disana!
"Ummh... cckkk... sluurpp... uuh wanginya! Neng mandi pake air mawar
ya, bisa harum kayak gini?! Bapak jadi ketagihan, mmmh... nggak puas-puas bapak
rasanya... nih bapak ciumin dan jilatin ya?!" celoteh pak Sobri
diselang-seling dengan ciuman dan gigitan gemas di bukit kemaluan Aida yang
gundul kelimis karena selalu dicukur.
Lidah pak Sobri bagaikan ular menyapu-nyapu bibir kemaluan Aida, lalu
berusaha memasuki celah di tengahnya untuk mencari tonjolan daging kecil
sebesar butir jagung yang tersembunyi diantara lipatan atas bibir vaginanya.
"Oooh... jangaan! U-udah, Pak! Tolong kasihani saya! Saya ini
istri ustadz, Pak! Oohh... saya tak mau
selingkuh, Pak! A-ampun... saya tak akan lapor! Tolong, Pak... jangan! Aaiihh..." Aida
menggelinjang dan berontak mati-matian melawan rasa lemasnya, dan selain itu
melawan rasa lain yang tak pernah dialaminya karena suaminya tak pernah
melakukan bercinta oral di vagina. Rasa menyesal dan bersalah silih berganti mulai
terdesak rasa ingin tahu, ingin terus mencoba!
Tanpa menghentikan remasan dan pilinannya di puting tetek Aida yang begitu
montok tegang mengacung itu, pak Sobri kini menjilat-jilat penuh nafsu celah
kewanitaan Aida yang semakin basah berlendir. Bagaikan bunga di pagi hari mulai
merekah, maka bibir kemaluan Aida sebagai wanita dewasa menjawab jilatan lidah
pak Sobri dan memberikannya kesempatan menampilkan klitorisnya yang seolah malu
tersembunyi, dan kelentit ini segera dijadikan sasaran gigi-gigi tajam!
"Auuw! Aiihh... oohh... ahhh... emmh... u-udah, Pak! Ngiluu... saya tak tahan! Auww... oooh... j-jangaan
digigit, Pak! Sakiiit... ampuun!" jerit Aida sambil tubuhnya mulai
kembali kejang-kejang dan gemetar bagaikan terkena aliran listrik, kedua
tangannya mencengkeram jari-jari pak Sobri yang tak puas-puas terus menerus
meremas buah dadanya.
Tak hanya mencengkeram, namun kuku-kuku jari Aida yang juga begitu bagus
rapih terawat mencakar-cakar lengan bawah pak Sobri, menandakan perlawanan sia-sia
menahan rasa nikmat kembali menyiksanya. Kini pak Sobri berganti-ganti
menjilat, menggigit-gigit dan menyapu klitoris Aida dengan janggutnya yang berhias
jenggot sekasar sapu ijuk.
Tak lama kemudian Aida sama sekali telah kehilangan rasa malu, kehilangan
pertahanan dan akal sehat sebagai istri setia seorang ustadz. Terlalu hebat
siksaan kenikmatan yang sedang dialaminya dan ini tak pernah diterimanya dari
suaminya yang sah, tak pernah ustadz Mamat mengajarkannya serta memberikan seni
percintaan sebagaimana yang selalu diharapkan dan didambakan wanita sehat, tak
perduli betapa suci, alim dan shalihahnya si wanita, itu sudah kodrat naluri
alamiah.
Menyadari bahwa kemenangannya telah berada dihadapan mata, maka pak Sobri
mengecup dan melekatkan seluruh mulutnya di ambang celah surgawi Aida. Buah
kelentit Aida yang bagaikan butir jagung berulang-ulang dijepit diantara
barisan gigi depan pak Sobri, bergantian dengan lidahnya yang kasar makin
sering memasuki lubang vagina mangsanya. Bergonta-ganti pak Sobri menjepit
kelentit diantara deretan giginya, lalu digeser-gesernya gigi itu ke kiri dan ke
kanan.
Kemudian dilepaskannya sebentar kelentit mungil itu dan sebagai gantinya
lidah pak Sobri menyentuh dan menggelitik lubang kencing Aida yang juga
demikian peka di bagian dalam. Sekaligus kedua ibu telunjuk dan ibu jarinya
memulin serta mencubit-cubit kedua puting Aida yang telah amat tegang mengeras
bagaikan batu kerikil mungil.
Aida merasakan dirinya terbawa putaran deras arus gelombang kenikmatan,
semakin lama semakin dalam dan akhirnya menyeretnya tenggelam kemudian
dilemparkan setinggi-tingginya ke udara. Disitu seluruh syaraf di otaknya
mengalami ledakan dahsyat tanpa ada tandingan, disertai sebaran jutaan bintang
kecil di pelupuk matanya dan jeritan melengking wanita mendengung di telinganya:
jeritannya sendiri!
"Aaah... auuw... oooh... i-iya! Auuw... Pak, aduuh... eemh... aaihh...
u-udah, Pak! Oooh... terruus... oooh... saya mau pipiis!!" Aida tak sadar
lagi apa yang dikatakannya, ia memohon kepada pak Sobri agar berhenti atau
justru meneruskan dan meningkatkan penggarapan yang sedang dilakukannya.
Tubuh Aida kembali kaku menegang dan kejang-kejang disaat orgasme lagi-lagi
menerpanya, gelombang demi gelombang seolah tak henti-henti. Jari-jari kakinya
menekuk melengkung ke dalam seolah ingin membentuk kepalan tinju, pahanya yang
begitu lembut halus mengerahkan semua kekuatan otot-ototnya menjepit kepala pak
Sobri, lalu membuka kembali, menggesek-gesek maju mundur seolah ingin menggaruk
kegatalan tak terhingga.
Pak Sobri yang telah berpengalaman, merasakan denyutan-denyutan dinding
vagina Aida seperti meremas dan memijit-mijit lidahnya yang menjulur menyentuh
lubang kencing. Inilah saat terbaik untuk menguasai wanita alim seperti
Aida : menyetubuhinya disaat dinding vaginanya berdenyut-denyut. Disaat
inilah seorang wanita akan merasakan vaginanya ngilu dibuka, dilebarkan dan
dibelah!
Pak Sobri meraih bantal yang berada di ranjang di samping tubuh mereka, lalu
diletakkannya di bawah pinggul Aida dengan menurunkan perlahan-lahan betis dan
kaki belalang yang tergantung di pundaknya. Dengan adanya bantal itu maka
pinggul Aida jadi terangkat tinggi dengan kedua kaki masih terbentang ke kiri
dan ke kanan, sehingga liang kemaluannya jadi terlihat sangat menantang dengan dihiasi
bibir berwarna coklat muda kemerah-merahan dan dinding yang masih berdenyut-denyut
lemah tapi nyata!
Aida yang masih tenggelam di dalam badai orgasmenya dan tak perduli lagi
tubuhnya yang selalu terlindung jubah gamis berlapis-lapis kini telanjang bulat
di hadapan lelaki asing, tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dirasakannya kembali
tubuh pak Sobri yang penuh bulu tebal bagai gorila menindih tubuhnya,
dirasakannya ada sesuatu yang mulai menerobos liang surgawinya. Aida sudah
terlalu lemas untuk melawan, ia hanya dapat melenguh panjang menyatakan ketidaksetujuan
terhadap apa yang akan terjadi. Namun semuanya sudah terlambat : milimeter
demi milimeter celah kesuciannya yang selalu terlindung kini mulai dimasuki
oleh alat kemaluan lelaki asing.
Namun rasa putus asa, ketidakperdulian dan penyerahan yang telah
menguasainya terganggu dan terhenti mendadak ketika Aida merasakan bahwa rudal
daging yang mulai memasukinya sangat ‘tidak normal’. Suaminya selalu dengan
mudah melakukan senggama meskipun harus diakui bahwa ustadz Mamat tidak
memperdulikan apakah istrinya cukup licin basah atau belum. Kali ini Aida
merasakan bahwa dirinya telah licin dan basah sekali, namun senjata pak Sobri
sangat besar, berusaha beberapa kali pun tetap gagal menerobos liangnya yang
kecil sempit.
Namun dengan usaha yang terus-menerus, akhirnya pak Sobri berhasil meretas
belahan bibir vagina Aida dan… bleees !
"Auuw, hentikan! Hentikan! U-udah, Pak, jangan diteruskan! A-aduh...
aduduh... aaah... auw! Pak! Aauuw... s-sakiit! Oooh... ampuun!" jeritan
Aida menggema bagaikan hewan akan disembelih ketika dirasakan vaginanya
bagaikan dibelah kayu.
Pak Sobri hanya tersenyum sadis melihat wajah ustazah ayu manis di bawahnya
menengadah ke atas dengan mata penuh air mata dan bibir merekah mengeluarkan
rintih sakit memilukan. Tanpa rasa belas kasihan, pak Sobri terus melaju
menekan kejantanannya menembus dan membelah dua dinding memek Aida. Sambil
merejang kembali kedua pergelangan tangan Aida di samping kepalanya, pak Sobri
menghentakkan pinggulnya, menancapkan dan menumbukkan kepala penisnya yang
berbentuk jamur topi baja ke mulut rahim mangsanya, sehingga terasa amat nyeri
sakit.
"Hehehe... akhirnya tercapai juga keinginan bapak mencicipi memek
istri ustadz alim shalihah! Uuhh... emang empuk banget! Enak nggak, neng? Jangan
malu-malu deh, ngaku aja sama bapak, hehe." seru pak Sobri dengan semangat
lelaki setengah baya sedang berjaya memperkosa wanita muda.
Aida tak mempercayai apa yang sedang dialaminya, ia sedang digarap habis-habisan
oleh lelaki tua bukan taraf usianya. Gempuran dan hunjaman penis perkasa pak
Sobri terasa bagaikan sedang merobek vaginanya, sedang menumbuk rahimnya sekuat-kuatnya
hingga terasa begitu ngilu sakit di ulu hati.
Istri setia yang malang ini berusaha menutup matanya dan menolehkan wajahnya
ke samping serta menggigit bibir bawahnya menahan segala campuran rasa yang
sedang menimbunnya. Namun pak Sobri terus, terus dan terus menggenjotnya sekuat
tenaga seolah diberikan kekuatan oleh setan yang menguasai rumah ustadz yang
kosong itu. Maju, mundur, maju, mundur maju menghantam alat kewanitaan yang
halus lembut milik Aida, sehingga terasa sekali semakin lama jadi semakin
panas, perih dan pedih serta ngilu sakit yang dialami oleh si cantik alim
ini.
Namun di samping itu semua, ujung-ujung syaraf peka di tubuh Aida – terutama
di bagian yang paling sensitif – mempersembahkan gejolak kegatalan dan nikmat
tak terlukiskan dengan kata-kata. Semua silih berganti semakin lama semakin
cepat hingga Aida tak dapat lagi membedakan pada saat hunjaman penis pak Sobri
membentur rahimnya : apakah ngilu atau enak, apakah perih atau gatal,
apakah sakit atau nikmat, sakit tapi nikmat, apakah nikmat atau sakit, apakah
ini khayalan ataukan kenyataan? Apakah dosa jika dia tidak melawan, ataukah
dosa jika Aida mengakui bahwa semuanya memang menyakitkan tapi nikmat.
Aida tak tahu lagi apa yang sedang menghantui benak dan tubuhnya –
keinginannya untuk tak menatap mata sang pemerkosa akhirnya terkalahkan. Masa
bodohlah semuanya, jilbabnya pun telah terlepas, apa lagi yang harus ia pertahankan?
Kesuciannya telah hancur, suaminya selama ini tak pernah memberikan nafkah
batin seperti ini, sedangkan pak Sobri memang memaksakan hasrat kelaki-lakiannya
dengan sangat nikmat, mengajarkannya bagaimana menjadi wanita dewasa yang dapat
mengalami kepuasan badaniah sepenuhnya, yang selama ini selalu tersembunyi.
Dengan kuyu dan sayu penuh rasa putus asa dan kepasrahan, Aida menatap mata
pak Sobri yang bersinar karena sedang menikmati kemenangannya. Dengan sedikit
gemetar kedua belahan paha Aida yang sejak tadi dipaksakan merebah terkuak di ranjang,
kini mulai bergerak, lutut yang bulat mulus itu menekuk dan melurus. Tanpa
dipaksakan, paha mulus Aida mengatup dan menjepit merangkul pinggang pak Sobri,
dan seirama dengan hunjamannya ikut menekan seolah ingin membantu penis yang
semula sangat menyakitinya itu masuk semakin dalam.
Hampir satu jam sudah pergumulan kedua insan itu berlangsung, menandakan
betapa hebat kejantanan pak Sobri. Inilah memang saat yang telah lama diimpikan
oleh pak Sobri : ustazah Aida yang cantik jelita bertubuh sintal bahenol
dengan buah dada montok dan goyangan pinggul denok bahenol berada di bawah
tindihan tubuhnya. Menyerah pasrah di bawah cengkraman kekuasaannya, kedua
matanya penuh rasa putus asa meratap memohon belas kasihan, namun tak tahu
pasti apakah penyiksaan nikmat yang dialami harus dilanjutkan atau dihentikan.
Pak Sobri menyadari bahwa ia tak boleh terlalu serakah dan tamak :
istri setia ini telah menyerah dan menikmati perkosaannya, lain kali masih ada
kesempatan, jangan sampai perbuatan maksiat ini dipergoki oleh Farah yang
mungkin tak lama lagi akan pulang ke rumah. Biarlah cukup untuk kali
ini – dan... entah… siapa tahu wanita ini sedang subur, mungkin ia akan
menanamkan benih di dalam rahimnya.
Pak Sobri tak dapat
menahan lagi ledakan lahar panasnya menyembur dari kedua biji pelirnya,
sedemikian banyak sehingga sebagian meleleh keluar dari vagina Aida. Semprotan
bermenit-menit menyirami mulut rahim Aida, disaat mana istri alim shalihah ini
mengalami orgame ketiga!
“Iyaa... auuh... oooh...
Paak, emmh... iyaa, terus! Nikmaat...” dengus dan rintih Aida saat dilanda oleh
gelombang orgasme bagaikan tsunami untuk yang ketiga kalinya!
Setelah membantu
Aida membersihkan diri di kamar mandi dan membantunya memakai baju kurung serta
jilbabnya, pak Sobri memberikan sebuah
amplop tertutup kepada Aida dengan pesan agar tak menceritakan peristiwa itu
kepada siapapun karena hanya merupakan aib bagi Aida. Pak Sobri berjalan menuju
pintu dan sebelum keluar ia mengatakan bahwa amplop itu boleh segera dibuka
namun jika ia telah pergi jauh dengan mobilnya dan tak terlihat lagi di ujung
jalan.
Tanpa banyak
kesulitan pak Sobri menyambungkan alat kompressor bersaluran udara panjang ke
ban mobilnya dan ansteker – ban yang memang kempes tapi tak ada lubang sama
sekali itu hanya dalam dua menit telah terisi lagi udara sebagaimana semula,
lalu pak Sobri menghidupkan mesin dan melaju menghilang di tikungan ujung
jalan.
Aida membuka amplop
putih itu dan tercengang ketika menghitung uang yang tersisip disitu :
tiga puluh juta! Dengan uang itu maka sementara kehidupan keluarganya dapat
dilanjutkan, demikian pula pengobatan ayahnya di rumah sakit, serta pinjaman
mereka kepada pak Burhan si rentenier.
Aida duduk
terhempas di kursi : pikirannya kacau, apakah ia berdosa mengalami ini
semua? Ini semula tidak ia inginkan sama sekali, namun akhirnya Aida sangat
menikmatinya. Apakah uang ini haram, apakah boleh dipakai untuk menolong ayahnya
yang sakit parah?
Aida tak tahu apa
jawaban dari 1001 pertanyaan yang memenuhi benaknya, kepalanya dirasakan pusing
dan sangat berat, apalagi badannya yang kini telah tertutup rapih kembali
dengan baju berlapis-lapis, namun disana sini pasti masih penuh dengan cupangan
merah kebirua-biruan akibat ciuman ganas pak Sobri. Aida merasakan pipi dan
telinganya memerah mengingat apa yang dialaminya…
Apakah pak Sobri
sudah puas dengan pengalaman sekali saja – ataukah di masa depan masih ada
kesempatan lagi mencicipi tubuh Aida yang bahenol itu? Apakah Aida telah
belajar kenal dengan semua teknik bercinta, oooh... masih jauh dari itu. Pak Sobri bertekad akan mengulang menggarap
Aida dengan cara lain dan mengajarinya menjadi budak sex yang patuh 100%...
No comments:
Post a Comment