Perselingkuhan Aida dan Pak Sobri
Apakah pak Sobri
sudah puas dengan pengalaman sekali saja menggarap Aida – ataukah di masa depan masih ada kesempatan lagi mencicipi tubuh Aida yang bahenol
itu? Apakah Aida telah belajar kenal dengan semua teknik bercinta? Ooh, masih jauh dari
itu. Pak Sobri bertekad akan mengulang menikmati Aida dengan cara lain dan
menjadikannya budak sex yang patuh 100% …
***
Keadaan kesehatan Ubaidillah yang dirawat di RS hanya menunjukkan perbaikan
sedikit sekali. Uang yang diperoleh dari pak Sobri telah terpakai untuk segala
macam pemeriksaan, perawatan, obat-obatan, dan juga honorarium
dari para dokter spesialis. Sementara itu Ustadz Mamat serta adik iparnya, Farah, tetap belum memperoleh pamasukan yang pasti.
Secara sepintas terdengar jumlah uang tiga juta yang diperoleh Aida dari
pak Sobri memang banyak, namun dengan kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari, ditambah biaya RS, maka punahlah semuanya bagaikan tetesan air di
kuali panas yang langsung menguap di udara. Demi mengusahakan agar dapur tetap
berasap, maka Ustadz
Mamat terpaksa sering bekerja di sebuah madrasah di kota kecil lain yang cukup jauh sehingga tak jarang
harus menginap satu dua malam meninggalkan rumahnya.
Demikian pula dengan Farah yang karangannya belum juga dimuat dan telah
mengalami pelecehan oleh pak Burhan, berusaha
melupakan pengalaman gelapnya itu dengan bekerja sebagai guru agama di Sekolah Rakyat di sebuah desa yang berjauhan dengan rumahnya. Dengan
demikian maka Aida semakin sering tinggal seorang diri di rumahnya – dan hal ini tentu saja tak luput dari pengamatan
para lelaki di desa itu. Salah satu lelaki yang mengamati bagaimana keadaan
Aida adalah seorang duda pemilik warung serba ada kecil-kecilan di desa itu : Fadillah.
Fadillah telah berusia masuk lima puluh tujuh, bertubuh sangat kekar dan wajah sangat bengis, jarang tertawa terkecuali jika ada langganan yang datang untuk membeli
seorang wanita muda. Fadillah yang sehari-hari disebut Fadil itu pernah bekerja sebagai buruh kuli harian, dan kebetulan dahulu
menjadi kuli bangunan pada saat rumah pak Sobri dibangun. Dimasa menjadi kuli borongan itulah, Fadil yang memang berjiwa maksiat, pernah mencuri bahan bangunan dan berusaha
menjualnya di pasar gelap.
Akibatnya Fadil ditangkap polisi dan dimasukkan ke penjara – namun karena istri Fadil
almarhum merasa kasihan terhadap suaminya, maka ia meminta tolong kebijaksanaan
kepada pak Sobri yang banyak mengenal pihak polisi. Istri Fadil bernama Subiati memang cukup cantik sehingga pak
Sobri bersedia menolongnya, namun tentu saja tidak dengan gratis, melainkan menjebak Subiati ke rumahnya untuk dapat digarapnya.
Subiati sebagai istri alim shalihah tak dapat sembuh kembali dari tekanan
jiwa akibat perkosaan yang dialami, sehingga menderita tekanan batin dan semakin kurus akibat mengidap sakit paru-paru. Perempuan itu akhirnya meninggal mendahului suaminya, Fadillah, yang sejak saat itu hidup menduda.
Setelah ditinggal mati sang istri, Fadillah menjadi kaki tangan pak Sobri, terutama di dalam hal mencarikan ‘daun muda” di desa, karena
Fadillah faham sekali apa kegemeran dan kesenangan pak Sobri.
Oleh karena itulah Fadillah mendapat perintah dari pak Sobri agar memperhatikan bagaimana kehidupan Aida setelah berhasil digarap
olehnya, terutama pada saat
berbelanja keperluan dapur di kedai milik Fadillah yang sejak awal mula
didirikan dengan modal dari pak Sobri.
Tentu saja Fadillah harus menahan nafsunya sendiri melihat istri Ustadz
yang seronok behenol setiap kali membeli beras, minyak dan bumbu-bumbu masak lainnya. Fadillah berusaha ramah-tamah dan menanyakan bagaimana keadaan Ustadz Mamat
yang semakin lama semakin jarang muncul sendiri di warung itu.
Semula agak segan Aida menceritakan keadaan keluarganya, keadaan ayahnya
yang masih dirawat di rumah sakit, kegiatan yang dilakukan suaminya mencari
nafkah. Namun karena Fadillah yang memang diberikan perintah oleh pak Sobri
untuk menjebak Aida semakin sering memberikan potongan harga dan menjual barang
keperluan sehari-hari jauh di bawah harga
pasaran biasa , maka Aida tanpa disadari mulai terhanyut oleh ’kebaikan hati’ laki-laki itu.
Dalam waktu hanya beberapa minggu, maka Fadillah telah memperoleh banyak informasi dari Aida yang polos dan lugu, bahwa biasanya di hari Senin dan Kamis, Ustadz Mamat mempunyai tugas mengajar para siswi
di madrasah yang terletak cukup jauh dari desa. Informasi berharga ini disampaikan kepada pak Sobri yang memang selalu
mencari kesempatan untuk menggauli kembali wanita alim idamannya itu. Apalagi
memasuki musim hujan, maka hubungan antar desa semakin sukar sehingga Ustadz Mamat lebih sering
terpaksa bermalam di madrasah setelah usai tugas mengajarnya itu – meninggalkan
istrinya Aida seorang diri di rumah.
***
Setelah makan siang bersama, kembali Ustadz Mamat meninggalkan Aida, istrinya, untuk balik mengajar ke madrasah tempatnya bekerja. Ia memberitahu Aida bahwa karena banyaknya tugas, maka ia akan bermalam di asrama
madrasah selama dua hari.
Secara naluri, Aida merasakan adanya perbedaan kelakuan suaminya sejak mempunyai pekerjaan
di madrasah baru yang terletak di desa lain itu. Aida merasakan bahwa suaminya tidak lagi menunjukkan
kegairahan di saat menggaulinya sebagaimana lazimnya seorang suami dengan istri
yang masih berusia muda. Tak banyak dilakukan oleh Ustadz Mamat untuk mencumbu
merayu sang istri sebelum sanggama, dan sesudah itupun, Ustadz Mamat langsung membalikkan tubuhnya ke arah lain dan mendengkur.
Aida yang baru saja kehilangan ayahnya yang meninggal setelah menderita
stroke, ikut acuh pula terhadap sang suami. Dalam
suasana kesedihan itulah, Aida merasakan tak adanya seseorang yang dapat menghibur dirinya; ketiga adik perempuannya semakin sibuk dengan tugas
dan kuliah masing masing. Bahkan tak pernah diduganya bahwa Farah telah menjadi korban pelecehan pak Burhan dan kini
menjadi guru di sekolah agama sehingga hanya sekali dua kali sebulan
mengunjunginya.
Ada dugaan di dalam hati
kecil Aida bahwa Ustadz Mamat, suaminya, mungkin
menyeleweng dengan wanita lain; mungkin dengan salah seorang siswi muridnya sendiri. Namun dengan segera
dihapusnya rasa syak wasangka itu. Semua siswi madrasah pasti alim shalihah, mana mungkin mau untuk menjadi
sasaran nafsu gurunya sendiri? Demikianlah cara berpikir Aida yang amat lugu dan naif.
Selain itu Aida menyimpan pula sebuah rahasia dan rasa bersalah karena telah menjadi korban pak Sobri. Semuanya
menyebabkan Aida semakin merasakan dirinya sendiri kurang berharga dan tak tahu
lagi apa yang harus dilakukannya untuk memulihkan segalanya seperti awal
semula.
Semua suasana yang kurang menguntungkan itu tentu saja tidak luput dari
pengawasan iblis yang memakai ‘anak buah’nya yaitu
Fadillah, si pemilik
warung dimana Aida selalu belanja.
Setelah suaminya kembali ke tempat kerja di madrasah, maka Aida bergegas membeli keperluan mandi di
warung langganannya itu, dan karena kebetulan sepi maka mereka ngobrol
sebentar. Dari hasil obrolan itulah Fadillah mengetahui bahwa Ustadz Mamat akan absen selama dua hari, artinya Aida hanya seorang diri di rumahnya karena ketiga adik wanitanya pun sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Fadillah yang tahu bagaimana keadaan Aida, segera melapor kepada majikannya
yaitu pak Sobri. Dengan seksama pak Sobri mendengarkan laporan Fadillah, dan paham inilah kesempatannya untuk menikmati
istri Ustadz yang selalu dirindukannya sejak digarap tempo hari.
Fadillah memberitahukan pula kepada pak Sobri bahwa Aida meminta bantuannya mendirikan tiang jemuran di halaman belakang serta memperbaiki grendel pintu belakang yang hampir terlepas. Aida telah bosan meminta
suaminya membetulkan kedua hal sepele itu, namun entah
memang sengaja atau tidak, selalu dilupakan oleh Ustadz Mamat. Fadillah berjanji akan datang setelah menutup warungnya di sore hari.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, demikian pikir pak Sobri yang memang mencari akal untuk dapat masuk ke rumah Aida. Setelah berhasil menipunya tempo hari, maka kemungkinan besar Aida tak akan mau membukakan pintu jika pak Sobri yang datang
sendirian. Fadillah akan dijadikannya sebagai umpan pemancing; pada saat Fadillah membetulkan tiang jemuran itu, maka pak Sobri akan coba menyelinap masuk.
Semuanya harus diatur sedemikian rupa waktunya sehingga bisa berjalan lancar.
Pak Sobri bertekad kali ini akan menggarap dan menaklukkan Aida untuk
dijadikan budak seks-nya, sehingga di masa depan Aida akan selalu 'ketagihan' dan bersedia menerimanya tanpa
bantuan serta akal bulus siapapun.
Fadillah juga tidak sebodoh yang diperkirakan pak Sobri. Untuk ‘jasanya’ menjadi umpan pemancing kali ini, maka diajukannya persyaratan bahwa ia harus diberi kesempatan untuk ikut menikmati tubuh Aida yang
sudah lama dilahap matanya saat belanja di warung.
Setelah menimbang semua untung ruginya, akhirnya pak Sobri menyetujui keinginan Fadillah -
saat itulah iblis menyeringai lebar penuh kepuasan karena dua
manusia itu akhirnya jatuh ke dalam jebakannya!!!
Pak Sobri menjanjikan kepada Fadillah untuk boleh menikmati tubuh Aida,
namun harus tunggu giliran. Fadillah diberikan petunjuk untuk merejang kedua
tangan Aida, kemudian jika perlu diikatnya di ujung ranjang, demikian pula kedua pergelangan
kakinya jika Aida tetap melawan. Setelah itu Fadillah harus menunggu giliran
untuk dapat menikmati mulut serta buah dada Aida, namun kedua lubang di bawah adalah milik pak Sobri.
Fadillah semula menolak dan menuntut agar diberi kesempatan menikmati semua
lubang di tubuh Aida, bahkan sedikit
mengancam akan mengundurkan diri dan membatalkan bantuannya, hingga akhirnya pak Sobri bersedia bernegosiasi lebih lanjut dan memberikan
tawaran bahwa disamping Fadillah diperkenankan menciumi mulut Aida, ia juga boleh meminta service lainnya. Namun memek Aida tetap menjadi bagian yang tabu bagi Fadillah, ia boleh merangsang sedemikian rupa, namun tak boleh dicoblos – bagian ini adalah hak monopoli pak Sobri.
Selain itu pak Sobri berniat menjarah lubang Aida lainnya yang di waktu pergulatan pertama belum sempat ia nikmati; sebuah lubang yang diyakini pak Sobri belum pernah dijamah oleh Ustadz Mamat, suami Aida, yang di dalam bidang seksual tidak begitu banyak fantasi liar.
Tanpa meneruskan perundingan mereka, sebetulnya Fadillah pun berpikir bahwa jika vagina Aida tidak boleh ia nikmati, mungkin ada lubang lain dimana
si otongnya dapat mampir. Itu sama dengan yang diinginkan olek pak Sobri. Sepertinya mereka akan
rebutan nanti.
***
Sore itu terasa udara sangat panas menyengat, langit mendung dan beberapa kali terdengar gelegar guntur. Namun hujan yang turun tak begitu lebat, hanya gerimis rintik-rintik
saja. Tidak seperti biasanya, Fadillah telah menutup warungnya sekitar jam empat sore, kemudian dengan
sepeda motor bekas pemberian pak Sobri, ia melawan rintik hujan menuju rumah Aida yang letaknya di pinggiran desa, agak tersembunyi di balik pelbagai pohon besar.
Di gang kecil tempat tinggal Ustadz Mamat hanya ada tiga rumah lain - yang terletak paling memojok di akhir jalan adalah rumah Aida. Ketika Fadillah
membelokkan sepeda motornya memasuki gang itu, dilihatnya bahwa Aida sedang bergegas akan masuk
ke rumah tetangganya di ujung jalan, di tangannya membawa botol kecil.
"Eeh, mau pergi kemana, ustazah? Saya kan sore ini mau membetulkan jemuran di belakang rumah," demikian tanya Fadillah sambil menghentikan
sepeda motornya.
"Iya, ini saya mau bawakan minyak tawon ke bu Nur, karena ia barusan
jatuh di tepi sumur
hingga lututnya memar. Silahkan bapak mulai saja betulkan jemuran dan pegangan pintu belakang, saya
tidak lama koq." jawab
Aida dengan nafas agak tersengal dan segera masuk ke rumah bu Nur.
"Baik, ustazah. Saya harus mulai nih karena sudah turun
hujan gerimis," lanjut
Fadillah yang merasa dapat kesempatan baik untuk memberitahu pak Sobri yang
ternyata secara seksama mengikuti semua adegan itu dari belakang setir mobilnya
yang berada di tempat agak
jauh.
Ketika Aida telah masuk ke rumah bu Nur, maka Fadillah
mengacungkan tangannya ke atas sebagai tanda bahwa pak Sobri agar segera parkir dan meninggalkan
mobilnya. Pak Sobri lekas melakukannya. Setelah itu, bagaikan
dikejar setan, ia langsung lari secepatnya mengikuti jejak Fadillah yang telah memutari
pekarangan rumah Ustadz Mamat dan kini mulai menegakkan jemuran pakaian yang
miring itu.
Rupanya Aida lagi mengangkat pakaian di jemuran ketika dia dipanggil oleh bu Nur, sehingga ia bergegas ke dalam mengambil botol minyak tawon dan berlari ke rumah tetangganya itu, tanpa menyadari bahwa pintu belakang rumahnya lupa ia kunci. Akibatnya, kini dengan mudah pak Sobri masuk ke dalam dan bersembunyi di dalam kamar tidur Ustadz Mamat.
Hujan gerimis berubah semakin lebat sehingga tanah
menjadi sangat basah. Fadillah dengan mudah dapat menegakkan tiang penyangga jemuran, namun untuk memasang pondasi semen pada saat itu sungguh tidak mungkin. Karena itulah ia memutuskan untuk mengalihkan
kegiatannya membetulkan grendel pintu belakang, dan hal itu ternyata hanya sepele saja; cukup dengan
mengencangkan dua sekrup kecil yang berada di pegangan grendel sebelah dalam dan luar, maka sebentar saja grendel itu telah mantap dan tak goyang lagi
sedikitpun.
Di saat Fadillah berniat
untuk menyimpan lagi segala peralatan yang dibawanya ke tas di bagian belakang sepeda motornya, ternyata Aida
telah kembali dan merasa kasihan karena Fadillah basah kuyup. Namun sebagai ustazah yang alim maka tak mungkin ia
mengajak Fadillah masuk ke dalam rumah karena saat itu hanya seorang diri, tanpa mengetahui bahwa ‘mahluk buas’ telah berada di dalam kamar tidurnya.
Fadillah pun berpura-pura sama sekali tak berniat masuk dan hanya numpang
meneduh sekedarnya di bawah jendela rumah sang Ustadz yang sedikit terbuka. Namun Fadillah telah melihat sebelumnya bahwa
jendela itu sangat mudah untuk dicongkel penyangganya dari luar, dengan demikian ia dapat
melompat masuk ke dalam rumah
tanpa perlu susah payah.
Ketika hujan mulai mereda - namun keadaan sudah gelap sehingga tak mungkin
di saat itu untuk
Fadillah melanjutkan pekerjaannya, maka ia dengan suara lantang ‘pamit’ pulang kepada Aida dan menjanjikan untuk meneruskan membetulkan jemuran yang miring itu esok hari. Aida setuju dan merasa lega ketika mendengar suara sepeda motor Fadillah menderu sayup-sayup semakin menjauh.
Padahal Fadillah hanya menjalankan motornya beberapa puluh meter, kemudian
kembali berhenti dan meneduh di bawah pohon sambil menantikan beberapa saat lagi, dimana di luar sudah sedemikian gelap sehingga tak ada
manusia yang melihatnya, barulah ia kembali ke rumah Aida.
Sekitar sepuluh menit setelah suara sepeda motor Fadillah tak terdengar
lagi, maka Aida berniat
untuk membasuh dirinya di kamar mandi. Setelah menunaikan tugasnya seharian sebagaimana biasa sebagai
ibu rumah tangga, maka Aida
merasakan badannya membutuhkan siraman air segar untuk menghapus keringat yang
melekat di badan. Sebagaimana biasanya ia selalu menukar pakaian setelah mandi, maka Aida menuju ke kamar tidurnya untuk mengambil pakaian baju kurung
sederhana tapi bersih untuk dipakai sehari-hari di rumah. Tanpa curiga sedikit pun Aida membuka pintu kamar tidurnya dan mulai
melangkahkan kaki masuk ke dalam, ketika tubuhnya disergap-dibekap secara tiba-tiba dari belakang.
"Uumpfh.. efpffhhh.. s-siapa?! Aauuffhhh," Aida
menggeliat dan berusaha meronta membebaskan dirinya dari sergapan dan pelukan
ketat yang melingkar di pinggangnya.
Dirasakannya bahwa tubuh lelaki yang menyergapnya dari belakang itu sangat
kekar serta memiliki tenaga yang jauh berlipat dibandingkan dengan tenaganya
sendiri. Selain itu aroma yang keluar dari tubuh penyergapnya sangat khas
kelaki-lakian, bau keringat yang tidak keluar dari tubuh suaminya sendiri, namun bau itu pernah dialaminya
beberapa bulan lalu. Ditambah lagi dengusan nafas menderu bagaikan banteng
murka di tepi
telinganya, dengusan penuh nada kejantanan yang didengarnya saat dirinya
ditakluki seorang pemerkosa : pak Sobri!
Tanpa disadari Aida merinding, bulu kuduknya berdiri, lututnya melemas,
badannya menggigil bagaikan demam : Ya Allah, jangan biarkan hal yang nista ini
terulang lagi, demikianlah panjatan doanya.
"Ssh.. tenang aja, neng geulis,
kan pernah kenalan sama bapak, pasti udah péngén digenjot lagi. Bapak juga kangeeen banget.. kenapa merinding, neng? Sini bapak bikin badan neng jadi anget," bisik pak Sobri disertai nafasnya yang berbau rokok semakin menembus
lubang hidung mungil Aida.
Tanpa memperdulikan rontaan dan hentakan Aida yang melawan mati-matian nasib yang akan terulang kembali,
pak Sobri yang walapun telah cukup usia namun masih sangat tegap dan kuat, menyeret mangsanya perlahan-lahan ke arah ranjang. Sementara tangan kirinya tetap
membekap mulut Aida, jari-jari tangan kanan pak Sobri semakin liar menjalar dan menyelinap masuk diantara
belahan kebaya yang dipakai istri Ustadz Mamat itu.
Aida berusaha mencakar tangan pak Sobri, namun sang pejantan yang telah kemasukan iblis ini
seolah tidak merasakan kuku wanita cantik mangsanya. Dengan sekali putaran dan
dorongan, maka pak Sobri
berhasil menghempaskan tubuh
Aida ke ranjang dan langsung ditindih dengan badannya yang sangat berotot.
Bagaikan singa telah menjatuhkan kancil ke tanah, maka pak Sobri semakin ganas menguasai calon korbannya.
Mulutnya kini sepenuhnya menutup rekahan bibir Aida
yang ingin berteriak, namun sama sekali tak berdaya. Lidah pak Sobri menerobos dan menjalar ke dalam rongga mulut Aida, membasahi dan mencampuri
ludah manis Aida dengan liur kentalnya yang berbau tembakau sangat memualkan
dan tak disenangi oleh Aida.
Pada saat itu pintu kamar tidur Aida kembali terkuak dan dari sudut matanya, Aida melihat kemunculan sesosok tubuh yang dikenalnya : Fadillah! Penuh harap Aida menggapai ke arah Fadillah untuk meminta tolong, namun yang
dilihat olehnya adalah sinar mata Fadillah berbinar-binar penuh nafsu. Telah beberapa kali Aida menangkap sinar mata liar Fadillah
semacam itu di warungnya, namun memang dianggapnya bahwa itu lumrah saja untuk semua lelaki. Namun
dalam situasi seperti ini, barulah Aida menyadari bahwa harapannya untuk mendapat bantuan dan
pertolongan Fadillah sama sekali sia-sia belaka, bahkan dilihatnya kini
Fadillah bergegas melepaskan pakaiannya sendiri!
"Gimana, pak, perlu
bantuan?" demikian tanya Fadillah sambil melepaskan celana panjangnya
sehingga kini hanya memakai kaos dan celana dalam saja, lalu mendekati pergulatan di ranjang itu.
"Iya, nih cewek masih cukup binal. Mana tali serta lakbannya, Dil ?" demikian tanya pak Sobri diantara
ciuman ganasnya di bibir Aida sambil tetap menindih dan menggeluti tubuh yang
makin terlihat kemulusan serta putih menggiurkan itu. Sarung kebaya yang selalu sopan ketat
menutup tubuh Aida kini telah acak-acakan dan tersingkap akibat ronta mati-matian, menyebabkan dada berbukit kembar, perut datar berpusar menantang, serta paha betis halus bagaikan batu pualam milik Aida menonjol keluar!
Sambil tersenyum lebar penuh kemesuman, Fadillah menghampiri serta kini berdiri di ujung
ranjang bagian kepala. Pak Sobri merenggut kasar kebaya dan BH yang dipakai oleh Aida, kemudian sarung penutup pinggul serta auratnya juga ditarik ke bawah, sementara Fadillah merejang merentangkan
kedua tangan Aida, lalu diikatnya
seerat mungkin ke ujung ranjang,
sehingga kini tak dapat mencakar lagi.
"Toloong.. empfh.. sialaan! Bangsat! Bajingan kalian semua! Terkutuk, cepat lepaskan! Atau saya akan teriak panggil polisi.. tol-eummpfh!!" Kali ini teriakan Aida diredam oleh bibir Fadillah yang ternyata tak kalah
ganas dan juga sama berbau tak sedap seperti mulut pak Sobri.
Kesempatan ini dipergunakan oleh pak Sobri untuk melepaskan semua
pakaiannya. Dalam waktu hanya satu menit, terlihatlah tubuh pak Sobri yang meskipun agak tambun namun tetap berotot
dan agak mengkilat dengan keringat akibat pergulatannya dengan Aida. Setelah
itu pak Sobri kembali ke ranjang dan menindihi tubuh Aida yang tetap menggeliat meronta-ronta. Sarung yang telah turun melorot ke betis
Aida dilepaskannya sama sekali, setelah mana pak Sobri menarik celana dalam
kecil warna biru muda, diciuminya bagian tengah cd yang telah nampak lembab itu penuh nafsu.
"Wuih, harumnya nih
air madu dari memek... enggak percuma selalu
disimpan ya, neng.. udah waktunya ntar disedot ama bapak. Tapi sekarang bapak mau nyusu dulu ah," celoteh pak Sobri sambil menelusuri bukit
kembar di dada Aida; diremas dan dipilin-pilinnya puting yang semakin mengeras itu, kemudian dicaploknya bergantian kiri
kanan sambil digigit dan dikenyotnya habis-habisan.
Aida semakin kewalahan menghadapi serangan kedua lelaki durjana ini,
mulutnya masih tertutup oleh bibir dan lidah Fadillah yang menyapu langit-langitnya dengan kasar. Bau tak sedap
terpaksa harus diterimanya karena liur Fadillah semakin bercampur dengan
ludahnya sendiri, dan kini ujung syaraf tubuhnya sebagai wanita dewasa
yang agak kurang mendapatkan nafkah
batin dari suaminya mulai tergugah akibat rangsangan yang dilancarkan oleh pak Sobri di kedua puting buah dadanya.
Kedua betis langsing Aida yang sedari tadi menghentak menendang-nendang, kini mulai berubah irama; kaki dengan jari-jari amat kecil mungil kemerahan itu menekuk ke dalam
mengiringi lekukan gelisah di sendi lutut Aida. Paha mulus yang selama itu berusaha merapat mempertahankan aurat yang
tersembunyi di tengahnya, kini mulai agak gemetar dan perlahan-lahan kehilangan tenaga untuk bertahan.
Pak Sobri dengan penuh keahlian telah menempatkan diri diantara kedua paha
korbannya, sementara tangannya tetap menyiksa kedua puting bukit kembar kemerahan milik Aida. Bibirnya yang tebal dower merambat turun dari dada ke arah perut, menggelitik pusar melengkung ke dalam perempuan itu, kemudian semakin turun...
Meskipun masih menciumi Aida dengan penuh rasa birahi tak tertahan, namun Fadillah sempat melihat dengan sudut matanya
bahwa pak Sobri telah meningkatkan rangsangannya dengan makin mendekati bawah
perut Aida. Fadillah merasakan nafsunya sendiri semakin tak tertahan, belahan
bibir Aida yang sedemikian hangat menggiurkan, diidamkannya untuk bisa menerima kemaluannya. Betapa seringnya
Fadillah mendambakan untuk menikmati tubuh Aida saat melayaninya di warung,
kini bidadari idamannya itu telah berada dalam genggamannya : kedua nadi Aida terikat erat di sudut ranjang, mulutnya yang setengah terbuka kini
akan dipaksanya mengulum menyepong penisnya.
Fadillah berlutut menempatkan diri di samping kepala Aida yang langsung melengos, namun secara sigap wajah cantik
itu dipaksanya kembali menoleh dan kepala kejantanannya yang berbentuk jamur
itu segera ditempelkannya ke bibir Aida. Tentu saja Aida menutup mulutnya
sekuat tenaga, tapi Fadillah
langsung menjepit hidung bangir mancung yang menggemaskan itu sehingga Aida tak
dapat bernafas dan terpaksa membuka sedikit mulutnya. Namun bukaan ini belum
cukup lebar untuk ditembus pentungan daging yang cukup besar keras dan tegang
itu : Fadillah harus sabar!
Sementara itu pak Sobri telah menurunkan wajahnya mendekati bukit Venus
kemaluan Aida. Bukit nan lebam hanya dihiasi bulu halus sangat terawat itu
menampilkan lembah mungil di tengahnya, sebuah
lekukan panjang, dalam dan sempit, sebuah celah yang mengundang untuk
dijelajahi. Pak Sobri masih mengingat betapa empuk dan halus dinding celah
surgawi itu, betapa lembut denyutan serta pijitan yang dialami kemaluannya
ketika akhirnya berhasil membelah celah hangat licin itu.
Aroma kewanitaan yang khas menerpa hidungnya, aroma khas tubuh Aida yang
meskipun belum sempat mandi namun justru menampilkan bau alami wanita yang amat
membius. Dengan kedua tangan yang kuat berotot, pak Sobri membuka dengan paksa lutut Aida ke samping kiri kanan. Walaupun Aida dengan mati-matian mempertahankan diri, namun tenaganya
kalah kuat sehingga kedua lututnya terbuka maksimal dan ditekan ditindih oleh
lutut pak Sobri, menyebabkan
Aida memekik kesakitan.
Kini terbukalah selangkangan Aida dihadapan mata pak Sobri yang menelan
ludahnya beberapa kali, jakunnya turun naik, jari-jari kasar hitam pak Sobri mulai mengelus betis
serta paha mulus Aida.
Fadillah menyaksikan kegiatan pak Sobri dari sudut matanya. Karena pak
Sobri telah mengalihkan kegiatan jari-jarinya ke bawah tubuh Aida, maka tibalah
giliran Fadillah untuk merasakan betapa halus namun kenyal dan padatnya gunung
kembar di dada Aida.
Tanpa menghentikan ciuman rakusnya yang sangat menjijikkan, mulailah Fadillah
meraba dan mengelus bahu mangsanya. Dari bahu, jari-jari kasarnya menjalar ke ketiak, sedikit memijit-mijit disitu sehingga Aida menggeliat kegelian.
Perantauan jari-jari hitam Fadillah dengan kuku panjang tak terawat semakin nakal menaiki lereng bukit montok, mengelus-elus disitu sebelum mendaki ke puncak untuk menemukan puting mencuat berwarna merah kecoklatan, berdiam sebentar disitu
kemudian mulai mengusap dan meremas-remasnya pelan.
"Aauummpfhh.. aasshhh.. eeiimmppfhh.. ooaahhh.. oooh.." bunyi desahan Aida tak nyata karena mulutnya tetap disumpal lidah
Fadillah yang besar. Tubuh Aida yang putih montok semakin menggeliat
menggelinjang resah sehingga terlepaslah tindihan lutut pak Sobri, Aida
berusaha menggulingkan tubuhnya ke kiri ke kanan walaupun
kedua tangannya terikat erat di ujung ranjang.
Namun semuanya hanya sia-sia saja karena kini
pak Sobri bahkan meneruskan penjarahannya lebih lanjut dengan menangkap kedua
pergelangan kaki Aida yang mencoba menendang ke kiri kanan. Kedua betis langsing bak padi
membunting itu dicekalnya keras kemudian dinaikkan dan diletakkan di atas bahunya, sehingga Aida kini hanya dapat
memukul-mukul lemah
dengan tumit mungilnya ke punggung pak Sobri.
"Aauww.. sakiit! Lepaskan! Aaah.. sakiit! Auwffmph.." Aida menjerit kesakitan ketika Fadillah dengan sadis mencubit
putingnya dengan kuku tajam tak terawat.
Pada saat mulutnya membuka lebar, maka kesempatan yang telah lama ditunggu Fadillah akhirnya tiba. Cepat lelaki itu menjejalkan
kemaluannya yang memang sejak tadi menunggu di depan bibir Aida yang hanya terbuka sedikit. Lidah
Aida berusaha sekuat tenaga mendorong keluar daging pentungan berkepala topi
baja itu, namun Fadillah tak kenal kasihan. Tanpa mengurangi cubitannya
bergantian di kedua puting Aida yang semakin ngilu mengeras, ia mendorong dan menekan kejantanannya senti demi senti ke dalam rongga mulut Aida sehingga menyentuh langit-langit dan menyebabkan Aida tersedak.
"Kalo enggak mau disiksa, makanya nurut dong! Ayo, sekarang kulum yang bener.. isepin, jilat yang bersih.. iya, gitu.. pinter, udah biasa nyepongin suami ya?" celoteh Fadillah keenakan ketika akhirnya Aida terpaksa menyerah, mulai mengulum penis hitam yang dibencinya itu. Namun biarlah daripada terus-menerus disakiti dengan puting yang telah
sedemikian peka ditarik dan dicubiti kuku tajam.
Tanpa merasa kasihan Fadillah mencekal rambut Aida, kemudian digerakkannya
kepala perempuan itu mundur maju memanjakan penisnya
yang kini terlihat mengkilat akibat basah oleh ludah Aida.
Bagian bawah tubuh Aida kini tak kalah serunya dijadikan sasaran keganasan
sang pejantan lain : sambil menikmati pukulan-pukulan lemah tumit Aida di punggungnya, pak Sobri telah menjelajahi bukit kemaluan Aida dengan beberapa jarinya.
Terlihat betapa licin mengkilat lembah sempit yang telah lama diimpikannya itu. Dengan hati-hati Pak Sobri membuka dan melebarkan celahnya yang mungil, lalu disentuh dan dijilatnya
dengan penuh rasa kepuasan sebelum lidahnya menyapu dinding halus itu.
Tanpa rasa jijik pak Sobri menikmati licinnya dinding surgawi Aida yang berwarna merah muda, dicicipinya
lendir yang mulai keluar membasahi celah nirwana itu, dijilatinya penuh mesra hingga membuat Aida kegelian. Dilanjutkannya
penjarahan lembah kewanitaan Aida dengan mengutik-utik, menyentuh, meraba dan mengusap-usap ujung klitoris yang kini semakin peka dan
tanpa disadari mulai menonjol keluar.
"Ooohh.. jangan! Lepasin saya, pak! Ooohh... bang, jangan! Saya sudah menjadi istri ustadz! Tolong kasihani dong, pak! Jangan begini.. saya enggak rela! Ooohh.." Aida mulai menangis menimbulkan iba, namun
tubuhnya yang ‘kekeringan’ selama ini mau tak mau mulai memberikan respons
terhadap rangsangan kedua lelaki berpengalaman itu.
"Kenapa nangis, neng? Nikmati aja, percuma nunggu berkah dari suami bodoh yang pergi melulu.. masa istri bahenol gini enggak diganyang tiap malam? Ayolah, neng, lepasin semuanya! Jangan ngelawan, percuma aja ngarepin suami yang enggak pulang-pulang. Ini ada penggantinya," pak Sobri mencoba berusaha mesra, kemudian mulai dikecupi, diciumi
dan dijilatinya memek basah Aida.
Dibukanya bibir kemaluan Aida ke kiri kanan dengan hati-hati sehingga terlihatlah lubang kecil dari kandung
kemihnya, demikian juga sepotong daging mungil di lipatan atas bagaikan yang penis kecil. Inilah pusat kenikmatan yang diabaikan
sang ustadz, namun kini didapat oleh pak Sobri!
"Uumhhh.. duh mungilnya nih lubang.. cupp, cupp, aaah.. neng, wangi amat memeknya? Bapak enggak puas-puas ngeliatin nih kelentit. Bapak gigit dan jilatin mau ya?" Tanpa menunggu jawaban, pak Sobri segera menyentuh lubang kencing Aida dengan ujung lidah, sementara kumisnya yang sengaja dua hari tak dicukur, menyentuh klitoris Aida bagaikan sapu ijuk, mengakibatkan Aida merasakan kegelian luar biasa
sehingga menjerit lupa diri!
"Jangan, pak! Lepaskan, udaah.. oohh.. saya mau diapain lagi?! Enggak mau, ooohh.. sssh.. saya mau pipis! Aaaah.. jangan! Lepasin," Bagaikan terkena
aliran listrik, tubuh Aida
mulai menegang, sementara
cairan memeknya semakin deras keluar.
"Sssh.. tenang aja, neng. Nikmati biar puas.. ini surga dunia, neng. Jangan dilawan, buang tenaga aja. Dijamin ntar puas, kapan lagi gratis
dikerjain dua lelaki,? Ayo sepongin lagi tuh si Fadil, udah lama dia enggak dapat jatah perempuan. Sekarang bapak mau nerusin ngegali
lobang si neng," pak Sobri menundukkan kepalanya lagi dan
meneruskan penjarahannya ke liang vagina dan kelentit Aida.
Sebelum Aida dapat protes lebih banyak, kembali mulutnya dijejali oleh penis Fadillah yang
berbau asam meskipun disunat. Mungkin Fadillah tak mempunyai kebiasaan untuk
mencuci kemaluannya jika telah kencing, dan sekarang justru nafsunya semakin
meningkat melihat Aida telah berkali-kali hampir muntah. Pemilik warung ini semakin bersemangat memperkosa
mulut mungil yang telah kewalahan membuka maksimal itu karena Fadillah ingin
memaksa Aida meminum pejuhnya.
Sementara itu pak Sobri telah memusatkan perhatiannya ke vagina Aida yang
dijilat dan dikecupnya tak henti-henti, menyebabkan Aida bagaikan cacing kepanasan yang menggeliat sejadi-jadinya. Pak Sobri tak peduli kegelisahan
wanita alim shalihah itu : lidahnya bergantian menyentuh lubang kencing dan
klitoris Aida. Daging yang semula kecil bersembunyi di lipatan bibir kemaluan itu semakin lama semakin
terlihat menonjol keluar berwarna kemerahan. Permukaannya yang dipenuhi jutaan
ujung syaraf peka diserang bertubi-tubi oleh sapuan lidah, gigitan kecil dan juga ujung kumis pak Sobri yang kaku
bagaikan sapu ijuk.
Semua siksaan itu tak sanggup lagi ditahan oleh tubuh si wanita alim. Tubuh Aida
melengkung bagaikan sekarat, menegang kaku seolah terkena aliran listrik, tangannya
yang terikat di sudut ranjang
membuat kepalan tinju kecil.
Fadillah memegang sekuat tenaga secara sangat sadis kepala Aida dan
ditekannya rudalnya sehingga menekan di kerongkongan, disaat mana air maninya menyembur keluar berbarengan dengan
orgasme Aida akibat rangsangan dari pak Sobri.
Pak Sobri pun tak kalah licik dan sadis ingin menikmati orgasme istri Ustadz ini : dimasukkannya jari telunjuk dan
jari tengahnya ke liang vagina Aida untuk merasakan bagaimana jepitan denyut-denyutan ritmis otot memek yang sedang orgasme! Sementara jempolnya yang kasar mengusap permukaan klitoris Aida demi
meneruskan dan memperpanjang orgasme yang melanda korbannya. Dilihatnya pula kedutan dan kontraksi otot-otot lingkar pelindung anus Aida - dan ini
membuatnya tersenyum lebar.
“Pertama lubang di atas akan kunikmati sepuasnya sebelum lubang
satunya kuperawani!” begitu dia bertekad.
Tentu saja Aida tak menyadari rencana licik pak Sobri, ia sedang dilanda tsunami
orgasme sekaligus juga mati-matian harus melawan rasa ingin muntah
karena terpaksa menelan pejuh Fadillah.
"Oooh.. uuuhh.. duh, enak tenan eeuy.. nyemprot ser-seran gini, di mulut istri orang yang cantik kayak neng. Nih datang lagi.. iya, sedot semua.. minum sampai habis!" tak henti-hentinya Fadillah memuji tegukan demi
tegukan yang terpaksa dilakukan oleh Aida demi usahanya memperoleh nafas agar tak tercekik oleh luapan air mani
lelaki asing yang kini dibencinya itu.
Jika ia mengira bahwa penyiksaannya telah berakhir, maka Aida salah besar : ternyata meskipun telah
menyumbangkan air pejuhnya, namun penis Fadillah tetap saja tegak mengacung,
mungkin akibat ramuan kuat yang juga dijual di warung, selain juga resep dari dukun kampung di situ.
Beberapa menit kemudian kedua lelaki durjana itu melepaskan Aida dari
ikatan nadi di ujung kepala
ranjang, tubuh putih mulus sintal telanjang bulat itu terlihat bergetar akibat tangisan sesenggukan. Semuanya itu
sama sekali tak menimbulkan rasa kasihan pada kedua lelaki pejantan : permainan mereka justru baru memasuki babak
pertama, kini mereka telah siap melanjutkan ke babak kedua!
Fadillah diberikan tanda oleh pak Sobri agar merebahkan dirinya, sedangkan
tubuh Aida yang masih tergetar akibat tangisan tersedu-sedu itu diangkat oleh pak Sobri dan
diletakkan diantara kaki Fadillah.
Dengan mata sembab penuh linangan air mata, Aida kini dipaksa untuk berlutut dengan wajahnya
kembali menghadapi kejantanan Fadillah yang masih tegak mengacung bagaikan tugu
Monas. Aida yang masih sangat lemas berusaha menolak dan ingin berdiri, namun pak Sobri yang berada di belakangnya segera
menekan belakang lehernya dan memaksa wajah ayu penuh air mata itu mendekati kepala penis Fadillah
yang masih mengkilat oleh air mani.
"Ayolah, neng, manjakan lagi nih si ujang. Bantuin pijit dan peres-peres nih biji pelir, masih banyak jus segar
yang ntar bisa dipakai buat obat awet muda si neng. Tadi si neng udah
ngicipin pejuh. Dan si neng emang jagoan, enggak muntah sama sekali, padahal kebanyakan cewek pada muntah tuh. Makin sering nyembur si ujang ini, maka akan manis air sarinya, neng!" demikian Fadillah dengan penuh dusta berbicara mengenai air pejuhnya.
Aida hanya menggeleng-gelengkan kepala, namun Fadillah
telah menggantikan pak Sobri dan kini ia menarik kepala Aida dan dipaksanya untuk menciumi senjata kesayangannya kembali. Masih tetap istri ustadz itu menolak membuka bibirnya, apalagi ketika dirasakannya pak Sobri yang berlutut
di belakang punggungnya
kini telah menyentuh belahan pantatnya.
Aida berusaha berdiri namun pak Sobri telah siap dan dengan tenaga begitu
kuatnya, pundak Aida
lagi-lagi ditekan ke bawah sehingga posisi tubuhnya semakin menungging.
Aida masih berusaha melawan dengan mencoba mencakar tangan pak Sobri yang menekannya ke bawah, tapi apalah artinya cakaran kuku wanita kalau
sang pejantan telah kemasukan tenaga iblis?
Pak Sobri memijit kedua pundak Aida dengan cukup keras sehingga umamah ini
menjerit kesakitan, kesempatan sekali lagi bagi Fadillah yang langsung menekan
wajah Aida ke bawah dan mulut
ternganga itu segera disumpal oleh tombak daging yang kali ini bahkan langsung
masuk ke dalam
kerongkongan!
"Eeghh.. ueeghkk.. eegghk.. aauhh.. uueeghh.." berkali-kali Aida merasa lambungnya bagai terpelintir, namun untunglah perutnya
sudah lama kosong tak terisi sehingga ia tak jadi muntah.
Fadillah rupanya agak kasihan juga melihat korbannya penuh aliran air mata
dan kelabakan megap-megap berusaha bernafas. Diurut-urutnya belakang kepala Aida seolah ingin
melemaskan kerongkongannya agar dapat menerima seluruh batang kemaluan yang
menjejal tajam.
"Iya, pelan-pelan aja. Yah begitu, diurut dan dikocok neng, supaya lebih mantap dan sip. Terus.. duh, makin pinter nyepongnya.. dasar emang istri ustadz pelacur!" ejekan sang pemilik warung
membuat pipi Aida memerah panas dan merasa malu serta turun harga dirinya.
Sementara itu pak Sobri telah memegang penisnya yang hitam besar penuh urat
melingkar, dan diarahkannya ke celah yang masih licin dengan cairan pelumas wanita
dewasa serta air liurnya sendiri. Dengan satu tangan pak Sobri menekan pinggang
Aida ke bawah sehingga
tunggingan pantat nan bulat bahenol itu semakin merangsangnya, dan juga terlihat celah vagina yang agak merekah merah milik Aida. Perlahan dan dengan penuh
kepuasan pak Sobri memajukan pinggulnya sendiri sehingga akhirnya kepala
penisnya menyentuh dan mulai membelah celah memek Aida. Mula-mula meleset ke samping beberapa kali, namun akhirnya ujung pentungan daging berbentuk topi
baja itu terjepit diantara bibir vagina nan sempit
legit.
"Eemmhhh.. weleh-weleh, sempit amat nih memek neng! Sering latihan kegel ya, neng, atau barang
suaminya memang kecil? Duh, enak tenan.. licin, anget, sempit lagi.. ayo mulai goyang-goyang dong pantatnya, neng, seperti tempo hari." pak Sobri merem-melek merasakan
senjatanya menerobos lubang hangat idamannya.
Berbeda dengan pak Sobri yang amat bergairah menikmati persetubuhan, maka Aida kembali
merasa sangat perih dan ngilu karena vaginanya yang kecil dan sempit itu
dipaksa membuka lebar untuk menerima sodokan penis besar.
"Wuih, enggak nyangka nih lobang kalo ditembus nungging jadi makin dalem.. tapi jangan kuatir, neng, alat pacul bapak cukup panjang buat ngeluku sampe bisa mentok! Oh nikmatnya.. ngimpi berbulan-bulan akhirnya kesampean juga, mmmhh.. sssshh.." lanjut pak Sobri.
Setelah maju-mundur tarik-dorong beberapa kali, akhirnya berhasil juga ujung kepala penis pak Sobri yang telanjang disunat itu menyentuh mulut
rahim Aida. Setelah itu pak Sobri tak memperdulikan lagi perbedaan ukuran
kemaluannya dengan lubang mungil Aida, gerakannya kini telah dikuasai oleh
keinginannya mendengar keluhan, rengekan, desahan dan bahkan isakan tangis istri Ustadz Mamat akibat menahan rasa ngilu dan
perih yang dideritanya.
Dan memang itulah yang didengarnya saat ini, namun pak Sobri yakin bahwa
istri ustadz yang kekeringan nafkah batin ini akan segera berubah menjadi budak
seks-nya. Rintihan sakit
yang terdengar disaat rahim Aida dihentak dijedug kasar oleh senjata ampuh penakluknya, akan perlahan-lahan berubah menjadi desahan wanita dewasa yang
meminta. Ya, desahan seorang
wanita yang akan kehilangan semua rasa malu, akan melupakan pelecehan yang
dialami, rintihan itu akan berubah menjadi ratapan dan permohonan agar
perkosaan berlanjut!
Dan dugaan pak Sobri memang benar : semua hormon kewanitaan di tubuh sehat Aida mengkhianati, semua daya upaya pertahanannya berdasarkan rasa malu dan
harga diri sebagai istri ustadz alim shalihah akhirnya dapat terkalahkan oleh
keahlian kedua lelaki durjana yang menggagahinya.
Bunyi kecipak jilatan Aida menyepong Fadillah terselang-seling dengan dengusannya, bersilih ganti dengan
ritme plak-plok-plak-plok pantatnya yang bersentuhan dengan paha pak
Sobri. Kepalanya terasa pusing terbawa arus gelombang yang muncul dari genjotan
tak kenal ampun di rahimnya.
Semakin lama semakin memuncak nafsu pak Sobri yang meskipun mulai putih
beruban namun dalam persoalan menggarap wanita dapat dibandingkan anak usia
belasan yang masih ingusan. Dirasakannya kemaluannya yang semakin memelar dan
memanjang itu diremas dipijit oleh otot di dalam memek wanita yang tengah
digagahinya, remasan dan pijitan yang mana mengundang lahar panasnya mulai mendidih dan mendesak mengalir menunggu ledakan dari saluran di sepanjang penisnya.
Bagaikan orang kesetanan, pak Sobri meningkatkan gerakan maju-mundurnya. Peluhnya mulai menetes di dahi. Matanya semakin melotot dan dengusannya semakin menguasai ruangan, hingga akhirnya... disertai teriakan menyeramkan, pak Sobri melepaskan arus syahwatnya.
"Aaaah.. bapak tak tahan lagi, mau banjir nih! Oooh.. neng geulis, lagi subur
enggak? Siapa tahu jadi anak nih, oooh.. angetnya nih lobang! Iya, pijit dan remes-remes, Neng.. aje gile, neng bahenol! Enak enggak, neng, sakit-sakit nikmat ya?"
Pak Sobri menyemprot rahim Aida dengan air maninya
yang menyembur bagaikan tak akan berhenti. Disaat mana juga Aida tak dapat
menahan lagi gejolak mendidihnya hormon kewanitaan di seluruh ujung syarafnya. Wajahnya mendadak terlepas
dari genggaman Fadillah dan menengadah ke atas dengan bibir merah merekah, hidung bangirnya mancung kembang-kempis , tarikan nafas panjang berubah menjadi histeris, dan...
"Aauw.. iyaah, ngilu! Aauuww.. pak, ngilu! Oouuh.. aaih.. iyah terus! Ooohh.. nikmat, oooh.. terus, pak!!" jeritan suara Aida melengking menandingi
dengusan berat pak Sobri. Kembali tubuhnya kejang dan melengkung ketika gelombang orgasme kedua melandanya dan menghempaskannya kembali.
Pak Sobri menggeram bagaikan singa terluka karena menyadari bahwa
kesanggupannya masih ada dan lebih dari cukup untuk meneruskan senggama dengan wanita
cantik idamannya ini. Lembing pusakanya masih tegang ketika ditariknya keluar
dari vagina Aida, dan dengan penuh kebanggaan pak Sobri melihat penisnya
mengangguk-angguk tak
sabaran menunggu tugas berikutnya.
Senyum iblis menghiasi wajah pak Sobri ketika direkahnya kedua bongkahan
pantat Aida yang bahenol tanpa tandingan ketika perempuan itu bergoyang. Dilihatnya lubang kecil
tersembunyi di tengah belahan
pantat itu, lubang yang masih berkedut menciut ke arah dalam akibat kontraksi otot-otot pelindungnya.
Pak Sobri meludahi lubang kecil yang seolah menantang di hadapan matanya, ia menarik nafas amat dalam dan
dipusatkan konsentrasinya agar penisnya menegang semaksimal mungkin. Diletakkannya kepala penisnya yang masih licin oleh lendir kewanitaan dan
ditekannya perlahan-lahan ke tengah anus
Aida. Dirasakannya otot-otot lingkar pertahanan anus Aida mencegah penetrasi lebih lanjut, namun dengan penuh keyakinan akan segera
menang, pak Sobri menekan
sekuatnya.
"Aduuh! Auuw.. jangan, pak! Oouuhh.. aauuuw.. sakit! Kasihani saya, pak! A-ampuun.. jangan masuk di situ, haram! Auuuw.." Aida menggelepar-gelepar menahan rasa sakit tak terkira di anusnya.
Air matanya kembali
mengalir sangat deras turun di pipinya karena menahan penderitaan lubang tubuhnya yang terkecil sedang
dijarah. Terasa panas bagaikan dicolok oleh kayu menyala, dan setiap kali pak
Sobri menekan menambah masuk, maka perihnya bagaikan terkena sayatan pisau. Mungkin karena penis pak Sobri terlalu besar, maka
walaupun telah dilicinkan dan dilumasi dengan air lendir cintanya sendiri, ditambah ludah pak Sobri, namun semuanya tidak menolong banyak. Apalagi otot-otot lingkar pertahanan anus Aida rupanya masih tak
rela dilebarkan secara paksa oleh benda sebesar kemaluan pak Sobri, sehingga
melawan dan berusaha menolak benda asing itu - semua hanya menambah rasa sakit
dan perih.
Berbeda dengan penderitaan Aida yang menggeliat menggelepar menahan rasa
sakit tak terkira, maka pak Sobri
justru merasa betapa nikmatnya memasuki lubang intim Aida yang telah lama
diincar dan dibayangkannya. Namun pak Sobri masih ingin menambah lagi rasa ego
kebanggaan sebagai lelaki pertama yang berhasil masuk ke anus Aida : ya, pak Sobri ingin mendengar pengakuan itu
langsung dari mulut Aida, bukan hanya dengan dugaannya semata-mata. Selain itu
muncul kembali iblis yang menganjurkannya untuk menyaksikan bagaimana ekspresi
wajah si wanita cantik idaman saat disiksa rasa sakit di anusnya.
"Lihatlah bagaimana wajah istri ustadz saat disodomi, hehehe.." demikianlah bisikan iblis, dan pak
Sobri telah sepenuhnya dikuasai oleh bujukan itu.
Oleh karena itu pak Sobri menarik sementara penisnya yang menancap di anus
Aida, menyebabkan Aida menarik nafas lega karena sakitnya berkurang dan
dikiranya bahwa deritanya telah berakhir. Namun dugaannya itu sama sekali
meleset karena pak Sobri hanya ingin mengubah posisi : badan Aida yang
sedemikian putih mulus sintal bahenol dan lemas lunglai itu kembali dibaliknya hingga
telentang. Kemudian kedua paha Aida kembali dikuakkan lebar-lebar dan dikaitkan lagi di pundaknya sehingga selangkangan Aida dengan memek dan anusnya terekspos penuh di hadapannya.
Seringa mesum menghiasi wajah pak Sobri melihat anus Aida berdenyut kembang kempis menutup membuka, dan disaat agak membuka itu
tampak kemerahan di bagian dalam karena baru saja mengalami pelebaran secara paksa. Aida hanya sanggup menangis tersedu sedan tak
mampu melawan lagi, tapi ia ‘bersyukur’ bahwa bagian
intimnya sementara dibebaskan dari penyiksaan yang menyakitkan.
"Ayo, Dil, bantu
pegangin lagi nih cewek kalo dia ampe ngelawan. Ntar loe boleh mandiin dia ama pejuh loe sepuasnya. Sekarang dia harus ditaklukkan betul-betul dan jadi budak seks kita di masa depan," kata-kata pak Sobri mendengung di telinga Aida
dan ia menyadari bahwa nasib malangnya
belumlah tamat.
"Jangan ngelawan ya, neng, tahan dikit lagi. Ini kita udah mau masuk babak terakhir," ujar Fadillah sambil cengengesan dan kembali memegangi kedua nadi Aida di atas kepala.
Sementara itu tangan-tangan pak Sobri menekan kedua paha Aida ke samping sehingga vagina maupun anus Aida agak
terkuak kembali. Sambil mengusap kelentit Aida yang mengintip keluar akibat
ulah ibu jarinya, pak Sobri dengan penuh kebanggaan meletakkan lagi ujung
kepala kemaluannya di anus mangsanya. Diperhatikannya denyutan kontraksi otot-otot Aida yang seolah menyedotnya masuk. Sambil menarik nafas panjang seperti beberapa menit lalu, pak Sobri menekan, mendorong, menekan, dan...
"Aauww.. udah, jangan masukin
lagi disitu, pak! S-sakit.. toloong.. a-ampun!!" Aida kembali menjerit bagaikan hewan
disembelih, sama sekali tak diduga deritanya berlanjut.
"Uuuh.. sempit amat nih lobang! Sakit-sakit enak ya, neng, sakit tapi nikmat kan? Enggak usah malu-malu lah, neng , pasti udah sering pantat si neng dijebol begini sama suami kan?" tanya pak Sobri pura-pura untuk memancing pengakuan dari mulut
Aida sendiri, sesuai bujukan sang iblis.
"Aduh, pak, udahan
dong! Saya enggak tahan, sakit! Haram ini, pak, enggak mau!!" Aida hanya sanggup menangis kesakitan sambil menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Aah.. si neng jangan
bohong! Pasti udah sering
dijarah bo'olnya sama suami.. ngaku lah, neng! Kalo enggak, ntar saya terusin nih sampe semalaman. Mau enggak?" pak
Sobri melanjutkan ‘interogasinya’ sambil bergerak maju-mundur, masuk keluar di anus Aida tanpa peduli korbannya
kesakitan.
"Enggak pernah, pak, sungguh mati! Aauuw.. udah, stop dong.. saya enggak tahan lagi sakitnya, pak! Aduh.. auuw.. ampun, pak! Ya Allah, ampun sakitnya.." akhirnya tanpa sadar Aida mengakui bahwa
memang pak Sobri-lah lelaki pertama yang menyodominya.
Saat itu tak dapat dilukiskan oleh kata-kata rasa kebanggan pak Sobri karena memang benar dialah lelaki pertama yang merenggut
keperawanan anus istri alim shalihah ini. Kini tinggal selangkah lagi yang harus dilakukannya untuk menaklukkan
Aida dan menjadikannya budak seks pribadi yang selalu menurut dan patuh atas
semua kemauannya.
Pak Sobri meneruskan mengusap dan menyentil-nyentil biji klitoris Aida yang semakin memerah dan luar biasa
peka itu, sementara ia meningkatkan gerakan dorong-tarik di lubang Aida yang sedemikian sempit. Dengan
memberikan kombinasi antara sakit nikmat ini maka pak Sobri akan memaksakan
Aida untuk mengaku bersedia menjadi budak seks-nya.
"Hehehe, kelihatannya udah lemes amat, neng.. ini belon apa-apa lho! Gimana, Dil, kita terusin semaleman sanggup enggak?" pak Sobri melirik Fadillah dengan kedipan mata penuh kelicikan.
"Lha, ya pasti
sanggup, pak. Mesti diapain lagi ya nih cewek?" balas Fadillah penuh pengertian.
"Sekarang tergantung si neng dah, diterusin apa enggak? Kalo neng enggak mau, sekarang neng harus ngaku sekaligus janji ama kita," pak Sobri merasakan kemenangan mutlak hampir
tercapai.
"Ampun, pak, saya
enggak... sanggup lagi.. auuw.. ngelayanin.. auuw.. saya enggak tahan lagi.. aauuw.. jangan diperkosa lagi, pak.. auw, auw, auw.. tolong hentikan, pak.. aauuw.. aauuw.. aduh, sakit! Saya janji tak akan lapor kemana-mana, juga pada siapapun.. tolong, pak," suara
Aida semakin melemah.
"Gimana, Dil, kelihatannya
hampir kelenger nih istri pak Ustadz? Iya deh, kita berhenti
dulu, neng. Tapi sekarang neng mesti janji dan ulangi apa yang bapak ucapkan, dan juga selalu siap
melakukan di masa depan apa
yang bapak inginkan. Setuju enggak?" pak Sobri mendesak terus sambil menambah genjotan
dan tusukan penisnya di anus Aida, sementara kelentitnya ia pelintir dan pilin-pilin kuat.
"Ooohh.. sakit, pak! Geli, jangan dipelintir begitu! Aauw.. jangan dipilin lagi.. aauw.. udah, oooh.. aauuw.. ngilu, sakit, pak.. iya, saya nyerah! A-ampun, pak, saya pasrah.. aaaahh.." jeritan Aida yang disertai kejangan orgasme ketiga memberikan tanda mutlak kemenangan kedua lelaki itu - terutama pak Sobri.
Disertai raungan dan geraman terakhir, pak Sobri akhirnya menyemburkan lahar panasnya ke dalam anus Aida yang ternyata telah jatuh pingsan.
Di malam itu - disertai
dengan linangan air mata, Aida harus berulang kali melayani nafsu pak Sobri yang dibantu tenaga
iblis agaknya tak pernah kekurangan stamina. Menjelang pagi hari Aida telah berubah menjadi
wanita dewasa jalang yang membutuhkan kepuasan seks. Ia telah kehilangan semua rasa malu dan
jengah – suaminya, ustadz Mamat, hanya terikat pernikahan secara agama di atas kertas - sedangkan kepuasan batin dan badaniahnya hanya dapat dipenuhi oleh pak Sobri.
No comments:
Post a Comment