Entah
karena doa yang dipanjatkan oleh Aida, Farah, maupun Murtiasih, atau karena
ulah dari sang iblis sendiri maka ketiga wanita korban perlecehan itu tak
sampai hamil. Sementara itu para pejantan kisah bersambung ini : Pak Burhan (baca bagian kedua
"Ketika Iblis Menguasai" mengenai ternodanya Farah), Pak Sobri dengan kaki tangannya Fadillah
(baca bagian pertama "Ketika
Iblis Menguasai" mengenai Aida dan Pak Sobri) serta Pak Jamal (baca bagian ketiga "Ketika Iblis
Menguasai" mengenai terjerumusnya Ustadz Mamat) sempat bertemu dan
berkenalan ketika silaturrahmi setelah Idul Fitri di rumah Pak Fikri.
Siapakah Pak
Fikri?
Pak Fikri
dulunya adalah bekas kepala polisi di sebuah desa yang terletak diantara
kediaman Pak Burhan dan Pak Sobri. Di masa dia menjadi kepala polisi itulah
sempat Fadillah hampir masuk penjara akibat perbuatan kriminal yang
dilakukannya (mencuri bahan bangunan di rumah Pak Sobri yang sedang dibangun).
Dengan bantuan 'jasa’ Pak Sobri yang memberikan uang semir kepada Pak Fikri
[selain Sobri sempat menggarap istri Fadillah bernama Subiati] maka Fadillah
lolos penjara dan sejak itu menjadi kaki tangan Pak Sobri.
Selama
tugasnya sebagai kepala polisi disitu, Pak Fikri sempat berkenalan dengan
petugas pajak daerah situ, yang kebetulan adalah masih ada hubungan keluarga
dengan Pak Burhan, si rentenir kakap. Dari situlah maka Pak Burhan akhirnya
berkenalan dengan Pak Fikri. Tokoh lain
di saat silaturrahmi itu adalah Pak Jamal yang telah kita kenal dalam kisah
pelecehan Murtiasih, ia adalah bekas pegawai biasa di kantor Pak Fikri yang
kemudian menjadi tokoh penjaga/pembersih madrasah tempat kerja Ustadz Mamat.
Ke-empat
lelaki setengah baya itu bercakap-cakap mengenai pelbagai soal ringan, dan
semakin malam berlarut maka mereka minum bandrék bajigur dicampur dengan air
kelapa arén simpanan Pak Jamal. Air kelapa arén yang disimpan lama di tempat
dingin itu tentu saja mengalami proses kimia dan sebagian berubah menjadi
alkohol semacam minuman tuak. Dengan pengaruh minuman itu maka lidah keempat
lelaki itu menjadi semakin 'loncér’ dan percakapan mereka akhirnya sering
menyeleweng dan menjurus secara tak langsung ke persoalan wanita, karena istri Pak
Fikri telah meninggal setahun sebelumnya akibat penyakit ginjal menahun ditambah
pula sakit kencing manis parah sejak remaja. Mereka rupanya menanyakan apakah Pak
Fikri tidak berniat untuk menikah kembali, dan pembicaraan itu tanpa disadari
beralih ke arah istri keluarga Ustadz Mamat.
Pak Sobri
yang telah menjadi pejantan ahli penakluk Aida secara iseng menanyakan apakah Pak
Fikri mengenal adik perempuan Aida yang bernama Farah. Pak Sobri hanya pernah
melihat foto Farah di rumahnya Ustadz Mamat, namun dia belum pernah bertemu
langsung dengan Farah. Tentu saja Pak Sobri tak tahu bahwa Farah telah menjadi
korban Pak Burhan, dan tanpa curiga melanjutkan pujiannya terhadap kecantikan
Farah.
Pak Fikri
pernah selintas melihat Farah beberapa tahun lalu ketika mengajukan permohonan
KTP baru, dan memang harus diakui bahwa gadis remaja berjilbab itu memang
sangat cantik. Selama percakapan itu, Pak Burhan hanya tersenyum dan
mendengarkan saja, namun ketika dirasakannya saat yang baik telah muncul
barulah dengan sangat bangga ia menceritakan pengalamannya ketika berhasil
menggauli Farah.
Rupanya Pak
Sobri tak mau kalah mendengar hangatnya pelecehan Farah, maka ia pun akhirnya
menceritakan bagaimana Aida terjebak siasatnya dan berhasil digarapnya tanpa
setahu suaminya.
Ke-empat
lelaki itu rupanya semakin lama semakin asyik dengan mengunggulkan diri sendiri
dalam pergaulan bersama perempuan, mereka membual 'kemampuan’ masing-masing dalam
menaklukkan mangsanya.
Di luar
kemauan mereka, iblis pun rupanya ikut mendengarkan serta mulai menyusun
rencana berikutnya untuk menjebak menjerumuskan Ustadz Mamat, Aida istrinya,
serta tiga adik perempuannya yang terkenal sangat alim shalihah.
Pak Jamal
yang mengurus madrasah wanita mulai 'menghasut’ dengan menceritakan betapa
banyaknya gadis ABG desa yang ayu, manis dan lugu sehingga tak sukar untuk dijebak
dan dijadikan mangsa untuk para lelaki setengah baya yang gemar daun muda.
Timbullah
rencana Pak Sobri dan Pak Burhan untuk bersama mengumpulkan dana membangun
madrasah khusus untuk wanita muda di desa tak jauh dari situ, dan Mamat akan
dijadikan sebagai pemimpin 'boneka’ disitu. Dengan 'rahasia’ perbuatan cabulnya
belum lama ini dengan muridnya Murtiasih, dimana rahasia itu berada di tangan Pak
Jamal, Irah dan Ikah, maka Ustadz Mamat pasti tak mungkin menolak kedudukan
yang ditawarkan.
Namun
ke-empat lelaki yang mengatur siasat itu tentu saja mempunyai rencana maksiat
lain terhadap Aida, Farah dan kedua adik perempuannya yang masih gadis murni,
disertai Rofikah, Sumirah, mungkin pula
beberapa ABG desa yang naif dan akan mudah dijebak!
Menjelang pagi mereka pulang dengan benak penuh rencana mesum!
Di desa Jamblang yang akan dijadikan ‘markas’ besar pelbagai perbuatan
maksiat mereka di masa depan memang kebetulan ada sebuah gedung tua yang sudah
lama tak dipakai. Puluhan tahun lalu gedung itu didirikan oleh Kompeni di zaman
penjajahan Belanda sebagai pos penjagaan. Kemudian dipakai oleh penguasa Orde
Lama dan Orde Baru untuk gudang, dan sejak hampir sepuluh tahun ini kosong
terlantar. Dasar dan pondasinya tetap bagus sebagaimana umumnya bangunan zaman
dulu, hanya dinding dan atapnya yang perlu direnovasi. Untuk itulah, ke-empat
lelaki yang mempunyai rencana tak senonoh itu segera mengumpulkan anak buah dan
pekerja harian di desa untuk melakukan perbaikan, sehingga hanya dalam waktu
tiga bulan setengah semuanya telah diperbaharui dan siap untuk dipakai.
Ustadz Mamat pun kini telah diberikan ‘kedudukan’ baru yaitu sebagai
pemimpin madrasah baru - dan dalam waktu tak terlalu lama pendaftaran para
murid untuk tahun pelajaran baru telah dibuka, dan tentu saja Ustadz Mamat juga
mempunyai peranan penting dalam penerimaan itu, sehingga sejak dari awal mula
telah dapat dipilih murid baru mana yang lugu ayu dan bahenol...!!
Di bawah ini adalah kelanjutan kisah mereka yang semakin dalam terjerumus
godaan iblis...
Peristiwa yang dialami Murtiasih menyebabkannya sangat schock, prestasinya
menurun dan sangat sukar baginya untuk konsentrasi dalam belajar. Aib semacam
itu tak mungkin diceritakannya kepada siapapun, sehingga tanpa disadari,
Murtiasih semakin menyendiri, menjauhi kawan dan rekan yang sebelumnya banyak
bergaul dengannya. Semua bertanya-tanya namun Murtiasih menghindar tak mau
memberikan jawaban, dan semua itu amat diperhatikan oleh Rofikah dan Sumirah.
Mereka dengan sangat cerdik dan menggunakan pelbagai akal bulus tak henti-hentinya
selalu berusaha untuk mendekati serta menghibur Murtiasih, selain itu mereka
yang semakin ‘dekat’ dengan ustadz Mamat, menganjurkan agar Murtiasih tetap
diberikan penilaian yang cukup bagus. Ustadz Mamat yang telah terjerumus dan
terlanjur berada di bawah pengaruh ancaman kedua muridnya itu tak dapat
mengelak dan terpaksa menurut kemauan Ikah dan Irah.
Tentu saja kedua kaki tangan iblis itu tidak begitu saja mendekati dan
menghibur Murtiasih, mereka pun baik secara langsung maupun tak langsung
mengancam untuk membuka semua rahasia adegan mesum antara Murtiasih dan Ustadz Mamat
yang mereka saksikan bersama dengan saksi ketiga yaitu Pak Jamal.
Setelah menghadiri malam silaturrahmi lepas lebaran itu, Pak Jamal menjadi semakin
sering berhubungan dengan Pak Fikri yang menduda, tak jemu dan bosan-bosannya
menceritakan betapa hangat pengalamannya dengan Murtiasih. Tentu saja sebagai
pria menduda telah cukup lama tidak menikmati tubuh wanita, menjadi terbangun
pula rasa ingin tahu Pak Fikri!
Pak Jamal sebagai pejantan kampung yang sangat vital perannya, merencanakan
untuk menjebak dan mempersembahkan Murtiasih kepada Pak Fikri. Sementara itu ia
pun menghasut Ustadz Mamat untuk secara bergantian menjarah Rofikah dan
Sumirah, walaupun usaha kedua siswi genit ini untuk menarik perhatian Ustadz
Mamat selama ini belum berhasil. Jadi, justru Ustadz Mamat yang akan mengambil
alih jalan cerita menggarap kedua siswi genit ini. Kini hanya tinggal dicari waktu dan tempat
yang cocok sekaligus menguntungkan.
Setelah upacara pembukaan madrasah baru, direncanakan untuk para pengunjung
sedikit menyumbangkan dana. Dalam kesempatan itu tiga siswi diberikan tugas
untuk menjaga kotak pengumpulan uang, dan setelah semua tamu pulang maka mereka
akan ditugaskan menghitung uang dana yang masuk. Tak perlu diragukan lagi bahwa
Rofikah, Sumirah dan tentu saja Murtiasih yang akan diberikan tugas itu!
Di saat akhir pengumpulan uang serta penghitungan dana masuk, dengan
sembunyi-sembunyi Pak Jamal mencampurkan obat tidur dan perangsang ke dalam
minuman segar mereka. Ketiga siswi calon korban itu diperhitungkan tanpa banyak
perlawanan pasti akan dapat ‘digusur’ ke dalam mobil yang dikendarai oleh Pak
Fikri untuk dibawa ke rumahnya yang letaknya cukup terpencil di atas bukit.
Pak Fikri akan mengatur agar rumahnya kosong, semua pembantunya di hari itu
diberikan libur serta uang jajan sehingga tak ada seorang pun yang akan
mengganggu rencana mesum mereka. Ustadz Mamat akan ikut di dalam mobil itu
untuk mencegah agar ketiga siswi tersebut tak melarikan diri dengan misalnya
melompat keluar dari mobil di tengah perjalanan. Pak Jamal akan ikut ‘mengawal’
dengan naik motor di belakang mobil sehingga seandainya ada yang lolos dari
penjagaan Ustadz Mamat dan keluar dari mobil, maka segera akan dibekuk untuk
dipaksakan masuk mobil kembali.
***
Tiga Bulan Kemudian...
Acara pembukaan madarasah dilaksanakan di hari Jum'at, tepat di tengah hari
setelah sholat Jum’at. Banyak pemuka desa serta penduduk sekitarnya, terutama
orang tua yang mempunyai minat memasukkan anak remaja mereka kesitu, datang
serta memberikan sumbangan yang diharapkan.
Setelah upacara pengguntingan pita, peninjauan ruang-ruang kelas,
administrasi, asrama dan sebagainya, menyusul acara makan kecil snack seadanya.
Kemudian sebagaimana umumnya, disediakan waktu untuk para tokoh daerah
memberikan sedikit ceramah serta penerangan rencana pendidikan yang akan
diberikan. Sebagai acara penutup, sebagaimana di awal pembukaan diadakan doa
bersama, sesudah itu mana para tamu berangsur-angsur pulang dan meninggalkan
gedung baru tersebut.
Menjelang jam empat petang, tinggal Pak Fikri serta ketiga siswi yang masih
berada di sana guna menghitung uang sumbangan yang masuk. Rofikah, Sumirah dan
Murtiasih merasa pusing dan pandangan mata mereka semakin kabur, akhirnya tanpa
disadari ketiganya meletakkan kepala mereka di atas meja tempat mereka
menghitung uang itu...
***
Lima Puluh Menit Kemudian....
Rumah kediaman Pak Fikri mempunyai pelbagai ruangan cukup besar untuk
ukuran desa : ruangan tempat menerima tamu,
ruangan makan menyambung dengan dapur, tiga ruangan kamar tidur yang
luas dan sebuah agak kecil hanya dipakai untuk menyimpan barang. Selain itu
kamar mandi dan toilet bagi sang penghuni dan di belakang juga sama hanya untuk
para pembantu.
Menurut rencana Pak Jamal, sebetulnya Murtiasih yang akan ‘dipersembahkan’
kepada Pak Fikri, namun agaknya Pak Fikri yang telah cukup lama tak menikmati
tubuh wanita justru mendambakan peranan sebagai lelaki yang merenggut kegadisan
dari salah satu siswi genit itu. Pilihannya jatuh kepada Rofikah yang telah
sering diliriknya sejak upacara di gedung madrasah baru siang tadi.
Pak Jamal
yang merupakan 'otak’ dari peristiwa mesum petang ini menanyakan kepada Ustadz
Mamat apakah ia keberatan untuk memulai sex-party itu dengan Murtiasih, murid
kesayangannya.
Ternyata
Ustadz Mamat tetap mendambakan Murtiasih meskipun telah direnggut kegadisannya
dan digaulinya beberapa kali.
Oleh karena
itu Pak Jamal akhirnya merasa senang juga karena sebagai pegawai rendahan akan
dapat menggauli Sumirah yang diharapkannya masih utuh kegadisannya.
Ketiga
lelaki itu telah membagi jatah masing-masing dan setelah sampai di dalam rumah,
mereka menggendong ketiga calon mangsa yang masih setengah sadar itu ke kamar
tidur yang diatur dan dibagi oleh Pak Fikri sebagai tuan rumah.
***
Adegan di Kamar Tidur 1
: Hilangnya Kegadisan Rofikah
Sebagaimana pada umumnya kodrat alam yang berlaku : anjing yang selalu menyalak jarang akan menggigit,
atau seseorang yang banyak bicara dan membualkan diri umumnya adalah pengecut.
Demikian pula dengan Rofikah yang sehari-hari di madrasah berkelakuan
genit, banyak bicara serta sering melirik ke arah para lelaki muda atau lansia
yang iseng bersiul-siul ke arahnya disaat berjalan. Jika ia melintas di tempat
banyak lelaki nganggur duduk di tepi jalan atau warung kopi, maka sengaja cara
jalannya dibuat makin melenggok sehingga semakin menarik perhatian para lelaki
nganggur. Lenggang dan goyang pinggulnya jelas terlihat lebih berputar
menggiurkan, walaupun tertutup dengan sarung panjang. Bulatan pantatnya yang
montok menonjol bagaikan mengundang tangan lelaki menjamah, bahkan meremas dan
mencubitnya, Rofikah senang dikagumi lelaki.
Namun kini ia telah berada berduaan saja dengan lelaki setengah baya yang
dikenalnya sebagai bapak Fikri. Lelaki berusia pertengahan lima puluhan itu
bahkan lebih tua sedikit dari ayahnya sendiri, namun terlihat masih cukup gagah.
Badannya sangat tegap, berkulit hitam, wajah sedikit kaku dan bengis, mata
menatap tajam, hidung lebar agak pesek, bibirnya tebal terhiasi dengan kumis di
atasnya. Lelaki yang bernama Pak Fikri dan kini dikenal sebagai sponsor utama
dan pembangun madrasah baru itu, telah duduk di sampingnya dan mulai berusaha
merayunya.
Rofikah - atau biasa panggilan sehari-harinya Ikah - telah terbangun dari pengaruh obat tidur yang dicampur di dalam
minuman és alpukat tadi siang. Kini Ikah berusaha menyadari apa dan dimana ia
berada. Dalam posisi setengah duduk Ikah melihat bahwa ia tidak lagi berada di ruangan
madrasah, melainkan di sebuah kamar tidur. Rasa takut mulai menyelinap ketika
disadarinya bahwa ia tengah duduk di sebuah ranjang yang cukup besar, ditopang
bantal kepala besar di punggungnya.
Jilbab yang biasa dipakainya telah turun ke bawah, tak lagi menutupi
rambutnya yang kini tergerai bebas ke belakang kepala dan pundaknya. Baju
kurung yang dikenakannya telah semrawut tak teratur; bagian dada depan agak
terbuka sehingga kulit dadanya yang putih terlihat oleh siapapun di hadapannya.
Selain itu sarung yang biasa menutup hingga mata kaki di bawah betis, kini
tersingkap ke atas sehingga bukan hanya betis dan lututnya saja yang kelihatan,
namun sebagian pahanya yang mulus juga terpampang jelas.
Secara refleks Ikah menarik sarungnya ke bawah paha, disambut dengan
seringai lebar mesum oleh Pak Fikri. Ikah menggoyang-goyangkan kepalanya sambil
mengucek-ucek matanya seolah tak percaya, namun semuanya bukanlah mimpi
melainkan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun rasa letih dan ngantuk terpudar
dan Ikah mulai menggigil karena ngeri dan takut berada berduaan di kamar tidur
dengan lelaki asing, namun ada pula rasa aneh dan hangat mulai menjalari
tubuhnya. Tentu saja Ikah tidak menyadari bahwa minuman segar es alpukat tadi
selain diberi obat tidur, namun juga dicampuri dengan obat perangsang, yang
kini justru mulai menunjukkan pengaruhnya di tubuh Ikah sebagai wanita muda.
"Saya ada dimana, Pak? Tolong, saya mau balik ke madrasah. Saya mau
pulang!!" Ikah beringsut menjauh ketika Pak Fikri menggeserkan tubuhnya
mendekat dan hampir menyentuhnya.
"Tak usah takut, Neng, bapak tadi senang ngeliat si Neng tidur nyenyak.
Sekarang udah bangun dan segar kan? Bapak cuma mau menyenangkan, Neng. Ntar
dianterin pulang, bapak janji nih," Fikri semakin mendekatkan wajahnya ke
muka Ikah sehingga tercium bau rokok kretek dari napas di mulutnya.
"Enggak mau ah, Pak. Saya mau pulang, tak baik kita berdua di kamar. Apa
nanti kata orang? Apalagi nanti digunjingkan orang, bapak kan sudah ada
keluarga," Ikah berusaha menekan perasaan aneh yang seolah membuatnya
gelisah dan juga ada gelora panas di pipi serta bagian-bagian vital di tubuhnya.
"Jangan takut, Neng, bapak cuma mau menyenangkan neng sebagai rasa
terima kasih telah bantuin di madrasah tadi. Bapak tak akan menyakiti, cuma mau
ngelonin neng sebentar supaya anget," Fikri semakin melekatkan wajahnya
sambil menyentuh lalu mengambil tangan Ikah di genggamannya.
"Udah dong, Pak, Ikah belon pernah begini. Jangan, Pak, engga baik. Lepasin
dong, saya janji enggak bilang siapapun, asal bapak lepasin dan pulangin saya,"
suara Ikah makin gemetar sambil berusaha menarik tangannya, namun Pak Fikri
justru semakin menarik tubuh Ikah ke dalam pelukannya.
"Eenngmmpppffh," hanya itu yang keluar dari mulut Ikah ketika Pak
Fikri menyergap bibirnya sambil langsung melumat dan menciuminya dengan rakus
sehingga ia jadi gelagapan. Selama ini kelakuan Ikah sering genit tidak sesuai
dengan siswi madrasah, namun ia belum pernah intim dengan lelaki.
Kini - tanpa direncanakannya sendiri seperti yang pernah dilakukannya
ketika menjebak Murtiasih - dirinya sendiri masuk ke dalam jebakan dan pelukan
seorang lelaki seusia ayahnya. Seorang pria yang telah lama ‘puasa’ setelah
meninggalnya sang istri kini terbangun nafsu birahinya! Betapa bahagianya Pak Fikri
dapat mendekap tubuh gadis muda yang hangat dan sintal itu, tubuh yang meronta
dan menggeliat tanpa hasil malah semakin memacu gairahnya. Membikin kemaluannya
jadi semakin menegang ingin keluar!
Ikah menggeliat dan berusaha melepaskan diri ketika badannya yang telah
setengah duduk dipaksa untuk kembali rebah terlentang. Rasa hangat dan gatal
menyelubunginya ketika Pak Fikri menekan
serta menindihnya di kasur, semua kancing dan peniti kebaya serta sarung
yang dipakainya mulai berantakan ditarik secara kasar oleh lelaki yang bagaikan
kesetanan itu.
"Cupp, cupp... diem, diem... sini sama bapak dikasih rasa anget, bapak
sebentar lagi mau nyusu boleh ya? Percuma ngelawan, Neng. Nikmati aja, pasti
kita sama-sama senang. Duuuh... nih leher enak dicupangin," ucap Pak Fikri
bagaikan singa sedang mencengkeram mangsanya.
"Eeemmmmh, sssshhhh, aaaaah, lepasiiiin dong! Jangaaan, Paak..."
Ikah berusaha mengembalikan akal sehatnya, namun tubuhnya sudah terlanjur
dimasuki obat perangsang dan kini semakin jelas terbuka karena sebagian besar
busananya direnggut dan ditarik terlepas oleh Pak Fikri. Semakin rakus si
lelaki setengah baya itu menekan Ikah sambil mengeluarkan buah dada si gadis dari
BH-nya. Bukit kembar Ikah kini terpampang penuh kebanggaan ketika Pak Fikri
meremas serta memilin putingnya.
"Auuuuw, aduuuuh! Jangan kasar gitu dong, Pak! Ngiluuu, sakiit, Pak! Pelan-pelan
dong!!" Ikah tanpa sadar menengadahkan kepalanya di saat merasakan geli
ngilu, apalagi saat putingnya yang memang sangat menantang itu masuk ke mulut Pak
Fikri. Benda mungil itu disedot-sedot lalu digigit bergantian. Ikah hanya dapat
mendesah dan tanpa disadari kedua tangannya justru mengelus dan mengusap-usap
kepala Pak Fikri.
Setelah puas meninggalkan cupangan merah di bukit kembar putih yang menghiasi
dada Ikah, kini Pak Fikri semakin menurunkan kegiatan tangannya ke bawah. Ia menyelusup
ke arah pusar, menggoda lekukan yang masih murni belum pernah dijamah, semakin
mengembara ke bawah mendekati batas yang masih tertutup celana dalam tipis
berwarna putih.
"Aaaiiih, udaaaah, Paaak! Cukuuup, jangaaaan diterusiin! Enggaaaak mau
yang itu, Pak! Jangaan, Ikah belum pernah gituan, Pak! Lepasin dong, tolong, Pak!
Ikah enggak akan ngadu ke siapa pun, ooooh!!" Ikah merasakan dirinya mulai
hanyut terbawa arus birahi. Namun sebagaimana umumnya, segenit apapun seorang
gadis desa dan bahkan siswi madrasah, namun disadarinya kini ia akan kehilangan
milik satu-satunya yang paling berharga, akal sehat Ikah kembali berontak
menolak kenyataan ini.
"Udah terlanjur, Neng, ikutin aja. Kalo ngelawan malahan nanti tambah
sakit. Nyerah aja ama bapak, ntar pasti pengen minta lagi. Ayo buka kakinya,
dijilatin dulu mau ya?" kata Pak Fikri di tengah gejolak nafsunya.
Tanpa menunggu jawaban atau protes dari korbannya, Pak Fikri kembali
mencakup mulut Ikah dengan ciuman ganas. Lidah kasar dan besar menerobos
membelah bibir mangsanya yang agak merekah, menjarah masuk menyapu langit-langit
mulut Ikah. Kemudian Pak Fikri menarik nafas sangat dalam dan panjang seolah-olah
ia ingin menyedot habis semua daya perlawanan gadis yang telah dikuasainya ini.
Selain itu kedua tangan Pak Fikri tak henti-hentinya menarik dan melepaskan
satu persatu lapisan pakaian pelindung di tubuh Ikah, dan dalam waktu hanya
sepuluh menit kemudian, Ikah telah menggeletak dengan hanya celana dalam
menutupi auratnya yang intim.
Pak Fikri merasakan bahwa perlawanan Ikah semakin berkurang. Dari belahan
bibir gadis itu kini terdengar keluhan dan desahan putus asa, kedua tangannya
kini tak lagi menegang berusaha mencakar Pak Fikri, hanya kedua betis jenjang
dan paha mulus bergantian menekuk merentang gelisah. Terutama saat Pak Fikri
menarik celana dalam Ikah ke bawah sehingga kini terlihat bukit Venus menantang
dilindungi bulu-bulu halus.
Pak Fikri semakin bersemangat meremasi bergantian buah dada Ikah dengan
tangan kirinya, sementara tubuhnya semakin merosot ke bawah. Mulutnya yang puas
menyedot dan menggigit-gigit puting Ikah yang mencuat, semakin turun menjilati
pusar, menyepongi perut bawah si gadis hingga akhirnya mencapai lembaran
pertama rambut halus pelindung celah nirwana yang akan segera ditembusnya.
"Hmmmmh, memeknya bagus amat, Neng. Mana kecil lagi, masih sempit gini.
Bapak jilatin supaya licin mau ya? Pasti neng suka, hmmmmhh, cuppp, srrrrt,
cuupp, aaaah! Enak enggak, Neng?" Pak Fikri mulai menciumi dan menjilati
vagina Ikah, menyebabkannya semakin gelisah kelojotan.
"Aiiiih, Paaaaak!! Geliiiii, oooohh!! Paak, udaaaah, sssshhhh! Geliiiii,
Pak, Ikah enggak tahaan! Sssssh, ooooh, Paaak, jangan diterusin! Aaaaaaiiihh,
stop, udaaah, Ikah mau pipiiisss, lepasin! Aaauw,"
Ikah berusaha menggelinjangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk menahan
segala macam rasa geli namun nikmat, terutama saat Pak Fikri selain menjilati
memeknya juga menarik mencubit memilin putingnya.
"Asoooy... wuuuih, nih memek merah muda dalemnya. Tuh kelihatan lobang
pipisnya, bapak pengen lihat gimana tombol listriknya. Pasti neng ketagihan
kalo dijilat seperti kena setrum listrik, iyaaah mau coba ngumpet tapi bapak
udah nemuin nih, cupp cupp, ssshhhh, srrrrhh, enak ya dijilat?" pejantan
yang kemasukan setan ini rupanya telah menemukan kelentit yang dicarinya.
"Aaaaaaah, ooooohhhh, Ikaah lagi diapain? Ooooohh, auuuuww, engggga
mauuu! Jangaaan, Paaak, Ikaaah bener-bener mau pipiiiiiiss, aaauuuuww,
aaaaaaahhhh!" dengan suara melengking, akhirnya Ikah mengejang. Tubuhnya
melengkung bagaikan busur, tangannya menarik sprei yang dibawanya ke mulut dan
digigit sekuatnya sehingga sebagian jeritan sebagai tanda orgasme pertama
teredam.
Namun Pak Fikri terus melanjutkan rangsangannya, kelentit Ikah berada
diantara jepitan bibirnya yang tebal, dikecup dan digigit dengan mesra namun
penuh kegemasan, dan kumisnya yang baplang itu mulai basah kuyup dengan air
mazi pelicin yang keluar dari dinding vagina Ikah. Tanpa rasa jijik air pelumas
itu dijilat disedotnya, nafsunya sudah naik ke ubun-ubun, kemaluannya telah
menegang mengacung mengangguk-angguk. Dan setelah beberapa menit dirasakannya
Ikah telah berkurang ketegangan tubuhnya sebagai tanda orgasmenya mulai
berakhir, maka tibalah waktunya untuk Pak Fikri mengambil hadiah utama yang
diidam-idamkannya, yaitu merenggut kehormatan sang gadis.
Kedua paha dan betis Ikah dikuakkan dan diletakkannya di atas bahunya,
bantal kepala agak keras diletakkannya di bawah pinggul Ikah. Dicium dan
dijilatinya lagi celah kenikmatan yang telah licin itu, menyebabkan Ikah dalam
keadaan setengah sadar melenguh. Pak Fikri telah mengarahkan lembing daging kebanggaannya yang penuh urat dan
berwarna coklat hitam mengkilat itu ke arah belahan yang sedikit merekah –
perlahan-lahan dimajukannya kepala penisnya, diretasnya kedua bibir kemaluan
Ikah, dirasakannya betapa hangat kepala jamurnya terjepit disitu, lalu Pak Fikri
menekan...
"Aduuuuh, aaauuuuuww, periiiih, saakiiiit, hentikaaaaan, jangaaaan!! Toloooong
Paak, sakiiiiiiit, oouuuuuw!! Aaaampuuuun, Paak, udaaah, sakiiiiiit, aaauuuuuw!!"
Ikah mendadak melolong menjerit-jerit bagaikan hewan disembelih ketika memeknya
yang masih sempit itu mulai dibelah oleh penis pria seusia ayahnya. Kedua
tangannya membentuk kepalan yang dipukulkannya ke dada Pak Fikri, kemudian
kukunya digunakannya untuk mencakar bahu serta lengan lelaki setengah baya yang
sedang menindihnya, namun Pak Fikri
tetap perlahan-lahan melanjutkan mendorong menekan penisnya.
"Tahaaan dikiiit, Neng, rileks aja. Sssshhhh, rileks, Neng. Jangan
dilawan, malahan makin sakit. Dikiit lagi masuk semuanya, Neng, oooh...
sempitnya! Uuuuuh, emang bener si neng masih perawan," desah Pak Fikri
menekan kejantanannya semakin lama semakin dalam ke memek Ikah. Betapa sedapnya
dan bangganya sebagai pria setengah uzur berhasil menaklukkan gadis muda belia
nan montok ini.
Bahu dan kedua lengannya telah penuh dengan dengan cakaran Ikah yang
berusaha mengeser-geserkan pinggulnya ke kiri-kanan seolah menghindarkan benda
tumpul yang sedang menerobos memeknya, namun semua itu tak diperdulikannya
karena Pak Fikri merasakan penisnya kini agak tertahan oleh sesuatu.
Ia menyeringai penuh kepuasan karena dirasakannya bahwa kepala pentungan
dagingnya mulai menyentuh lapisan selaput gadis mangsanya. Uuuuh, betapa
hebatnya aku ini, sudah hampir mencapai kepala enam akan merenggut kehormatan
anak gadis madrasah, demikian di benak Fikri.
Sangat berbeda apa yang dirasakan Ikah saat itu; selain perih karena celah
surgawinya dipaksakan melebar untuk menerima penis lelaki pertama kalinya, kini
dirasakannya di dalam selangkangannya ngilu dan bagaikan ada benda tajam akan
menyayatnya. Ikah kembali merintih sambil meronta-ronta.
Lelaki setengah baya dan cukup lama menduda itu tentu saja kini ingin
menikmati bukan saja saat penisnya menembus selaput tipis di kemaluan Ikah,
namun juga ekspresi seorang gadis kehilangan milik satu-satunya - sebuah
panorama yang akan melekat di benaknya yang lansia namun mesum itu.
Dicekalnya kuat-kuat kedua pergelangan tangan Ikah yang langsing di samping
kepalanya sehingga tak dapat dipakai mencakar lagi, ditatapnya wajah korbannya
yang menggeleng-geleng ke kiri-kanan seolah tetap menolak apa yang tak dapat
dihindarkan lagi. Mulut Ikah yang merah muda basah itu setengah terbuka agak
gemetar, lubang hidungnya kembang kempis, keluhan dan rintihan lemah Ikah kini
silih berganti dengan dengusan dan suara geraman dari si lelaki pejantan yang
amat buas.
"Hmmmmggghh, sssssshgg, bapak tekan lagi nih! Eeeeemmmmfffh, bapak
mesti kerja keras nembus pertahanan si neng! Bageeuuur eeeeuuuuyyy, alot juga
si neng benteng pertahanannya, bapak maju lagi... aaaaaah, kerasa legaan dikit
sekarang! Wah, mentok nih, hhhhhhssssh!" dengus Pak Fikri.
"Aaauuuuww, aduuuuh, aaauuuuuuww, emmpppfffffh!!" jeritan
memilukan Ikah teredam kembali oleh ciuman bertubi-tubi dari Pak Fikri yang
sangat terangsang melihat betapa ayu memelasnya wajah siswi genit ini ketika
kehilangan kegadisannya. Keduanya kini beberapa saat tidak bergerak : Rofikah
bagaikan kelinci lemah telah berada dalam cengkraman singa ganas Pak Fikri.
Perlahan-lahan Pak Fikri melepaskan ciumannya, kedua nadi Ikah tetap
dicekal ditekannya ke kasur, diberikannya waktu beberapa saat bagi Ikah untuk
membiasakan memeknya dibelah oleh benda asing. Setelah itu mulailah Pak Fikri
menggerakkan pinggulnya maju mundur. Terkadang amat halus lembut, terkadang
agak terputar, lalu diganti dengan sodokan ke pelbagai arah : ke atas, ke samping,
ke bawah, sejenak kemudian diganti lagi dengan sodokan dan hunjaman keras
brutal menghantam mulut rahim Ikah.
"Wuuuih, enak tenan si neng. Barangnya licin tapi tetep rapet, barang
bapak kerasa dipijit-pijit. Pinteer amat neng bahenol. Mulai kerasa enak ya, Neng?
Ayo sekarang ngaku sama bapak," Pak Fikri memuji.
Ikah tak sanggup menjawab, badannya bagai terbawa arus gelombang,
selangkangannya dirasakan geli, ngilu, hangat, gatal, nyeri sakit, namun setiap
kali dihantam juga ada kenikmatannya sendiri.
Perlawanannya telah sirna, Ikah mulai terbawa dan tenggelam hawa nafsunya
sendiri, wajahnya kini menengadah ke atas, mulutnya terbuka mengeluarkan
desahan halus wanita muda, rintihannya yang memilukan telah berangsur berubah menjadi
dengusan nafas mencerminkan nafsu birahi.
Pak Fikri rupanya cukup kuat dan bertahan sehingga hampir setengah jam ia
memompa Ikah, tapi akhirnya mulai dirasakannya gejolak air lahar mendesak
keluar dari biji pelirnya. Semakin seru dan cepat dipompanya tubuh montok Ikah,
dihantamnya dan dijarahnya dari segala macam arah.
"Aaah, uuuuh, ooooh, aaaah, hhhuuuuhhh, ssssshhhh, bapak udah hampir
nembak nih, Neng, banjir di dalem boleh enggak, Neng?" Pak Fikri
mendengus-dengus di telinga Ikah sambil menciumi mengecup lehernya yang putih,
yang kini telah penuh bercak dan cupangan merah.
"Jangaaaan, Pak, Ikah enggggak mau. Jangan di dalam, Pak, ampuuuun!
Ikah nanti hamil, kasihani dong! Aauuuuwww, aaaah, aauuuuw! Tolooong, Pak, Ikah
jangan dihamili," suara Ikah panik terisak-isak karena diingatnya bahwa
kemungkinan besar dirinya sedang masa subur.
"Abis gimana dong? Bapak udah mau banjir nih," Pak Fikri terengah-engah
sambil terus memompa.
"Udaaaah dong, Pak. Lepasin Ikah. Jangan di dalem, Pak, oooh... tolooong!!"
Ikah semakin tersedu-sedu.
"Iyaa, bapak bisa tahan bentaran lagi ngejosnya. Kalo enggak boleh di dalem,
bapak mau nyemprot di tempat lain. Bapak mau banjir di mulut neng aja ya,
sekalian neng bapak ajarin nyepong. Mau ya?" rupanya Pak Fikri memperoleh
bisikan iblis lagi.
"Enggak mau. Ikah ogah gituan. Jijik, Pak, ooooh... jangan paksa Ikah,
kasihani dong!" suara Ikah putus asa diselang-seling isak tangisnya.
"Ya udah kalo Ikah enggak mau, bapak terusin aja banjir di dalem,
itung-itung nyebar bibit di perut neng," Pak Fikri tersenyum lebar
merasakan bahwa bagaimanapun akhirnya Ikah akan terpaksa mengalah.
Ikah tidak dapat menjawab lagi, badannya terguncang-guncang disodok oleh Pak
Fikri tercampur dengan tangis sesenggukannya. Air mata mengalir membasahi kedua
pipinya, namun adegan mengenaskan ini sama sekali tak menimbulkan kasihan pada
Pak Fikri, karena semua akal sehatnya telah hilang dikuasai bujukan iblis.
Dirasakannya bahwa pertahanan Ikah sudah hancur berantakan, badannya yang elok
montok kini lemas lunglai, dan Pak Fikri yakin meskipun mulutnya menolak namun
Ikah pasti akan patuh jika harus memilih antara hamil atau menelan sperma. Perlahan-lahan Pak Fikri mencabut penisnya
yang tetap gagah mengacung, terlihat mengkilat licin dilapisi oleh cairan
vagina, disamping itu disana-sini tampah bercak-bercak darah di kepala jamurnya
sampai ke batang dan rambut kemaluannya.
Pak Fikri merangkak ke atas, setengah duduk setengah berlutut di atas dada
Ikah dan kini menyodorkan kemaluannya ke arah mulut Ikah. Karena Ikah melengos
memalingkan mukanya, maka Pak Fikri yang merasakan denyutan di biji pelirnya
semakin meningkat, segera memegang wajah mangsanya serta memencet hidung Ikah
yang bangir. Hal ini tak diduga oleh Ikah yang berusaha menggelengkan kepalanya
namun tanpa hasil, dan karena kehabisan nafas maka secara tidak sadar mulutnya
membuka sedikit untuk menghirup udara.
Namun celah mulut yang terbuka itu terlalu kecil untuk diterobos rudal Pak Fikri.
Oleh karena itu pria setengah baya cabul itu secara sadis mencubit dan menarik
puting buah dada Ikah. Tentu saja gadis malang yang telah sangat lelah itu
menjerit kesakitan dan mulutnya tanpa disadari membuka sangat lebar, yang mana kesempatan
itu tak dilewatkan oleh Pak Fikri dengan segera menerobos masuk secara brutal
sehingga kepala jamurnya menyentuh langit-langit di kerongkongan Ikah. Mulutnya
kini dipenuh dengan batang penis yang berlumuran air mazi sendiri.
Ikah merasa pengap dan dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, dicakarnya
paha Pak Fikri yang berada di kiri-kanan ketiaknya. Namun gerakan itu hanya
berhasil beberapa detik karena Pak Fikri lagi-lagi merejang kedua nadinya di atas
kepalanya sementara kepala penisnya memenuhi mulut Ikah.
Sedemikian penuhnya mulut Ikah dijejali kemaluan Pak Fikri sehingga siswi
madrasah itu kini hanya dapat bernafas mendengus-dengus melalui kedua lubang
hidungnya yang mungil kembang-kempis.
"Hmmmmmh, nih mulut memang diciptakan buat nyepongin bapak. Ayooooh
buka yang lebaaaar! Iyaaaah begitu, pinternya... oooooh ngimpi apa bapak
disepongin Ikah? Iyaaah jilaaaat, Neng, uuuih lobang kencing bapak dikitikin
ujung lidah, ooooh bapak enggak tahan lagi mau meledak, aaaaaah!!"
Pak Fikri menekan penisnya sejauh mungkin ke langit-langit mulut mangsanya
ketika gelombang demi gelombang sperma meluap dari tabungan biji pelirnya,
memasuki lorong di batang penisnya dan menyembur masuk ke kerongkongan Ikah.
Mati-matian Ikah menahan nafas dan berusaha melepehkan keluar cairan kental
berbau khas laki-laki itu, sepat asin dan dirasakan amat memualkan perutnya.
Namun karena besarnya batang penis memenuhi rongga mulutnya dan semburan sperma
Pak Fikri begitu banyaknya dan menyemprot seolah tiada hentinya, maka tak ada
jalan keluar lain bagi Ikah selain dengan penuh rasa muak menelan air benih Pak
Fikri.
Selama satu dua menit simpanan air mazi Pak Fikri yang tersimpan sekian
lama itu teguk demi teguk memasuki kerongkongan Ikah sebelum akhirnya penis Pak
Fikri mulai mengecil dan akhirnya ditarik keluar oleh sang empunya.
Tanpa ada perlawanan sama sekali, Ikah membiarkan dirinya dalam keadaan
telanjang bulat tetap dirangkul dan dipeluk oleh Pak Fikri. Diiringi senyum
kepuasan, Pak Fikri membelai badan telanjang itu sambil berulang-ulang
membisikkan keinginannya agar Ikah dengan sering selalu mau memenuhi keinginan
nafsu sang duda, bahkan ditanyakannya apakah Ikah bersedia menjadi
istrinya....
No comments:
Post a Comment