Derita Murtiasih di Tangan Ustadz Cabul
Dengan
susah payah Murtiasih berusaha membuka kedua matanya. Pelupuknya terasa sangat
berat bagaikan ada perekat yang memaksanya
kembali memejamkan mata. Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil berusaha mencari orientasi dimana
dirinya berada sekarang.
Kepalanya terasa agak pusing ketika disadarinya bahwa posisi badannya yang
setengah duduk.
Murtiasih
berusaha untuk duduk lebih tegak,
namun tak berhasil karena ada tangan yang melingkar di pinggang langsingnya dan mendekapnya
dari belakang. Murtiasih belum menyadari sepenuhnya apa yang telah dan sedang
dia alami, tapi dilihatnya bahwa
dirinya setengah duduk bukan di kursi
melainkan di ranjang!
Selain itu mulai disadarinya bahwa posisinya yang setengah duduk itu tetap bertahan karena dia tengah bersandar
ke tubuh seorang lelaki yang sedang memeluknya dari arah belakang.
Bukan
itu saja, kini tangan si lelaki mulai meraba dan
meremas-remas kedua bukit mungil namun sintal
padat di dadanya.
Murtiasih menggelinjang kegelian, apalagi ketika dirasakannya hembusan nafas
hangat dan kecupan lembut di belakang lehernya. Ciuman dan gigitan
kecil menyusul di kuduknya,
menjalar ke samping
arah leher, kemudian menjilat
di lubang
telinganya. Tak salah lagi,
inilah apa yang pernah, dan
bahkan beberapa kali ia alami.
Inilah cara dan siasat dari gurunya, yaitu si ustadz Mamat, untuk merayunya, menjebaknya dan
menjerumuskannya ke dalam
pusaran samudra birahi. Selalu dirasakannya jeratan nafsu sang ustadz cabul
yang menyebabkannya sering lupa akan derajatnya sebagai seorang siswi madrasah
yang seharusnya sangat alim shalihah. Keinginannya melawan selalu terkalahkan
oleh gelora nafsu syahwat yang melanda tubuhnya yang muda dan kini telah
mengenal persetubuhan mahluk berlawanan jenis - dan semuanya itu adalah akibat
ulah dan pengaruh gelap sang iblis.
Godaan
itu kini terulang dan dialaminya kembali, Murtiasih mulai menyadari bahwa
ustadz Mamat adalah yang sedang memeluknya dari belakang dan menjalari tubuhnya
serta meremas-remas
bergantian kedua buah dadanya, bahkan menyelinapkan jari di bawah kebayanya,
memasuki BH warna merah jambu yang ia kenakan.
Ustadz
Mamat agaknya sudah kehilangan semua akal sehatnya sejak ia berhasil merenggut
dengan paksa kegadisan muridnya ini. Murtiasih adalah murid teladan, tak pernah
datang terlambat, hampir tak pernah absen terkecuali sakit, sangat seksama
mengikuti pelajaran, rajin mengulang dan patuh terhadap segala peraturan
madrasah. Wajahnya sangat ayu, manis, imut dan lugu - tak banyak memakai
tambahan perhiasan apapun, kulitnya putih bersih sehingga tidak membutuhkan
bedak maupun tambahan lapisan kecantikan lain. Suaranya sangat lemah lembut dan
merdu, kedua matanya jeli memancarkan sinar kejujuran, hidungnya mungil bangir
dan mancung, dan bibirnya sempurna berwarna merah muda tanpa lipstik, sedikit
merekah dan mengkilat seolah agak basah.
Berbeda
dengan Rofikah dan Sumirah yang agak genit,
maka Murtiasih justru amat polos hingga akhirnya
dipilih oleh iblis untuk dijadikan korban nafsu ustadz
Mamat. Pengalaman pertamanya dengan Murtiasih menyebabkan sang Ustadz hampir
melupakan sama sekali statusnya sebagai suami dari istri yang sebetulnya tak
kalah cantik bahenol yaitu Aida. Sementara Aida telah menjadi korban keganasan
nafsu pak Sobri, maka ustadz Mamat berniat mengulang menggauli Murtiasih, dan
saat ini tibalah kesempatan yang telah lama dinantikan untuk mengulang
kemaksiatannya!
"Wah, lama juga tidurnya si neng geulis. Bapak jadi gemes ngeliatin neng tidur nyenyak begitu, hhm... nih susu makin sekel montok aja,
bapak ntar lagi pengen nyusu boleh ya,
neng?" ustadz Mamat
langsung meremas kedua buah dada Murtiasih hingga menyebabkan
murid alim cantik ini
menggeliat kegelian.
"Udah, pak..
saya ada dimana? Saya mau
pulang, pak..
Asih enggak mau
disakitin, aaah...
lepasin, pak! Toloong.. enggak mauu!!"
suara Murtiasih memelas ketika menyadari bahwa peristiwa maksiat yang semula
sangat dibencinya akan terulang kembali.
Peristiwa yang mengubah dirinya dari siswi yang belum pernah mengalami jamahan
lelaki menjadi korban permainan cabul.
"Siapa
yang mau nyakitin Asih? Ini
kan udah pernah Asih alamin,
akhirnya malah jadi keenakan pengen terus, iya kan?" ustadz Mamat
meneruskan cumbuannya dengan menghujani leher dan pundak Asih dengan kecupan
hangat, menyebabkan mulai muncul bekas-bekas merah cupangan.
Selain
itu ustadz Mamat juga menghembuskan nafas panasnya
ke liang telinga gadis itu, bergantian
kiri kanan hingga tentu
saja membuat murid yang lugu dan naif ini
semakin mendesah serta menggelinjang
kegelian. Kedua tangan Asih yang
berjari lentik halus berusaha melepaskan pelukan di pinggangnya, namun ustadz Mamat bukan
tandingan untuk kekuatannya yang lemah. Bahkan dengan sekali
hentak, tubuh Asih berputar dan kini berhadapan langsung dengan guru cabulnya itu,
dan sebelum sempat memprotes
maka ustadz Mamat telah merebahkan muridnya yang
lugu itu ke ranjang
lalu ditindihnya sehingga Murtiasih merasakan sukar bernafas.
Ustadz
Mamat paham sekali bagaimana murid yang alim
shalihah ini sedang mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan, bagaikan di persimpangan jalan : membelok ke kiri atau ke kanan. Akal sehat Asih menganjurkan supaya menolak
semua godaan serta bujukan iblis dan berontak untuk kembali menuju ke jalan lurus sesuai moral dan akhlak yang selama ini dipelajarinya.
Namun kenyataan yang terjadi beberapa waktu lalu menyebabkannya bimbang :
selain disadarinya bahwa perlawanannya akan sia-sia karena tenaganya pasti
kalah kuat, juga rasa
kenikmatan badan yang pernah dialaminya telah membangunkan jutaan ujung syaraf
di permukaan
kulitnya menjadi hidup segar dan ketagihan.
Karena
itu Murtiasih tak melakukan banyak perlawanan ketika ustadz Mamat mulai lagi
mempreteli dan membuka satu persatu busana penutup tubuhnya. Suara protesnya
pun terdengar hanya setengah hati, itu pun segera terbungkam oleh ciuman
ustadz Mamat yang sangat rakus bernafsu melumat bibirnya yang mungil.
"Cupp.. cupp.. hhhm.. mmmh.. si neng mulutnya emang sedap buat
diciumin! Uuhh.. sedapnya! Shhh.. cupp.. cupp.." Suara kecipak terdengar saat ciuman ganas ustadz Mamat yang kini menjulurkan
lidahnya menerobos masuk ke rongga
mulut Murtiasih. Semula muridnya ini berusaha menutup mencegah dorongan masuk
lidah guru cabulnya, namun bagaikan ular python yang mendesis, ustadz Mamat menyelinap masuk sambil
membasahi bibir Murtiasih dengan air liur kentalnya.
Hanya
dalam waktu kurang dari lima menit,
tubuh Murtiasih sudah hampir
bugil : baju kurungnya serta gamis yang dipakai telah bertebaran di ranjang,
kini hanya jilbab yang tertinggal menutupi setengah rambutnya, demikian pula BH
serta celana dalam kecil masih menutup auratnya. Ustadz Mamat telah yakin bahwa
muridnya telah sepenuhnya berada dalam kekuasaannya,
terbukti dari Murtiasih
yang tidak bangun ataupun melarikan diri. Gadis itu juga tidak berteriak
lagi, hanya kedua tangannya masih dengan malu-malu berusaha menutupi dada serta selangkangannya.
Ustadz
Mamat tersenyum lebar dan bergegas melepaskan pakaiannya sendiri - kemeja,
sarung plekat, lalu kaos dalamnya telah terlepas, kini dengan hanya memakai
celana dalam ia kembali menindih tubuh mungil padat murid kesayangannya itu.
Kembali tangannya meremas-remas
gundukan bukit di dada
Murtiasih serta diturunkannya BH berukuran 32 C itu sehingga terlihatlah dua gunung
kembar yang sedemikian memukau setiap pandangan lelaki. Buah dada
Murtiasih tidak sebesar milik Rofikah ataupun
Sumirah, namun sangat putih mulus padat
menantang.
Tak
sanggup lagi mengusai diri, ustadz
Mamat segera merentangkan kedua tangan
muridnya ke atas
kepala sehingga tampaklah
ketiak Murtiasih yang licin dicukur. Kembali ustadz cabul ini dengan ganas
menciumi bibir Murtiasih, dilumat dan disedot-sedotnya
lidah mungil yang berusaha lepas ke kiri
ke kanan
itu, namun sia-sia saja. Liur ustadz Mamat
berlimbahan dan bercampur dengan ludah sang siswi kesayangannya, dan campuran
ludah itu kemudian dibawa oleh bibir ustadz Mamat
ke arah
leher Murtiasih yang nampak banyak bekas cupangan.
Kini
diulanginya lagi cupangan dan gigitan gemas di leher jenjang itu sebelum turun
ke pundak, ke bahu
dan menyelinap ke bawah
ketiak Murtiasih. Bukan
bau asam dari ketiak yang menerpa hidung ustadz Mamat, melainkan aroma keringat gadis muda
tercampur sedikit minyak wangi hingga menyebabkannya semakin bergairah.
"Aaiihh.. Asih mau diapain sih? Aaah.. geli, pak! Udah, aaih.. enggak mau! Ahhh.. geli.. enggak tahan! Aiihh.." Murtiasih
menggelinjang sejadi-jadinya
menahan rasa geli tak terkira ketika kedua ketiaknya yang mulus itu dikecupi
guru madrasahnya.
Tak
dapat diragukan bahwa selain leher jenjang Murtiasih, pasti ketiaknya juga akan penuh bekas cupangan dan bercak sedotan
serta gigitan ganas sang ustadz yang
sudah kerasukan iblis itu. Berikutnya adalah tebing gunung kembar Murtiasih yang sedemikian putih
sehingga terlihat membayang pembuluh
darah kapilernya yang menjadi
sasaran sang ustadz, dan Murtiasih agaknya telah menikmati semua permainan tabu ini.
Jari-jari lentik Murtiasih merangkuh rambut
gurunya yang kini dengan sangat gemas menghisap dan menyedot puting coklat
kemerahan miliknya sehingga
terasa semakin menegang dan ngilu tak terkira.
"Bageur
teuing, uuih..
legit tenan nih tetek,
padetnya enggak
tahan euy! Banyak
nyimpen susu ya, neng,
kalo diperes kencengan dikit bisa keluar enggak? Cobain ya.."
Dengan sadisnya ustadz Mamat meremas
daging penghias dada Murtiasih dengan sangat
kencang hingga menyebabkan sang murid
meringis dan memekik sambil memohon agar permainan itu tak dilanjutkan secara
begitu kasar.
"Aauw.. jangan keras-keras dong! Aaohhh.. aauww.. pak, ngilu! Pelan-pelan
dong! Asih enggak mau disakitin, pak! Udah.. sakiit! Aaah.." Murtiasih kini
berusaha menolak kepala sang ustadz
yang masih nangkring bergantian di kedua
payudara montoknya.
Tentu
saja mana mau ustadz Mamat menghentikan kegiatan yang amat mengasyikkan itu, protes korbannya justru semakin
meningkatkan nafsu birahinya. Setelah meninggalkan begitu banyaknya bercak
merah di leher serta buah
dada mangsanya,
kini mulutnya mulai mengembara ke arah
perut Murtiasih, lalu menyusur ke pinggang kiri kanan, mengecup menjilat-jilat disitu, sebelum kemudian kembali ke tengah untuk menjilat pusar. Semuanya menyebabkan gadis alim ini menggeliat-geliat bagaikan cacing kepanasan.
"Gelii.. lepasin.. udah, pak! Gelii.. aahhh.. lepasin Asih, pak!!" jerit Murtiasih sambil menggeliat dan berusaha
menggeser tubuhnya ke kiri
ke kanan, namun tetap ditindih oleh sang ustadz.
"Diem, Neng! Kan enak dijilatin begini, ampe keringetan gitu.. percuma ngelawan, neng, bentar lagi bapak nyampe
kesini nih! Nah, mulai kelihatan tuh gunung
tembemnya..
masih tetep gundul,
cuma ada rumput jembut alus banget. Dicabutin mau enggak, neng?" ujar ustadz Mamat menggoda.
"Enggak mau! Udah, pak, udaah! Berhenti mainnya.. Asih mau pulang aja! Aaih.. geli, pak! Gelii.. ooh.. ampun!!" Murtiasih yang sangat
polos dan lugu tak pernah membayangkan
betapa malunya jika bulu kemaluannya dicabuti oleh ustadz Mamat. Padahal ucapan
itu hanyalah sekedar untuk menambah sedikit ‘bumbu’ saja dalam perangsangan yang sedang
dilakukan oleh ustadz durjana ini. Geliatan geli murid madrasah ini justru
dipakai oleh ustadz Mamat
untuk menarik celana dalam
Murtiasih ke bawah
sehingga kini siswi ABG itu telanjang bugil
seutuhnya!
Betapa
malunya Murtiasih saat itu, jantungnya sangat berdebar berdegup sangat cepat
karena menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya. Jikalau cara berpikir sehatnya masih berfungsi penuh, maka seharusnya Murtiasih akan melawan
dan balas mengancam gurunya untuk melaporkan kepada polisi dan setiap orang di desa kediamannya. Namun peristiwa
pelecehannya beberapa waktu lalu
telah memberikan kesan pengalaman lain terhadap tubuhnya yang masih muda belia. Tubuh seorang
gadis meningkat remaja dengan hormon kewanitaan yang masih seolah tidur kini telah tergugah dan bangun serta
menagih untuk kembali menguasai dan mengalahkan akal sehat serta rasa malu.
"Ck-ck-ck.. duh, ini badan montok amat! Putih halus lagi.. mana bisa ada yang tahan sama godaan kaya begini? Bapak beruntung banget bisa
ketemu dan kenalan ama si neng,
ngimpi juga enggak
pernah ngebayangin bidadari kaya neng!"
menggumam ustadz Mamat sambil mengawasi tubuh si anak baru gede, sementara air
liurnya hampir keluar dan jakunnya naik turun.
"Udah
ah, pak, kan udah pernah ngeliat badan Asih.. pulangin baju Asih dong, pak, dingin engga pake baju!" demikian protes Murtiasih sambil
menarik selimut yang tergeletak
di kaki
ranjang.
"Ah,
masa dingin sih, neng? Tuh badannya mengkilat keluar
keringat.. tapi iya deh kalo
kedinginan,
sini bapak kelonin dan dibikin anget lagi! Hmm, bapak bakal mulai olahraga di ranjang manasin badan neng.. uuhhm..” Ciuman
ustadz Mamat kembali menghujani
permukaan tubuh Murtiasih, terutama di bagian-bagian
vitalnya, berpusat di pusar dan menurun ke bawah.
"Mau
ngapain sih, pak? Udah ah.. oohh, pak!" Kembali Murtiasih dilanda
rasa geli serta malu karena gurunya mengendus-endus perut bawahnya bagaikan
seekor anjing mencari makanan.
Selain
mengendus dan mencium perut datar muridnya,
ustadz Mamat juga merenggangkan
belahan paha Murtiasih sambil meraba
dan mengelus betis serta bagian
dalam pahanya
yang amat putih mulus. Kumis
ustadz Mamat yang menghiasi bagian atas
bibirnya terasa menggelitik
kulit perut Murtiasih, demikian pula jenggotnya yang bagaikan
kambing gunung karena telah
beberapa minggu tak dicukur,
menyapu-nyapu di bawah
pusar dan semakin mendekati bukit Venus dengan belahan lembah terhias bulu
halus sangat rapih milik Murtiasih.
"Hhmh.. geli enak ya, neng, diciumin
kayak gini? Sshhh.. keringat si neng aja wangi, apalagi air itunya! Aaah.. bapak jadi kangen lagi,
bapak mau kesitu lagi ah..
kita maen sama-sama ya, neng? Sini bapak ajarin," ustadz Mamat kembali merubah
posisi badannya dengan membalikkan diri menyamping sambil mendekatkan penisnya
ke arah
wajah Murtiasih. Rupanya ustadz Mamat menginginkan agar Murtiasih juga
memanjakan si otongnya sekaligus ia akan melakukan perantauan di bukit kemaluan si siswi ABG yang memiliki celah surgawi di bagian tengahnya itu.
Mula-mula
Murtiasih melengoskan kepalanya ke samping
dengan pipi merah merona karena malu melihat kejantanan gurunya yang
mengangguk-angguk meminta pelayanan itu. Karena itu ustadz Mamat mengambil lagi
inisiatif dengan harapan bahwa kalau diberikan
bimbingan dan contoh,
maka sang murid yang lugu namun telah terbangun instingnya sebagai wanita dewasa ini bersedia mengikuti jejak
perbuatan terlarang antara dua manusia berbeda jauh usia dan kedudukan itu.
"Nih,
bapak mulai dengan mencari air madu yang tersembunyi di lembah.. si neng juga mulai kulum juga tuh pisang ambon bapak. Si neng pasti doyan dan sering
makan pisang kan? Ini
pisang spesial, neng, jangan malu-malu. Enggak ada yang lihat. Ayo mulai dikulum.. bapak mulai disini, cupp.. sssh.." ustadz Mamat
mengendus, menciumi dan menjilati tebing lembah yang tertutup rambut halus itu.
Murtiasih
merasa sangat malu dan berusaha merapatkan kedua pahanya, namun sia-sia saja karena tenaga tangan ustadz
Mamat lebih kuat. Laki-laki itu
kini memaksanya untuk mengangkang
semaksimal mungkin.
Tak
tahan melihat betapa indahnya belahan memek Murtiasih, maka lidah ustadz durjana itu
mulai menjarah menerobos masuk. Pertama
pinggiran bibir kemaluan Murtiasih yang
merekah bagaikan bunga ia kecupi sebelum lidah panas
dan kasap itu menyelinap menjilati dinding vagina Murtiasih yang kemerahan.
Rasa
geli terasa oleh Murtiasih ketika lidah sang
guru menjalar di bagian intimnya disertai desis ustadz Mamat yang bagaikan ular mencari
mangsanya. Kegelian
itu mulai membangunkan hasrat
Murtiasih untuk juga melakukan perbuatan yang setimpal, seolah ingin menjawab
atau bahkan membalas ulah gurunya
itu.
Tangan
mungil Murtiasih yang sementara masih agak ragu menyentuh kemaluan sang guru, namun gerakan anggukan yang
dirasakannya menimbulkan rasa ingin tahu, maka direngkuhnya
dengan jari lentiknya penis ustadz Mamat. Sejenak
terbersit keraguan untuk meneruskan,
namun kalah oleh bujukan
sang iblis durjana di telinganya.
Sementara itu, Ustadz Mamat semakin
meningkatkan aksinya dengan menyapu dan menjilat dinding serta bibir kemaluan
Murtiasih. Ia memancing
dan merangsang keluarnya lendir pemulas yang akan dihirupnya
sampai habis tak bersisa!
"Wuih.. mulai enak kerangsang ya, neng? Basah
lengket
amat nih memek..
wah, tuh sampe keluar madunya! Iyah, gitu.. pinter
si neng! Iyah, diremes gitu
barang bapak.. pegang yang keras, neng! Iyah, sip banget! Oooh.. sepongin ya, neng, tapi
jangan digigit, aaah.."
ujar ustadz Mamat keenakan
ketika merasakan jari-jari tangan
Murtiasih menggenggam batang penisnya.
Bagaikan
terkena sihir,
Murtiasih mengawasi kejantanan dalam genggamannya itu. tak berkedip ia memperhatikan
betapa tegar dan kerasnya
kepala jamur yang beberapa waktu lalu pernah menembus kegadisannya. Dengan agak
gemetar Murtiasih menatap kepala penis disunat berbentuk jamur warna coklat
kehitaman milik ustadz Mamat yang dihiasi
celah sempit di tengahnya,
agak terbuka mirip mulut ikan. Ragu Murtiasih
menyentuhnya dengan ujung lidah.
"Aiih.. iyah gitu, neng! Oooh.. aduh, pinternya nih murid bapak! Juara luar biasa, benar-benar bakat alam! Jilatin ya, neng? Nih bapak kasih hadiah lagi, sluurp..
cupp.. aaah.. ssshh.." ustadz Mamat semakin
menggila menjilati dan menggelitik liang kegadisan Murtiasih.
Kedua
manusia yang seharusnya mematuhi perbedaan derajat mereka di masyarakat itu sudah sepenuhnya menjadi
budak iblis. Mereka melupakan segalanya, bergumul dan bergulat, berpagutan
dalam posisi 69. Ustadz
Mamat dengan rakus menjarah memek Murtiasih, menghirup air madu dinding
vagina, sedangkan Murtiasih tak kalah serunya mengulum, menyepong, menghisap
penis gurunya. Suara tertawa kegelian tercampur cekikikan genit mengiringi
jilatan ujung lidah yang memasuki
belahan liang kencing sang guru, sementara ustadz Mamat dengan tak sabar
mencari kelentit muridnya.
"Uuuh.. ngumpet dimana tuh daging
itil? Jangan nakal ya pake ngumpet segala.. awas ntar ketemu, digewel
digigit ama bapak! Oooh.. neng makin jago nyepongnya! Iyah, sekalian pijit-pijit biji pelernya,
neng. Wiuuh, enak tenan! Enggak tahan lagi bapak hampir nyampe!!" ceracau ustadz Mamat
tak karuan sambil memaju-mundurkan
pinggulnya,
menyebabkan Murtiasih terkadang tersedak karena kepala penis yang semakin dalam
masuk menyentuh langit-langit
mulutnya.
"Uuegkk.. ueegk.. pelan-pelan dong, pak! Sssh.. shhh.. sslurrp!!"
Murtiasih berusaha sejauh mungkin mengimbangi kegiatan tak senonoh gurunya. Jari-jari langsing yang biasa memegang alat
tulis kini menggenggam batang pentungan daging ustadz Mamat, dan mulai menggerakkannya naik-turun, mengocok-ngocok, sementara
lidahnya menjilat-jilat menimbulkan bunyi berkecipak.
"Ahh.. akhirnya ketemu juga daging yang dicari, mmhh.. bapak gigit-gigit
ya, neng? Uummh.. lalu jilat.. gigit lagi.. sssh.. enak kan, neng?" bibir dower ustadz
Mamat menjepit gemas kelentit Asih.
Jepitan
bibir itu ibarat jutaan watt listrik yang menyetrum
tubuh elok Murtiasih sehingga ia pun mengejang
dan melengkung, jari-jarinya
menggenggam kuat-kuat
penis ustadz Mamat sambil disedot dan dihisapnya rakus. Perlakuan
Murtiasih di penisnya itu membuat guru cabul itu pun meledak menyemburkan pejuhnya!
"Duuhh... shhh.. aaah.. enak tenan, neng! Enggak nyangka gitu pinternya si eneng,
oooh.. bapak nyemprot! Aahh.. isep, minum semua ya, neng?!” ustadz Mamat
menggeram sambil memeluk pinggul muridnya yang kecil tapi padat bahenol itu.
Sekuat
tenaga ditahannya liuk-liukan, goyangan dan hentakan orgasme Murtiasih, ditekannya mulut serta hidungnya di bukit kemaluan gadis itu yang telah basah kuyup oleh air mazi, sebelum kemudian dikecup dihisapnya
kelentit Murtiasih yang sedemikian
peka hingga membuat si gadis berusaha
mati-matian menelan lahar gurunya
itu.
Setelah
beberapa menit mengalami orgasme secara
bersama-sama, akhirnya ustadz Mamat
mengubah kembali posisi tubuhnya. Dengan merebahkan diri di samping muridnya, ditatapnya wajah Murtiasih yang telah
berubah dari siswi alim shalihah menjadi wanita muda dengan di sudut mulut setengah terbuka mengalir
sisa-sisa air mani. Betapa ayu cantik wajah muridnya itu yang merah merona
akibat pergulatan dan orgasme
yang baru dialami, hidung nan bangir mancung masih berkembang kempis, bukit di dada
Murtiasih dengan puting menggemaskan masih turun-naik seirama tarikan napasnya
yang memburu.
Ustadz
Mamat mengecup bibir yang setengah
terbuka itu, tercium aroma spermanya
sendiri tercampur ludah Murtiasih yang harum – yang mana itu kembali
membangkitkan nafsu birahinya dengan sangat
cepat. Kemaluannya mulai dirasakannya menegang, biji pelirnya
dirasakan kembali memberat, dan dari
belahan di ujung
kepala si ‘Ujang’ yang masih mengkilat mengangguk-angguk
itu terlihat tetesan air mazinya.
"Hehehe.. lemes nikmat ya, neng? Ini
belum apa-apa, sekarang bapak mau nerusin senam ranjang ama neng!” Seringai mesum ustadz Mamat kembali menghiasi wajahnya, sedangkan jari-jarinya telah mulai
menjalar kembali mengusap-usap buah dada Murtiasih, juga meraba paha serta selangkangannya.
"Udah
dong, pak!
Asih udah capek
nih.. iya enak,
tapi Asih jadi lemes! Ntar
susah bangun..
udahan ah,
pak, lain kali aja nerusin
maennya!!" jawab Murtiasih sambil berusaha mencegah
keinginannya sendiri.
"Ahh.. masa udah berhenti, kan
kita baru mulai maen? Enggak enak dong macet di tengah
jalan.. kalo diterusin pasti makin
sip. Sini bapak ajarin lagi," sahut ustadz Mamat sambil
menggesot dan kini menindih kembali tubuh muridnya yang masih penuh keringat.
Murtiasih
hanya dapat mengeluh lemah agak susah bernafas ketika tubuhnya kembali ditindih di guru cabul, kedua lengannya
direntangkan terbuka ke samping
dan dirasakannya kembali ciuman dan cupangan ganas di kulit ketiaknya. Rasa geli
menyebabkannya menggeliat kesana-sini
sambil mendesah lirih.
"Geli, pak.. jangan digelitikin lagi! Aah.. gelii, udah dong! Asih capek..
aaiih.. udah, pak,
Asih lemes.. Lepasin,
emmpffhh!!" Teredam protes Murtiasih ketika mulutnya dibekap oleh bibir
ustadz Mamat.
Kedua
lutut pemimpin madrasah itu menekan lutut Murtiasih sehingga terpentang lebar, kejantanannya yang telah
mengeras kembali segera menggesek-gesek di selangkangan yang masih
basah oleh lendir kewanitaan itu,
mencari kesempitan licin di kesempatan sempit. Karena tak langsung
menemukan jalan masuk ke dalam liang yang dicarinya, maka ustadz Mamat
menggelusur ke bawah
tanpa mempedulikan rengekan Murtiasih, lalu berlutut diantara
belahan paha muridnya.
Dikaitkannya
lutut Murtiasih di atas
bahunya sehingga vagina mungil berambut halus itu jadi sedikit terbuka, menampakkan dindingnya yang merah
mengkilat. Dengan memajukan dan membungkukkan diri ke depan,
maka ustadz Mamat yang masih berlutut berhasil menekuk tubuh Murtiasih sejauh
mungkin sehingga paha mulusnya hampir menyentuh puting buah dadanya.
Dalam
posisi seperti ini maka siaplah dosen yang
telah dirasuki iblis itu untuk melakukan
persetubuhan terlarang dengan muris asuhannya. Kepala penisnya yang tegang bagai pentungan kini
menyelinap diantara bibir memek Murtiasih, menggesek-gesek seolah
menggoda sebelum masuk. Murtiasih menggeleng-gelengkan
kepalanya ke kiri-kanan bagaikan tak setuju dengan
tindakan sang ustadz,
namun celah diantara lembah Venus-nya
telah terasa panas, geli, dan
sedikit gatal seolah meminta
untuk digaruk.
"Aduh.. pelan-pelan dong, pak! Nyeri.. ohh.. sakit!! Aah.. aihh.. cabut lagi, pak! Tolong..
ampun.. sakit! Udah, pak!"
Murtiasih membuka matanya yang kuyu berlinang menatap sang pejantan ketika dirasakan bagian
intimnya dibelah oleh daging rudal besar.
"Iya,
bapak kan sayang Asih.. nih
maennya udah pelan begini, masa iya sih masih sakit? Bapak masukin lagi sedikit.. ini pasti gara-gara memeknya
si neng yang emang kekecilan, jadinya sakit begini. Tapi
enggak apa-apa,
pasti muat kok! Dijamin puas.. uuh, sempitnya! Bapak mesti kerja keras lagi nih," celoteh ustadz Mamat tanpa
memperdulikan rengekan gadis yang ditindihnya sambil
mendorong batangnya kembali.
Kini
kedua tangan ustadz Mamat merangkuh dari arah kiri kanan lutut Murtiasih yang
tergantung di bahu,
jari-jarinya ikut membantu merentangkan bibir kemaluan Murtiasih ke samping sehingga tampaklah biji klitoris
yang sebelumnya terselip tersembunyi di lipatan bibir bagian
atas. Tonjolan daging yang mulai memerah itu kini dijadikan sasaran telunjuk
dan ibu jari
kasar ustadz Mamat.
"Aaih.. gelii.. ngilu.. auw! Tolong, pak, jangan dipelintir lagi itunya.. Asih enggak tahan! Geli.. udah,
pak! Sshh.. oohh.." Murtiasih
menggelinjang meronta-ronta karena memang klitorisnya masih sangat peka akibat
ulah jilatan ustadz Mamat
yang menyebabkan ia klimaks tadi. Kini bagian tubuh terpeka itu
kembali dijadikan bulan-bulanan usapan jari tangan yang membuatnya menceracau mendesis tak karuan.
"Iya, betul begitu, neng! Enak
tenan.. ayo goyang-goyang pantatnya, neng! Oohh.. nih memek
mulai ngedut-ngedut
mijit-mijit! Uuh, siapa tahan ngadepin godaan kayak begini? Cakep banget si eneng kalau meringis-ringis gitu.. kita bikin anak yang cakep mau enggak, neng?" ustadz Mamat semakin
lupa daratan dan mulai menggenjot dengan meningkatkan gerakan maju-mundurnya.
"Jangan, pak! Jangan.. Asih enggak mau hamil! Jangan! Buang
di luar, pak! Ooh.. kasihani Asih, pak. Asih
enggak mau hamil.. hiks-hiks-hiks,"
Murtiasih menangis terisak sejadi-jadinya, mengingat memang saat
ini ada kemungkinan dirinya di tengah
masa subur.
Pada
saat itu muncullah kembali iblis di samping
telinga ustadz Mamat sambil membisikkan
sesuatu, selain itu digunakannya kemampuan mempengaruhi panca indera ustadz
murtad itu, dan memang betul : wajah Murtiasih berubah selang-seling menjadi wajah istrinya sendiri :
Aida!
Agak
terkejut ustadz Mamat
melihat pergantian gonta-ganti
wajah wanita yang sedang digarapnya akibat pengaruh iblis, namun ia melihat bahwa wajah Aida pun
sebenarnya memang cantik juga.
Hanya
bedanya wajah Aida seolah sedang mengejeknya dan menanyakan apakah sampai disitu
saja kemampuannya sebagai seorang suami
yang sedang menyetubuhi istrinya.
Seolah-olah Aida menanyakan bahwa dia sama sekali tidak merasakan adanya
kemaluan sedang memasuki alat kelaminnya.
Bagaimana
pun usaha ustadz Mamat mempercepat dan menusuk sedalam-dalamnya, namun wajah Aida seolah
tak mau menghilang dengan senyum ejekannya, membuat ustadz Mamat jadi semakin gusar dan
menghunjamkan alat kejantanannya sejadi-jadinya. Telinganya seolah hanya
mendengar ejekan-ejekan
Aida yang mencelanya sebagai suami tak mampu memuaskan istrinya sendiri -
padahal yang sebenarnya adalah, kamar
itu telah dipenuhi oleh jeritan
dan rintihan sakit Murtiasih yang tak berdaya diperkosa habis-habisan oleh gurunya sendiri!
Kini
sang iblis menunjukkan kembali kemampuannya mempengaruhi manusia lemah seperti
ustadz Mamat, dibisikkannya
sesuatu di telinga
ustadz itu, sesuatu yang memang selama
ini tak pernah dilakukannya terhadap istrinya sendiri yaitu Aida. Sesuatu yang pernah
muncul di benak
ustadz dan dikemukakannya ketika sedang intim dengan istrinya, namun hal ini
dianggap tabu oleh Aida dan ditolaknya mentah-mentah. Sang iblis tahu soal ini dan membujuk
ustadz cabul untuk melakukannya sekarang.
“Ayo, kapan lagi? Ini kesempatanmu, jangan biarkan istrimu
mengejek
dan menghinamu sebagai suami yang tak
mampu memuaskannya! Ayo
hukumlah istrimu supaya ia tahu kamu yang lebih berkuasa!"
Ustadz
Mamat tahu apa yang selama ini ditolak mentah-mentah oleh Aida. "Hhm.. memang sudah waktunya aku renggut kegadisanmu
yang kedua. Rasakan
betapa sakitnya, itulah hukuman yang harus kamu derita karena mengejek
dan menghinaku selama persetubuhan ini!"
Demikianlah tekad ustadz Mamat yang
mempersiapkan rudal dagingnya memasuki lubang terlarang di celah pantat. Semuanya adalah
siasat dan tindakan iblis, sehingga ustadz Mamat tak menyadari bahwa korbannya
bukan sang istri sendiri, melainkan murid kesayangannya yang sedang digarapnya
kesekian kali.
Tentu
saja ustadz Mamat tak mengetahui bahwa istrinya Aida selama ini pun telah menjadi korban pelecehan pak
Sobri dan konco-konconya,
bahkan apa yang selama ini dipertahankannya terhadap keinginan suaminya telah
direnggut paksa olek pak Sobri.
(baca kisah Aida sebelumnya).
Dengan
tetap menatap wajah cantik dihadapannya yang seolah-olah terus mengejek-mencemooh,
tanpa ragu lagi ustadz Mamat mencabut penisnya yang gagah perkasa dari vagina
korbannya, dan meludahinya beberapa kali meskipun
telah sangat licin oleh air
lendir vagina Murtiasih. Ia juga meludahi
lubang kecil kemerahan yang berkerut-berkedut
membuka menutup bagaikan sekuntum
bunga di bokong Murtiasih.
Murtiasih
menarik nafas lega karena penis ustadz Mamat yang menghunjam menyakitinya tiada
henti mendadak ditarik keluar, ia merasa sangat bersyukur bahwa gurunya mau
mendengarkan permohonannya agar tak menghamilinya. Tak diduganya sama sekali
bahwa iblis ternyata menuntun
guru durjana itu melakukan
sesuatu yang jauh lebih menyakitkan. Kecurigaan Murtiasih baru muncul ketika
dirasakannya kepala penis yang beberapa detik lalu menghunjam rahimnya, kini
mulai menyentuh lubang duburnya. Langsung
saja otot-otot lingkar yang amat
kuat berkontraksi untuk mencegah benda asing itu menembus masuk, dan kuku-kuku Murtiasih
mencakar dada ustadz Mamat.
Namun
ustadz Mamat betul-betul sudah kesetanan, tenaganya bagaikan berlipat ganda,
demikian pula alat kejantanannya yang semakin
kaku membesar siap menggempur menembus otot-otot anus.
"Aah.. auww! S-sakit, pak! Tolong.. perih.. jangan diterusin! Kumohon, lepaskan.. ampun.. jangan masuk disitu.. sakiit!!" lolong Murtiasih yang jeritannya memenuhi kamar tidur, dan pada saat itu
barulah ustadz Mamat tersadar.
Tapi sang iblis segera menunjukkan muslihatnya dan membisikkan ke telinga Mamat bahwa tindakan itu tak
akan menyebabkan Murtiasih hamil, sehingga semua perbuatan maksiatnya tak akan
berbenih.
Bagaikan
mengalami hipnotis,
ustadz Mamat berhenti sebentar dengan perbuatannya, kepala penis kebanggaannya
baru saja menembus gerbang anus Murtiasih, dilihatnya Murtiasih mencakari
dadanya sambil menangis terisak-isak kesakitan, air matanya membasahi pipinya
yang halus.
Apa
yang sudah terjadi tak mungkin dibatalkan. Sudah kepalang basah, lebih baik mandi
sekalian. Dan memang betul juga, jika aku tak membanjiri rahim muridku
maka ia tak akan hamil, pikir si ustadz.
Maka segera dicekalnya kedua pergelangan
tangan Murtiasih yang sedang mencakari
dadanya penuh rasa putus asa, lalu ditekannya di samping wajah
ayu gadis itu sambil berbisik, "Tahan sedikit, neng.
Ini supaya neng tidak
hamil. Mulanya memang akan
terasa ngilu dan sakit, tapi selanjutnya akan
hilang. Bapak janji bakal pelan-pelan maennya. Percayalah, bapak sayang sama Asih. Jangan dilawan ya, neng, ntar malah tambah sakit. Rileks supaya bapak bisa
masuk,"
Sambil berusaha menghibur, ustadz Mamat menekan semakin dalam, tambah dalam, dan akhirnya... "Aduuh.. auw! Pelan-pelan, pak.. tetep sakit! Asih enggak
kuat, ooh..
Asih enggak
tahan, sakit sekali.. bapak jahat! Sadis amat sama Asih,"
Murtiasih merasakan anusnya perih dan
panas bagaikan disayat dan dibelah oleh kayu
menyala. Perlahan-lahan
jeritannya semakin melemah dan berubah menjadi desahan dan rintihan memilukan.
Ustadz Mamat kini mulai bergerak keluar-masuk di anus muridnya yang terasa begitu sempit, dan karena
dilihatnya Murtiasih sudah
sedemikian lemah dan pasrah tak sanggup melawan, maka nadi yang dicekalnya kini ia lepaskan.
Telunjuk
dan ibu jari ustadz Mamat ganti menyelinap
kembali diantara bibir kemaluan muridnya, pelan
ia mengusap dan memilin-milin
kelentit Murtiasih, menyebabkan sensasi baru menerpa tubuh gadis muda yang hanya sanggup
menghentak-hentak
lemah dan memukul-mukulkan
tumitnya dengan sia-sia di punggung ustadz Mamat.
"Iyah gitu,
pinter banget! Rileks ya, neng.. nih
bapak bantuin supaya lebih enak! Bagus
amat kelentitnya, neng, bapak geregetan jadinya. Diusap-usap supaya lebih
mantap ya, neng?" Demikianlah suara dosen cabul itu terdengar sayup-sayup
di telinga
Murtiasih.
Tubuhnya
yang telanjang bulat penuh keringat kini bergetar
akibat menahan gelombang sensasi
yang begitu menyiksa, geli nikmat tak tertahan
karena klitorisnya terus-menerus
dirangsang, bercampur
dengan ngilu-perih-sakit di anus yang baru saja ditembus beberapa menit lalu.
Semuanya terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh tubuh Murtiasih, hingga akibatnya jutaan
bintang meledak di ujung syaraf serta di hadapan
mata gadis alim salihah itu. Jutaan
volt tegangan listrik juga menyerang
dan menyebabkan jeritan orgasme terakhir
keluar dari mulutnya. Otot-otot
lingkar di anus Murtiasih menegang dan meremas penis ustadz Mamat yang tengah menyiksanya
sehingga sang ustadz
pun tak sanggup lagi menahan gelora lahar biji pelirnya!
"Aaah.. bapak moncrot nih! Duh nikmatnya.. iya, pijit terus kontol bapak, neng! Oooh.. pinternya nih murid. Dikawinin jadi istri muda bapak, mau neng?"
ustadz Mamat menyemburkan spermanya secara
bergelombang ke dalam
anus Murtiasih sebelum akhirnya kedua insan yang berbeda usia dan kedudukan di
masyarakat itu ambruk berpelukan.
Di bawah selimut keduanya tidur menyamping
berpagutan. Ustadz Mamat
memeluk tubuh siswi muridnya yang mungil langsing membelakanginya. Dirasakannya
getaran lemah Murtiasih yang rupanya masih menangis terisak-isak. Saat ini
pengaruh iblis agak berkurang dan ada perasaan sedikit menyesal pada diri ustadz Mamat karena
menyadari telah melakukan perbuatan yang tak senonoh - merenggut keperawanan
Murtiasih yang kedua dan itu pasti lebih sakit daripada yang pertama.
Ustadz
Mamat mengelus menciumi pundak dan punggung Murtiasih dengan lembut, dibelainya
penuh rasa sayang, berbeda dengan kelakukannya beberapa menit lalu. Dengan
suara berbisik ia menyatakan bahwa tak ada maksudnya sama sekali untuk
menyakiti muridnya itu. Perlahan-lahan Murtiasih yang memang berbudi sangat
halus itu membalikkan tubuhnya dan dengan berlinangan air mata ia menatap
gurunya. Keduanya bagaikan sadar dan kembali ke dalam dunia nyat.
Namun semua telah terjadi, nasi
telah menjadi bubur. Murtiasih kini telah mengenal dunia terlarang dan dirinya
telah ternoda, namun di samping
itu ia telah mengalami transformasi menjadi dewasa.
Ia
dapat memilih untuk melaporkan semuanya kepada pihak berwajib dan konsekuensinya adalah publikasi di koran serta majalah yang mencari
sensasi. Bukan saja namanya sendiri tercemar tapi juga nama keluarga serta
madrasah yang baru saja dibuka. Jalan lain yang dapat ditempuh adalah
menjadikan semuanya menjadi resmi : ia dapat mengancam gurunya untuk
menjadikannya sebagai istri kedua setelah
Aida,
namun apakah Aida akan mau menerima dirinya dimadu? Adakah jalan yang lebih baik bagi
keduanya?
Tanpa
disadari oleh ustadz Mamat, akibat pengaruh iblis telah
membangunkan naluri hewaniah wanita muda dewasa di pori-pori kulit dan ujung-ujung syaraf
Murtiasih. Dunia baru penuh dengan campuran sakit namun nikmat tak terkira
telah dicipi oleh Murtiasih - dan itu diawal mula menimbulkan penyesalan, namun
di balik
itu juga ada keinginan
untuk mengalami kembali. Apakah tak ada jalan keluar yang terbaik untuk kedua
insan itu?
Satu
jam kemudian,
Murtiasih, Rofikah, Sumirah, ustadz Mamat serta pak Jamal, pulang kembali ke asrama madrasah
mereka. Sementara pak Fikri tetap
bermalam di rumahnya
yang terpencil dan menjadi saksi bisu dari semua perbuatan maksiat yang baru saja mereka lakukan.
No comments:
Post a Comment