Seminggu
sebelum memasuki hari raya Ai’dul
Adha maka Ustadz Mamat memperoleh tugas lebih banyak daripada biasanya. Selain
itu beberapa siswi dari madrasah tempatnya mengajar memiliki suara sangat merdu
menarik dan karena itu mereka mempunyai minat untuk mengikuti perlombaan kajian
Musabaqqoh Tilawatil Qur’an. Dan untuk pemenang perlombaan di desa ini akan dicalonkan maju ke kontes di daerah propinsi dan
selanjutnya untuk memasuki taraf nasional.
Berhubung
dengan keadaan ini maka Ustadz Mamat diberikan tugas untuk melatih para calon,
dimulai dengan hari Rabu sampai dengan hari Jum’at malam, dengan perkataan lain
bahwa Ustadz Mamat akan
meninggalkan istrinya,
Aida, selama paling sedikit selama tiga hari
tiga malam.
Dalam
minggu pertama semuanya berjalan lancar dan Ustadz Mamat dapat memberikan
kuliah secara sepantasnya di pesantren desa Jamblangan, para pelajar semuanya
wanita dalam tingkat kelas tiga mutawassitah (kurang lebih seperti SLTP). Para
siswi yang di pedesaan lebih sering disebut santriwati itu berjumlah dua puluh tiga dan usia mereka rata-rata sekitar 15-16 tahun, dalam
istilah orang kota lebih sering disingkat ABG alias Anak Baru Gede. Pada
umumnya para siswi itu cukup alim saleh dan berkelakuan sopan santun, apalagi
di hadapan
guru mereka : Ustadz Mamat.
Namun
dimanapun selalu iblis mencari mangsa, dan untuk menaklukkan mangsa sangat
berharga, yaitu seorang Ustadz, maka iblis memakai anak buah atau kaki tangan,
dalam hal ini dalam bentuk dua orang santriwati genit bertubuh amat denok
bahenol. Kedua gadis santriwati itu baru masuk usia lima belas tahun, bernama Rofikah
dan Sumirah, bertetangga dekat di desa itu. Kedua orang tua mereka cukup berada sebagai
pengusaha perkebunan perkebunan karet,
sedangkan satunya adalah pemilik perkebunan teh. Dalam kisah yang akan terjadi
terlibat pula gadis ketiga bernama Murtiasih alias Asih yang sekali tak
perayu, namun kelak juga akan menjadi korban Ustadz Mamat!
Rofikah yang sehari-hari dipanggil Ikah dan Sumirah yang biasa
dipanggil Irah merupakan teman akrab, hampir selalu mereka berdua,
berjalan bersama dan di sekolah pesantren itupun mereka selalu duduk berdua.
Keduanya mempunyai sifat genit perayu dan dengan body yang sangat yahud
menantang mereka sangat senang jika diperhatikan oleh para lelaki.
Mereka
tak perduli apakah yang mengawasi dan menggoda ketika mereka berjalan adalah
anak lelaki muda seusia mereka atau lelaki tua yang bahkan sudah jauh lebih tua
dari ayah mereka. Pokoknya mereka berpendapat bahwa tubuh mereka yang memang
terlihat sangat montok dengan toket menonjol itu adalah juga pemberian sang
pencipta. Jadi mereka dengan sengaja bangga memperlihatkannya penuh kebanggaan
dan bahkan merasa mempunyai ‘kekuasaan’ jika para lelaki bersiul-siul melihat goyang pantat mereka!
Karena
wajah keduanya banyak kemiripannya maka orang di desa itu sering berbisik-bisik bergosip apakah kedua gadis
itu sebetulnya keluar dari ‘satu
cetakan’. Alasan daripada gosip itu adalah
karena ibu dari Rofikah dan Sumirah adalah kakak beradik, sedangkan ayah dari
Rofikah maupun Sumirah tergolong ‘lelaki
hidung belang’
yang senang jajan di luar.
Bukan
menjadi rahasia lagi bahwa kedua pria itu sangat sering keluar masuk ke rumah kakak/adik ipar mereka sampai jauh
malam, dan itu sering pula terjadi jika sang tuan rumah sedang kebetulan
keluar. Pola kehidupan mereka tentu saja memberikan pengaruh kepada anak
perempuan mereka yang mulai memasuki usia remaja. Rofikah dan Sumirah termasuk
anak yang dimanja, mereka memakai
busana berbahan mahal, dan meskipun
mereka sebagaimana umumnya gadis di daerah
desa selalu berpakaian muslimah dengan jilbab, namun cara melirik, tingkah laku
dan penampilan genit mereka berlawanan dengan kebiasaan akhwat yang seharusnya
alim shalihah. Ketika mereka masuk pesantren itupun tidaklah atas keinginan
untuk memperdalam ilmu agama dan memperdalam keimanan, tapi lebih sekedar ikut-ikutan basa-basi.
Setelah
memperoleh pelajaran dua kali dari Ustadz Mamat sebagai guru dan mengalunkan
suara dalam latihan untuk musabaqoh , mulailah timbul rencana nakal mereka.
Dari mulut ke mulut mereka mengetahui dalam waktu singkat bahwa Ustadz Mamat
sering bermalam di pesantren itu karena ia tinggal cukup jauh, dan untuk itu
Ustadz Mamat harus meninggalkan keluarganya.
Di dalam ruangan kelas, Sumirah dan Rofikah selalu duduk di bangku terdepan berhadapan dengan tempat
duduk atau panel kayu dimana Ustadz Mamat selalu berdiri. Mereka sengaja
melirik genit ke arah
Ustadz Mamat, jilbab yang dipakai agak dilonggarkan sehingga rambut mereka yang
ikal keluar, dan dengan suara lantang dibuat-buat,
mereka sering mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tak perlu.
Selanjutnya
mereka menggesek-gesekkan
kaki dan betis secara bergantian dengan perlahan namun ritmis, sehingga kaus
kaki yang dipakai menjadi turun melorot akibat gesekan itu. Dengan demikian
terlihatlah kaki mereka yang berhias
jari-jari mungil dengan kuku terawat
dan jari-jari itu pun sengaja mereka gerakkan membuka menutup.
Tak
sampai disitu saja,
Rofikah dan Sumirah dengan sengaja juga membuka
belahan bibir mereka yang terlihat basah mengkilat, mengeluarkan lidah mereka
untuk membasahi bibir mereka, dan entah pensil
atau ballpoint yang mereka pegang untuk menulis sering dimasuk-keluarkan di mulut mereka, terlihat bagaikan dikulum,
dijilat dan dihisap-hisap.
Semuanya
itu mula-mula belum disadari oleh Ustadz
Mamat, namun sebagai lelaki akhirnya matanya ‘terpancing’ oleh gerakan nakal kedua muridnya itu. Apalagi jika
kedua santriwati itu diakhir pelajaran seolah-olah tanpa
sengaja menguap dan mengulét meluruskan tubuh dengan menaikkan kedua lengan
mereka tinggi-tinggi ke udara, maka terlihatlah busungan kedua
gunung montok di dada
mereka.
Hanya
dalam waktu tiga hari maka Ustadz Mamat mulailah sukar untuk berkonsentrasi sepenuhnya memberikan pelajaran. Sering kalimat yang
telah direncanakannya untuk diucapkan ‘menghilang’ begitu saja karena godaan iblis dalam
bentuk rayuan kegenitan kedua murid penggoda itu. Namun Ustadz Mamat tetap
berusaha melawan godaan yang akan menghancurkan seluruh kehidupannya, ia dengan
khusyuk berdoa dan sholat di luar
waktu yang pada umumnya. Diharapkannya apa yang terpantau di matanya selama memberikan pelajaran
dapat terusir dari benaknya.
Selama
mengajar di kelas
maka Ustadz Mamat dapat sementara mengalihkan perhatiannya kepada bahan
kuliahnya, namun jika ia berada di kamarnya
menjelang malam hari sebelum tidur,
muncullah lamunan serta rasa kesepian karena ia tak berada di kamar tidurnya sendiri dan tak ada
kehangatan tubuh istrinya.
Memasuki
minggu ketiga, apa mau dikata
Ustadz Mamar jatuh sakit setelah tiba di tempat mengajarnya itu. Tubuhnya panas dingin,
sehingga tak mampu mengajar dan hanya dapat tidur hampir seharian di asrama
penginapannya di pesantren. Di tengah
malam jum’at hitam pekat dengan hujan lebat,
ketika dalam keadaan demam menggigil itu maka Ustadz Mamat dengan tubuh
berkeringat dingin mengalami halusinasi, ia memasuki situasi alam mimpi
bagaikan sedang dihipnotis sehingga kesurupan…
Ustadz
Mamat merasakan udara sekitarnya amat dingin hingga menggigil dan gigi-giginya beradu satu sama lain,
badannya terasa sangat penat berat dan ia tak mampu menggerakkan kaki
tangannya. Samar-samar
dilihatnya sesosok tubuh berjilbab mendekati ranjangnya, sosok wanita berjilbab
langsing ini meletakkan kain basah dingin di jidatnya sehingga terasa amat nyaman.
Sesudah itu wanita berjilbab ini berusaha melepaskan kaos oblong yang
dipakainya, dan bukan hanya itu, kain sarung belikat yang dipakai dirasakannya dilepas dari ikatan
pinggang, lalu diturunkan ke bawah.
Ustadz
Mamat berusaha protes namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya, selain itu
kaki tangannya seberat lempengen timah sehingga tak mampu digerakkannya untuk
melawan.
“Pssst,
pakaian Ustadz yang sudah basah kuyup
dengan keringat, jika tak ditukar maka bapak akan semakin sakit. Tenang saja, pak Ustadz, saya hanya ingin menolong.” Samar-samar
Ustadz Mamat mendengar suara wanita yang halus dan merdu berbisik di
telinganya.
“Siapakah yang sedang menolong dan
merawatku saat ini – apakah malaikat, tapi ini… ini… aku kenal dia : istriku sendiri, Aida!” batin Ustadz Mamat.
Ustadz
Mamat merasakan bahwa tubuh bagian atasnya kini telah dilepaskan dari kaos
oblongnya, dan sesudah itu tubuh bagian bawahnya sebagian besar telah dilolosi
dari kain pelikat penutupnya. Ustadz Mamat menggeleng-gelengkan kepala merasakan tak
berdaya, sementara tubuhnya dirasakan semakin basah mandi keringat panas
dingin. Namun yang sangat diluar dugaannya adalah sesuatu yang halus hangat
dengan agak nakal kini menyelinap ke selangkangannya, dan sebelum ia dapat
menolak atau mencegah, dirasakannya bahwa penisnya telah keluar dari balik celana dalamnya!
Banyak
ahli psikologis mengatakan bahwa mimpi adalah bunga orang tidur dan disaat
mimpi sering sekali keluar adegan yang sebenarnya sangat didambakan dalam
situasi sehari-hari,
namun tak pernah dapat tercapai atau terlaksana. Bayangan wanita berjilbab itu
– terutama suara merdunya semakin lama semakin dikenalinya karena telah begitu
sering didengarnya setiap hari, namun, namun… tak mungkin, itu tak mungkin,
istriku Aida yang demikian alim shalihah pasti tak akan melakukan hal tak
senonoh ini! Ustadz Mamat tak mau mempercayai telinga dan matanya yang masih
kabur. Ini hanya mimpi, ini hanya
fatamorgana. Aku
sedang sakit demam panas, sehingga mengigau tak karuan, aku… aku… sebagai lelaki memang terkadang ingin
hal ini, tapi… tapi...
‘Penolakan’ Ustadz Mamat yang sedang tak berdaya itu hanya dapat
bertahan sementara saja karena dirasakannya bahwa kemaluannya kini dicengkeram dan
dicekal di dalam
genggaman jari-jari
halus. Jari-jari itu
kini dengan sengaja naik turun di batang kejantanannya, menyentuh mengusap dan
mengelus lembut kepala jamurnya yang telanjang karena disunat. Bagian pinggiran
topi baja yang sangat peka itu kini dijadikan sasaran: disentuh dan digesek-gesek tanpa henti, bahkan kini
kuku jari tangan yang halus itu menyentuh lubang kencing di tengah kepala penisnya, menyebabkan
semakin sering membuka, menutup, membuka bagaikan mulut ikan sedang megap-megap kekurangan oksigen.
Ustadz
Mamat berusaha melawan mati-matian
perlakuan yang belum
pernah dialaminya, keringat semakin mengucur membasahi seluruh tubuhnya
sehingga terlihat semakin mengkilat. Semuanya hanya sia-sia saja karena lembing
kejantanannya yang selama minggu-minggu
terakhir memang kurang teratur memperoleh ‘perhatian’ kini mulai memberikan reaksi, mulai
bangun dengan gagah menegang dan berdenyut mengangguk-angguk seolah meminta lebih banyak
perhatian!
"Jangan
umma, jangan diterusin...
bapak sudah sembuh, tinggalkan bapak sendiri!"
protes Ustadz
Mamat.
“Ini
obat yang manjur pak Ustadz,
bukan obat biasa...
jangan dilawan pak Ustadz, percuma saja. Bapak
akan keluar keringat sebanyak mungkin, itu keringat jahat – biarkan keluar.... saya cuma mau nolong, dilanjutkan ya pengobatannya pak Ustadz?”
Tanpa menunggu jawaban Ustadz Mamat yang
sedang berkutat melawan proses alamiah kelelakiannya,
bayangan wanita berjilbab yang semakin mirip dengan istrinya itu kini menundukkan kepalanya, dan
meskipun tertutup jilbab namun terlihatlah apa yang sedang terjadi!
“Aaaaahhh... oooooohhhh... ummu, jangaaan... abba mau diapakan?! Oooooohhh... siiiaaaah... aaaaaiiii...” Ustadz Mamat mengeluh
mendesah tak karuan ketika dirasakannya ‘si
otong’ kini memasuki ruangan hangat berdinding
halus, kepala penisnya mulai disapu dan diusap dibelai oleh… oleh… ini tak mungkin terjadi, tapi… tapi… Ya Allah, istriku sedang mengulum kejantananku!! Bukankah istriku Aida selalu menolak untuk
mengoralku karena jijik, tapi kenapa kini dia mau?
Dan
benar sekali apa yang diucapkan wanita berjilbab itu: seluruh badan Ustadz
Mamat semakin basah kuyup mandi keringat ketika ‘dimanjakan’
oleh bayangan istrinya sendiri,
Aida. Oooh... hal ini tak pernah kubayangkan, tapi… tapi… ooooh... dia belajar dari mana? Betapa
pandainya Aida mencakup, mengulum, menghisap, menyedot serta membelai pusat kejantananku! Aaaaaah... bahkan
liang kencingku kini disodok-sodok oleh ujung lidahnya. Oooooooh... nikmaaaatnya! Bagaimana aku akan tahan terhadap godaan ini?
“Aaaaaaaaaah...!!!” Dan disertai dengan
dengusan bagai banteng terluka, maka Ustadz Mamat menyemburkan air mazinya. Karena
sedang demam maka lahar kelelakiannya pun dirasakan sangat panas menyemprot di
saluran dalam penisnya. Namun berbeda jika ia sedang bermasturbasi ketika masih
bujangan, maka kali ini tak ada setetespun yang berceceran membasahi
selangkangannya, jadi berarti… ini artinya… istrinya telah menelan semuanya dengan lahap… apakah benar begitu?
Ustadz Mamat ingin melihat dan bahkan menekan kepala
istrinya yang tertutup jilbab itu ke arah selangkangannya agar semua spermanya dapat ditelan
oleh Aida, namun… namun… dimanakah wanita dalam bayangan mimpinya yang telah
memberikannya kenikmatan tak terhingga itu?
Perlahan-lahan Ustadz Mamat sanggup menegakkan tubuh bagian atasnya,
dan dengan kecewa tak dapat ditemukannya istrinya, Aida – apakah semua itu hanyalah
imajinasi, hanya khayalan? Namun mengapa tubuhnya yang penuh keringat itu kini terasa
lebih mantap, lebih nyaman, dan gigilannya menghilang! Benarkah apa yang dikatakan
bayangan wanita berjilbab itu bahwa semua ‘keringat jahat’ yang menyebabkan demamnya kini telah keluar disedot dan
dihirup oleh si wanita berjilbab tadi – dimanakah dia...?
Ustadz Mamat merasa sangat lelah sehingga tak terasa ia
kembali tertidur pulas.
Esok harinya Ustadz Mamat berusaha memberikan pelajaran
lagi, tubuhnya masih dirasakannya belum mantap seluruhnya, juga kepalanya masih
agak pusing dan berat, namun demamnya telah menghilang, itu yang terpenting.
Hari itu Ustadz Mamat memberikan bahan pelajaran yang ringan saja, juga dengan
hikmat didengarkannya suara murid-muridnya yang berlatih musabaqoh tillawatil itu.
Diusahakannya agar semua perhatiannya tertuju kepada
bahan pelajaran, namun kedua penggoda yang duduk di barisan depan
kembali melakukan segala macam upaya untuk menarik perhatiannya. Ustadz Mamat
selalu mencoba menghindarkan pandangan matanya ke arah Rofikah
dan Sumirah yang genit itu. Kedua pelajar itupun tak banyak diberikan
kesempatan untuk bertanya, sehingga kedua murid ini semakin penasaran, dan
iblis yang mendalangi Sumirah dan Rofikah juga tak mau begitu saja menyerah
mentah-mentah.
Iblis yang telah berhasil menggoda Ustadz Mamat di dalam mimpi erotis
disaat demam itu kini memakai kelemahan Mamat sebagai laki-laki normal
yang telah
mengalami kenikmatan di-oral, pasti pengalaman ini sangat menyenangkan dan
ingin dialami kembali! Jika kedua murid yang genit itu tak langsung berhasil
menggodanya, maka sang iblis mengganti siasat : mungkin Ustadz Mamat justru
akan tergoda oleh gadis yang alim shalihah seperti istrinya sendiri.
“Istrimu sudah
dijadikan budak seks-nya pak Sobri, bahkan adikmu Farah juga telah
digarap oleh pak Burhan, kini giliranmu untuk terjerumus jurang nista, ini akan
kuatur,” demikian rencana
iblis!
Sering
duduk di barisan
depan namun agak menyamping adalah seorang santriwati termuda serta tercantik
bernama Murtiasih atau lebih sering dipanggil dengan nama panggilan
sehari-hari Asih.
Berbeda
dengan Sumirah dan Rofikah,
maka Murtiasih berpakaian sehari-hari
sangat sederhana dengan bahan biasa saja. Ia tidak memakai make-up untuk
pipinya, maskara
untuk alis matanya, lipstik untuk bibirnya,
atau perhiasan mahal menyolok, kuku jarinya pun terawat rapih alamiah tanpa
diberikan warna tambahan apapun. Semuanya itu justru lebih memberikan daya
tarik, ibarat bunga desa yang murni tanpa cacat cela. Badannya yang kecil
ramping mulai menunjukkan tanda-tanda
kewanitaan yang baru bersemi bagaikan putik bunga masih kuncup namun ujung
atasnya mulai merekah dan menimbulkan hasrat untuk lebah menghisap madunya.
Iblis
mengetahui hal ini dan ‘lebah’ yang akan dipakai oleh sang iblis
adalah dalam bentuk lelaki yang sedang kesepian. Ustadz Mamat diawal mula tidak
memperhatikan adanya santriwati cantik manis ini, karena Asih tak banyak
bicara, duduk tenang di kelas
menyimak pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Di waktu
istirahat pun Asih umumnya memakai kesempatan untuk membaca serta mengulang
bahan pelajaran yang baru diterimanya, dan usai sekolah maka Murtiasih langsung
pulang tanpa méjéng ke tempat
lain.
Perhatian
Ustadz Mamat terhadap gadis ABG Asih
sebagai akibat godaan iblis baru muncul setelah pengalaman khayalan mimpi saat
menderita demam panas. Di hari-hari berikutnya barulah Ustadz
Mamat ‘menyadari’ bahwa dalam kelas yang diajarnya ada seorang gadis muda
belia, ayu cantik manis alamiah tanpa memakai tambahan apapun, selalu
berkelakuan sopan santun, dan lemah lembut.
Berbeda
dengan Irah dan Ikah yang berusaha menampilkan tonjolan tubuh mereka yang sexy, maka Asih selalu menghindarkan perhatian mata lelaki dengan bertingkah
lalu sewajar mungkin. Namun biar bagaimana pun secara alamiah Asih tidak
mungkin mencegah pertumbuhan badannya yang semakin padat dan sintal : di atas pinggangnya nan langsing semakin
membusung gundukan daging di dadanya, sedangkan di bawah pinggangnya terlihat pinggul serta
pantat bulat bahenol yang bergoyang ke kiri dan ke kanan serta berputar sangat lembut jika ia sedang
berjalan.
Asih
tak menyadari sama sekali bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian dari tiga
orang! Tidak hanya Ustadz Mamat yang semakin lama semakin tertarik kepadanya,
tetapi ada dua orang sekelas dan sesama jenis yang merasakan 'kalah persaingan'
yaitu Ikah dan Irah! Keduanya tak mengerti mengapa perhatian Ustadz Mamat kini
lebih menjurus kepada Asih yang mereka anggap ‘mentah’
dan tak mempunyai keistimewaan
sama sekali. Mengapa usaha mereka menonjolkan keindahan tubuh mereka yang sexy
tak berhasil mengundang mata Ustadz Mamat, sedangkan Asih dengan kecantikan
alam sekedarnya dan tubuh ABG yang baru ‘melentis’ mempunyai daya tarik lebih?!
Rasa
kejengkelan dan kekecewaan yang semakin terpendam perlahan-lahan berubah menjadi dendam dan
memang hal ini merupakan bagian dari kehebatan dan kelicikan iblis dalam mengadu domba anak manusia sehingga menjadi
'buta'. Semakin manusia kehilangan akal sehatnya dan saling membenci sehingga
akhirnya gontok-gontokan
dan bahkan saling membunuh seperti yang terjadi di pelbagai tempat di dunia pada saat ini, maka semakin senanglah
iblis yang menyeringai dan tertawa terbahak-bahak.
Ikah
dan Irah mengasah otak mereka yang telah dipengaruhi iblis : jika mereka berdua
tak berhasil langsung menjebak Ustadz Mamat, maka biarlah Asih dijadikan ‘korban’ terlebih dahulu.
‘Kegagalan’ mereka mendekati Ustadz Mamat adalah karena adanya Asih,
oleh karena itu saingan muda belia itu biarlah digarap oleh Ustadz Mamat. Namun
peristiwa perlecehan sang Ustadz terhadap Asih itu akan direkam dan dijadikan
senjata ampuh untuk ‘menguasai’ Ustadz Mamat - dengan demikian maka
secara tak langsung akhirnya Ustadz Mamat akan dapat takluk dan tunduk kepada
Ikah dan Irah untuk memenuhi keinginan seks
mereka, sedangkan Asih pun telah
ternoda...
Untuk
melaksanakan rencana itu,
mereka akan membayar tukang sapu pembersih pesantren di situ : mang Jamal namanya - duda berusia lima puluh dua tapi masih tegar gagah perkasa
dan gemar pada daun
muda.
Karena
Asih sifatnya sangat alim dan sukar diajak untuk pergi mejeng
seperti gadis remaja lain seusianya,
maka harus dicari akal untuk menjebaknya - dan mereka mencari ‘kelemahan’ alias
'ke-naif-an' Asih, terutama sifatnya yang selalu bersedia menolong orang
yang sedang kesusahan.
Setiap
hari Jum'at para santriwati di pesantren itu hanya mendapatkan pelajaran beberapa
jam dan sebelum jam sebelas mereka sudah dibubarkan untuk memberikan kesempatan
sholat jum’at. Kesempatan ini dipakai
oleh Ikah dan Irah serta mang Jamal yang sudah dibayar oleh keduanya dan
menjadi kaki tangan mereka. Mang Jamal diberikan petunjuk bagaimana merekam
adegan terlarang Ustadz Mamat dengan Asih menggunakan
handphone mereka, dan bahkan dijanjikan bahwa setelah Murtiasih dikorbankan
kepada Ustadz Mamat, maka setelah itu juga boleh ‘dicicipi’
oleh Mang Jamal!
Tentu
saja mang Jamal sangat senang memperoleh tawaran luar biasa itu, ibarat dapat lotere dobel: bukan saja memperoleh
duit, namun juga bisa mengintip dan merekam
adegan terlarang, bahkan sesudah itu dapat
menikmati tubuh muda Murtiasih. Mang Jamal dengan ukuran rudal luar biasa dan berpengalaman
begitu banyak dengan wanita di desa
selama ini yakin bahwa apa yang akan dialami Murtiasih ketika kehilangan
kesuciannya pertama kali dengan Ustadz Mamat tak akan dapat dibandingkan dengan
apa yang akan dirasakannya di dalam
cengkraman ‘aku
Mang Jamal, si pejantan tangguh!’
Sehari
sebelumnya yaitu hari Kamis,
Ikah dan Irah telah memberikan perintah kepada mang Jamal agar membawakan minum
air seperti biasanya kepada Ustadz Mamat ketika mengajar di kelas. Namun di hari Jum'at ini minuman
air ditambah dengan obat
tidur yang diambil oleh Ikah dari kamar tidur ayahnya yang memang mempunyai
gangguan sukar tidur, sehingga mendapatkan obat penenang dari dokter. Selain itu dicampuri pula
ramuan obat kuras perut desa untuk membuat
Ustadz Mamat pusing dan perutnya sangat mulas, sehingga tak lama kemudian ia
memohon maaf permisi dengan tergesa-gesa
dan mengundurkan diri langsung kembali ke kamarnya sendiri di asrama pesantren itu.
Di
asrama pesantren hanya terdapat
tiga kamar tidur, sebuah kamar mandi dan
WC yang letaknya di belakang. Juga ada sebuah WC kecil untuk pengunjung yang
terletak di depan
di daerah
kamar penerima tamu. Kamar tamu itu hanya sederhana dengan sebuah meja kecil,
dua kursi dan sebuah bangku panjang.
Mamat
sebenarnya ingin melanjutkan memberikan kuliahnya, oleh karena itu ia
merebahkan diri dibangku panjang kamar tamu yang kebetulan letaknya paling
dekat dengan WC kecil, namun keinginannya kalah dengan rasa lemas dan ngantuk
hingga ia tertidur pulas di bangku
panjang itu.
Pimpinan
pesantren terpaksa memberikan izin jam bebas untuk para siswi dengan anjuran
mengulang apa yang telah diberikan, sambil menunggu waktu sholat tengah hari
sebelum para siswi diperbolehkan pulang. Namun karena waktu menunggu sangat
lama maka para siswi umumnya meminta izin pulang untuk melakukan sholat di desa kediaman masing-masing, dan karena pemimpin
pesantren kebetulan mempunyai urusan
penting dan juga ingin pulang lebih dahulu maka akhirnya permintaan para
siswi dikabulkan. Terkecuali Asih yang memang selalu baru dijemput oleh adik
laki-lakinya dengan motor, setelah
sang adik ini sendiri sholat di masjid jami’
dekat tempat kerjanya sendiri sebagai montir motor.
Ikah
dan Irah tahu bahwa Asih akan tetap berdiam di kelas sambil menunggu waktu
untuk sholat dan dijemput adik laki-lakinya
itu, dengan pelbagai alasan kedua kaki tangan iblis itupun tetap berada di
kelas dengan alasan juga akan dijemput. Tanpa curiga apapun Asih juga menerima
tawaran minum air yang dibawa oleh Ikah, sangat segar kata Ikah, memakai sari
kelapa muda dengan campuran aroma jeruk. Air minum itu memang sangat menarik
aromanya seperti yang dikatakan Ikah, namun dicampur pula dengan obat tidur
yang dipakai oleh ayah Ikah dari dokter .
Setelah
lewat sekitar sepuluh menit dan yakin bahwa tak lama lagi obat tidur itu akan
mulai bekerja, maka kedua siswi yang penuh akal licik itu mengajak Asih
berjalan-jalan sebentar di kompleks pesantren untuk menghirup udara
segar sambil melemaskan kaki, tawaran yang mana
diterima Asih karena mulai merasa ngantuk sehingga telah beberapa kali menguap
panjang.
Tanpa
curiga Asih yang sangat polos dan sangat lugu itu ikut berjalan di luar, melihat-lihat tanaman bunga yang baru saja
ditanam pak Jamal. Tanpa terasa dan tanpa disadari Asih, mereka semakin mendekati bangunan
dimana disitu terdapat kamar para dosen, termasuk kamar yang dipakai oleh Ustadz Mamat - bangunan yang juga dikelilingi oleh semak
pohon tinggi, dimana pak Jamal telah menunggu mangsanya...!
Ketika
Asih telah cukup dekat dengan semak belukar tempat persembunyiannya, maka meloncatlah pak Jamal ke belakang Murtiasih dan hanya dengan satu
pukulan keras di belakang
leher, santriwati cantik itu pun langsung jatuh pingsan.
Sebelum tubuh Asih jatuh ke tanah, maka Ikah dan Irah langsung
menopang dari kiri kanan, sedangkan pak Jamal menyanggah dari belakang sambil
memeluk pinggang langsing Asih.
Kesempatan
itu dipakai oleh si lelaki hidung belang untuk
merasakan betapa lembutnya tubuh santriwati Asih, terutama ketika kedua tangan
jail pak Jamal sempat menjangkau ke depan
dan menyentuh buah dada Asih. Dengan sangat perlahan-lahan ketiga orang itu membopong Asih
dan membawanya ke bangunan di belakang
pesantren, dimana terdapat beberapa kamar tidur yang diantaranya dipakai oleh
Ustadz Mamat. Sebagai orang yang bekerja membersihkan kompleks pesantren situ
maka pak Jamal tahu persis dimana kamar Ustadz Mamat berada, dan kesitulah mereka
bertiga membopong tubuh Asih.
Setelah
mengintip ke dalam
dan melihat bahwa Ustadz Mamat masih tidur nyenyak, mereka dengan sangat hati-hati membopong Murtiasih
melewati kamar tamu di asrama pesantren itu, sambil melihat betapa nyenyaknya
Ustadz Mamat tidur sehingga mendengkur keras, mereka menuju ke belakang dan meletakkan Murtiasih di
ranjang kamar tidur yang biasa dipakai oleh Ustadz
Mamat.
Ketiga
manusia penuh akal bulus dan telah dipengaruhi iblis itu kemudian keluar lagi,
pak Jamal membawa bantal guling dari kamar tidur disitu, lalu berjingkat di depan jendela depan yang selalu terbuka
dan letaknya tak jauh dari bangku panjang dimana Ustadz Mamat masih terlelap, lalu dilemparkannya bantal
itu ke arah
Ustadz Mamat sehingga akhirnya si guru agama ini pun terbangun.
Meskipun
masih merasakan agak ngantuk dan kurang mantap, Ustadz Mamat memaksakan dirinya untuk ke belakang dimana ada wastafel dan disitu
dibasuh serta dicuci mukanya sehingga terasa matanya agak segar. Dilihatnya jam
tangannya yang telah menunjukkan jam setengah sebelas siang, lalu diingatnya kembali
apa yang telah dialaminya tadi pagi ketika merasa pusing, sakit perut, mulas dan ngantuk tak tertahankan,
sehingga ia mengundurkan diri kembali ke kamarnya ini.
Ustadz
Mamat menyadari bahwa pasti murid-murid nya
sudah pulang dan bubaran, dan tugasnya telah selesai minggu itu, tak ada yang
dapat dilakukannya lagi selain pulang naik bus ke desanya. Dengan langkah lunglai ia
memasuki kamar tidurnya dengan niat membereskan pakaian, dan bagai terkena
sihir, Ustadz Mamat berdiri di ambang pintu kamar tidurnya, matanya
membelalak melihat sosok tubuh anak gadis ramping, meskipun masih sangat muda
namun telah terlihat lekuk likunya yang sangat jelas.
Selain itu kain sarung penutup bawahnya agak tersingkap sehingga kaki betis nan
mungil dengan jari-jari
mungil agak kemerahan tampak jelas, dan wajahnya... itu Murtiasih !!!
Kaki
Ustadz Mamat terasa gemetar, tak tahu apa yang harus dikerjakannya. Kenapa muridku berada di dalam kamarku - apa yang terjadi, apa
yang harus kulakukan sekarang ? Aku telah mengundurkan diri dari memberikan
pelajaran tadi karena alasan tak enak perut. Jika aku lapor bicara dengan
siapapun maka pasti aku dituduh dengan sengaja kembali ke kamarku karena ingin melakukan hal tak
senonoh dengan muridku sendiri. Apakah aku tunggu saja atau aku bangunkan
Murtiasih lalu aku lepaskan ia pulang ke rumahnya? Aku sendiri sudah ingin pulang ke rumah, jadi ya sebaiknya akan aku
usahakan membangunkan muridku ini.
Setelah
mengambil keputusan maka Ustadz Mamat dari ambang pintu mulai memanggil nama
muridnya agar terbangun. "Murtiasih,
Asih, Asih, bangunlah nak... udah siang nih, bangunlah dan pulang
balik ke rumah... udah
usai semua, bangunlah, Asih...
bangun!!" Ustadz Mamat berusaha
membangunkan dengan suara lembut agar tak mengejutkan muridnya.
Namun
Murtiasih masih tidur pulas sehingga akhirnya Ustadz Mamat melangkah lebih maju
dan mendekati tepi kasur,
disaat mana Murtiasih menarik kakinya sehingga kain sarungnya tersingkap. Sangat tergugah semangat Ustadz Mamat
ketika melihat pemandangan yang sama sekali diluar dugaannya akan muncul,
sementara iblis mulai membisikkan dan menghasut di benak Ustadz Mamat.
"...lihatlah kaki
mungil itu, lihatlah pergelangan kakinya yang
sedemikian langsing, lihatlah betis bagai tanaman padi Cianjur, lihatlah betapa
putih mulus kulitnya,
dekatilah, sentuhlah, usaplah..."
Beberapa
menit Ustadz Mamat berusaha menggunakan
akal sehat dan nuraninya sebagai guru
agama, namun godaan iblis ternyata semakin kuat. Mata Ustadz Mamat semakin terpukau
melihat kaki dan betis mulus Murtiasih, darahnya semakin berdesir, tanpa
disadari si otong di selangkangannya mulai terbangun.
"...ayohlah, tunggu apa lagi? Tak ada manusia yang melihat,
kamu sangat menderita berhari hari tak berada di ranjang dengan istrimu, tak menjamah istrimu, tak
menggarap istrimu, siapa tahu dia bahkan mempunyai lelaki lain yang
menggaulinya, apa salahnya kalau kamu bergaul dengan wanita lain - apalagi ini
muridmu
sendiri yang kamu tahu amat alim shalihah, pasti belum pernah disentuh lelaki,
ajari dia nikmatnya bercinta, kamu laki-laki
pertama yang..."
Perlahan-lahan Ustadz Mamat melepaskan semua baju yang dipakainya , kini ia hanya memakai
celana dalam saja. Setelah itu ia duduk di tepi kasur yang cukup lebar untuk dua orang itu dimana
Murtiasih terbaring, lalu dengan perlahan Ustadz Mamat merebahkan dirinya di samping sang murid. Disentuhnya pipi Asih yang sedemikian licin,
didengarnya hembusan nafas sangat lembut dan halus dari hidung gadis itu,
diusapnya pipi Murtiasih lalu jarinya turun mendekati sudut bibir merah muda
yang terlihat agak basah mengkilat sedikit terbuka. Ustadz Mamat tak sanggup lagi
menahan gejolak birahinya dan pada saat bersamaan, Murtiasih membuka matanya dan langsung
menjerit dan sekaligus berusaha bangkit serta bangun dari posisi rebahnya.
"Eeehmmmfpppffh... aummmppph... eemmmssshhhppph... ennnnnggghh..." teriakan Murtiasih
langsung teredam oleh mulut Ustadz Mamat yang dengan
bibir tebalnya menciumi secara rakus. Berbeda dengan disaat ia bercinta dengan
Aida istrinya, maka kali ini benak Ustadz Mamat sudah dikuasai oleh iblis sehingga semua tindakannya menjadi
kasar.
Seolah
diberikan bantuan energi
gaib maka tenaga Ustadz Mamat pun menjadi berlipat ganda, tubuhnya yang hanya memakai celana dalam kini menindih
badan mungil muridnya. Kedua tangan Murtiasih yang berusaha mendorong dada
Mamat dicekal pergelangannya dan ditekan ke kasur di atas kepala hanya dengan satu tangan
kiri, sedangkan tangan kanan Ustadz Mamat berusaha membuka
beberapa kancing penutup kebaya si gadis baru remaja itu.
Tak
lama gamis berwarna putih milik Murtiasih
telah terbuka dan muncullah dua gundukan bukit mungil tertutup BH krem. Murtiasih yang telah ditindih tak
berdaya itu menggeliatkan tubuhnya mati-matian
ke kiri
dan ke kanan bagai cacing kepanasan, tapi hal ini justru semakin memacu
nafsu birahi guru agama
yang sedang kesurupan itu. Akibat gelengan kepalanya ke kiri dan ke kanan dalam usahanya menghindarkan
ciuman buas,
lepaslah jilbab penutup kepalanya, sehingga rambut hitam pekat ikal bergerai ke samping dan ke bahu Asih, menambah
cantiknya wajah gadis muda itu.
"Tolooooong... lepaskaan! Ustadz mau apa? Jangaaaan... pak Ustadz! Ingaaaat... sadaaar... insyaaaaaflah... pak Ustadz! Ini perbuatan jahanaam... sialaaaan... paaak Ustadz...
jangaaaan!!"
demikian teriakan Murtiasih ketika ciuman Ustadz Mamat kini beralih ke arah
telinganya, menghembus dan menjilat-jilat
disitu, menyebabkan rasa geli dan nikmat.
Namun
Ustadz Mamat sudah sepenuhnya
dikuasai oleh setan,
dengan ganas ciuman dan kecupannya menjalar ke leher jenjang yang putih,
disedot dan digigit-gigitnya kecil kulit halus
Murtiasih, sehingga langsung muncul bekas cupangan berwarna merah yang tentu
saja menimbulkan rasa bangga di benak
sang Ustadz. Hanya dalam waktu sangat
singkat pergulatan antar dua insan dengan tenaga tak sebanding itu telah
menunjukkan siapa pemenang dan siapa yang akan
menjadi korban.
"Hmmmmmhh... wanginya kamu, Asih. Badanmu
harum, bapak tak tahan...
jangan melawan ya, bapak ingin menyayangi kamu... tak akan menyakiti kalau kamu tak melawan,
relaks dan nyerah saja!!"
ujar Ustadz Mamat berusaha menenangkan
gadis manis di bawah
tindihannya yang kini mulai menangis terisak-isak.
Sambil
tetap menindih tubuh mangsanya, Ustadz
Mamat kini telah berhasil menyingkap BH Murtiasih ke atas, dan terlihatlah
bukit kembar yang sedemikian indahnya,
tidak besar namun sangat sekal, padat ranum berputing coklat muda kemerahan
mengacung indah mengundang setiap lelaki untuk menyentuh. Demikian pula Ustadz
Mamat yang langsung meremas buah dada
kanan Murtiasih dengan tangan kanannya, sedangkan mulutnya segera mengatup buah
dada kiri dengan penuh kegemasan, sementara kedua pergelangan tangan Murtiasih
tetap dicengkeram dan direjang di atas
kepalanya.
"Bukan
main legitnya nih tetek,
bapak jadi gemes geregetan...
bapak remes-remes ya, siapa tahu bisa keluar susu asli, hhhhmmmmmm... ini pentil kayak kerucut, pasti enak dihisap dan dikenyotin... nduk geulis pasti geli
ketagihan, duuuuh...
enggak tahan lagi bapak pingin gigit biar nduk ngerasain
ngilu," celoteh Ustadz Mamat yang benar-benar telah kehilangan kesadaran
dan martabatnya.
"Auuuuh... auuuuw... engggaaak mauuu... toloooong...
oooooh... ngiluuuuu, paaaak Ustaaadz...
jangaaan... aiiiiih... auuwww... sakiiiiiit... udaaaah... Asih enggak mau...
lepasin Asih...
kasihani Asih, pak Ustadz...
tolooong..."
"Hehehe... tahan dikiiit, nduk...
pasti nanti geli keenakan... ntar malahan minta lagi, ketagihan kamu..."
lanjut Ustadz Mamat sambil tak
henti-hentinya gencar meremas, memilin, menghisap, dan menggigit-gigit puting yang semakin
mengeras dan peka itu.
Murtiasih
semakin tak berdaya dan lemas menghadapi serangan bertubi-tubi dari guru bejatnya, namun
di ujung-ujung pembuluh syaraf di tubuhnya
yang remaja kini mengalir dan bergejolak
rasa hangat dan nyaman sebagai jawaban dari rangsangan yang diterimanya. Rasa nikmat mulai
menguasai pori-pori
kulitnya, menyebar dari kepala ke seluruh
tubuhya - terutama di bagian yang diraba, disentuh, d usap, dan diciumi serta
digigiti oleh Ustadz Mamat,
menjadi semakin peka, penasaran ingin menagih lebih banyak lagi.
Baju
kurung panjang yang dipakai Murtiasih telah semakin tersingkap akibat
pergulatannya dengan Ustadz Mamat, apalagi ketika tangan kanan guru bejatnya itu mulai menurun dari
buah dadanya ke arah
perut, meraba dan menggelitik pusarnya yang cekung. Tak lama kemudian tangan
itu semakin mengembara ke bawah
pusar, menyelinap semakin turun, dan
terus turun ke dalam
ke arah
bawah mencari ‘harta
karun’ yang amat mahal. yang tak mungkin bisa dibeli dengan apapun, dan hal ini membuat
Murtiasih sementara sadar dan kembali meronta-ronta, namun Ustadz Mamat semakin gigih menindihnya, sehingga Asih semakin pengap dan
merasakan sukar bernafas ditindih tubuh lelaki untuk yang pertama kali dalam seumur hidupnya.
"Udaaah... jangaaaan... toloooong, paak Ustadz...
Asih masih perawan...
ooooh... kasihani Asih, paak...
huuuuu... ngggaaak maaauuu... lepasin Asih, paak Ustadz...
saya enggak
akan bilang siapapun... Asih mau pulang, pak..."
pinta Asih dengan suara memelas disela-sela isak dan tangis sesenggukannya.
"Sssssh... anak manissss, ssssh... Asih sayang, kamu makin
cantik... nikmati sajalah... rasakan nikmatnya... Asih mulai basah juga kan,
hehehe..." Ustadz Mamat semakin beringas
dan jarinya telah menyentuh bagian tengah
celana dalam muridnya yang ternyata memang terasa basah melembab.
"Hhhhmmmm... ayoooh ngaku, nduk
bahenol... udah pengen pipis ya? Ayolah... tak usah ditahan... nanti bapak jilati..." Ustadz Mamat semakin naik nafsu
birahinya ketika meraba bukit kemaluan Asih yang membasah.
Tubuh
kedua insan berlainan jenis itu telah mandi keringat akibat pergumulan mereka, seorang Ustadz yang telah
dipengaruhi iblis berusaha merenggut kegadisan muridnya, sedangkan sang murid berusaha
mempertahankan mati-matian milik satu-satunya yang seharusnya akan
dipersembahkan kepada sang suami setelah upacara resmi akad nikah dan
pengucapan ijab kabul nanti.
Meskipun
Mamat telah menikah dengan Aida,
seorang wanita alim cantik jelita [kini telah menjadi korban nafsu birahi pak
Sobri, baca kisah sebelumnya], namun iblis telah mempengaruhinya serta
membujuknya untuk menikmati kembali bagaimana
rasanya merenggut keperawanan seorang gadis ABG.
"...sangat berbeda menikmati sebuah lubang
yang telah sering kamu
pakai dibandingkan celah hangat sempit yang tak pernah dilewati kemaluan lain,
banggalah jika kejantananmu memperoleh kesempatan pertama menembus selaput
tipis ABG itu. Bayangkanlah wajahnya meringis menahan sakit disertai rintihan
memilukan memohon ampun, alangkah bedanya memasuki lubang istrimu yang sudah
sering digauli..." Demikianlah bisikan iblis telah merasuki
dan memenuhi benak Ustadz Mamat!
Ustadz
Mamat kini telah melepaskan celana dalamnya sendiri dan tercengang bahwa
kemaluannya sedemikian tegang keras mengacung bagaikan meriam sundut zaman
baheula. Tak pernah selama ini dirasakan alat kejantanannya itu sedemikian
gagah perkasa dan mendadak muncul lagi impian yang dialami ketika sakit demam.
Diingatnya bahwa rudalnya dimanjakan, disepong, dikulum dan dijilat, serta dihisap
oleh wanita gaib mirip dengan Aida,
istrinya sendiri. Namun Ustadz Mamat tahu bahwa istrinya yang sedemikian alim mukminin tak akan mau
melakukan hal yang selalu dikatakannya haram serta sangat menjijikkan itu. Kini
timbullah keinginannya untuk merasakan hal itu dilakukan oleh seorang gadis
murni tulen yang belum
pernah disentuh oleh lelaki.
Aah... betapa bahagianya aku, pikirnya... Namun gadis demikian alim ini pasti takkan mau menyerah begitu saja - terkecuali mungkin jika dimulai dengan rangsangan sama, yaitu jika akulah yang memulai merangsangnya habis-habisan secara oral.
Dengan
tekad baru yang dibantu bisikan iblis, maka Ustadz Mamat mengerahkan seluruh tenaganya untuk segera melepaskan pakaian
muridnya. Bagaikan singa yang mencabik-cabik kelinci lemah, kedua tangan dan kaki Ustadz Mamat bergerak sedemikian
sigap dan cekatan melepaskan melucut ke bawah dan ke atas semua busana penutup tubuh dan
aurat Murtiasih. Bagaimanapun gadis malang itu berusaha untuk melawan,
sang iblis seolah melemahkan daya tahannya, sedangkan tenaga Ustadz Mamat seolah berlipat
ganda. Hanya
dalam waktu beberapa menit saja, sempurnalah
kedua tubuh insan itu
telanjang bulat, tubuh Murtiasih kuning langsat ditindih oleh badan Ustadz Mamat yang hitam legam.
Ustadz Mamat kini merosot turun
ke bawah
untuk menciumi perut halus nan
datar milik Murtiasih, dijilat-jilatnya
pusar gadis itu hingga ia menggelinjang ke kiri dan ke kanan merasakan kegelian, apalagi ketika
bibir rakus Ustadz Mamat
mencucup serta menyupangi
bagian bawah pusarnya, juga mendengus ke arah lipatan paha kiri kanan. Murtiasih
kini merasakan sangat malu namun sekaligus nafsunya makin tergelitik disaat
bukit venusnya disentuh.
"Uummmh... wanginya nih paha, bageur
euy... putih licin mulus... enak ya neng, diusap?
Dijilat juga enak ya, neng...
bapak ciumin sambil digigit mau ya,
neng? Uuummmhh..." puji Ustadz Mamat tak ada habisnya.
Murtiasih
berusaha mengelak dan menendang dengan kakinya sambil mencoba membalikkan serta
menggulingkan diri,
tapi Ustadz Mamat telah menduga
gerakan perlawanan ini. Kedua paha Murtiasih yang putih mulus itu langsung
dihempaskan ke atas
bahunya, sehingga terjuntailah betis langsing bak padi cianjur yang membunting memukul lemah ke punggung sang Ustadz. Dalam posisi tak berdaya itu, Murtiasih kembali merasakan kedua buah
dadanya menjadi sasaran remasan kasar tangan Ustadz Mamat, terutama putingnya dipilin dan
dicubit tak henti-henti,
menyebabkan rasa ngilu dan nyeri tak terkira.
Namun
yang sama sekali tak diduga adalah mulut Ustadz Mamat disertai nafas hangatnya melekat dan mengendus bukit kemaluannya,
tak hanya sampai disitu saja,
tak lama kemudian mulut itu mulai bermukim di gerbang kegadisannya, lalu terasa
juluran lidah basah bagaikan ular mencari jalan di antara bulu halus
kemaluannya, menyelinap ke dalam
dan menjilati dinding celah surgawinya.
"Huhuhu... jangaaan, paaak... Asih tak mau diginiin... huhuhu... insyaaflah, pak... belum terlambaat... oohh.... aaahhh... sssshhhh... nnnggggaak maaauu... udaaaah...
lepaaaasin...
Asih mau pulaaang...
aaaah... oooh..."
"Hmmmmh... wangi amat memek gadis alim
belon pernah dicowel lelaki ini...
licinnya nih bibir bawah, merah muda lagi...
tuh kelihatan lobang pipisnya, hhhhhhmmmh...
ada bulan sabit tipis,
pasti selaput gadis...
emang betul kamu belon pernah dijamah lelaki ya... ooooh...
bapak jadi yang pertama nih,"
tiada henti Ustadz Mamat menjilat, mengecup
liang kenikmatan Asih sambil geram mengaguminya .
Perhatian
Ustadz Mamat beralih ke lipatan atas bibir kemaluan Murtiasih,
dimana tonjolan daging bagaikan penis kecil mengintip keluar. Tanpa ragu lagi jilatan serta
ciuman si Ustadz yang dikuasai iblis kini menuju ke situ. Murtiasih menggeliat menggelinjang
dan meronta sekuat tenaga karena ia merasakan untuk pertama kalinya ibarat
disengat aliran listrik, pahanya membuka mengatup liar, menekan menjepit kepala
pemerkosanya yang semakin menggiatkan rangsangannya tanpa kasihan.
"Oooooohhh... aaaaahhhh... paaaaakk, udaaaaah... ssssshhhh... hmmmsssh... ooooooh... lepasin, paaaak... Asih mesti ke belakang... aaaaahh...
tolooooong,
paaaak... Asih mauuu pipiiiiiiss... aaauuw... aaaahhhh..." dengan teriakan melengking
disertai lengkungan tubuh mengejang ke atas,
Asih mengalami orgasmenya yang pertama, sementara Ustadz Mamat merasakan betapa
bibirnya basah kuyup oleh air mazi yang berlimpah ruah.
Ustadz Mamat sangat puas melihat
hasil usahanya merangsang gadis manis ABG yang masih polos dan lugu itu. Kini
Murtiasih telah mengalami pertama kalinya kenikmatan badaniah, telah tiba
saatnya untuk pengalaman itu diperluas dengan menjadikannya seorang wanita dari
seorang gadis.
Mamat
meletakkan bantal di bawah
pinggul Murtiasih sehingga semakin terangkat meninggi, lalu diletakkannya
kembali kedua paha putih mulus yang masih bergetar halus disertai kejangan
lemah ke atas
pundaknya. Dimajukannya letak tubuhnya sendiri sehingga sendi paha Murtiasih
menekuk ke arah
buah dadanya sejauh dan semaksimal mungkin, dalam posisi mana terlihat belahan
vagina Murtiasih yang telah basah oleh cairan lendir kewanitaannya, dan sedikit
terbuka bibir memeknya.
Penis
Ustadz Mamat yang lumayan besar
telah menegang mengangguk-angguk dan menempatkan dirinya diantara belahan bibir
memek yang agak kemerahan terhias rambut sangat halus di tepinya itu.
Murtiasih
yang masih dalam keadaan lemah setelah mencapai orgasme, mendadak tergugah menyadari betapa posisinya yang sangat
memalukan, terbuka lebar selangkangan dan celah kewanitaannya. Secara naluri
disadarinya bahwa yang kini tengah menyentuh-nyentuh memeknya adalah kemaluan Ustadz Mamat yang mencari jalan
masuk, dan dengan sangat panik Murtiasih berusaha mendorong bahu serta dada sang Ustadz yang berada
di atasnya,
bahkan Murtiasih berusaha mencakar muka gurunya itu.
Namun
Ustadz Mamat dengan sigap
mencekal kembali kedua pergelangan tangannya dan menekannya ke kasur di samping kepalanya yang kini sudah tak
terlindung jilbabnya. Dengan demikian habislah daya Murtiasih mengelakkan
nasibnya : kehilangan kegadisannya dicengkeraman
sang Ustadz cabul.
"Aaaaahhh... aduuuuuuhhh... aauuuuuuuwww... toloooong, paaak... aaauuuuuw...
saakiiiiiit...
aduuuuhh... aauuuummpfffh... eemmmmpppffhh..." jerit memilukan
Murtiasih langsung teredam oleh
ciuman buas Ustadz Mamat
ketika kejantanannya mulai meretas menembus liang sempit gadis ABG korbannya.
"Tenang... rileks, neng, sakitnya cuma sebentar... santai
aja... bapak mau masuk lebih dalam lagi, tahan
sedikit... sebentar lagi neng pasti
ketagihan... duh,
sempitnya si neng behenol...
hhhmmmmh..." Ustadz Mamat berusaha menghibur
sambil memajukan pinggulnya makin maju menekan semakin dalam.
"Aaauuuw... sakiiit... udaaah, pak, Asih tak kuat... sakiiit sekali... aaaauw... kasihani Asih, pak...
ampuuun, huhuhu... bapak jahat... lepasin...
ooooh, keluarin... sakiiiiiit... ampuuuuun...
udaaah..." tangis Murtiasih dan
rintihannya menimbulkan iba, namun semua terlambat karena Ustadz Mamat merasa kepalang
basah.
Bleeeez... bleeeez... mili demi mili penis Ustadz Mamat membelah memasuki
lorong kenikmatan yang akhirnya jebol pertahanannya ketika selaput tipis
berbentuk bulan sabit itu terkoyak, menyebabkan rasa sakit di tengah selangkangan Murtiasih bagaikan
disayat sebuah pisau tajam. Di hadapan
mata Murtiasih muncul ribuan bintang bagaikan kunang-kunang di tengah malam ketika rasa perih sakit
menimpanya, tangisannya tetap teredam, hanya butir air mata mengalir di kedua pipi mulusnya.
Tanpa
memperhatikan keadaan korbannya yang masih merasa tersiksa, mulailah Ustadz Mamat bergerak maju-mundur, terkadang diarahkannya arah
lembing dagingnya ke atas,
juga ke kanan, lalu ke kiri,
ke kanan
lagi, lalu dengan keras
dihunjamkannya sedalam mungkin sehingga beradu dengan mulut rahim Murtiasih yang penuh ujung syaraf
sangat peka.
Sekitar
sepuluh menit Ustadz Mamat
melakukan jelajahannya dengan kecepatan yang sama, dan ketika dirasakannya
bahwa biji pelirnya telah mulai bergolak bagaikan berisi cairan mendidih, maka
dipercepatnya gerakan tarik-dorong
maju-mundur pinggulnya sehingga...
"Aaaaaaahhh... oooooooh... iiyaaaaahh, jepit terus
penis bapak...
oooooh... anaaak pinteer, sempitnya
si neng bahenol...
iyaaaah, pijit-pijit
terus... remas terus, oooooh... bapak tak tahan lagi nihh,
ooooohhh..." demikian bunyi
geraman Ustadz Mamat bagaikan hewan buas
menikmati mangsanya. Dia menekan
sekuat tenaga kepala penisnya diambang rahim Murtiasih ketika lahar panas
spermanya membanjiri seluruh liang kewanitaan sang murid yang baru saja
direnggut keperawanannya itu.
Murtiasih
telah tak berdaya apa-apa lagi,
semua tenaganya telah terkuras karena melawan sia-sia, peluh membasahi tubuhnya
yang mungil bahenol, matanya berkaca-kaca, hidung bangir mancung dengan lubang
mungil kembang-kempis
seiring isak tangisnya, bibir merahnya merekah setengah terbuka, dari mana
hanya terdengar dengusan dan desahan lembut.
Ya,
gadis alim shalihah ini telah sepenuhnya ditakluki oleh guru bejatnya, akibat
bisikan dan pengaruh iblis yang bersuka ria menyaksikan semua usahanya kini
telah berhasil - juga dengan para pengintip di balik jendela!
Seperempat
jam kemudian kedua insan yang berpelukan telanjang bulat di kasur
itu dikejutkan oleh masuknya tiga orang ke kamar tidur Ustadz Mamat. Mereka adalah Sumirah, Rofikah dan
pak Jamal disertai seringai lebar cengengesan, semuanya dengan penuh kepuasan
menunjukkan hasil rekaman di
dalam ponsel. Pelbagai adegan terlarang terlihat jelas, dimulai dengan Ustadz
Mamat yang mendekati ranjang dimana
Murtiasih tengah
tidur dengan liku-liku tubuhnya yang mungil tapi menantang.
Kemudian
jelas bagaimana Ustadz Mamat melepaskan bajunya sehingga hanya memakai celana dalamnya,
dilanjutkan semua adegan pergulatan Ustadz Mamat dan korbannya, mulai dari Murtiasih berpakaian lengkap dengan
jilbab, sampai semuanya dilepaskan secara paksa sehingga bugil. Sangat jelas
pula adegan Ustadz Mamat meng-oral Murtiasih, dimana akhirnya perlawanan gadis malang itu
runtuh dan mengalami orgasmenya
yang pertama. Yang menjadi puncak klimaks pengambilan foto dan adegan bergerak itu adalah tentunya pada saat
Murtiasih direnggut keperawanannya, bahkan terlihat jelas secara close-up
bagaimana wajah yang meringis kesakitan disertai linangan air matanya.
Kini
lengkaplah kehancuran posisi Ustadz Mamat dan Murtiasih : keduanya tak mampu
melawan dan dibawah ancaman ketiga kaki tangan iblis itu, maka dimasa depan
mereka menjadi permainan bagaikan budak belian untuk memenuhi kemauan dan
keinginan nafsu birahi mereka. Sumirah dan Rofikah menjadikan Ustadz Mamat budak
seks lelaki mereka, sedangkan
pak Jamal memperoleh kesempatan menikmati tubuh Murtiasih, juga mereka
terkadang melakukan secara bersama-sama...
Pak
Jamal yang memang terkenal sebagai bandot desa sangat menyukai kaum muda itu langsung meminta ‘upahnya’. Pak Jamal tak perduli keadaan Murtiasih yang masih
babak belur kehabisan tenaga melayani nafsu hewaniah Ustadz Mamat. Ketika Murtiasih
berusaha melarikan diri berputar-putar di ruangan tamu dan ke arah belakang, maka Sumirah dan Rofikah
langsung membantu menerkam rekan sekelasnya itu. Mereka membantu memegangi kedua tangan
Murtiasih di atas
kepalanya dan tersenyum penuh kepuasan melihat betapa sia-sia Murtiasih
menggeliat meliuk-liukkan badannya yang telanjang bulat, ketika akhirnya pak
Jamal dengan batang penis kebanggaannya menindih mangsanya itu. Murtiasih
terbelalak tak percaya apa yang dilihatnya : kemaluan pak Jamal sangat besar,
hitam, penuh dengan urat-urat berdenyut, panjang dan lingkarannya
melebihi lengan bayi!
Tak
mampu lagi menahan emosi, rasa ngeri, takut, dan habisnya tenaga, akhirnya
Murtiasih hanya melihat semua dihadapan matanya menjadi abu-abu, berputar,
sebelum semuanya menggelap... Namun
itu tak menghalangi keinginan pak Jamal untuk menikmati tubuh ABG sintal
bahenol penuh keringat, dan dengan buasnya mulailah ia memaksa memasuki secara
susah payah celah sempit idamannya. Kesulitan coba diatasinya dengan
berkali-kali meludahi memek Murtiasih. Akhirnya dengan susah payah pada
usahanya yang kelima kali,
barulah penis yang besar itu meretas jalan masuk ke lubang surgawi Murtiasih.
Rasa perih saat dinding vaginanya dipaksa melebar semaksimal mungkin
menyebabkan Murtiasih sadar, merintih dan menjerit kesakitan.
Ratapannya
tanpa henti tidak menimbulkan rasa kasihan pak Jamal yang menggenjotnya
bagaikan sedang mengerjai perempuan desa lainnya. Permohonan ampun Murtiasih
hanya menyebabkan gelak tawa yang menyebalkan - akhirnya suara Murtiasih
terhenti disaat pak Jamal orgasme
dan menyemburkan seluruh isi biji pelirnya. Murtiasih hanya berdoa memohon agar ia tidak
hamil...
Ketika kakak lelakinya menjemput dan menanyakan mengapa mata Murtiasih
merah membengkak, maka ia hanya menjawab sepintas lalu dengan suara
lirih bahwa ia mengalami sakit kepala. Sang kakak hanya menggelengkan kepalanya
tanpa curiga sama sekali bahwa adiknya telah menjadi korban permainan terlarang,
dan mereka bergoncengan pulang ke rumah.
Apakah Ustadz Mamat kini telah insyaf dan tobat dengan
kelakuannya - atau tetap dipengaruhi oleh iblis, sehingga ketiga iparnya
yang tak kalah cantik dengan istrinya: Farah yang telah digarap oleh pak Burhan
si rentenir kakap, Nurul Tri Lestari dan Asma Maharani yang masih bujangan dan
tak menduga sama sekali bahwa Ustadz Mamat telah berubah menjadi monster
seks , juga akan menjadi korbannya dalam waktu tak lama
lagi...?
No comments:
Post a Comment