rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Tuesday, 4 August 2015

Anak Nakal 6



BAB 6 - ANAK TETANGGAKU NAURA &KEPONAKANKU ANISA

Setelah pengalamanku dengan tetanggaku Erna. Aku pun jadi iseng. Penyakit lamaku agaknya kumat. Aku sendiri lebih ngelirik ke para ABG. Aku pun browsing di internet, mencari anak-anak ABG. Tapi semuanya tak menarik buatku. Aku mencari yang imut dan berjilbab. Agaknya kenanganku dengan Nur ketika memperawaninya tak bisa aku lupakan.
Saat itulah aku sedang jalan-jalan sendirian di sebuah taman. Terus terang, pekerjaan, kemudian mengurusi bunda dan lain-lainnya membuatku stress dan capek. Aku lalu kemudian duduk di sebuah bangku sambil menyaksikan bintang-bintang di langit. Malam-malam begini di taman pasti lagi banyak para ABG pacaran. Dan memang benar. Mereka lalu lalang. Cukup ramai. Saat itulah ada seorang cewek yang tiba-tiba duduk di bangku. Aku cukup kaget, karena sepertinya aku pernah melihat cewek ini tapi entah di mana.

Cewek ini sedang menangis. Ia mengusap air matanya dengan tissue. Aku melihatnya berjilbab tapi bukan jilbab lebar seperti bunda, Kak Vidia, maupun adikku Nur.
"Kenapa, non?" tanyaku. Dia tak menjawab.
"Diputus pacar?" tanyaku lagi. Dia mengangguk. Owalah.
"Om, bisa bantu saya, om?" tanyanya kepadaku.
"Bantu apaan?" tanyaku.
"Pura-pura jadi pacarku," jawabnya. "Aku mau beri pelajaran ama dia. Plis ya, om. Nanti aku bayar deh, berapapun om minta. Sebentar aja koq."
"Aku ndak mau ah, itu kan urusan pribadi, koq aku ikut-ikutan? Ntar kalau biniku tahu bisa berabe," kataku.
"Ayolah om, plisss... ndak bakal ketahuan koq. Aku ingin buktiin kalau aku juga bisa punya pacar baru dan dia bukan satu-satunya lelaki di dunia ini," katanya.
Ia mengiba dan aku paling benci untuk menolaknya. "Oke deh, sebentar lho ya? Tapi aku tak mau dibayar. Ini kulakukan untuk menolongmu, tulus."
Ia pun tersenyum, dan mengusap air matanya. "Masih kelihatan baru nangis ndak, om?" tanyanya.
"Coba cuci muka di situ, di pancuran taman," kataku.
Ia pun segera pergi untuk cuci muka. Lalu setelah itu ia bersihkan pakai tissue. Ia cukup cakep. Aku jadi teringat ketika Nur masih muda dulu, ketika masih perawan. Ia pun menghampiriku lagi.
"Namaku Naura, om. Om siapa namanya?" tanyanya.
"Doni, panggil Mas aja deh," jawabku. "Usiaku baru 28 tahun."
Ia tersenyum, "Tapi kelihatan tua, apa karena kumis tipisnya ya?"
Aku tertawa. "Atau mungkin karena aku bawa mobil, punya istri dan punya perusahaan besar. Biasa aku dipanggil pak. Tapi para tetanggaku banyak juga koq yang manggil mas, karena memang aku masih muda."
"Ndak nyangka, om... eh... mas masih muda, yuk om. Nemuin cowokku yang bangsat itu," katanya.
Aku pun digandengnya. Kami akhirnya berjalan menyusuri taman yang cukup luas sih menurutku. Hingga sampai di sebuah sudut pohon yang ada batunya. Tampak di sana ada dua sejoli yang sedang duduk berduaan. Dan pemandangannya tak kalah menariknya. Tangan si cowok sudah masuk ke bajunya si cewek. Melihat aku dan Naura datang, ia buru-buru mengeluarkan tangannya dari sana.
"Heh, Andi! Nih lihat aku juga punya cowok, emangnya cuma kamu saja yang bisa dapatin cewek semaumu. Aku juga bisa!" katanya.
Cowok itu pun berdiri, "Oh, selamat deh kalau begitu. Ya udah habis ini kita ndak usah ketemuan lagi. Aku udah muak ama kamu."
"Dasar cowok playboy. Bajingan, kurang ajar. Hei kamu, ntar kamu nyesel hubungan sama dia. Dia tiap kota ceweknya beda!" Naura membentak-bentak.
"Urusan gue dong," kata si cewek.
"Pergi yuk, percuma ngeladenin cewek murahan kayak dia!" kata si cowok.
Terus terang, aku paling tidak suka kalau ada yang menghina seorang cewek baik-baik disebut murahan. Aku langsung menarik kerah baju si Andi ini. Aku lalu memukul perutnya. Ia mengaduh sambil memegangi perutnya. Ceweknya tampak panik melihat aksiku.
"Kurang ajar, loe bilang apa? Cewek murahan? Lo bilang Naura cewek murahan? Kurang ajar banget lo ya? Habis manis sepah dibuang? Lo sendiri apa? Sekali lagi lo bilang aneh-aneh ama Naura, gua habisi lu!" aku melotot ke arah matanya. Tampak Si Andi ketakutan. Naura juga terkejut ia tak menyangka aku berbuat sejauh itu. Aku lalu mendorong Andi hingga ia terjatuh.
Cewek Andi segera menolong. "Pergi yuk, pergi. Udah jangan ditanggepin."
Andi lalu berdiri dan meninggalkan kami.
"Awas kalau lo sampai deketin Naura lagi, gua hajar lo!" kataku.
Naura cuma bengong. Ia seakan-akan tak percaya terhadap sikapku. Aku lalu berbalik menghadapnya. Naura diam.
"Kenapa?" tanyaku.
"Eh.. ee.. enggak, om... eh, mas. Cuma kaya'nya terlalu jauh deh kalau sampai begitu," kata Naura.
"Cowok kayak gitu harus dikasih pelajaran. Bagiku wanita baik-baik seperti kamu dikatakan murahan ya ndak bener juga kan?" kataku.
"Makasih, mas," katanya.
"Ya udah, aku mau pergi kalau begitu. Udah ya membantunya," kataku.
"Tunggu!" katanya. "Bagaimana aku ngucapin terima kasih?"
"Ah, ndak usah. Aku tulus koq membantu orang," kataku. "Aku masih sayang istriku, ndak mau kena apa-apa nantinya."
Aku pun meninggalkan Naura setelah itu. Tapi ternyata di luar dugaan ia mengikutiku. Aku pun bingung sekarang.
"Lho, kenapa? Ndak pulang?" tanyaku.
"Sebenarnya aku lari dari rumah mas, cuma untuk ketemu ama dia," jawabnya.
"Trus?"
Naura pun bercerita kalau ia lari dari rumah karena hubungannya ama Andi tidak disetujui. Naura telah berkorban segalanya. Ponselnya dijual untuk biaya kuliah Andi. Bahkan mereka pun tinggal di kontrakan yang sama. Naura lari dari rumah dan tinggal di kontrakan Andi. Maka dari itulah ketika tahu Andi punya cewek lain ia sangat terpukul.
"Tinggal satu kontrakan? Apa kalian sudah melakukan itu?" tanyaku.
Naura mengangguk pelan. "Sekarang Naura bingung mau pulang, mas. Papa dan mama pasti malu."
"Kamu tinggal di mana?" tanyaku.
Naura memberitahukan alamatnya. Dan ternyata rumahnya satu komplek denganku. Ia tetangganya Nur. Itulah sebabnya aku sepertinya pernah tahu dia. Ia anak Pak Rusdi, seorang General Manajer perusahaan telekomunikasi swasta. Ia memang terkenal punya anak cewek yang cakep. Ternyata ini anaknya.
"Ya amplop, kamu anaknya Pak Rusdi?" kataku.
"I-iya, mas. Emang mas kenal?" tanyanya.
"Ya kenallah, dia tetanggaku," jawabku.
"Oh my god, berarti mas ini tetanggaku dong. Koq ndak pernah tahu?" tanyanya
sambil ketawa.
"Makanya aku pernah ngelihat kamu di mana gitu, eh ternyata," kataku.
"Dunia memang sempit ternyata," katanya.
"Ya udah, trus sekarang gimana?" tanyaku. "Pak Rusdi itu orangnya baik lho. Sayang kalau kebaikannya kamu abaikan. Pulang saja dan minta maaf. Kamu pasti dimaafkan."
Ia pun diam. Dan tiba-tiba merangkulku. Naura menangis lagi. "Tapi aku masih takut untuk pulang, mas. Bawa aku kemana gitu deh, asal jangan pulang," katanya.
"Lha, terus istriku gimana?" tanyaku. "Mau aku bawa ke mana kamu?"
"Aku juga bingung, mas," jawabnya.
"Kalau tinggal di rumahku, nanti pasti akan ada pertanyaan dari istriku. Ini siapa, dari mana, koq bisa ketemu, hubungannya apa? Nah, berabe kan?" kataku.
"Aku tak punya teman lagi, mas, plis... aku sudah korbankan segalanya buat si Andi itu. Ternyata ini yang aku dapatkan. Ia cuma pingin hartaku aja," katanya.
Aku pun terdiam. Gila ini bocah, toketnya padet banget nempel di punggung. Bikin aku greng aja. Pikiran ngeresku pun mulai muncul lagi. Tidak, tidak, aku tak mau terburu-buru. Kalau memang jadi ya jadi, tapi jangan terlalu cepat dong.
"Oke deh, aku akan bantu. Aku punya villa kosong. Kamu boleh tinggal di sana. Cuma ada syaratnya, kamu tak boleh lama-lama tinggal di sana. Nanti anggota keluargaku curiga. Para pekerjanya masih libur. Jadi bener-bener kosong. Cuma ada satpam aja sih yang berjaga di gerbang masuk. Tidak mengurusi villa. Jadi kalau misalnya ada yang tinggal di villa mereka nggak bakal mengganggu kecuali darurat. Kau bisa tinggal di sana, tapi paling lama cuma seminggu. Dan setelah seminggu aku ingin kamu pulang dan minta maaf ke orang tuamu. Bagaimana?"
Naura melepaskan pelukannya. Ia jadi sumringah. "Beneran, mas?"
"Iya bener, kamu bisa tinggal di sana," kataku.
Akhirnya aku mengantarkan Naura untuk pergi ke Villa. Aku menyapa penjaga gerbang dan mengatakan bahwa temanku mau nginap di Villa ini untuk seminggu. Setelah itu aku masuk ke Villa.
"Kamu ndak ada baju?" tanyaku.
"Kutinggalkan semua di rumahnya Andi," jawab Naura.
"Wah, susah nih. Di lemari ada baju-baju istriku. Coba kamu lihat. Kalau misalnya pas ya selamat deh," kataku.
"Sekali lagi makasih, mas. Mas sudah tulus banget bantu aku," katanya.
"Iya, iya. Aku tinggal dulu ya. Jaga baik-baik villa ini," kataku.
"Mas..." panggilnya setelah aku berbalik.
Aku menoleh lagi ke arahnya. "Ada apa lagi?" tanyaku.
"Anu... kalau mas ndak keberatan, jangan bilang ke orang tuaku ya," katanya
mengiba.
"Iya, aku tak akan bilang," kataku.
"Makasih, mas," katanya.
Aku pun meninggalkannya.

***
Sudah 3 hari aku meninggalkan Naura di villa itu. Aku disibukkan oleh pekerjaanku. Dua hari lembur terus. Membuatku capek. Bunda pun mengusulkan agar aku istirahat saja. Ke mana gitu. Kak Vidia juga mengusulkanku demikian. Nur juga yang paling khawatir. Ia sempat menangis melihat kondisiku yang sedikit stress. Maklum Nur tidak pernah pacaran. Akulah satu-satunya lelaki yang sangat spesial baginya, maka dari itulah ia sangat mengkhawatirkanku. Kak Vidia sebenarnya juga demikian, tapi ia lebih marah-marah ke aku dan sewot. Aku tahu ia peduli, bahkan ia sempat mentoyorku karena kecapekan.
Mereka bertiga berkumpul di rumah bunda. Karena bunda mendekati masa-masa lahiran. Maka dari itu mereka ingin menjaga bunda di saat-saat aku sedang tidak bisa di sana. Sebenarnya sama aja sih ketika Kak Vidia atau Nur lahiran, semuanya berkumpul. Hanya saja ini spesial karena mereka tahu aku sangat sayang kepada bunda. Dan mereka semua tahu bunda itu wanita yang sangat spesial bagiku. Maka dari itulah mereka ingin memberikan perhatian yang lebih.
"Istirahat dululah, mas, masa' sampai lembur tiga hari gitu?" Nur menasehatiku. Matanya tampak sembab.
"Nur sampai nangis semaleman, mikirin papah," kata Kak Vidia.
"Yah, mau bagaimana lagi. Ngurusin pajak ini ribetnya bukan main. Kayaknya kita butuh akuntan deh. Sayang mbak Juni ndak ada, padahal selama ini dia yang ngurusin," kataku.
Kak Vidia lalu duduk di sebelahku. "Sudah, ndak usah mikirin mbak Juni lagi. Ntar malah tambah sakit. Kalau ia cinta sama papah, ia pasti akan datang. Kami semua tahu koq perasaan papah ke mbak Juni. Kalau misalnya ia jadi istri keempat, kami rela, asalkan papah senang. Tapi mbak Juninya sendiri yang tak mau menerima kita."
"Iya, pah, kami bertiga ikhlas koq. Apapun keputusan papah," kata bunda sambil tersenyum.
"Sementara biar Antok saja deh yang mengurusi. Aku ingin istirahat dulu selama seminggu di villa," kataku. "Toh pembukuannya sudah selesai."
"Nah, begitu," kata Nur. "Aku senang kalau papah begini."
Aku mencium kening Nur. Ia suka dan menciumku balik. "Tapi telpon ya kalau bunda udah pembukaan, aku ndak mau melewati masa-masa anakku lahir."
"Tenang aja, pah, pasti kami telepon koq," kata Nur.
Akhirnya aku pun pergi ke Villa. Untuk sesaat, aku lupa kalau di dalam Villa ada Naura. Karena aku masih ingat pekerjaanku dan juga menunggu kelahiran anakku. Pak Satpam penjaga menyapaku. Mobilku pun masuk ke halaman villa yang mana cukup luas. Butuh beberapa menit untuk sampai tepat di depan villa. Aku lalu keluar dari mobil dan mengambil tas di bagasi yang berisi baju-bajuku.
Aku lalu masuk begitu saja ke villa yang tidak dikunci. Aku tidak begitu perhatian dengan detail villa ini sebenarnya, walaupun kata pengurusnya beberapa kali mengganti perabotnya karena dimakan rayap. Foto-foto keluarga terpampang di ruang tengah begitu aku masuk. Mejanya berdebu, berarti tidak ada orang yang membersihkannya ya iyalah, para pengurusnya masih libur koq. Aku kemudian naik ke lantai atas, ke kamarku. Sungguh aku lupa kalau aku mempersilakan Naura tinggal di villa ini. Karena urusan pekerjaan buyar semua hal-hal sedetail ini. Aku pun merasa aneh ketika melihat pintu kamar terbuka.
Saat itulah aku kaget bukan main. Tas yang aku bawa pun terjatuh. Aku terbengong menyaksikan pemandangan ini. Naura tergeletak di atas ranjang. Sprei ranjang itu acak-acakan. Aku mencium bau yang aneh, seperti bau kemaluan wanita. Tangan kanannya berada di buah dadanya sepertinya ia baru saja meremas buah dada itu, tangan kirinya dijepit oleh kedua pahanya. Dan ia tak berbusana sehelai pun. Sebagai lelaki normal aku pun terangsang. Penisku langsung bereaksi.
Gila anak ini, mastrubasi di atas kamarku. Dan aku sangat terkejut tak jauh dari tempat ia berbaring ada fotoku. Ia tak menyadari aku ada di kamar. Langsung deh seluruh pikiranku tentang pekerjaan hilang semuanya, yang ada adalah, "ngentotin dia!!"
Aku langsung membuka bajuku satu persatu. Hingga telanjang. Aku lalu naik ke ranjang. AKu mendengar dengkuran halusnya. Dadanya benar-benar masih kencang. Montok. Putingnya kecil pink kecoklatan. Aku lalu berada di atasnya. Ku buka kakinya, ia tak terbangun. Aku lalu tarik tangannya yang basah dengan
lendir itu. Kubuka pahanya lebar lebar. Kemudian ku tindih dia. Kulit kami bertemu. Mendapatkan sensasi sentuhan itu Naura membuka sedikit matanya.
"Ohh... mas Doni... entotin Naura, mas," katanya. Ia mungkin masih mengira bermimpi.
Aku kemudian menciumi bibirnya. Saat itulah ia kaget. Matanya terbuka semuanya. "Mm..mmass!! Apa yang mas lakukan?" tanyanya.
"Udah, ndak usah dipikirkan. Dinikmati saja," kataku.
Naura sebentar bingung. Tapi tak lama kemudian ia mengerti, bahwa sekarang orang yang diimpikannya sudah ada di atas tubuhnya. Bibirnya kemudian menyambutku dengan kecupan lembut. Kurasakan bibir itu masih lembut, aku bisa rasakan lipgloss yang ia pakai. Lidah kami bertemu dan berpanggut. Kami saling menghisap ludah dan bermain lidah. Lalu aku menciumi lehernya, kuberi cupangan-cupangan di sana. Kemudian turun ke belahan dadanya yang menggoda. Kuhisap, kuciumi dan kujilati buah dadanya. Kuremas dan kuhisapi pentilnya yang mungil itu.
"Ohh... mass... aku tadi mastrubasi sambil bayangin beginian ama mas, sekarang jadi nyata... ohh... terus, mas... terus..." katanya.
Aku jilati dadanya, kulingkari putingnya dengan lidahku, lalu kucolok-colok dengan ujung lidahku. Lalu kuhisap kuat. Hal itu membuatnya menggelinjang. Aku melakukan itu bergantian. Tangannya memelukku, menikmati kegelian rangsangan ini. Aku lalu turun, ke perutnya dan kemudian aku melihat memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia terkejut ketika lidahku menari-nari di sana. Membasahi rongga kenikmatan dan menyedot-nyedot klitorisnya.
Pantat Naura terangkat, beberapa kali ketika klitorisnya kumainkan kedua pahanya mengapitku. Kuciumi pahanya yang mulus itu. Kuberikan rangsangan ke selakangannya, membuat setiap rangsangan itu adalah sebuah pelukan dan erangan yang kluar dari mulutnya. Bibir bawahnya digigit dengan giginya yang putih. Matanya memutih menikmati setiap sensasi rangsangan yang aku berikan. Ia sudah becek sekali di bawah sana.
Aku lalu kembali ke atas. Perutnya aku ciumi, kujilati, lalu ke dadanya lagi, kemudian ke lehernya. Kemudian kami berciuman penuh nafsu, aku lalu menciumi pipinya dan telinganya ku gigiti. Naura mendesah. Ia pun aktif, kini ia yang menciumiku, menggigiti telingaku, kemudian menghisap leherku, menciumi dadaku. Ia mendorongku untuk berbaring ke sampingnya.
Naura tak tinggal diam, ia terus menciumi seluruh tubuhku, menjilatinya. Kemudian ia memegang penisku. Diurut dan dipijatnya penis tersebut.
Ia lalu berbisik ke telingaku, "Penis mas gedhe banget, punya Andi ndak ada apa-apanya."
Aku tersenyum. "Diisep dong!"
Ia tersenyum, kemudian menciumi kepala penisku. Dijilatinya kepalanya, lalu ia membuka mulutnya dan memasukkan penisku ke mulutnya. Ia hisap-hisap dan kocok.Enak sekali. Kepalanya naik turun dan tangannya mengocok penisku. Walaupun tak seenak apa yang dilakukan bunda, tapi it's OK-lah, mungkin ia belajar dari bokep amatir.
"Kamu sering nonton bokep ya?" tanyaku.
Ia mengangguk. Naura lalu menciumi testisku, kemudian menjilatinya, ia juga menjilat bagian bawah testisku. Membuat penisku makin tegang aja. Darah berdesir ke kepalaku.
"Udah, Naura, masukin aja. Aku ingin merasakan memekmu," kataku.
Ia lalu duduk di atasku. Ia angkat pantatnya dan menyesuaikan kepala penisku di lubang memeknya. Ia gesek-gesek, lalu ditekannya ke bawah.
"Ouuwww... maaasss... hhhmmmhh..." desahnya. Penisku meluncur ke dalam memeknya. Memeknya meremas-remas penisku. Sepertinya kaget dengan ukurannya. "Itunya mas penuh, sampai mentok ke rahimku."
Kedua telapak tangan kami saling berpegangan. Ia berjongkok dan bergerak naik turun. Buah dadanya naik turun seperti pohon pepaya. Penisku mendapatkan sensasi yang sangat nikmat. Naura kebingungan dengan posisinya karena penisku terlalu panjang dan besar. Karena itu gerakan apapun yang ia lakukan baik diputar, digesek, dikocok, naik turun atau sekedar diam, selalu memberikan efek nikmat yang luar biasa. Gesekan demi gesekan kulit kemaluan kami menimbulkan suara kecipak yang menggairahkan.
"Mas, Naura ndak kuat. Mau pipis lagi," katanya.
"Barengan dong, sebentar," kataku. Aku lalu duduk. Kuhisap lagi teteknya
sebentar, kemudian aku membaringkannya. "Nah begini dong. Aku ingin ngentotin
kamu pake gaya ini."
Aku kemudian memeluknya. Dan sekali lagi pantatku naik turun memompanya.
"Ndak, mas. Naura ndak kuat, mau pipis," katanya.
"Sebentar lagi, sayang, aku percepat ya," kataku. "Biar bisa keluar bareng."
Naura memejamkan mata. Kedua tangannya melingkar di leherku, dan ia menggigit bibirnya. Sepertinya ia sudah tak tahan lagi. Vaginanya benar-benar banjir. Suara gesekan kemaluan kamilah yang menghiasi ruangan ini. Benar-benar nikmat memeknya. Walau sudah ndak perawan lagi sih. Agak sayang sebenarnya. Aku percepat goyanganku. Penisku pun mau menembak. Tiga hari ndak main, spermaku sangat matang. Kalau Naura sedang subur, bisa hamil dia sekarang.
"Naura... keluar... aku... keluaaarrrr," kataku.
"Aku juga, mas... aaaahhkkk..." katanya.
Kujambak rambutnya yang panjang berombak itu. Matanya memutih, mulutnya menganga. Aku dipeluknya erat, kedua pahanya mengapitku dan pantatnya naik ke atas menekan penisku. Dan semburan air maniku yang tak terhitung membasahi rahimnya. Ia meraba pantatku dan menekannya seolah-olah tak ingin penisku lepas begitu saja dari sana. Sekali, dua kali, tiga kali, entah berapa kali spermaku menyembur. Setelah gelombang orgasme dahsyat itu reda. Naura lemas. Aku kemudian mencabut penisku pelan-pelan. Dan ketika sudah berpisah kedua kemaluan kami, tampak wajah Naura memberikan rasa puas.
Aku lalu tidur miring di sampingnya. Tangan kiriku memegang toketnya. Tampak dadanya naik turun karena nafasnya berat. Ia terengah-engah. Tangan kanannya menutupi keningnya.
"Mas... ini tadi ML terhebat yang pernah aku rasakan," katanya.
"Oh ya?" tanyaku.
"Iya, Andi ndak pernah seperti ini kalau bercinta. Ia tak pernah bisa membuatku orgasme sampe berkali-kali kayak tadi," katanya. "Lagian punya mas juga gedhe."
Aku masih meremas-remas toketnya. "Dada kamu indah banget. Dan memek kamu masih enak koq." Di depan wajahku tampak ketiak putih Naura. Aku jadi bernafsu ingin menciumnya. kuciumlah ketiak putih tanpa bulu itu.
"Ahh... mas... ih geli," katanya sembari menghindar.
Tapi tangan kiriku menahan tubuhnya untuk tidak lari. Akibatnya Naura menerima saja. Aku tersenyum.
"Geli, mas," katanya sambil cemberut.
"Kamu ini cantik ya, aku baru tahu kamu ketika tak pake jilbab cantik seperti ini. Bodoh itu si Andi ninggalin kamu," kataku.
"Mas, kalau aku nanti hamil gimana?" tanyanya. "Aku lupa ndak minum pil hari ini. Lagian biasanya aku ngelakuin Andi pake kondom. Ini pertama kalinya aku ngelakin ama orang lain ndak pake kondom lagi."
"Perasaanmu gimana?" tanyaku.
"Seneng sih, dari kemarin entah kenapa di pikiranku hanya ada mas. Bahkan sampe mastrubasi mikirin mas," katanya.
"Kalau kamu senang, berarti ndak masalah kan?" tanyaku. "Kalau pun nanti kamu hamil pun ndak masalah. Aku akan melamar ke ayahmu. Hanya saja satu syarat. Engkau mau menerima seluruh keadaanku."
"Menerima keadaan, mas? Siapa yang ndak bakal nerima? Mas udah kaya, mungkin uang ndak masalah lagi. Aku pasti mau dong," katanya.
"Bukan itu sih masalahnya," kataku.
"Trus apa?" tanyanya.
"Aku belum bisa cerita. Biarin aku menikmati ini dulu," kataku.
Aku menciumi bibirnya. Gairah kami pun kembali naik dan mengulangi lagi pergumulan ini. Kali ini kami melakukannya dari samping. Naura membelakangiku dan aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya pun membuatku nikmat saat menyodok. Seharian itu aku habiskan hanya untuk ngentot dan ngentot.
Setelah makan malam, kami ngentot lagi. Esoknya juga. Bahkan selama 4 hari penuh kami seperti pasangan penganten baru. Mandi bareng, kami ngentot. Di dapur setelah makan dan cuci piring kami ngentot. Bahkan kami jarang pake pakaian. Toh setelah dipakai kami pasti buka baju lagi. Penetrasi demi penetrasi aku lakukan tiap hari. Istrihat kami hanya tidur dan makan.
Ada kejadian yang aku tak akan lupa, yaitu saat menelpon keluargaku di rumah terutama Nur. Ia yang paling khawatir terhadapku, aku bilang aku baik-baik saja dan istirahat di rumah. Saat itu aku menyodok pantat Naura di ruang tamu sambil ia tertatih-tatih berjalan. Rasanya penisku tak ingin lepas dari memeknya. Mendapat perlakuan itu, Naura sangat bergairah. Ia ngikik tapi tertahan dan menutup mulutnya sampai aku selesai menelpon. Baru ia tertawa lepas.
Aku lalu melanjutkannya menyodok pantatnya sedang ia berpegangan di sofa. Saat mau keluar aku suruh dia untuk berlutut. Aku ingin keluar di mulutnya. Naura pun membuka mulutnya dan kuarahkan penisku di mulutnya. Keluarlah spermaku dan ia tampung di sana. Lalu ia menelannya.
Sampai pada hari kelima ia sudah siap untuk pulang. Kemudian saat itulah aku bercerita tentang keadaanku. Betapa kagetnya Naura. Ia seakan-akan tak percaya terhadap apa yang aku ceritakan. Aku sudah menduga, tak banyak orang yang akan mau menerima keadaanku yang sesungguhnya. Aku pun udah siap Naura akan menolakku.
"Mas, aku tak menyangka kalau seperti itu," kata Naura.
"Memang benar. Ini berat bagiku, juga bagi semua orang. Dan aku sudah siap koq kalau kamu tidak mau menerimaku," kataku.
Naura terdiam sebentar. "Maaf, mas, aku hanya ingin berterima kasih saja kepada mas atas peristiwa kemarin. Kalau sampai sejauh itu, aku bingung jawabnya. Dan juga harus menerima mas yang seperti ini. Tapi aku yakin mas kemarin nolong aku tulus, maaf ya mas."
"Tidak mengapa," kataku.
Kami pun balik lagi. Rasanya hubunganku dengan Naura ini juga singkat. Ndak bakal bertahan lama. Aku mengantarnya sampai muka gang. Takut kalau ditanyai macem-macem.
"Kejadian ini, jangan diceritakan ke siapa-siapa ya mas?" bujuknya. "Aku tak mau nanti jadi sesuatu di komplek ini."
"Iyalah, bodoh apa aku bilang-bilang. Ini rahasia kita," kataku.
Demikianlah hubunganku yang singkat dengan Naura. Sekalipun setelah itu kami bertemu lagi, ada pandangan-pandangan aneh antara kami. Dan terus terang terkadang ia berkata kepadaku ia rindu dengan peristiwa di Villa itu. Ingin sekali rasanya mengulang saat itu. Naura pun kemudian berkata bahwa kalau aku kepingin bercinta dengan dia, kapan pun dia siap, tetapi kalau untuk serius dia tidak mau. Anggap saja kita melakukannya suka sama suka dan karena kebutuhan.

***

Bunda akhirnya lahiran. Anaknya cowok. Bunda sangat senang sekali. Bahkan anaknya sangat mirip aku. Aku seperti yang lainnya juga menunggu proses lahiran. Mulai dari muncul kepalanya hingga keluar semua. Kukecup kening bunda. Ia benar-benar wanita yang hebat. Nama anak kami kunamai Pandu.
"Habis ini bakal rebutan susu ama papahnya nih," kataku.
Bunda ketawa. "Papahnya ngalah dulu ya?" katanya sambil menciumku.
Kebahagiaan keluarga kami bertambah. Kemudian yang tidak disangka pun datang. Sepupuku yang pernah tidur dengan ayahku, Laura. Aku memang cuma sekali bertemu dengannya, mendengar bunda lahiran ia pun datang ke rumah sakit menjenguk. Ketika melihatku ia sangat kaget. Ia kira aku adalah ayahku. Tapi ketika melihat bunda ia pun jadi mengerti kalau aku bukan ayah. Tampak seorang gadis yang kira-kira masih SMA bersama Laura.
"Bibi, apa kabar?" sapanya.
"La-Laura?" bunda tampak terkejut.
"Kudengar bibi lahiran, makanya aku ke sini. Anak siapa? Anak dia?"
"Mau apa kamu ke sini?" tampak bunda kesal dengannya. Pastilah, orang yang pernah merebut cinta bunda koq.
"Ternyata kita sama aja ya, suka ama keluarga sendiri. Tidak ayah tidak anak sama saja," kata Laura dengan senyum sinis. "Untung dulu ayahmu ndak pernah ngehamilin aku, sekarang aku sudah punya anak dari orang lain. Tapi aku ke sini cuma ingin memberikan pernyataan menang. Kutukanku berhasil bukan?"
Aku juga rasanya agak marah ama Laura. "Apa maumu?" tanyaku.
"Tidak ada koq, aku cuma ingin mengucapkan selamat aja tidak lebih. Oh iya, kenalkan anakku, Anisa," katanya sambil menunjuk Anisa yang baru saja masuk.
Bunda menitikkan air mata.
"Sebaiknya kamu pergi aja deh!" kataku.
"Kalau ingin membalasku silakan saja, tapi toh kata-kataku benar bukan? Like father like son. Untungnya paman itu anak tunggal, coba kalau ndak, aku tidak tau apa yang akan terjadi ama kalian semua," kata Laura.
Sialan ini cewek. Kepengen aku kerjai aja. Ketika aku melihat ke arah Anisa, alamaak... cakep banget. Wajahnya mirip para personel Cherrybelle. Mulus dan bening. Aku tak tahu kalau Laura punya anak secantik ini.
Setelah memanas-manasi bunda, Laura pun pergi. Bunda sangat bersedih. Rupanya Laura mendendam kepadanya. Aku sangat sedih dengan apa yang terjadi kepada bunda. Dan aku punya rencana jahat. Sangat jahat, bahkan ia tak akan pernah melupakan seumur hidupnya.

***
Anisa duduk di bangku SMK. Ia adalah seorang blasteran. Ayahnya orang Kaukasia, pantas saja cakep. Hari ini aku ingin melakukan pembalasan. Aku sengaja mengikuti Anisa dari sejak pulang sekolah, tujuanku hanya satu, yaitu buntingin dia sama Laura. Biar itu si Laura bunuh diri sekalian deh. Karena ia sudah membuat bunda menangis semaleman.
Anisa jalan ama temen-temennya, kemudian dia ngemall, aku tetap ikuti dia. Hingga aku membuat sekenario. Aku secara tak sengaja bertemu dengannya di mall.
"Lho, Anisa?" sapaku.
Ia kebingungan. "Siapa ya?"
"Aku Doni, pamanmu," jawabku.
"Oh, yang kemarin. Maafin mama ya om," katanya. "Aku ndak tau ada apa di
antara kalian sampai-sampai mama kayak gitu."
"Iya, aku bisa mengerti koq, sendirian aja?" tanyaku.
"Iya nih, sedang cari-cari buku," katanya.
"Oh, kebetulan aku juga sedang cari buku," aku berbohong. "Sama-sama yuk?"
Ia tersenyum dan mengiyakan. Kami kemudian berjalan-jalan, sesekali bergurau. Kemudian setelah kami mendapatkan buku yang dicari, kemudian kami pun pulang, ia kuantar pulang. Aku memohon kepadanya agar tidak menceritakan pertemuan kita ke ibunya, nanti malah berabe. Ia pun setuju dan kami berjanji untuk ketemu lagi, saling tukar nomor hape.
Aku dan Anisa sering bertemu. Aku mulai mendekati Anisa, seperti merayunya, memberikan dia hadiah, dan kejutan-kejutan yang ia tak pernah sangka sebelumnya. Intinya semua sikap itu aku berikan kepada Anisa, hingga aku ingin ia takluk kepadaku. Dari ketika mengajak dia jalan, awalnya dia enggan untuk ku gandeng, kemudian setelah itu kami tidak enggan lagi. Bahkan Anisa lebih aktif untuk menggandeng tanganku setiap jalan.
Anisa termasuk gadis yang sedikit pemalu sebenarnya. Semenjak aku dekat dengannya dan memberikan kejutan-kejutan, ia pun sudah tidak malu-malu lagi. Katanya ia sangat nyaman kalau dekat denganku. Walaupun kami tak resmi bilang pacaran, tapi kami sudah sangat dekat, mendekati orang pacaran.

***
Hal yang mengejutkanku pun datang. Bunda sakit. Terkena stroke. Tentu saja aku kaget, bagaimana anak kami? Kubisa melihat wajah bunda yang sendu. Selama semingu aku menungguinya di rumah sakit. Beliau tidak sadarkan diri selama seminggu ini. Padahal beliau baru kurang dari sebulan ini lahiran. Ditambah tidak mendapatkan asupan makanan karena tidak sadarkan diri, bunda harus transfusi darah. Sebenarnya dokter tahu kalau aku hubungan incest dengan bunda tapi aku telah mengatakan kepadanya untuk merahasiakan ini. Ia pun mengerti dan aku bersyukur karena itu. Dengan darahku bunda yang mengalami pendarahan bisa tertolong.
Akulah yang setiap hari menjagai selang infusnya. Aku juga yang setiap hari membersihkan dia kalau sedang buang air. Aku juga yang setiap hari menyeka tubuhnya. Kak Vidia menawarkan diri untuk menjaga bunda, tapi aku tolak. Aku lebih memilih agar anakku saja dijaga. Hampir tiap hari Kak Vidia dan Nur datang ke rumah sakit menjenguk kami berdua. Mereka mungkin bisa merasakan capeknya diriku. Mataku pun mulai sembab. Tiap malam aku selalu disampingnya, bahkan sampai lupa makan.
"Pah, papah jangan begitu dong. Masa' sampai lupa makan?" Nur marah-marah kepadaku. "Aku tahu papah lebih sayang kepada bunda, tapi ingat kondisi juga, jangan sampai kami semua lebih sedih lagi!"
Kak Vidia pun ikutan marah, "Malu-maluin papah sampe jatuh tadi di lorong gara-gara lupa makan. Kalau papah sakit juga, kami bagaimana?"
"Iya, aku minta maaf," kataku. "Aku sangat khawatir kondisi bunda sehingga nggak tau lagi harus bagaimana."
Kak Vidia lalu mencium keningku, lalu menggosok-gosok bekas ciumannya. "Aku tahu koq papah sangaaaaat cinta ama bunda. Bahkan, mamah bisa tahu setiap kali bercinta ama mamah, papah pasti ingat bunda. Tapi itu tak membuat mamah marah. Mamah akan lakukan apapun untuk kalian berdua."
"Kak Vid," aku pun memeluknya. "Makasih ya."
Nur juga memelukku untuk membesarkan hatiku. Ia pun berbisik, "Optimis saja mamah pasti sembuh."
Akhirnya setelah kejadian itu, setiap pagi Nur datang ke rumah sakit, sorenya kak Vidia. Sudah 2 minggu bunda di rumah sakit. Untung sekali kami punya asuransi, jadi dokter akan berusaha sebaik-baiknya untuk menolong bunda. Terlebih kami punya fasilitas asuransi gold dengan premi yang besar, sehingga penanganan bunda nantinya bisa maksimal.
Selama menunggui bunda aku selalu memegang tangannya yang lembut. Sambil sesekali aku kecup keningnya. Aku perlu mempersiapkan tissue dan menyeka bibirnya berkali-kali ketika busa keluar. Entah kenapa koq rasanya sekarang aku jadi anak yang tidak durhaka, padahal selama ini aku berbuat yang sangat buruk kepada bunda. Menyetubuhi ibu sendiri itu dosa, sungguh hal itu sekarang aku rasakan. Apakah ini cobaan ataukah ini siksaan? Aku sudah lama juga tidak sholat. Sekali-kali saja aku sholat, kalau ingat, kalau nggak ya nggak.
Akhirnya entah siapa yang menggerakkanku. Malam itu aku pun jadi religius. Aku sholat malam dan berdo'a hingga subuh. Melihat bunda seperti ini pun aku tak tega.
Aku berdo'a, "Tuhan, kalau misalnya kematian lebih baik bagi bundaku, aku rela. Asalkan jangan engkau perlihatkan kepadaku ia menderita sakit seperti ini. Kami sadar kami lakukan banyak hal yang salah, tapi... apa yang bisa aku lakukan sekarang?"
Malam itu pun aku menangis mengharap kesembuhan bundaku. Pagi sudah memunculkan mentari dari ufuk timur. Dan aku masih di kamar bunda menanti-nanti suster atau dokter yang mengecek dan mengontrol kondisi bunda.
Setelah mereka selesai mengecek, aku sholat lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku banyak sholat. Ketika Kak Vidia menjengukku dan bunda, dia menyaksikanku bersujud, ia pun duduk menantiku selesai. Setelah itu aku bangkit menghampirinya. Dia menitikkan air mata dan memelukku. Kami menangis.
Perasaanku hari itu tak enak. Rasanya aku harus ada di dekatnya. Tak cuma aku tapi juga Kak Vidia dan Nur pun begitu. Mereka ada di kamar bunda dan berdekatan denganku. Saat itulah bunda membuka matanya. Aku tak bisa menahan haru akhirnya bunda siuman. Aku segera memanggil suster ketika tahu bunda sudah siuman. Bunda tak bicara, mereka hanya melihat kami.
"Bunda, bunda sudah siuman?" tanyaku gembira.
Semuanya gembira, namun ketika dokter hadir semuanya jadi cemas. Dokter memeriksa bunda. Melihat matanya dan mengecek tekanan darahnya. Ia pun menggeleng.
"Kenapa, dok?" tanyaku.
"Maafkan saya, pak, kayaknya istri anda tidak bisa ditolong," jawabnya.
"Tapi, dok, dia siuman. Dia membuka matanya!" kataku.
"Iya, tapi itu pengaruh pembuluh darahnya sudah pecah di otak. Sehingga merangsang syaraf mata di otak, dan akibatnya ia bisa membuka matanya. Tapi ia tak bisa apa-apa. Tapi sekarang ini ia mendengar kalian semua. Yang bisa saya katakan adalah waktunya tak banyak, ucapkanlah kata-kata terakhir karena ia akan menghadap sang kuasa sebentar lagi," kata dokter sambil memegang pundakku kuat-kuat.
Tubuhku gemetar. Aku melihat bunda membuka matanya tapi ternyata justru ini saat-saat terakhirnya. Aku bersedih, sangat bersedih. Aku pun berkali-kali berkata, "Maafkan aku, maafkan aku bunda maafkan aku."
Kak Vidia dan Nur ikut bersedih. Aku pun merasakannya, ketika tangan bunda mendadak dingin dan kemudian seluruh tubuhnya mendingin. Matanya kini menutup dan sebuah senyuman menyungging di bibirnya, seperti ia hendak ingin bicara. Tapi ternyata nyawanya telah pergi. Bunda telah tiada hari itu. Kak Vidia dan Nur bersedih, mereka menangis tanpa henti.

***
Aku berdiri di depan nisan bunda. Kak Vidia dan Nur ada di belakangku. Kak Vidia mengajakku untuk pergi, tapi rasanya aku tak bisa meninggalkan bunda di dalam kuburannya. Aku pun meremas tanah kuburannya. Orang yang aku cintai pergi lagi. Tapi yang ini pergi untuk selamanya. Tak ada lagi orang yang mau memelukku dengan hangat, tak ada lagi yang selalu menyanjungku, tak ada lagi bunda.
Saat itulah aku teringat Laura. Bunda pasti perasaannya tertekan dengan kata-kata Laura. Sebab setelah itu aku bisa melihat bunda berubah. Aku pun punya satu tujuan. Yaitu kuhancurkan hidupnya. Aku kemudian berdiri dan kuajak Kak Vidia dan Nur pergi. Aku pun merancang rencana balas dendamku.

***
Perusahaanku makin besar. Aku pun bekerja sama dengan investor asing untuk bisa memperluas bisnisku ke luar negeri. Untuk sesaat, aku bisa melupakan bunda dengan kesibukanku. Dan hubunganku dengan Anisa tetap jalan selama setahun ini. Dan kami malah lebih tepatnya seperti seseorang yang pacaran. Aku pun mulai melakukan hal yang gila. Kami pun mulai berani kencan itu pun sembunyi-sembunyi agar tak ketahuan sepupuku Laura.
Pada malam minggu kami kencan untuk nonton. Kami pun sempat terlibat pembicaraan. Padahal itu minggu-minggu akan ujian nasional. Ya, Anisa mau lulus.
"Kalau misalnya Anisa nanti lulus, aku akan ajak ke luar negeri. Terserah deh mau pilih yang mana," kataku.
"Serius? Tapi ndak ah. Ntar diapa-apain sama paklik," katanya sambil ngikik.
"Yah, ya udah kalau tak mau. Aku bisa sendiri koq," kataku.
"Ya udah deh, sebenarnya aku ndak mau ke luar negeri. Maunya di dalam negeri
saja," katanya.
"OK, tak masalah," kataku.
Waktu pun bergulir. Setelah kelulusan aku pun mengajak Anisa selama seminggu untuk pergi liburan jalan-jalan di Indonesia. Sebenarnya hal ini adalah ideku untuk bisa tidur sama Anisa. Tujuan awal kami adalah pantai Losari. Kami satu pesawat, bahkan semenjak di pesawat kami asyik sendiri. Ngobrol ngalor ngidul dan aku pun mulai berani untuk pegang tangan bahkan tanpa dikomando, bibir kami menyatu begitu saja. Setelah itu kami diam, tapi tangan kami makin erat menyatu.
Semenjak turun pesawat kami seperti orang pacaran. Kemana-mana nempel terus, bahkan ketika sampai di hotel dan check in, kami memesan one room, one bed. Awalnya aku pesan 2 kamar, tapi ia menolak. Aku pun keheranan. Aku sih OK OK aja. Saat masuk kamar itulah aku tahu kenapa.
"Mas, Anisa kepingin berduaan saja ama mas," kata Anisa.
"Kamu kenapa, Nis?" tanyaku.
"Aku suka ama mas. Sewaktu mas mengajakku liburan, aku sudah siap koq mas
melakukan ini," katanya.
"Melakukan apa?" tanyaku memancing.
"Aku sudah tahu semua tentang mas dari mamah. Dan aku tahu mas berusaha mendekatiku selama ini. Mungkin mas kesepian karena selama ini hanya berhubungan dengan keluarga mas saja. Apalagi bibi sudah meninggal. Mas, perasaanku setiap ketemu mas selalu berdebar-debar. Aku selalu membayangkan mas, aku selalu ingat mas. Tiap makan ingat ama mas, tiap belajar ingat ama mas. Tahu nggak sih kalau aku sangat suka ama mas?"
Kata-kata Anisa itu tak pernah kuduga sebelumnya. Aku saja tidak merencanakan kalau ia akan seperti ini. Jadi rencanaku lebih cepat dari jadwal.
Aku memegang dagunya lalu mengangkatnya, "Mas juga punya perasaan yang sama ama Nisa."
Kami lalu berciuman dan berpelukan. Anisa memelukku erat sekali, seakan-akan tak mau melepaskanku. Dari dadanya aku bisa merasakan debaran jantungnya. Anisa lebih pendek dari aku sebahu, sehingga ketika ciuman ia perlu berjinjit. Setelah berciuman ia tersenyum kepadaku.
"Hari ini, maukah mas memberikanku sesuatu yang tak terlupakan?" tanyanya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Aku ingin memberikan keperawananku kepada mas," jawabnya
"Waduh, ntar ibumu nanti bagaimana kalau tahu?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Aku tak peduli ama mamah. Obsesi mamah cuma kepingin kaya saja, aku saja di rumah dicuekin. Plis mas, aku ingin merasakan robeknya keperawananku!"
Aku takjub dengannya. Kuambil nafas sebentar. Ini bakal jadi hubungan sedarahku lagi. Aku belai rambutnya.
"Baiklah kalau itu maumu, tapi kita lakukan nanti ya," kataku. Aku ingin melihat kesungguhannya dulu. Siapa tahu dia cuma main-main.
"OK," katanya.
Wajah Anisa tampak cerah. Kami berdua mengeluarkan isi koper, kemudian ganti baju. Saat itulah aku melihat Anisa membuka bajunya, ia ganti baju tanpa risih kepadaku. Aku bengong.
"Koq bengong?" tanyanya. "Kesengsem?"
Aku tertawa. Kemudian aku juga mencopot bajuku, kami berdua telanjang di kamar. Anisa gantian yang bengong. Ia menelan ludah.
"Kenapa, Nis?" tanyaku.
"Tidak apa-apa, mas. Boleh aku peluk mas?" tanyanya.
Aku diam saja, lalu mengangguk. Ia pun maju dan memelukku. Kulit kami pun bersentuhan memberikan rasa horny. Saat puting susunya menempel di dadaku darahku berdesir ke ubun-ubun. Sialan, bau parfumnya menusuk hidungku dan menggoda, penisku pun mulai tegang.
"Mas, tolong jangan pergi ya, pliiss. Aku suka sama mas, tolong jangan tinggalin aku. Aku rela pergi dari rumah, aku rela ninggalin mamah asalkan bisa bersama mas," katanya. Tangannya melingkar ke punggungku. Ia tampak nyaman bersandar di dadaku.
Gilaaaa... aku bisa nafsu ama dia sekarang. Dan akhirnya OK deh, let's go.
Aku lalu menatap wajahnya. Kami berciuman lagi. Tapi kali ini lebih hot. Lidah kami saling menghisap, melumat, bertukar ludah dan lidahku sudah menjelajahi rongga mulutnya. Merasakan rasa permen yang ia makan tadi ketika di dalam pesawat.
"Koq kepengen sekarang, mas? Katanya nanti?" tanyanya.
"Kamu kepengen sekarang apa nanti?" tanyaku.
"Terserah mas sih," katanya.
"Ada bidadari secantik ini di hadapanku, masa' aku diam saja?" tanyaku. Lalu aku mencium lehernya, kuhisap, kujilat dan kucupangi. Ada tiga cupangan di sana dan itu membuat Anisa merinding.
"Ohh... maasss... hhhmmmhh..." desahnya.
Aku kemudian mengajaknya berbaring. Karena ia masih perawan, aku tak mau terburu-buru. Kunikmati pelan-pelan dulu tubuhnya. Aku tak mau menyia-nyiakan tubuh yang belum pernah terjamah lelaki mana pun ini. Aku menciumi pipinya, hidungnya, kelopak matanya, keningnya, dan kujilati wajahnya. Aku lalu mengigiti daun telinganya, beralih ke leher kirinya kuberi cupangan lagi. Aku bisa merasakan bulu kuduknya merinding.
"Mas... ohhh," desahnya.
Tangan kananku pun aktif meremasi toketnya yang ndak terlalu besar sih, mungkin karena masih ABG. Putingnya yang kemerahan aku pelintir-pelintir. Aku lalu menciumi buah dadanya, kuhisapi hingga bercupang, kemudian aku hisapi juga putingnya, kujilati dan kumainkan.
"Ohh... terus, mas... Nisa suka mas gituin, rengkuh kenikmatan dari tubuh Nisa. Jadiin Nisa istri mas," katanya merancau.
Aku kini konsentrasi untuk menciumi seluruh tubuhnya. Kuberikan stimulus-stimulus yang bisa merangsangnya. Akhirnya aku tahu titik-titik sensitifnya sekarang, yaitu di bawah ketiak, perut bagian bawah dekat dengan memeknya, pinggangnya dan jempol kakinya. Setiap kali aku mencium atau menghisap tempat itu ia menggelinjang hebat. Apalagi ketika jempol kakinya aku hisap, ia meronta-ronta untuk dilepaskan. Aku makin kesetanan mengemut jempol kakinya, ia pun orgasme tanpa aku apa-apain. Cuma ngisep jempol kakinya. Ternyata apa yang aku lakukan bisa merangsangnya seperti itu. Beda dengan Kak Vidia maupun Nur, walaupun itu juga titik sensitifnya tapi tak sebegitunya juga. Aku jadi yakin kalau sepertinya Anisa sudah horni dari tadi.
"Mas, masukin dong... pliiiss... Nisa udah geli, udah kepingin merasakannya. Kumohon, maasss..." Nisa mengeluh. Pinggulnya sekarang bergerak kiri kanan, aku bisa mencium bau cairan kewanitaannya yang memabukkan.
Aku lalu menciumi pahanya, kakinya kuangkat sedikit agar bisa kubuka dan melingkar di pinggangku. Wajah Anisa tampak pasrah, ia memejamkan mata. Badanku maju menindihnya. Penisku sudah berada tepat di mulut memeknya. Aku gesek-gesek dulu kepala penisku, pelan-pelan kugesek. Rasa kenikmatan langsung menyebar ke seluruh tubuhku dan naik ke ubun-ubun. Rasa ini mirip ketika aku memerawani Nur.
"Maass... oohhh... geli, mas..." katanya.
Aku kemudian mendorong sedikit kepala penisku. Susah, memang cairan pelumasnya banyak, tapi kepala penisku yang cukup besar itu begitu susah masuk. Apa karena dia masih ABG? Pinggangku pun maju mundur dengan pelan-pelan. Kepala penisku geli sekali, berkali-kali cairan kewanitaannya keluar membuat kepala penisku gatel. Susah sekali untuk bisa masuk, maklum tentunya karena tak pernah dimasuki. Anisa memelukku. Dan makin erat ketika aku makin menekan ke dalam.
Untuk mengurangi rasa sakit aku merangsang dirinya pada bagian tubuh yang lain seperti leher dan dada. Kuhisap-hisap teteknya, kemudian ketika ia sakit lagi, kuhisap lehernya. Ketika mendorong dan ia meringis kesakitan aku tahan sebentar. Kutarik lalu kudorong lagi. Penisku berkedut-kedut, bahkan vaginanya pun makin meremas-remas batangku. Permukaan penisku mulai disirami oleh cairan pelumasnya. Dan serasa makin gatel ingin terus masuk.
"Sakit, Nis?" tanyaku.
"He-eh... sakit, tapi teruskan saja mas, aku ingin menjadikan hari ini sebagai
hari yang tidak terlupakan," katanya.
Dan aku agak menghentakkan pantatku. Hal itu membuat ia kaget, seketika itu juga batangku bisa masuk semua hingga penuh. Di dalam memeknya yang hangat dan berkedut-kedut itu penisku benar-benar merasakan kehangatan. Anisa mencium bibirku, aku tak pernah tahu bagaimana rasa sakitnya ketika keperawanan dirobek. Tapi rasa sakit itu cuma sebentar. Tergantung dari perlakuan pihak laki-lakinya. Terkadang ada yang sampai brutal. Sudah tahu pasangannya sakit tapi diterobos terus hingga itu menjadikan sebuah mimpi buruk. Bahkan sampai berminggu-minggu rasa sakitnya belum hilang. Untunglah aku tidak pernah melakukan hal itu kepada siapapun. Baik kepada Kak Vidia ataupun Nur. Mereka menikmati percintaan yang aku berikan kepada mereka.
Kak Vidia sudah memendam perasaan kepadaku ketika aku memerawaninya di gua waktu itu. Dan setelah keperawanannya lepas, ia tak merasakan sakit lagi setelah itu. Itu merupakan sebuah perasaan psikologis yang ada pada diri seorang wanita. Ketika ia harus menerima cinta dan kerelaan, maka secara psikologis, ia merasakan dirinya tercabik untuk pertama kalinya. Dan ketika kerelaan itu dibarengi dengan rasa nyaman ketika berhubungan hal itu membuat dirinya rileks, membuat percintaan yang hangat tanpa takut ketika keperawanan telah direnggut oleh orang yang ia cintai.
Sekarang aku tak perlu ragu lagi menggagahi Anisa. Ia sekarang pasrah. Aku bisa merasakan sekarang pinggulnya ikut mencari kenikmatan bersamaan dengan goyangan pantatku. Tangan Anisa menekan pantatku, seolah-olah adalah instruksi agar aku lebih dalam lagi menghujamkan senjataku. Aku pun makin bersemangat untuk menggenjot. Bulir-bulir keringat sebesar jagung bisa keluar dari kamar hotel ber-AC ini. Tubuh kami sekarang sedang dibakar oleh bara api asmara. Panggutan demi panggutan, remasan demi remasan membuat kami mabuk kepayang. Setiap gerakan pinggul kami membuat sensasi kenikmatan birahi yang tak bisa diucapkan lagi dengan kata-kata.
Anisa menikmati sensasi setiap gesekan kulit kelamin kami. Matanya terpejam dan menyipit. Ia meringis, mengeluh, mendesah, ia berusaha mencari-cari bibirku untuk diciumi. Setelah itu ia kembali menjerit. Desahan-demi-desahan membuat ia mabuk. Ia sudah tak ingat lagi akan dunia ini. Baginya menuju kepuasan adalah sebuah perjuangan yang maha dahsyat. Pinggul Anisa bergoyang-goyang seperti goyangan penyanyi dangdut, berusaha memancingku agar cepat orgasme. Senjataku yang ada di dalam sana makin enak saja dengan perlakuannya. Kupompa makin cepat keluar masuk.
"Aduh, Nis... kamu apain punyaku?" kataku.
"Yang penting enak, mas... enaakk... ooohh... jangan berhenti... terus...!!" katanya.
"Nis, maaf... aku ndak kuat lagi," kataku.
"Massss... oohhh... keras banget. Nisa ngerasa mau pipis juga!" katanya.
"Niss... nisss... nyemprot, NIIIS...!!!" kataku menghentak-hentakkan pinggulku dan kuhujamkan ke dalam, aku ndak kuat lagi ingin mengeluarkan benih-benihku.
Aku tak peduli ia orgasme atau tidak. Tapi rasanya kami keluar bersamaan, karena kurasakan ia memelukku erat dan kakinya melingkar di pinggangku. Aku menindih Anisa yang sedang terlena karena air mani hangat sekarang membasahi rahimnya.
Anisa memejamkan mata. Diciuminya wajahku. Bibirku pun mendekat ke bibirnya, mencari-cari bibirnya. Kami berpanggutan, nafas kami memburu karena baru saja melakukan aktivitas yang setara naik turun tangga 3 kali. Perlahan-lahan kucabut burungku dari sarangnya. Kubangkit sejenak melihat hasil perbuatanku. Aku melihat bercak darah di kepala penisku. Dan cairan sperma di vagina Anisa meluber keluar bercampur warna merah. Aku lalu berbaring di samping Anisa.
"Mandi yuk?" ajakku.
"Sebentar, mas, Anisa masih capek," jawabnya. "Tunggu sebentar ya, sayang. Mas hebat banget. Aku sering diceritain kalau selaput dara ketika robek itu sakit, tapi ketika mas melakukannya tadi, Nisa hanya merasa perih di awalnya, setelah itu tidak."
"Nis, boleh om tanya?" tanyaku.
"Apa, mas?" tanyanya.
"Kalau misalnya kamu hamil, gimana?" tanyaku.
Nisa membuka matanya dan menoleh ke arahku. Ia mengangguk, "Tidak apa-apa, mas. Kalau sampai hamil, Nisa siap. Mas juga jangan pergi ya? Nikahi Nisa, Nisa rela berbagi ama mbak Vidia ataupun ama mbak Nur."
"Tidak semudah itu, Nis, aku ingin bercerita kepadamu sesuatu," kataku.
Nisa lalu mendengarkanku dengan seksama rahasia keluarga kami. Apa hubungan Laura, ibunya Anisa, dengan ayahku dan semuanya. Dan aku menceritakan bagaimana perlakuan Laura kepadanya. Nisa pun menitikkan air mata. Ia sepertinya faham akan kesedihanku. Lalu memelukku.
"Tidak apa-apa, mas, ini semua salah mamah. Aku mengerti bagaimana perasaannya bibi, aku mengerti," katanya.
"Aku ingin menghamilimu, Nis, aku ingin memberikan hukuman kepada Laura. Kamu bersedia kan? Aku ingin menghamilimu," kataku.
Anisa tersenyum dan menciumku, "Aku bersedia, entot aku sepuasmu, mas. Hamili aku, hamili aku sesukamu. Aku suka kalau punya anak dari mas. Kalau misalnya itu bisa menghukum mamah, Nisa akan sangat senang."
"Satu hal lagi," kataku.
"Apa, mas?"
"Aku ingin membalas mamamu dengan cara yang lain, aku ingin dia merasakan
penderitaan," kataku.
"Mas mau apain mamah?" tanyanya. "Jangan sakiti mamah!"
"Aku bukan orang bodoh yang mau menyakiti dia sampai mati. Tidak, aku ingin dia tunduk kepadaku. Dan memohon ampun. Aku tak mungkin membunuh dia," kataku. "Aku ingin kau bekerja sama denganku. Mau kan?"
"Janji mas ndak bakal nyakitin mamah?" tanyanya.
"Kalau nyakitin iya, tapi ndak sampai melukainya, dan aku janji," kataku.
"Apapun deh kata suamiku," Anisa memelukku.
"Mandi yuk?!" ajakku. Anisa mengangguk. Kami kemudian bangkit dan menuju kamar mandi.
Liburan itu ibaratnya kami berbulan madu. Bagaimana tidak? Kami terus-menerus bercinta hari itu. Anisa rela aku hamili, maka dari itulah aku tak menyia-nyiakan spermaku begitu saja. Aku pasti semprotkan ke rahimnya. Selain itu ndak maulah aku sia-siakan liburan selain jalan-jalan. Maka kami pun jalan-jalan di tepi pantai dan menikmati keindahannya. Anisa dan aku seperti orang yang dimabuk cinta, kami bermanjaan dan kemana-mana bergandengan tangan. Kemudian tibalah hari di mana kami harus pulang.
"Mas, ini sprei bekas darahnya gimana?" tanya Anisa. "Kata mas-masnya disuruh beli, karena dianggap merusak properti hotel."
"Lho, koq bisa?" kami berdua tertawa. "Bawa juga ndak mungkin kan?"
"Trus gimana? Aku juga ndak mungkin bawa," katanya.
"Kita paketkan saja deh, buat kenang-kenangan," kataku.
"Mas, aku akan mengingat saat-saat ini. Aku tak akan lupakan liburan ini bersama mas," katanya. "Walaupun sedikit kita lebih lama di sini."
"Iya, aku juga. Sesampainya di rumah. Aku akan melakukan rencanaku kepada mamahmu," kataku. "Sebagaimana yang aku katakan kemarin."
"Aku mengerti, mas, aku tak sabar menunggu saat kita bersama nantinya," kata Anisa.

BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment