Satu keadaan dimana seorang wanita akan lebih diperhatikan suami. Setidaknya itu gambaran yang aku dapatkan dari kakak perempuanku yang lebih dulu menikah.
Lain yang dibayangkan, lain pula kenyataan. Apakah dinamakan perhatian, bila kontrol ke bidan saja hingga usia kehamilanku tujuh bulan, suamiku tak pernah mau mengantar. Dan yang menyakitkan, ia lebih suka mempertaruhkan uang gajinya di meja judi ketimbang menyimpan untuk persiapan persalinanku kelak. Dari kebiasaan berjudinya inilah peristiwa yang aku ceritakan ini terjadi.
Suamiku sering pulang larut malam bahkan sampai keesokan paginya untuk hobi buruknya itu. Siapa bilang aku tidak takut? Desa kami masih terhitung jarang penduduknya. Satu teriakan tengah malam dari sebuah rumah, mungkin tidak akan terdengar oleh tetangganya yang terdekat sekalipun.
"Ah, kalau kamu takut, minta aja si Anto tidur disini!" Anto adalah adik kandungku.
Selalu itu jawabannya bila aku protes. Dasar laki-laki bebal! Akhirnya aku merasa memang tidak punya pilihan. Daripada aku tersiksa sendiri setiap malam. Dada sesak karena tekanan bayi dalam kandunganku yang kian besar, dan rasa was-was bila ada orang berniat buruk menyelinap ke rumahku, membuatku tak pernah dapat tidur.
***
Di ruang tamu, Anto rebah sambil menonton TV. Sudah seminggu ini ia selalu tidur di rumahku, ada atau tidak ada suamiku.
"Tadi aku lihat mas Juned berboncengan sama... siapa yang kepalanya botak itu?!" ia berkata sambil matanya tetap ke arah layar TV.
"Aku juga nggak hafal!" jawabku tak acuh. "Tapi kalau sama yang botak itu, pasti nggak pulang sampai besok." lanjutku lagi sambil menggaruk perut buntingku. Makin digaruk makin terasa gatal. Acara TV sungguh tak menarik perhatianku. Saat itulah mataku beralih tak sengaja pada tubuh Anto yang hanya mengenakan kaos dalam. Lengannya tampak berotot. Perutnya datar. Saat mataku lebih ke bawah lagi, tiba-tiba pikiran nakal berkelebat di benakku. Seberapa besar ya kejantanan Anto. Dia masih 15 tahun.
"Orang hamil apa perutnya gatal terus, mbak?" tanya Anto menyentak lamunan kotorku. Aku jadi sadar kalau ternyata dia juga memperhatikanku, padahal saat itu aku duduk di kursi membelakangi kepalanya.
"Iya, mau bantu garukin?" tanyaku sekenanya. Di luar dugaan, Anto menanggapi serius. "Kalau kukumu panjang lebih enak,'' kataku. Aku begitu saja menyusul rebah disampingnya. Anto mulai menggaruk, tapi pandangannya masih ke arah TV.
"Mmm, ya yang itu, lebih keras." erangku keenakan.
"Apa nggak lecet nantinya, mbak?" tanyanya.
"Dilihat aja biar tahu!" jawabku cuek. Aku mengenakan baju hamil tanpa kancing di depan. Bukankah berarti aku harus telanjang? "Disingkap aja ya?!" tawarku.
Anto mengangguk, polos. Segera kuangkat dasterku. Perutku yang menggunung terpampang jelas di matanya. Juga rambut kelaminku yang mengintip dari celana dalam yang memang kukenakan melorot jauh dari pusar.
"Nih rambut bayinya sudah nongol, mbak." canda Anto.
"Hush, ngaco kamu! Ayo garukin lagi!"
"Iya, banyak guratannya, mbak." kata Anto sambil kembali menggaruk. Ia tampak betul-betul lugu melakukannya, sementara aku merasakan tubuhku mulai panas. Aku telah terbakar birahi. Kupegang tangan Anto, lalu kuletakkan pada bagian selangkangan. Baru ia tampak terkejut dan berusaha menarik tangannya.
''Kenapa? Kamu nggak mau?" tanyaku menggoda.
"Jangan gila, mbak!" sergahnya.
"Kenapa nggak dari tadi kamu bilang aku gila!" kataku setengah membentak. Anto seperti salah tingkah, aku menyadari apa yang berkecamuk dibenaknya. Mungkin aku memang sudah gila. Apa yang aku lakukan diluar nalar siapapun. Tapi dorongan birahi demikian kuat menyergap naluri kewanitaanku. Lebih empat bulan aku tak disentuh suamiku, beralasan takut merusak janin. Aku begitu dahaga dan ingin terpuaskan ketika kesempatan itu datang. Persetan dengan akal sehat!
Seperti pepatah : tak ada rotan akarpun jadi, kubelailah akar itu. Si empunya meringis, lalu berulang-ulang menyebut, ''Mbak.. mbak.. mbak.." Akar miliknya makin membesar. Aku makin bersemangat. Sebelah tanganku menuntun tangannya untuk merabai organ intimku. Tepat pada klentit, kuminta dia menggelitiknya.
"Ya ya, yang itu.. tapi pelan-pelan ajahh..." Celana dalamku terasa begitu mengganggu, juga celana dalam Anto. Aku yang menariknya, setelah milikku sendiri terlepas. Kuminta pemuda yang usianya sepuluh tahun di bawahku itu untuk rebah kembali. Oh, akarnya telah berubah menjadi rotan, meski tak sebesar yang biasanya.
"Mbak, aku takut." bisiknya gemetar saat aku yang telah telanjang bulat perlahan duduk mengangkang di atas pahanya. Matanya menatap ragu tapi bercampur nafsu.
"Sssst! Diam dan nikmati saja.” bisik hatiku. Gemetar juga aku menahan tubuhku yang makin berat ini. Batang yang mengacung telah dalam genggamanku. Segera kuarahkan tepat pada belahan yang sedari tadi telah basah.
"Nghh... keras banget batangmu, To!" rintihku kenikmatan. Penis Anto telah masuk total, sensasinya terasa beda. Semua gatal di perutku bagai berpindah ke dinding vagina. Kugaruk-garukkan pada penis itu. Sama, makin digaruk makin terasa gatal.
"Anget, mbak. Anget, mbak... angeet!!" Anto meracau, matanya sebentar terbuka sebentar tertutup.
"Jangan anget-anget aja! Remas payudaraku!" kataku gemas. Seketika kutarik kedua tangannya ke arah payudaraku. Tanpa kuajari kemudian, tangan itu memilin dan menarik-narik putingku. Sesekali dua bukit kenyalku diremas-remasnya, ouh... sungguh menambah rangsanganku untuk makin cepat mendesak-desakkan pinggulku. Anto tampak berusaha melengkunggkan tubuhnya, secara naluri ia ingin melumat payudaraku dengan bibirnya. Susah, karena terhalang perutku yang hamil besar.
"Sudah, rebah aja Aku juga hampir selesai, ohhh... nikmatnya!" bisikku sambil merintih.
"Aku juga, mbak, rasanya mau kencing." balas Anto.
Aku bergerak bagai kuda betina liar. Mengejar sesuatu yang makin dekat dan sedikit lagi tercapai. Keringat keluar dari seluruh pori-pori di tubuhku, nafasku tersengal karena aku terus memacu begitu cepat. Aku begitu takut kehilangan sesuatu itu. Dan pada saat sesuatu itu kudapat, berteriaklah aku dengan tubuh mengejang bagai sekarat.
''AARRGGHHHHH... Duh nikmatnya, Anto. Kamu juga sudah keluar?" tanyaku sesaat setelah semua gejolak itu reda.
"Iya, mbak." jawab Anto pelan.
Lalu aku mencium lembut bibirnya.
***
Sejak itu hampir setiap malam kami mengulangi perbuatan serupa. Aku malah senang kalau suamiku tidak pulang. Anto juga jadi ketagihan. Dia yang selalu memulai dan tidak cukup hanya sekali. Seperti malam itu, belum juga kering keringat di tubuhku, ia sudah mendatangi lagi kamarku. Ia pun makin pandai saja. Aku dalam posisi meringkuk, masih telanjang setelah persetubuhan di ruang tamu tadi. Diciumnya tengkukku, diremasnya payudaraku, sementara penisnya digosok-gosokkan pada belahahan pantatku. Birahiku bangkit lagi, tapi kubiarkan dia berusaha sendiri memasukkan penisnya dari belakang. Dan...
BRAAK…!!!
Tiba-tiba suara keras mengagetkan kami berdua. Dan lebih mengagetkan lagi setelah mengetahui seseorang telah berdiri di depan pintu kamar yang terbanting barusan.
Suamiku!
Aku tak mampu berbuat apa-apa selain berusaha menutup tubuh telanjangku. Tampak suamiku mendekat ke arah kami, matanya merah bagai saga, penuh amarah. Lalu sesuatu yang ada di genggaman tangannya diayunkannya keatas. Bentuk yang melengkung dan berkilat itu sesaat kemudian menancap berulang-ulang pada tubuh Anto. Aku berteriak, tapi jangankan tetangga terdekat, akupun sendiri tak mendengar jeritanku. Aku melihat darah, darah, lalu kemudian gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Kejadian yang aku ceritakan diatas telah empat tahun berlalu. Anakku perempuan. Cantik dan pintar. Ia sering memintaku menyebutkan satu persatu orang dalam foto keluarga yang diambil saat aku masih remaja.
Yang tengah belakang : Mbah kakung dan mbah putri.
Yang kanan : Bude Marni.
Yang tengah : Mama.
Dan yang kiri adalah : Paklek Anto.
Lalu mataku terpejam dan menangis.
END
No comments:
Post a Comment