rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Friday, 3 October 2014

Sang Penggali Kubur 5

Sambil menunggu kedatangan orang yang sekarang sedang dijemput oleh Zaskia; bersama Inez, Linda, dan bu Martin, kembali aku saling meraba. Kontolku dijilati oleh mereka untuk membersihkan sisa-sisa sperma yang masih menempel, membuat benda kebanggaanku itu dengan cepat menjadi ngaceng kembali. Inez tampak menjilati ujungnya yang tumpul, sementara Linda mengocok batangnya yang besar, sedang bu Martin dengan gemas meraba dua kantung bola milikku. Oh, sungguh sangat nikmat sekali diperlakukan seperti itu. Aku merasa seperti seorang raja yang sedang dilayani oleh para selir. Kubalas dengan memijit dan meremasi bongkahan payudara mereka secara bergantian, juga meraba dan menggelitik lubang memek ketiga wanita cantik itu secara bergiliran saat aku sudah merasa tak tahan. Bagaimanapun, biarpun sudah cukup lelah, aku jadi bergairah juga kalau terus diserang seperti itu. ”Luar biasa nikmatnya pesta seks ini, Mal.” bisik Inez sambil terus menjilati batang penisku, ia kini melakukannya bergantian dengan bu Martin, sedang Linda masih terus mempermainkan batangku dengan begitu gemasnya. Tak tahan, istri Mang Kosim itupun segera memberikan tubuh montoknya kepadaku. Usia kandungannya yang sudah jalan 2 bulan membuat badannya jadi sedikit mekar, bikin tambah seksi sih, payudaranya jadi lebih gede sekarang. Kulabuhkan tanganku disana dan kembali kuremas-remas keduanya dengan penuh nafsu. Linda yang melihatnya jadi ikut kepingin. Bergantian dengan Inez, ia memberikan tonjolan buah dadanya kepadaku, membuatku jadi sedikit geragapan juga mendapat hantaman empat bola empuk yang ukuran dan bentuknya sama-sama menggiurkan itu. Hanya bu Martin yang tidak ikut, wanita paro baya yang masih nampak cantik itu tetap setia mempermainkan batang penisku. Bahkan karena sekarang cuma sendirian, ia jadi begitu bebas menikmatinya. Jadilah bu Martin yang pertama mendapat sodokan kontolku di putaran yang kedua ini. ”Ah, bu Martin! Kok malah duluan sih,” keluh Inez sambil mempermainkan memeknya sendiri. ”Iya, nih. Kan kita yang udah nggak tahan.” dukung Linda. ”Hehe,” Bu Martin cuma tertawa menanggapinya, namun tetap meneruskan genjotan pinggulnya di atas tubuhku. Terasa vaginanya sudah sedikit agak longgar, mungkin karena pengaruh usia, lagian ia juga sudah melahirkan banyak enak. Namun bagaimanapun tetap saja mampu membuatku merintih nikmat. ”Ahh... sudah, sudah.” kataku sambil meremasi gundukan payudara Inez secara bergantian, sedangkan untuk Linda kutusuk-tusuk lubang memeknya. Kedua wanita cantik itupun langsung terdiam untuk menikmati aksiku. Di bawah, bu Martin terus menggoyangkan pinggulnya dengan sedikit heboh, bahkan kini sambil merintih-rintih penuh nikmat. ”Ayo, Mal... beri aku pejuhmu, tumpahkan di memekku!” pintanya dengan liar dan jalang, sudah hilang sosok bu Martin yang lugu dan pendiam di putaran pertama tadi. Linda dan Inez tertawa mendengarnya, ”Ya nggak mungkin, Bu. Kemal yang sekarang jadi makin kuat, dia kan habis keluar. Satu jam juga oke-oke aja.” kata Linda. ”Betul, Bu. Bisa-bisa ibu yang KO nanti.” dukung Inez. Aku cuma menanggapi komentar kedua wanita itu dengan anggukan ringan. Memang benar, di putaran kedua, pejuhku jadi makin sulit keluar. Dan sepertinya, para wanita sangat menyukai hal ini. Tak terhitung sudah berapa banyak tetanggaku yang ketagihan karena kemampuanku ini. Aku jadi sangat bersyukur karenanya. Di atas tubuhku, bu Martin masih terus menggenjot tubuhnya. Tak lama, hanya selisih beberapa menit kemudian, tiba-tiba ia sudah berteriak kencang tanda kalau sudah orgasme. Cairan hangat dan kental terasa mengalir deras membasahi batang kontolku. Kutekan pinggulku dalam-dalam agar bu Martin makin lama menikmati orgasmenya. Setelah terkejang-kejang sebentar, wanita itupun akhirnya ambruk. Dengan nafas ngos-ngosan, bu Martin kemudian menyingkir. Penisku terlepas begitu saja dari jepitan liang memeknya. Linda yang melihat kontolku menganggur, segera mengambil alih. Lekas ia kulum batangku yang penuh oleh cairan bu Martin dengan begitu rakus. Inez yang melihatnya jadi ikut tertarik, maka bersama dengan Linda, ia mandikan batangku hingga bersih. Kubiarkan ulah kedua wanita. Aku hanya terdiam pasrah di atas ranjang sambil tersenyum, merasa sangat puas dan bahagia dengan semua ini. “Hajar aku, Mal... memekku udah gatel lagi nih,” kata Linda sambil menarik tanganku agar bangkit, sedangkan ia sendiri merebahkan tubuhnya, bersiap untuk kusetubuhi. ”Habis ini aku ya, Mal.” pinta Inez sambil memeluk dan memberikan bulatan payudaranya kepadaku. “Iya, Mbak sabar dulu yaa.” kuremas dan kupijit-pijit benda itu sebentar sebelum aku beralih pada Linda. “Cuma butuh waktu sebentar kok sama dia.” Lanjutku dengan kontol melesak ke depan, menusuk Linda tepat di belahan memeknya. ”Auw! Mal...” Linda mengaduh. Bukan karena sakit, namun karena nikmat. Malah kini ia mulai menggerakkan pinggulnya guna mengimbangi genjotanku. Sambil terus menggoyang, kuraba dan kuremas-remas bongkahan payudara Inez dan Linda secara bergantian. Sementara bu Martin sudah terkapar tak sadarkan diri di sebelah kami. Saat itulah terdengar pintu depan dibuka. Rupanya Zaskia sudah kembali. Aku harap dia berhasil memenuhi permintaanku untuk mengajak 1 orang lagi yang sangat spesial. Orang yang belum pernah kutiduri namun aku tahu kalau ia sudah terkena pelet telur. Istriku yang bilang secara tak sengaja, saat kami berbincang sebelum aku datang kemari. Dan sekarang, aku ingin membuktikannya. Aku masih terus menggoyang tubuh mulus Linda saat pintu kamar terbuka. Masuklah Zaskia dengan seseorang yang sangat cantik, usianya masih muda, mungkin masih SMA. Sesuai dengan rencana, begitu di dalam, Inez dan Zaskia langsung menyergapnya. Gadis itu, yang sama sekali tidak siap, hanya bisa meronta tak berdaya saat digiring ke sebelahku. Tanpa berkedip kupandangi tubuhnya yang luar biasa indah serta anggun dengan jilbab lebarnya. “Apa kabar, Tih?” tanyaku sambil menyeringai mesum. Gadis yang bernama Ratih itu langsung terdiam. Pandangannya terpaku pada batang kontolku yang masih bergerak keluar-masuk dengan cepat di memek sempit Linda, sementara Linda sendiri terdengar merintih semakin keras, seperti ingin memancing birahi Ratih agar lekas bergabung dengan kami. Inez dan Zaskia masih memegangi tubuh Ratih agar tetap tidak bisa bergerak. “Apa-apaan ini!” bentak Ratih marah, namun kentara kalau itu cuma pura-pura saja, hanya sekedar untuk menjaga harga dirinya yang kini sedang dipertaruhkan. ”Budhe, tolong jelaskan!” gadis itu menoleh pada Zaskia. Ratih memang masih punya hubungan darah dengan Zaskia, kalau tidak salah masih terhitung keponakan. Itulah kenapa Zaskia bisa membujuknya datang kemari, Ratih sering main ke rumah ini. Ayah Ratih adalah kepala desa, dan menurut tebakanku, ayahnya telah menggadaikan tubuh Ratih pada Juragan Karta agar didukung saat pencalonan kepala desa tahun kemarin. Tidak mungkin ayah Ratih yang cuma pedagang kecil bisa punya banyak uang untuk pencalonan kalau tanpa bantuan Juragan Karta yang kaya raya. Meski untuk itu, kehormatan anaknya yang harus dipertaruhkan. Uh, dasar lurah brengsek. Sekarang rasakan akibatnya, anaknya yang cantik ini akan kutiduri. Dengan bantuan Inez dan Zaskia, kuseret Ratih ke tempat tidur. Linda yang sudah mencapai orgasmenya, segera menyingkir untuk memberiku tempat. “Kita akan pesta seks, sayang.“ bisikku tertawa. “Gila! Lepaskan aku! Dasar bajingan! Ini dosa! Kalian setan semua! Bangsat!“ namun Ratih terus memberontak sambil mengelurkan kata-kata kasar, tak kusangka ia yang kelihatan lugu dan berjilbab ternyata bisa mengumpat juga. “Cepat telanjangi dia!“ perintahku pada Inez dan Zaskia. Keduanya langsung menyobek-nyobek pakaian Ratih tanpa bertanya-tanya lagi. Kuminta agar hanya jilbabnya yang disisakan, aku paling suka mengentoti perempuan yang masih berjilbab. Kusingkap jilbab gadis itu dan kuperhatikan tanda hitam sebesar koin di lehernya. ”Sudah, nikmati aja. Nggak usah berpura-pura memberontak segala.” ejekku. Aku yakin, begitu merasakan batang kontolku, ia akan langsung menyerah, sama seperti semua korbanku. Namun Ratih masih gigih melawan. ”Aku nggak mau! Tidak! Lepaskan aku! Bangsat! Kalian semua bangsat! Bajingan!” umpatnya sambil berusaha mengerakkan tubuh ke kiri dan ke kanan. Zaskia jadi kelihatan sedikit panik, ”Gimana ini, Mal? Nanti bisa didengar para tetangga.” Maka segera kubuat keputusan cepat. ”Sumpal mulutnya!” Meski tidak tega, terpaksa kuperhatikan saat Linda membekap mulut Ratih dengan kain bh. Entah bh siapa yang ia pakai, hehe. “Jangan berontak, Rat... sebaiknya turuti kami,“ ancamku dengan sorot mata tajam. Jadi heran juga, kenapa ia tidak kunjung menyerah juga, padahal sudah jelas-jelas ia adalah salah satu korban juragan Karta. Apa iman Ratih begitu tebal hingga sanggup menolak peletku? Ah, sepertinya tidak. Indri, istri ustad Jafar yang terkenal alim saja bisa takluk kok, apalagi cuma seorang Ratih. Atau karena tekadnya yang begitu kuat? kalau itu sih masih mungkin. Namun kata kakekku, siapapun yang terkena pelet ini akan langsung tunduk kok. Semua, tanpa kecuali! Lalu kenapa Ratih tidak? Itu yang nanti harus kutanyakan kepada kakek. Untuk sekarang, sebaiknya kugunakan waktu untuk menikmati tubuh sintal Ratih mumpung lagi siap sedia. Setelah beberapa kali mengentoti istri orang, aku jadi penasaran dengan tubuh gadis muda seperti miliknya. Gimana ya rasanya? Apa akan senikmat saat aku pertama kali mengentoti istriku dulu, yang sanggup membuatku keluar 7 kali dalam semalam. Ah, mudah-mudahan saja. Setelah bentakanku tadi, Ratih sekarang menjadi diam, tidak memberontak lagi. Entah karena takut atau karena sudah terpengaruh peletku, aku tak peduli. Yang penting, ia sudah jatuh ke dalam pelukanku. Inez dan Zaskia dengan cepat melolosi sisa pakaian Ratih. Bra dan celdamnya ditarik lepas dan dibuang begitu saja ke lantai. Ratih sekarang sudah sepenuhnya telanjang di depanku, hanya tersisa jilbab lebar yang masih membingkai wajah cantiknya, namun itupun juga sudah diikat ke belakang hingga menampakkan bulatan payudaranya yang meski berukuran sedang namun terlihat cukup tegak menantang. Maklum masih gadis, masih belum pernah hamil dan menyusui. Kemulusan tubuhnya benar-benar membuatku berdecak kagum dan ingin lekas menjilatinya. “Apa yang akan kalian perbuat padaku?” tanya Ratih pasrah. Inez yang berada di dekatnya langsung membisiki, “Ada kontol besar menunggumu, Sayang.“ “Tolong! Jangan perkosa aku!“ rintih Ratih untuk yang terakhir kali, dengan paras takut ia memandangi batang penisku yang sengaja kupamerkan di depannya. Gadis itu melotot sebentar sebelum kemudian memalingkan wajahnya agar tidak memandangi batangku. “Kamu memang luar biasa cantik, Rat. Tak sabar rasanya pengen ngerasain tubuhmu.“ Aku bangun dan memeluk tubuhnya, Ratih sama sekali tidak melawan karena begitu ketakutan. “Kumohon, lepaskan aku! Kenapa semua alim-alim kok bisa-bisanya berbuat maksiat seperti ini?“ keluh Ratih lirih. Namun aku tak perduli, dan juga tidak berniat untuk menjawab, malah dengan cepat aku menunduk dan melakukan oral seks di vaginanya. Ratih terlihat sedikit memberontak, namun segera dipegangi kembali oleh Inez dan Zaskia. Kembali kujilati memek gadis itu sambil sesekali kuremas-remas buah dadanya yang tidak begitu besar. Tidak sanggup untuk melawan, kini hanya terdengar rintihan lirih bibir Ratih yang gemetar ketakutan akibat ulahku. “Ampun! Ohh... ouhh... auwhh!” teriaknya kecil saat kudorong tubuhnya hingga rebah ke ranjang dan langsung menindihnya. “Pegang yang kuat ya,” perintahku pada Inez dan Zaskia. “Nggak sabar rasanya pengin langsung nyoblos memeknya!“ kataku yang disambut anggukan oleh Inez dan Zaskia. Kembali aku menjilati vagina Ratih yang tampak mulai ditumbuhi rambut-rambut halus berwarna hitam. Aku jadi membayangkan, saat dientot juragan Karta dulu, pasti memek ini masih licin gundul. Uh, membayangkannya saja sudah membuatku tak tahan. “Nggak usah teriak, Rat. Enak kok pesta seks itu, aku aja suka.“ hibur Zaskia sambil membenahi jilbab Ratih yang berantakan. “Budhe gila! Kalian semua gila!” teriak Ratih ketus, namun langsung terdiam begitu lidahku mulai menari-nari di liang memeknya yang asin. Bahkan yang ada, erangan dan rintihan kecil mulai keluar dari mulutnya yang tipis meski terlihat Ratih berusaha sekuat tenaga untuk menahan. Terus kujilati liang sempit itu, bau wangi tubuh Ratih semakin membuatku bergairah. Ratih memejamkan mata karena tidak tahan akan oralku yang memberikan sentuhan birahi sedikit demi sedikit, sehingga ia yang awalnya memberontak kini jadi menggemulai perlahan-lahan. Saat membuka mata, Ratih memang tidak menangis, namun dari matanya tampak mengalir cairan bening yang membasahi pipi mulusnya. Entah itu air mata penyesalan atau kepuasan, aku tak peduli. “Nikmati aja, Rat, enak kok! Coba rasakan, kontol Kemal besar dan panjang, enak sekali kalau disodoki pake itu!” bujuk Zaskia lagi. ”Nggak mau! Dasar budhe edan!” jerit Ratih dengan suara bergetar. “Cepetan, Mal. Masukkan kontolmu! Setubuhi dia!” bisik Inez yang gemas melihatku mengulur-ulur waktu. ”Eh, iya. Iya!” akupun langsung bangkit. Setelah meremas sebentar buah dada Ratih, aku langsung memasang kuda-kuda. Kuarahkan penis panjangku ke lubang senggama gadis itu, lalu kutekan perlahan saat sudah pas. Ratih sedikit melotot merasakan batangku yang mulai memasuki lubang kemaluannya. ”Ampun! Hentikan, Bang! Aku masih perawan!” jerit gadis itu mencoba mencegah perbuatanku, namun tentu saja tidak bisa. Yang ada, aku malah makin bersemangat. Terus kutekan batangku hingga membuat Ratih memekik dengan tubuh melengkung ke atas. Sepertinya sangat kesakitan sekali, apa batangku terlalu besar ya? “Perawan apa!” protesku tanpa berniat untuk mengukurnya lebih lanjut. ”Nggak usah bohong deh, aku sudah tahu semua!” sahutku sambil terus menekan dan menarik batangku sehingga semakin tenggelam ke celah kemaluannya. ”Ohh... tidak! Hentikan! Aku mohon!” Ratih semakin menjerit kuat. Tubuhnya terdorong ke belakang seperti ingin menjauh, namun tidak bisa karena sudah dipegangi oleh Inez dan Zaskia. Tak ingin lepas, akupun mendesak lagi. Kusentak pinggulku kuat-kuat sampai batangku amblas seluruhnya ke memek sempit gadis muda itu, membuat Ratih menjerit begitu kencang di sebelah telingaku, ”Aaaaauuww...!!!“ “Diam! Nggak usah pake nangis segala! Kamu sulit amat sih...” aku jadi sedikit hilang kesabaran. Aneh juga, Ratih adalah korbanku yang paling sulit untuk ditaklukkan. Padahal biasanya, dengan sekali pandang saja, setiap korbanku akan jatuh berlutut, menyerah seutuhnya. Namun dengan Ratih... ah, entahlah. Aku sendiri juga bingung. ”Ampun, Bang... aah... aah... uhh...“ lenguh Ratih ketika mulai kusodok-sodok tubuh sintalnya sambil kulumat pelan bibirnya yang tipis. Gadis itu tampak semakin menggeliat, tangisannya menjadi semakin keras. Namun sudah tidak melawan lagi, ia hanya pasif menerima segala seranganku. Kugenjot terus pinggulku untuk menyetubuhinya. Terasa dinding vaginanya yang sempit seperti mencekik batang kontolku, namun bukannya sakit, malah aku merasa nikmat sekali. Memang beda memek gadis muda yang belum pernah melahirkan dengan punya ibu-ibu macam Inez maupun Linda. Meski sama-sama nikmat, tapi tetap saja ada sensasi yang berbeda. “Ayo gerak donk, Rat.“ ajakku melihat Ratih yang masih pasif. Ia memadangku, dari sorot matanya terlihat kalau ia masih menolak segala sentuhanku. Namun aku tidak kekurangan akal, kembali kulumat bibir tipisnya sambil kusodok-sodok memeknya sedikit lebih cepat. Akibatnya, Ratih jadi agak sedikit melenguh karenanya. “Auw... aah... aah... ampun... jangan... aah... ahh...” lenguhnya dengan air mata terus mengalir di pipi. “Goyang donk, Rat... makin enak rasanya memekmu!” ajakku lagi, yang disambut senyum oleh Inez dan Zaskia yang masih setia mendampingi. Sementara Linda dan bu Martin sudah mendengkur halus, seperti tak peduli dengan apapun yang terjadi di sebelahnya. “Sudah... aah... aku mohon.. aauh... uuh…” desah Ratih tak karuan. Bukannya kasihan, mendengarnya malah membuatku semakin bernafsu menggenjot tubuh sintalnya. Ratih memejamkan mata, kepalanya mendongak sambil ia menggigit bibirnya kuat-kuat, sementara tubuhnya kian terguncang menerima segala serbuanku. Gelora birahi, meski pelan, namun tampak mulai menyelubunginya. Membuat Ratih jadi terdiam dan perlahan pinggangnya mulai bergerak mengikuti ayunan pinggulku. ”Terus, Mal. Dia mulai menikmati,” seru Inez. “Iya, Mal. Genjot terus!” dukung Zaskia. ”Uuh... ooh... aah...“ lenguhku sambil mengangguk. Aku tak sanggup untuk berkata apa-apa lagi, tubuhku sudah begitu termakan api birahi. Rasanya benar-benar nikmat, membuatku jadi tak tahan. Ratih merapatkan kakinya, sementara vaginanya menyempit dengan begitu cepat, seperti mencekik batang kontolku hingga jadi sedikit ngilu. Namun aku terus menggenjotnya dengan begitu cepat, hingga tak lama kemudian kudengar Ratih melenguh panjang saat mendapatkan orgasmenya yang pertama. “Aah... aaauuww!!!” erang gadis itu saat cairan kental mengucur deras dari lubang vaginanya, membasahi seluruh batang kontolku yang masih terbenam dalam. Tubuh Ratih kelojotan tak karuan, namun segera dipegangi oleh Inez dan Zaskia agar tidak sampai membentur tembok. “Sudah, bang... aah... ampun!!“ rintih Ratih dengan suara lemah. Pijitan memeknya yang masih terus berkedut-kedut pelan membuatku kegelian meski aku tidak menggerakkan batang kontolku. Akibatnya, tanpa perlu capek-capek menggenjot, aku sudah dihantarnya menuju puncak kenikmatan. Croot... croot... croot... ”Auh... aarrghhh...” aku melolong tak karuan saat cairan spermaku menyembur deras memenuhi lubang memeknya. Sesaat aku merasa ringan bagai kapas, bisa kurasakan cairan spermaku yang meleleh di sela-sela alat kelamin kami berdua yang masih bertaut erat. Terengah-engah penuh kepuasan, aku diam memeluknya. Tak lama, setelah orgasmenya berlalu, Ratih menggeliat bangun dan kemudian menangis keras. “Jahanam! Bangsat kamu!!” raungnya marah. Aku jadi bingung, kukira setelah mendapat nikmat, ia akan menyerah kepadaku. Tak tahunya, tetap saja marah-marah dan memberontak. Aku jadi bingung. Kenapa peletku tidak bekerja kepadanya? Jawabannya baru kuketahui beberapa saat kemudian saat Inez memberitahuku sesuatu dengan suara bergetar. ”Mal, i-ini... d-darah!” bisiknya takut-takut. Aku melirik ke bawah, dan DEG! Seperti mau pingsan rasanya saat kulihat lelehan darah di atas sprei, tepat di bawah bokong bulat Ratih. Orang bodohpun tahu, itu adalah darah perawan. Asalnya dari memek sempit Ratih yang masih tersumbat oleh batang kontolku. Masih ada sisa-sisa darah di kulit kelamin kami berdua. Namun itu tidak mungkin! Kenapa dia masih perawan? Bukankah juragan Karta sudah menidurinya lebih dulu? Harusnya... ”S-sudah kubilang, aku masih perawan!” bisik Ratih sambil terus menangis. Aku tidak menjawab, hanya terbengong-bengong menatapnya. Sementara Inez dan Zaskia juga sama, mereka tidak berani membuka suara dan kelihatan sangat takut sekali. Kami sudah salah memilih korban! ”Maaf, Rat. A-aku nggak tahu!” jawabku sambil menarik penis, kubiarkan Ratih menangis tersedu-sedu pelan. ”T-tapi, bagaimana bisa?” tanyaku bingung. Ratih menatapku tajam. ”Tentu saja bisa!” semburnya kencang. ”Aku masih kecil, masih sekolah! Belum pernah aku melakukan hal sehina itu!” Aku melongo. ”K-kamu belum pernah tidur dengan juragan Karta?” tanyaku lagi. Ratih terdiam, lalu menggeleng pelan. ”Jangan bawa-bawa nama orang yang sudah mati. Kamu telah memperkosaku! Dan pasti akan menanggung akibatnya.” ia lalu menoleh pada Inez dan Zaskia. ”juga kalian semua!” ancamnya serius. ”M-maafkan kami,” kata keduanya secara bersamaan. ”Nggak!” Ratih menggeleng, bara dendam tampak menyala di matanya yang berair. ”Kalian akan merasakan yang lebih menyakitkan, terutama budhe!” ancamnya pada Zaskia. ”Maafkan aku, Rat. Aku nggak tahu,” geleng Zaskia sambil ikut menangis. Tidak menjawab, Ratih bangkit dari tempat tidur dan memunguti pakaiannya. ”J-jangan laporkan kami, Rat. Kami janji akan menutupi ini rapat-rapat.” pinta Inez. Ratih menoleh, ”Nggak usah kuatir,” jawabnya. ”aku sudah punya rencana sendiri buat kalian.” dan setelah berkata begitu, ia mengenakan pakaiannya lalu keluar dari kamar. Dengan diantar oleh Zaskia, ia kembali pulang. Tinggallah aku dan Inez yang duduk terdiam berdua, mencoba menebak-nebak hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Ratih pada kami semua. Di ujung ranjang, Linda dan bu Martin masih tertidur pulas, sama sekali tidak mengetahui masa-masa kelam yang siap menanti di esok hari.

Sang Penggali Kubur 4

Dengan pinggul bergerak pelan, terus kusetubuhi Zaskia, istri kang Bahar. Payudaranya yang besar nampak bergoyang indah, yang segera kupegangi dan kuremas-remas lembut, terasa sangat empuk dan kenyal sekali saat berada dalam genggaman tanganku. “Ahh... Mal!” Zaskia mendesah lirih saat kuemut putingnya yang mungil, langsung kujilat dan kuhisap-hisap benda lancip itu sambil terus kugerakkan penisku menelusuri lubang vaginanya. Terasa sangat sempit sekali disana, batangku bagai dicekik dan digigit-gigit secara terus menerus. “Ehm, Zas...” mendesah keenakan, kugerakkan penisku semakin cepat. Aku sudah akan orgasme saat dikagetkan oleh pintu depan yang terbuka secara tiba-tiba. “Ditungguin dari tadi, rupanya mampir disini!” seru suara seorang wanita, yang kuketahui sebagai bu Sofi, istri Pak RT. “Iya, untung aku lihat sendalnya di luar.” timpal Linda. Tanpa perlu menoleh, aku sudah bisa menebak siapa mereka. Siapa lagi kalau bukan ibu-ibu arisan yang janjian pesta seks denganku. Ada 4 orang, selain Linda dan bu Sofi, juga ada Inez dan bu Martin. Aku sedikit kecewa karena tidak kulihat Indri disana, padahal dia yang paling kuharap untuk datang. Tapi tak apalah, toh sudah ada Zaskia yang bisa dipakai sebagai pengganti, sama-sama cantik dan berjilbab juga. “Heh, apa-apaan...” tapi Zaskia yang tidak mengetahui rencana kami, tentu saja langsung gelagapan sambil meloncat bingung. Ia terlihat begitu ketakutan sambil berusaha menutupi badannya yang telanjang dengan pakaian yang bisa ia temukan, jilbabnya yang lebar masih berada di atas kepalanya. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa...” aku berusaha menenangkan, kupeluk tubuh sintalnya sambil kusuruh ibu-ibu untuk diam dengan lirikan mataku. Bu Sofi yang akan bicara, langsung menutup mulutnya. Keempatnya cuma mengelilingi kami sambil tersenyum ringan. Zaskia yang masih shock, berusaha berlindung di balik tubuhku. “M-maaf, ini nggak seperti yang ibu kira.” katanya pada bu Sofi, masih salah paham, mengira kedatangan bu Sofi kesini untuk menangkap basah dirinya yang sedang berselingkuh denganku. “Nggak apa-apa, aku bisa mengerti kok.” sahut bu Sofi. “Yang penting sekarang, aku boleh gabung nggak?” tanyanya sambil tersenyum makin lebar. Zaskia tidak langsung menjawab, ia berusaha mencerna sebentar kata-kata istri Pak RT tersebut. Setelah ngeh, baru dia menyahut. “M-maksud ibu apa?” tanyanya dengan mimik muka tak percaya. “Iya, aku mau ikut gabung, begitu juga dengan ibu-ibu yang lain. Rame-rame kita serang si Kemal.” sahut bu Sofi santai. ‘Bener ‘kan ibu-ibu?” tanyanya pada Linda, Inez dan bu Martin yang berdiri di belakangnya. Ketiganya lekas mengangguk secara serempak. Zaskia kembali terdiam, rencana ini tampak terlalu radikal bagi pikirannya yang lugu. Main denganku saja sudah salah, apalagi rame-rame, mana bisa diterima oleh akal sehatnya. Tapi itu semua segera terhapus begitu aku mengecup pelan bibir tipisnya. “Sudahlah, santai aja. Kita nikmati aja malam ini,” bisikku sambil menyingkap selimut yang menutupi bagian depan buah dadanya dengan perlahan. “Tapi,” belum selesai dia berkata, payudaranya yang mengkal dan indah langsung kuremas-remas pelan. “Aihh...” Zaskia jadi merintih dibuatnya, dan diapun menjatuhkan diri ke dalam pelukanku. “Hihi, jadi resmilah sudah, kita berpesta malam ini!” kata bu Sofi sambil mencopot baju gamisnya dan tersenyum kepadaku, matanya tak lepas memandangi selangkanganku yang masih ngaceng sempurna. Linda malah bertindak lebih tidak sabaran, ia membuka pakaiannya mendahului bu Sofi. Begitu juga dengan Inez, istri mang Kosim yang sedang hamil muda tersebut menaikkan kakinya ke ranjang kemudian membuka seluruh pakaiannya. Ditambah bu Martin, lengkaplah sudah aku dikerubungi lima bidadari cantik yang semuanya bugil dan telanjang bulat. “Maaf, Lin. Habisnya aku nunggu lama banget sih. ‘Kan bosen jadinya.” kilahku sambil memandangi kemaluannya, benda itu tampak sudah basah termakan birahi. “Bu Sofi tuh, pake acara baca tahlil segala, jadi lama deh.” sahut Linda. Bu Sofi yang tidak mau disalahkan, lekas menukas. “Yang penting kan kita sudah ngumpul. Malah jadi enak... semakin pengen, semakin kita menikmatinya.” Inez mendukung, “Iya, Lin. Aku sudah nggak sabar nih pengen ngerasain kontol Kemal masuk ke dalam punyaku.” katanya dengan gemas sambil mengusap-usap kemaluannya sendiri. Sementara bu Martin yang baru pertama kali ini main denganku, sepertinya masih kagok, ia cuma terdiam pasrah sambil meremas-remas payudaranya sendiri. Sedangkan Zaskia yang tetap berada dalam pelukanku, memandang bolak-balik antara aku dan para ibu-ibu, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Sepertinya bukan dia saja yang bingung, pembaca pasti juga bingung. Baiklah, sebelum kuteruskan, akan kujelaskan terlebih dahulu. Seperti sudah diketahui, malam ini aku ada janji dengan Linda untuk melakukan pesta seks di rumahnya, bersama para ibu-ibu peserta arisan. Aku bisa melakukannya karena punya ilmu pelet warisan dari kakekku, yang seorang penggali kubur, sama seperti diriku. Dengan pelet itu, siapapun yang sudah tidur dengan alm. juragan Karta, akan bisa juga kutiduri, tanpa perlu dirayu atau diancam macam-macam. Cukup dengan melihat tanda lingkaran hitam di leher mereka, siapapun orangnya, baik tua ataupun muda, alim seperti Indri ataupun ganjen seperti Linda, semuanya bisa kuajak selingkuh. Tak terkecuali Zaskia, yang rumahnya tepat berada di sebelah rumah Linda. Aku sedang menunggu arisan bubar saat kulihat istri kang Bahar itu keluar ke pekarangan belakang untuk memberi makan ayam. Dia memergokiku. Tanpa bisa berkutik, akupun keluar dari tempat persembunyian dan berjalan mendekatinya. Di luar dugaan, saat aku akan menyapa untuk meminta kata maaf, Zaskia tiba-tiba memeluk dan mengajakku untuk masuk ke dalam. Awalnya aku shock juga, tapi setelah mengingat peristiwa dengan Nia tempo hari, aku jadi maklum. Mungkin Zaskia adalah salah satu korban juragan Karta yang tidak kuketahui, sehari-hari kan dia mengenakan jilbab lebar, jadi mana mungkin aku bisa melihat tanda di lehernya. Begitu dia membuka seluruh bajunya, barulah kutemukan tanda itu, tersembunyi tepat di bawah tulang pipinya. Zaskia sudah akan membuka jilbab lebarnya saat aku melarang, “Jangan, pakai aja. Kamu lebih cantik kalau pake jilbab.” bisikku sambil mulai menciumi pipi dan bibirnya, sementara tanganku dengan gemas bergerilya di tonjolan buah dadanya yang bulat besar. Kupijit dan kuremas-remas benda itu hingga membuat Zaskia mulai merintih kegelian. “Ahh... Mal, kamu kok nakal sih,” lirihnya. “Tapi kamu suka ‘kan?” godaku. Sekali lagi kulumat bibir tipisnya sebelum ciumanku turun ke arah buah dadanya. Dengan penuh nafsu kusosor daging kembar itu, kuhisap dan kujilati putingnya yang sudah mengeras tajam berkali-kali. “Ahh... iya, Mal. Nggak tahu nih, begitu lihat kamu, aku jadi pengen.” sahutnya, “bahkan sudah seminggu ini aku mimpi tidur sama kamu!” tambahnya. Aku tersenyum, ‘Bukan kamu saja, Zas. Banyak ibu-ibu yang mengalami hal serupa.’ jawabku dalam hati. Tanpa berkata apa-apa lagi, akupun segera menyetubuhinya. Kujilat sebentar memeknya yang mulus sempurna sebelum kuisi dengan penisku tidak lama kemudian. Zaskia merintih suka, dia memelukku erat sambil menyuruhku untuk kembali mencium dan menjilati puting buah dadanya. Begitulah, sambil menunggu selesainya acara arisan di rumah Linda, aku bermain-main sebentar dengan Zaskia, istri kang Bahar yang lugu dan alim ini. Kang Bahar sendiri memang tidak ada di rumah, ia ikut suami Linda jadi tukang batu ke kota. Pulang sebulan sekali, jadi pantas saja kalau istrinya jadi kesepian -sama seperti Linda- dan ujung-ujungnya mudah jatuh ke dalam pelukanku. Sebenarnya, aku tidak berniat memindah tempat pesta ke rumah Zaskia. Rencanaku, sehabis menyetubuhi Zaskia, aku akan pergi ke rumah Linda, menemui para ibu-ibu ganjen yang sudah menunggu kedatanganku. Tapi tak dinyana, tubuh Zaskia ternyata begitu nikmat. Aku jadi suka dan ketagihan. Sehabis orgasme untuk yang pertama, bukannya berhenti, aku malah minta lagi. Zaskia yang juga ketagihan dengan kejantanan penisku, tentu saja mengabulkannya dengan senang hati. Jadilah kami memasuki ronde yang kedua, dan sampai acara arisan bubar, kami belum selesai juga. Aku awalnya sudah mengikhlaskan acara pesta seks itu batal, tidak apa-apa karena aku sudah mendapatkan kepuasan dari Zaskia, malah itu yang menurutku paling penting. Tapi nyatanya sekarang, Linda dan ibu-ibu lain hadir di hadapanku, siap mewujudkan fantasi terliar seorang laki-laki sepertiku. Aku tentu saja menerimanya dengan senang hati, meski tidak tahu nanti kuat apa tidak. Bayangkan, satu lawan lima! Melawan Inez dan Linda saja aku sudah dibuat ketar-ketir, sekarang malah ditambah bu Sofi dan bu Martin, dua wanita cantik setengah baya yang tentunya sudah sangat berpengalaman dalam urusan ranjang. Belum lagi Zaskia, yang meski sudah kubuat orgasme berkali-kali, namun tetap tidak pernah kelihatan bosan. “Ayo kita hajar dia.” seru bu Sofi yang tampaknya bertindak sebagai pemimpin. Linda dan Inez segera mendekat, duduk di sebelah kiriku. Sementara bu Martin menempatkan diri di sebelah kanan, bersebelahan dengan Zaskia yang sudah menyingkir dari tubuhku. Tempatnya kini digantikan oleh bu Sofi yang sudah menghambur manja ke dalam pelukanku. “Ayo, Mal... puaskan aku! Sudah lama aku pengen ngentot sama kamu.” bisiknya sambil mengelus gemas penisku yang masih menegak sempurna. “Kontol gede gini, aku pasti puas nanti.” tambahnya. Inez dan Linda tertawa mendengarnya. Kuraih dan kupijit-pijit payudara mereka berdua secara bergantian saat bu Sofi mulai menunduk untuk mengulum penisku. “Mbak tambah gemuk aja,” bisikku pada Inez. “Orang hamil ya gini ini, Mal. Lihat Linda tuh, nggak hamil tapi juga tambah gemuk.” seloroh Inez. “Bukan gemuk, Mbak. Tapi sintal,” sergah Linda sambil tertawa. “Ininya yang sintal,” sahutku sambil kembali meremas-remas gemas bulatan payudaranya. “Sama ini juga,” kuturunkan tanganku dan kupijit pelan bukit kemaluannya. Linda melenguh pelan, tapi terlihat menikmatinya. Zaskia meraih tanganku yang satunya, ia yang masih konak rupanya ingin diperhatikan juga. Kulepas tubuh molek Linda dan segera beralih ke dua wanita cantik yang ada di sebelah kananku. Bu Martin menunduk saat kutatap wajahnya, rupanya dia masih malu. Segera aku mendekat dan menciumnya, kami bertukar bibir sebentar sambil kuremas-remas lembut bulatan payudaranya. “Jangan sungkan, bu.” kataku. “Ini ‘kan yang ibu cari?” terasa payudaranya begitu empuk dan hangat. Meski terasa agak sedikit kendor, tapi karena berukuran cukup besar, aku jadi suka juga. Terus kupijat dan kuremas-remas sampai akhirnya bu Martin melenguh pelan tak lama kemudian. “Iya, Mal. Uhh... enak! Terus, Mal...” rintihnya dengan pandangan mulai meredup sayu. Tapi tentu saja aku tidak mengabulkannya, karena masih ada Zaskia yang dengan sabar menunggu giliran untuk dijamah. Ia membimbing tanganku untuk ditempelkan kembali pada gundukan payudaranya yang bulat menggoda. Diantara semuanya, memang kulihat tubuh Zaskia yang paling menawan. Mungkin karena usianya yang masih muda dan dia juga belum mempunyai anak. Beda dengan ibu-ibu yang lain, yang rata-rata sudah pernah melahirkan. Di bawah, bu Sofi terus menunduk untuk mengulum dan menghisap penisku. Payudaranya yang besar terasa empuk saat menempel di atas perutku. Sambil memegang dada Zaskia, kuminta bu Sofi untuk menggesek-gesekkannya. Aku ingin merasakan pijatan benda bulat padat itu pada batang kontolku. ”Ada-ada aja kamu, Mal.” sahut bu Sofi, tapi tetap melakukan apa yang kuminta. Sekarang tubuhnya bergerak pelan di atas selankanganku, dengan penisku tepat terjepit di belahan payudaranya yang sintal. Bu Sofi mengocoknya pelan sambil mulutnya terus menjilati ujung penisku yang sesekali menyeruak muncul ke permukaan. ”Ahh...” aku merintih keenakan. Mulutku nyosor menciumi empat wanita cantik yang duduk mengeliling di sebelahku, dimulai dari Zaskia dan berakhir di Linda, sambil tanganku terus memijit dan meremas-remas payudara mereka secara bergantian. Untuk ciuman, kurasakan Inez yang paling pintar. Lidah dan bibirnya dengan piawai meladeni lumatanku, sambil sesekali menghisap kuat hingga aku tak kuasa untuk melepasnya. Kalau dipakai untuk mengoral penis, sepertinya bakal nikmat juga. Daripada penasaran, akupun segera menyuruhnya untuk menggantikan tempat bu Sofi. ”Tapi aku masih pengen, Mal.” sergah bu Sofi dengan nada kecewa. Tapi dia langsung terdiam begitu tanganku mulai mengobok-obok dan mengocok liang kemaluannya. ”Gantian, bu.” sahutku. ”Semua pasti pengen juga, benar ’kan?” tanyaku pada wanita yang tersisa. Linda, Zaskia dan bu Martin segera mengangguk mengiyakan. Di bawah, Inez yang sudah siap di posisi, segera mencaplok dan melahap penisku. Uhh... benar saja, hisapannya memang begitu nikmat. Batangku bagai dipilin dan dipelintir-pelintir di dalam mulutnya. Sungguh sangat luar biasa. Darimana dia belajar teknik seperti itu? Perasaan, terakhir kali aku menidurinya, ia biasa-biasa saja. Nanti ingatkan aku untuk menanyakannya saat kami sudah selesai! Keenakan, aku langsung menggelinjang sambil melenguh pelan. ”Ahh... Nez!!” kuremas payudara Linda dan bu Martin secara bersamaan sebagai pelampiasan rasa nikmatku, sementara mulutku menjelajahi rongga mulut Zaskia yang sudah menganga sedari tadi dengan begitu rakus. Berhimpit dan berdempetan, kami saling memeluk di atas ranjang. Aku yang berada di tengah jadi seperti sansak hidup, terus dihantam dan ditindih oleh tubuh kelimanya secara bergantian. Terutama payudara mereka yang begitu bulat dan empuk, berkali-kali menjejali mulutku, mengisinya dengan puting-puting kemerahan yang sudah menegak dan mengencang sempurna. Aku menghisapnya bergantian, menjilatnya kalau sudah kehabisan nafas, sambil dengan keras berusaha menahan birahi akibat jilitan Inez yang begitu rakus dan nikmat pada batang penisku. “Mal, mainin putingku...“ Zaskia maju dan memberikan bulatan payudaranya padaku. Aku segera menghisapnya penuh nafsu sambil kedua tanganku meremas-remas payudara Linda dan bu Martin secara bergantian, sementara bu Sofi untuk sesaat kubiarkan menganggur. “Jangan diremes-remes terus, Mal... beri aku kontolmu!“ iba Linda yang sepertinya paling tak tahan. Dia kemudian memegang kepalaku, menariknya dari belahan dada Zaskia, dan langsung melumatnya habis hingga tak bersisa. Meski sangat nikmat, aku merasa kewalahan juga dikeroyok oleh lima wanita nakal seperti mereka. Apalagi di bawah, Inez juga semakin nafsu melumat batangku. Mulutnya yang tipis terus menelan, sambil mengocok-ngocok pelan kalau sudah kecapekan. Di sampingnya, Zaskia tampak menonton sambil membelalakkan matanya lebar-lebar. “Ada apa, Zas?” tanya bu Sofi sambil meremas-remas payudaranya sendiri. Aku yang melihatnya, jadi jatuh iba. Lekas kubantu istri pak RT itu mempermainkan bulatan payudaranya. ”Ahh... Mal!” ia melenguh pelan, kaget tapi suka. Zaskia yang ditanya jadi sedikit tersentak, seperti baru tersadar dari lamunan. ”Ah, enggak, bu. Saya cuma heran aja, ini mbak Inez kok kaya suka banget sama senjatanya Kemal.” jawabnya ragu. ”Emang kamu nggak suka?” tanya bu Sofi. ”Auw! Mal!” dan langsung menjerit saat kupencet kedua putingnya kuat-kuat. Aku tertawa, tapi tidak bisa mengelurkan suara karena mulutku masih dipenuhi oleh susu empuk milik Linda dan bu Martin. Kedua wanita cantik itu memintaku untuk menjilati kedua puting mereka secara bergantian. Sambil menghisap pelan, kuperhatikan saat Zaskia menoleh kepadaku dan tersenyum. ”Suka donk! Kalau enggak, buat apa saya repot-repot panggil Kemal buat main ke rumah.” jawabnya. Inez yang jongkok di bawah tubuhku, melepas kulumannya sejenak dan mendongak. ”Lha itu tahu, kenapa pake tanya segala? Buatku, sehari nggak lihat kontol besar si Kemal, rasanya belum bisa tidur nyenyak!“ sahut Inez sambil menelan batangku kembali. Aku yang keenakan, sama sekali tidak menyahuti obrolan mereka. Aku sudah akan mencium lagi payudara Linda dan bu Martin saat kudengar ketukan pelan di pintu depan, ”Eh, ada orang di luar.” bisikku. Kita semua langsung terdiam. ”Zas, coba lihat itu siapa.” perintah bu Sofi pada Zaskia, si pemilik rumah. Ia tampak sedikit jengkel karena kesenangannya terganggu. Begitu juga dengan Zaskia, dengan ogah-ogahan ia mengenakan dasternya kembali (tanpa daleman) dan merapikan jilbabnya, lalu melangkah malas ke ruang tamu. Kudengar ia berbicara sebentar dengan seseorang, sepertinya anak kecil. Saat kembali, Zaskia menoleh kepada bu Sofi, ”Ibu dicari sama pak RT, mau diajak ke rumah pak Lurah.” katanya. Bu Sofi dengan menepuk dahinya menyahut, ”Ah, iya. Kita memang ada janji mau bahas dana PNPM mandiri.” Ia lalu menoleh kepadaku, ”Gimana ini, Mal, aku ’kan belum apa-apa?” Kupeluk dan kukecup dia, ”Sabar, Bu, kapan-kapan kan juga bisa. Lain kali akan kupuaskan ibu, kita main berdua saja.” janjiku. ”Kenapa nggak sekarang aja?” usul Inez yang masih setia menjilati penisku. ”Iya, ’kan cuma bentar. Paling 5 menit juga udah selesai. Aku aja dibikin KO 3 kali sama Kemal, padahal kita cuma main selama 10 menit.” dukung Zaskia. Aku tersenyum memandangi mereka berdua, ”Kalian nggak iri kalau bu Sofi kuentoti duluan?” tanyaku. ”Enggak, ini ’kan situasinya khusus. Iya ’kan, Lin? Bu Martin?” sahut Ines meminta pendapat pada 2 ibu yang tersisa, yang dari tadi cuma diam menikmati remasan tanganku pada payudara mereka. Linda dan bu Martin mengangguk secara bersamaan. Bu Sofi yang mengetahui hal itu segera mendorong tubuhku, “Ayo, Mal. Tuh mereka setuju.” desaknya. ”Cepetan, nanti suamiku jadi tambah curiga.” tambahnya. Aku yang tidak bisa mengelak lagi segera merebahkan diri, kutarik tangan bu Sofi agar menduduki selangkanganku. Dengan tubuhnya yang sintal, dia naik ke atas batangku dan mendudukinya. Pelan ia menekannya hingga batangku melesak masuk seluruhnya, mengisi celah kemaluannya yang agak lebar karena sudah dipakai melahirkan banyak anak. “Aahh…” tapi meski begitu, tetap saja mampu membuatku melenguh nikmat. Selebar-lebarnya memek, tetap saja nikmat kalau dipakai buat ngebungkus kontol, apalagi kalau yang punya wanita cantik dan seksi macam bu Sofi, siapapun pasti akan ketagihan dibuatnya. Tak terkecuali aku. Sambil mengelus dan meremas-remas belahan payudaranya, akupun mulai menggoyang naik turun. Kudesak tubuh montok bu Sofi pelan-pelan untuk menggesekkan alat kelamin kami yang sudah bertaut erat hingga jadi terasa lebih nikmat. ”Ahh... enak banget, Mal. Kontol kamu gede! Aku suka...” rintih bu Sofi dengan badan terhentak-hentak keras. Sama sekali tak kukira, di usianya yang sudah hampir mendekati kepala lima, ia masih punya libido begini tinggi. Terus kutusuk-tusukkan penisku saat Linda mengambil tanganku agar meremas-remas kembali bulatan payudaranya, begitu juga dengan Zaskia yang meminta agar vaginanya kupermainkan. Yang paling parah adalah Inez, dengan tertatih-tatih ia naik ke atas ke atas kepalaku dan menempatkan kemaluannya yang sudah bersemu merah tepat di depan mulutku. ”Jilatin, Mal.” pintanya sambil menggesek-gesekkan benda itu ke dalam mulutku, mau tak mau aku harus mencucup dan menghisapnya kalau mau tetap bisa bernafas. Jadi begitulah, sambil menyetubuhi bu Sofi, kurangsang juga keempat wanita yang mengelilingiku. Untuk bu Martin yang pemalu, kusuruh agar berjejer dengan Zaskia, kujamah dan kupegang-pegang kemaluannya karena tadi sudah kurasakan bulatan payudaranya yang empuk dan kenyal. “Ahh, Mal... auhh... shhh... enak! Terus!” rintih mereka secara bergantian. Di atas tubuhku, bu Sofi mendesis semakin keras manakala kugoyang pinggulku semakin cepat, “Huuh… nikmat banget, Mal. Kenapa nggak dari dulu-dulu kamu melakukannya?!” tanyanya kacau. “Yah, sapa yang tahu kalau bu Sofi juga pengen.” jawabku. Padahal ini semua akibat dari pelet, kalau dalam kondisi normal, tidak mungkin bu Sofi yang pemilih dan gengsian itu mau sama aku yang dekil ini. Begitu juga dengan ibu-ibu yang lain. Bu Sofi terus bergerak naik turun dengan begitu bernafsunya, badannya yang sintal tampak mengkilat oleh keringat yang sudah membanjir. Gerakannya semakin lama menjadi semakin cepat. “Ooh... Mal... enak... memekku enak... kontolmu enak...” sahutnya melantur, sudah tidak ingat lagi kehormatan dirinya. Bu Martin yang melihatnya sampai geleng-geleng kepala, sama sekali tak menyangka kalau bu Sofi yang biasanya sopan dan pendiam bisa menjadi begini liar saat bersetubuh. ”Emang nikmat banget ya?” tanyanya pada Zaskia yang duduk kaku di sebelahnya. ”Eh, iya... ada apa, Bu?” tanya Zaskia gelagapan karena sedari tadi ia melamun menatap penisku yang bergerak keluar masuk dengan cepat di selangkangan bu Sofi. ”Emang punya Kemal nikmat banget ya?” bu Martin mengulangi lagi pertanyaannya. Zaskia tersenyum, ”Percaya deh, ibu pasti akan dibikin ketagihan nanti.” kata istri kang Bahar itu yang sudah kubikin KO berkali-kali dalam persetubuhan kami yang pertama. Aku yang mendengarnya ikut mengangguk, ”Sabar, Bu. Ibu pasti akan dapat giliran, saya tidak akan mengecewakan ibu.” sahutku pada bu Martin. Wanita itu langsung menunduk malu dengan muka memerah, ”Ah, kamu bisa aja, Mal.” lirihnya. Semua ibu-ibu tertawa, kecuali bu Sofi karena dia sudah hampir mencapai puncak. ”Terus, Mal! Arghhh... aku sudah hampir sampai.” rintihnya. Terus kugenjot pinggulku semakin cepat hingga tak lama kemudian kurasakan dinding-dinding memek bu Sofi berkedut pelan. Bersamaan dengan itu, sebuah semprotan keras terasa menghantam ujung penisku. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana karena di atas mukaku, Inez ternyata juga mengalami hal yang sama. Rupanya cukup dengan jilatan, aku sudah bisa mengantarnya ke nikmatnya orgasme yang pertama. ”Hah... hh...” aku bernafas terengah-engah karena diguyur atas dan bawah. Mukaku basah oleh cairan cinta, begitu juga dengan bagian selangkanganku. Saat bu Sofi menarik lepas pinggulnya, cairan itupun tumpah ruah ke sprei milik Zaskia. ”Haduh, bakal repot nih nyucinya.” kata perempuan cantik berjilbab itu pura-pura marah. Bu Sofi menoleh kepadanya dan tersenyum malu, ”Maaf, Zas. Habis kontol si Kemal nikmat banget sih, salahkan dia tuh.” kilahnya. ”Sudah-sudah,” Linda berusaha menengahi, dia dengan pintarnya mengambil alih selangkanganku dari bu Sofi. Sekarang dia sibuk berusaha memasukkan penisku ke dalam lubang memeknya. ”Eh, siapa yang nyuruh kamu dapat giliran kedua?” Inez memprotes. ”Mbak kan udah dapet tadi, sedangkan aku belum,” jawab Linda. ”Arghhh...” dan dia langsung melenguh saat penisku berhasil mengisi dan menerobos liang kemaluannya. Karena tidak ada yang memprotes lagi, akupun segera menggenjot tubuh sintal Linda. Bagiku, tidak masalah siapa yang kedua atau ketiga, yang penting aku dapat memek ibu-ibu cantik ini. Di kaki ranjang, kulihat bu Sofi dengan tertatih-tatih berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Setelah mematut diri di cermin dan meyakinkan kalau sudah cukup rapi, iapun pamit. ”Aku pergi dulu, ya...” katanya pada bu Martin, ”nanti ceritakan padaku semuanya saat di rumah,” pesennya, rumah mereka memang bersebelahan. Keduanya terlihat cukup akrab. Aku jadi curiga, jangan-jangan pas digarap juragan Karta, mereka juga berdua seperti sekarang... Bu Martin mengangguk mengiyakan dan membiarkan sahabatnya itu pergi. Selepas kepulangan bu Sofi, kembali aku berkonsentrasi pada Linda yang dengan asyiknya terus naik turun di atas tubuhku. Payudaranya segera kupegang dan kuremas-remas, sementara putingnya yang mungil kemerahan kupilin dan kupijit-pijit ringan. Ulahku itu ternyata sangat dinikmati oleh Linda, terbukti dia bisa meraih klimaksnya tak lama kemudian. “Mal… auhh!” Linda menjerit dan merintih pelan saat cairan cinta tumpah dari dalam liang memeknya. “Ambil nafas, Lin...“ kuberikan waktu kepadanya untuk menikmati saat-saat nikmat itu, kuhentikan sejenak gerakan pinggulku. Kami berpelukan dengan bibir Linda mengecup mulutku, melumatnya pelan. ”Terima kasih, Mal. Enak banget!” ia berbisik. Aku mengangguk, ”Sama-sama, tubuhmu juga nikmat.” Kuremas payudaranya sekali lagi sebelum kusuruh dia untuk menyingkir. Masih ada 3 wanita lagi yang menunggu untuk kusentuh. Inez berpandangan dengan bu Martin. Dari lirikan mata mereka, aku bisa menebak kalau Inez yang bakal mendapatkan giliran selanjutnya. Karena capek berada di bawah, akupun bangkit. Kusuruh Inez untuk ganti berbaring. ”Pelan-pelan, Mal.” ia mengingatkan saat aku mulai menindih tubuh sintalnya. Inez tidak ingin aku menyakiti kandungannya yang masih berusia muda. ”Iya,” aku mengangguk mengerti. Dengan cepat kutusukkan penisku untuk menghajar memeknya yang sempit memerah. Crooop!!! ”Auw, Mal!” Inez menjerit, tubuhnya sedikit melengkung, tapi tidak sampai melepaskan kedua alat kelamin kami yang sudah bertaut erat. “Pelan-pelan, Mal!” ia kembali mengingatkan. Kukecup bibirnya saat mulai menggoyangkan pinggul. Kuremas-remas belahan payudaranya sementara penisku bergerak semakin cepat mengocok liang vaginanya. Zaskia dan bu Martin yang masih menganggur, kusuruh untuk mendekat. Kulumat bibir mereka berdua secara bergantian. Sementara itu, Linda yang kecapekan kubiarkan berbaring di sebelahku. Sama seperti Linda, Inez juga tidak dapat bertahan lama. Ia mencapai puncak tak lama kemudian. Setelah menyingkirkan tubuhnya, lekas kutarik tubuh montok bu Martin ke dalam pelukanku. Zaskia kelihatan ingin protes, tapi setelah kukatan kalau akan kusemprotkan pejuhku ke dalam liang memeknya, iapun terdiam dan mau menungguku dengan sabar. Kubaringkan tubuh bu Martin menggantikan posisi Inez. Ia yang masih malu-malu, diam saja dengan semua perlakuanku. Aslinya mungkin dia sangat pendiam. Kena peletku saja dia masih seperti ini, apalagi di kehidupan sehari-hari. Beda dengan ibu-ibu lain yang langsung berubah total begitu kena. Bu Martin cuma menurut dan pasrah saja, tanpa meminta atau memohon yang aneh-aneh saat bersetubuh denganku. Mungkin baginya yang penting dapat merasakan penisku dan mendapatkan nikmat darinya, itu sudah lebih dari cukup. Kalau seperti itu, aku jadi gampang. Tanpa perlu teknik yang aneh-aneh, sudah bisa kuantar dia menuju gerbang orgasmenya. Tak lama, tak lebih dari 5 menit, memeknya sudah menyemprotkan cairan cinta yang amat banyak. Zaskia yang melihatnya, segera berseru gembira, ”Asyik, berarti sekarang giliranku!” Ia segera mendorong tubuh bu Martin agar sedikit bergeser. ”Bener ya, Mal... semprot aku sama pejuhmu!” pintanya. Sungguh terlihat sangat aneh, wanita cantik berjilbab seperti dia bisa ngomong jorok seperti itu. Namun itu justru makin membuatku bergairah. Aku yang juga sudah tak tahan, segera menusukkan penis untuk menyetubuhinya. Dalam hati aku sedikit was-was, ’Kuat nggak ya aku nanti...” secara penisku sudah dipakai menyetubuhi 4 wanita, dan spermaku rasanya sudah ada di ujung. Apalagi memek Zaskia adalah yang ternikmat di antara semuanya karena masih sempit dan legit akibat belum pernah melahirkan. Sepertinya aku harus berjuang keras untuk menaklukkannya kalau tidak mau dikatakan besar mulut. ”Ahh... enak banget, Mal! Rasanya nggak ada bosan-bosannya main sama kamu...” rengek Zaskia sambil meremas-remas payudaranya sendiri. Aku sama sekali tidak menyahut karena sibuk berkonsentrasi menahan gairahku yang rasanya seperti sudah berada di ubun-ubun. Inez yang melihatnya, segera berbisik pada Linda. ”Eh, si Kemal mau muncrat tuh.” katanya. ”Ah, benarkah?” tanya Linda balik, dia tersenyum saat melihat mukaku yang sudah memerah tak karuan. ”Jangan dulu, Mal. Aku ’kan belum apa-apa...” rengek Zaskia, tidak ingin kukecewakan. ”Tenang aja, Zas. Aku masih kuat kok,” kataku untuk menyemangati diri sendiri. ”Tapi kamu hebat lho, Mal, udah ngalahin kami bertiga.” seru Linda. ”Iya, suamiku aja belum tentu bisa berbuat seperti itu.” timpal Inez. Bu Martin ikut mengangguk tanpa suara, ikut memberikan dukungan kepadaku. Tersenyum kepada mereka, aku pun menyetubuhi Zaskia dengan lebih bersemangat. Aku yakin, aku juga akan bisa mengalahkannya. ”Iyah... begitu, Mal! Ughh... enak!” rintih istri kang Bahar itu menikmati tusukan penisku. Payudaranya yang masih tampak sempurna bergoyang-goyang indah, yang segera kupegang dan kuremas-remas pelan. Rasanya lain dari punya Inez ataupun Linda, apalagi milik bu Sofi dan bu Martin yang sudah mulai kendor. Payudara Zaskia terasa begitu kaku dan padat, khas milik anak remaja yang baru menikah. Menyetubuhinya bagai menikmati tubuh perawan saja, bedanya; tanpa adanya bercak darah di liang vagina. Tubuh Zaskia makin bergetar saat kutusukkan penisku semakin keras, dan apa yang kunanti akhirnya tiba juga. Dinding-dinding memeknya terasa berkedut pelan meremas batang penisku, aku yang tahu, segera menusukkannya semakin dalam. ”Auw!” Zaskia merintih lirih. Bersamaan dengan itu, menyemburlah cairan cinta dari liang senggamanya. Aku terus menggenjot tubuh sintalnya karena aku sendiri juga merasa hampir mencapai klimaks. ”Zas, aku keluar... ahh!” lenguhku sambil menciumi pipi dan lehernya. Dari batang penisku, meledak cairan mani yang sangat banyak, mengisi liang rahim Zaskia hingga jadi begitu basah dan penuh. Kami berpelukan berdua untuk sejenak. Kuciumi buah dada Zaskia sambil kuremas-remas pelan benda bulat itu. Linda dan Inez mendekat, begitu juga dengan bu Martin. ”Masih kuat, Mal?” kata Inez kepadaku. Aku menoleh, ”Mbak mau lagi?” tanyaku. Bisa gawat kalau mereka nagih lagi, bisa-bisa kontolku patah kalau dipakai secara terus-menerus. ”Bukan hanya Inez, aku dan bu Martin juga mau.” sergah Linda. Waduh-waduh, gimana nih? Belum sempat aku berpikir, Linda sudah menunduk untuk melumat bibir tebalku. ”Ayolah, Mal. Aku yakin kamu juga pengen lagi.” bisiknya. ’Pengen sih pengen, tapi kasih aku waktu buat istirahat donk!!!’ jeritku dalam hati. Saat itulah, mungkin karena kepepet, terbersit ide di kepalaku. ”Iya gampang, tapi ada syaratnya...” kataku. “Apa syaratnya?” tanya Linda dengan gemas, tampak sudah mulai tidak sabar. ”Ajak kesini satu orang lagi...” perintahku. ”Siapa?” kali ini Inez yang bertanya. Matanya langsung melotot begitu mendengar nama yang kusebutkan. ”Gila kamu!” ia berkomentar. Begitu juga dengan Linda dan bu Martin. Hanya Zaskia yang tersenyum, mungkin karena tahu kalau permintaanku itu tidak sulit untuk dipenuhi.

Sang Penggali Kubur 3

Kami bangun sekitar jam 4 sore. Aku menggeliat dan merasakan batangku kesakitan karena dijepit dalam vagina sempit mbak Nia, tetangga depan rumahku. Karena aku meringis dan membuat gerakan menarik batangku, membuat mbak Nia terbangun juga, dengan meringis ia membuka matanya. “Ada apa, Mal?“ tanya wanita cantik beranak satu itu dan kemudian tersenyum menggodaku. “Sudah, mbak, jangan menggodaku lagi.“ selorohku dengan nakal sambil mencoba menarik batangku yang ngaceng sedikit demi sedikit. Tapi bukannya melepas, Nia malah makin menggodaku dengan memajukan pantatnya, mengejar penisku agar tetap menancap dalam di liang vaginanya. “Sudah, mbak... aku sudah capek.“ pintaku sambil meremas-remas payudaranya yang sebesar kepalan tangan. Benda itu terasa hangat dan empuk sekali. “Emang kamu mau kemana?” tanya mbak Nia, kembali memejamkan mata menikmati sentuhanku. “Kan sudah sore, mbak... aku harus pulang, nanti istriku curiga.” kataku sambil menggelitik pinggang rampingnya. Sudah sejak siang aku berada disini, dan sudah tiga kali dia kupuaskan. “Santai aja, bilang aja sama Indah kalau kamu lagi kerja bantu aku bersih-bersih rumah. Nanti aku kasih uang biar dia tidak curiga.” balas mbak Nia dengan kembali membuka matanya karena geli aku gelitik. ”Suami mbak bagaimana, sebentara lagi kan dia pulang dari pabrik?” tanyaku memastikan. Mbak Nia melirik jam di dinding, ”Iya ya, gawat kalau sampai ketahuan.” dia akhirnya berusaha melepaskan penisku dengan menarik pantatnya, dan aku dengan cepat juga menjauhkan selangkanganku. Saling meringis dan memekik, alat kelamin kami akhirnya terlepas. Batangku memerah karena sesiangan diremas dan dijepit dalam lubang mbak Nia yang sempit. Mbak Nia bangkit dari ranjang dan duduk di depan cermin, ia menyisir rambutnya yang panjang sepunggung dengan tubuh masih tetap telanjang. Di luar, terdengar suara Fahri, anaknya yang sudah berusia 7 tahun, yang baru pulang dari mengaji di Musholla. ”Jam berapa bang Samad pulang?” tanyaku sambil memperhatikan pantulan buah dadanya yang montok di kaca cermin. Putingnya tampak mencuat mungil kemerahan, kontras dengan warna kulitnya yang putih kekuningan. ”Jam 5,” jawab mbak Nia pendek. Samad adalah nama suaminya, sekaligus lawanku main catur di malam hari. Dari dada, mataku turun ke bokongnya yang mantap. Benda itu tampak sangat bulat dan besar. Melihatnya, aku jadi terangsang kembali. ”Masih lama dong, mungkin masih sempat untuk kita main cepat.” kataku, lalu dengan gemas bangkit dari ranjang dan langsung memeluknya. Kulingkarkan tanganku di depan dadanya untuk meremas-remas kedua bukit buah dadanya yang membusung indah. “Apaan sih, Mal! Katanya udahan,“ protes mbak Nia dengan mencegah tanganku yang ingin bergerak lebih jauh menjarah selangkangannya. “Nggak tahu, mbak. Lihat mbak telanjang gini, aku jadi pengen lagi.” bisikku sambil semakin nakal meremas-remas buah dadanya. ”Ehm, tapi bentar aja ya?” mbak Nia tak melarangku, justru malah membuka pahanya lebar-lebar, membuat tanganku yang sudah antri disana segera melesak masuk untuk mengorek-orek liang vaginanya. ”Lima menit juga udah cukup, mbak.” kuelus-elus belahannya hingga benda itu perlahan melembab dan membasah. ”Ahh... Mal!” Akibat rangsanganku, mbak Nia bangkit gairahnya. Dia langsung membalikkan tubuhnya yang montok dan memegangi penisku yang sudah menegang untuk diremas serta dikocoknya penuh nafsu. Aku meringis dan melenguh menikmatinya. “Mbak, ehmm... enak!“ erangku gemas. Aku langsung berdiri tegak, dan mbak Nia yang mengerti maksudku segera membungkuk. Dia membuka mulutnya dan melahap batang coklat itu. Batangku diemutnya dengan rakus, ia terus menyedot dan menjilatinya hingga benda itu menjadi sangat licin dan basah. Aku hanya bisa meremas kedua buah dadanya sebagai pelampiasan rasa nikmatku. Benar-benar sore yang menggairahkan. Tak lama kemudian, mbak Nia menyelesaikan tugasnya. ”Gantian, Mal. Jilati punyaku!” bisiknya dengan tersenyum. Ia membuka pahanya lebar-lebar, memberikan vaginanya yang sudah merekah merah kepadaku. Aku langsung jongkok dan menjilatinya. Benda itu terasa mulai basah akibat rangsangan birahi. Klitorisnya yang mungil aku jilati dengan cepat, membuat mbak Nia meringkik dan mencakar bahuku. ”Mal, ughhhh... teruus... aah... aah… enaak!“ erangnya semakin menggebu. Pelan vagina itu menganga makin lebar, memperlihatkan lubang kawinnya yang siap untuk kumasuki. Semakin kupermainkan, semakin membesar lubang itu, sehingga aku tahu inilah saat yang tepat untuk segera menyetubuhinya. “Balik, mbak... nungging!“ perintahku yang disambut senyuman nakal olehnya. Setelah dia menungging dengan berpegangan pada meja rias, aku langsung memposisikan batangku tepat di lubangnya yang sudah memerah dan basah itu. Kutekan perlahan, kutusuk dengan penisku dari belakang. Kami meringis keenakan ketika batangku mulai melesak masuk. “Mal, pelan-pelan aja, jangan dipaksa.“ erang mbak Nia yang menggigit bibirnya. Namun bukannya pelan, aku malah menambah tenaga untuk memasukkan batangku, membuat wanita cantik yang hobi berkebun itu memegang kaca rias dengan kuat dan menggigit bibirnya semakin keras. Setengah jalan, kutarik penisku dan kumasukkan lagi dengan paksa. Burungku terasa sakit sekali, demikian pula dengan mbak Nia yang menggeleng-gelengkan kepalanya tak tahan. Entah kenapa, dari belakang seperti ini, vaginanya terasa seret sekali. Padahal tadi waktu posisi normal terasa lancar-lancar saja, bahkan cenderung longgar karena dia sudah pernah melahirkan. ”Pindah ke kasur aja, Mal.” dia meminta ke posisi biasa. Tapi aku tidak menyerah. ”Buka pahanya lebih lebar, mbak.” bisikku sambil meremas-remas bulatan payudaranya yang menggantung indah. Diantara semua wanita yang pernah kutiduri, payudara mbak Nia berukuran paling kecil, tapi tetap saja aku menyukainya. Setelah dia melakukan perintahku, penisku mulai masuk mili demi mili saat aku mendorongnya kembali. Dan beberapa detik kemudian, akhirnya amblas seluruhnya ke dalam lubang vagina mbak Nia yang sempit dan hangat. “Mal, tahan dulu. Hmm... aku ingin merasakan sebentar… enak, Mal!“ serunya dengan mengerling dan tersenyum nakal. “Boleh gerak sekarang?” tanyaku saat melihat dia sudah mulai rileks. “Iya, tapi pelan dulu.“ sahutnya. Aku langsung bergerak dengan memajukan pantatku, kemudian memundurkannya. Penisku terasa seret, namun aku langsung meludahi tanganku lalu kuoleskan ke batangku agar bisa lebih lancar. Lalu aku menusukkannya lagi. Kini batangku lumayan lancar untuk maju mundur. “Aah... aah… ohh... enak, Mal!“ erang mbak Nia gemetaran. Kami berpacu dengan cepat karena dikejar waktu. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima, ternyata sudah lebih dari 15 menit aku menyetubuhinya. Kami saling melenguh dan merintih. Kuremas buah dada mbak Nia yang bergelantungan indah saat aku sudah tak tahan lagi. Kulihat dari cermin, mbak Nia memandangku dengan mesra sambil tersenyum, sesekali menggigit bibirnya, lalu merem melek keenakan saat aku mempercepat sodokanku. “Mbak, gimana? Aku nggak kuat nih.“ teriakku dengan terus menyodok dan menggenjot pinggulnya, kuremas lagi buah dadanya yang pas seukuran telapak tanganku semakin keras. “Iya, sama! Aku juga bentar lagi...” balas mbak Nia tak mau kalah. Bunyi kecipak alat kelamin kami terdengar semakin nyaring memenuhi seisi kamar. Beberapa detik kemudian, saat batangku sudah hampir muncrat, vagina mbak Nia menjepit dan mencekiknya hingga aku urung memuntahkan spermaku. Justru mbak Nia yang orgasme duluan. ”Mal, aku dapet!“ teriaknya dengan merem-melek menikmati sodokanku. Tubuhnya menegang kaku lalu berkelonjotan saat cairan cintanya yang panas dan licin menyiram batang penisku. Tubuh montok mbak Nia berkeringat membanjir. Sementara dia terengah-engah menikmati sisa-sisa orgasmenya, aku terus menghujamkan penisku dalam-dalam untuk menjemput puncak birahiku. Dan tak lama kemudian, aku pun menyusulnya. Tubuhku menegang kaku saat penisku memuncratkan semua isinya. “Mbak, aku… aah… ahh...” dengusku dengan badan kelojotan dan akhirnya lemas menindih mbak Nia di punggungnya, kursi menjadi tumpuan kami berdua. Berpelukan, kami diam menikmati orgasme cepat di sore hari yang sepi itu. Aku lalu bangun dengan sempoyongan dan mencabut penisku, lalu kembali rebah di ranjang dengan penis masih basah oleh air mani. Mbak Nia bangun juga dan kemudian ikut tiduran di ranjang memelukku. “Makasih, Mal…“ ucapnya dengan mencium bibirku gemas. “Sama-sama, mbak.“ balasku sambil memeluknya. Kuremas-remas lagi buah dadanya yang membusung indah itu. Tak lama, mbak Nia bangun dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di belakang rumahnya. Ia cuma membalut tubuhnya yang telanjang dengan handuk. Saat dia membuka pintu, aku bersembunyi di belakang lemari agar siapapun yang ada di ruang tengah tidak melihat kehadiranku, cuma buat jaga-jaga saja. Mbak Nia mandi tak begitu lama. Waktu sudah hampir menunjukan pukul lima sore saat dia kembali masuk ke kamar sambil membawa handuk basah. Istri bang Samad itu mengelap penisku yang masih belepotan air mani dengan penuh perhatian. Setelah bersih, ia menyuruhku untuk memakai pakaian kembali. Sementara aku memakai celana rombeng dan kaos dekilku, mbak Nia juga mulai menutupi tubuhnya. Ia mengambil CD dan bra di lemari dan mulai memakainya. Kubantu dia sambil tanganku bermain di pantatnya yang bulat dan sekal. Mbak Nia hanya tersenyum saja melihat ulahku, dan kembali meneruskan berdandan, bersiap-siap menyambut kedatangan suaminya. Aku pulang lewat pintu belakang. Sebelum berpisah, mbak Nia sempat melumat bibirku dengan rakus, lipstiknya menjadi luntur dan terasa manis di lidahku. Dengan bersemu merah, mbak Nia tersenyum. ”Sampai jumpa besok ya, nanti kukabari kalau pas bang Samad lagi nggak ada di rumah,” ujarnya sambil meremas penisku dari luar celana. “Iya, mbak. Aku tunggu.“ kubalas perbuatannya dengan meremas pelan kedua bongkahan payudaranya. Saat itulah, terdengar suara motor menderu di halaman. Bang Samad sudah pulang!! Aku segera beranjak, tidak ingin dipergoki oleh lelaki berkumis tebal itu. “Mal, sini dulu.“ tapi mbak Nia menahan tanganku. Saat aku berbalik, ia menyelipkan segenggam uang ke sakuku. “Sudah, kamu boleh pergi sekarang. Sampai jumpa lagi ya!” bisiknya. “Oke, mbak. Terima kasih ya.“ balasku dengan melambai dan segera pergi meninggalkan tempat itu. *** Di rumah, Indah langsung mengamuk begitu melihat kedatanganku. ”Ngapain pulang? Kenapa nggak tidur aja sekalian di rumah mbak Nia.” ia menyindir. ”Maaf, sayang. Banyak yang harus kukerjakan. Aku juga nggak nyangka kalau sampai sesore ini.” memang salahku, hanya pamit untuk bantu mengangkat lemari ke dalam rumah, aku malah baru balik setelah 3 jam berlalu. Siapa yang nggak curiga coba? Tapi aku juga tidak salah-salah amat. Kalau saja mbak Nia tidak punya ’tanda’ itu, aku pasti juga tidak akan menidurinya. Namun begitu tahu kalau dia pernah jadi korban Juragan Karta, aku jadi tergoda untuk memanfaatkannya. Apalagi mbak Nia juga sangat cantik dan seksi. Di usianya yang masih 33 tahun, dengan anak satu, tubuhnya masih tampak begitu montok dan sempurna. Bikin penisku langsung ngaceng begitu dia telanjang di depanku. So, jadilah aku menginap di rumahnya hingga jam lima sore. Tiga kali menyetubuhinya, dua kali aku menumpahkan sperma di vaginanya, dan satu kali di atas buah dadanya. Meski ujung-ujungnya dapat omelan dari Indah, aku tidak kecewa. Indah sudah akan nyerocos lagi, tapi langsung terdiam begitu kuperlihatkan uang jasa dari mbak Nia. 50ribu, lumayan untuk ongkos angkat lemari, hehehe...(tawa setan!) ”Sini, buat beli beras!” dia langsung menyambar dan menyimpannya ke dalam dompet. Menghela nafas lega, aku pun segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. *** Malam ini adalah malam peringatan terakhir kematian juragan Karta; malam yang ketujuh. Seperti biasa, aku hadir disana untuk memberikan doa pada lelaki tua itu. Sambil duduk bersila, kuedarkan pandangan ke arah dapur, memperhatikan satu per satu perempuan yang ada disana, mencari yang cantik dan menarik yang sekiranya bisa kutiduri. Ada Linda, korbanku yang pertama. Dia masih gigih merayuku agar memuaskannya lagi karena sampai sekarang suaminya masih belum pulang. Juga Bu Sofi dan Bu Martin, dua STW ganjen yang masih kelihatan cantik dan menarik di usia mereka yang sudah hampir setengah abad. Di barisan muda ada Reni, Atik dan Silvi, tiga ABG yang masih ada hubungan keluarga dengan juragan Karta. Aku berniat menggilir mereka satu per satu kalau memang sudah tidak ada lagi yang menarik. Lumayan, bisa dapat daun muda gratis, itung-itung bulan madu lagi, hehehe... Tapi sebenarnya yang menjadi incaran utamaku adalah Mitha, istri kelima sang juragan, yang sampai malam ini tidak pernah kulihat batang hidungnya. Kemana gerangan gadis cantik itu? Padahal istri-istri yang lain sudah bisa kutiduri, tinggal dia yang belum. Kalau saja dia muncul, dengan ilmu peletku, akan kubawa dia ke ranjang dan kuentot semalaman. Pasti akan nikmat rasanya bisa merasakan tubuh sintalnya yang padat dan putih mulus itu. Uh, membayangkannya sudah membuat penisku ngaceng tak karuan. Wanita-wanita yang lain tidak perlu dibahas, rata-rata sudah pada tua dan berumur. Ada Mak yem dan Yu Darti, juga Budhe Rini dan Yu Tonah. Tidak ada yang menarik, pada keriput semua. Boleh juga sih kalau buat selingan, tapi mending nunggu kejutan macam mbak Nia tadi siang, tidak kuketahui, tapi tahu-tahu bisa diajak tidur. Enak banget. Mudah-mudahan saja istri-istri cantik di kampung ini banyak yang seperti itu. Aku bakal bahagia dan senang sekali. Ahahaha! Tawaku langsung berhenti begitu mataku tertumbuk pada sekelompok ibu-ibu yang sedang saling bercanda di pojokan rumah. Beberapa orang yang kusebutkan di atas juga berada di situ, namun mataku lebih tertuju pada wanita berjilbab warna abu-abu yang sedang digandeng mesra oleh suaminya. Aku mencoba mengenalinya. Benar, dia Indriani, atau biasa kupanggil mbak Indri. Tapi anak-anak di kampung memanggilnya Bu Ustad karena dia memang istri Ustad Jafar, salah satu tokoh agama yang suka ngajar ngaji pada anak-anak kecil. Malam ini, sang ustad akan memberikan tausiah. Biasa, di hari peringatan yang ketujuh, ada sedikit ceramah untuk mengingatkan kita agar tidak lupa dengan kematian, juga untuk memintakan maaf bagi almarhum kalau misal punya salah pada tetangga sekitar. Saat Ustad Jafar masuk ke dalam rumah untuk menunaikan tugasnya, aku segera beranjak untuk mengikuti mbak Indri pulang ke rumahnya. Inilah kesempatanku. Semua ini diawali dua hari yang lalu, saat aku baru pulang dari rumah Inez. (Baca Sang Penggali Kubur 2) Tiba di rumah, kulihat Indah sedang berbincang akrab dengan mbak Indri. Sudah lama aku mengagumi istri ustad Jafar itu; selain cantik, dia juga kalem dan baik hati. Tipe istri idaman lah pokoknya. Meski sehari-hari dibalut jilbab lebar dan baju panjang, aku bisa meyakinkan kalau dia sangat seksi sekali. Payudaranya tampak menonjol indah, begitu juga dengan paha dan bokongnya. Ditunjang postur tubuh yang tinggi langsing, dia jadi tampak begitu menarik. Ketika aku mendekat, mbak Indri tampak terkejut melihatku. “Oh, Mal, baru pulang? tanyanya sambil berlaku cukup sopan, menyalamiku hanya dengan bersentuhan ujung jari, tidak sampai saling menempel. “Iya, mbak. Banyak pekerjaan.“ kataku enteng dengan sebentar memandangi kesintalan tubuhnya. Mbak Indri yang tidak curiga dengan ulahku, meneruskan obrolannya dengan Indah. ”Sudah saya gosok pake sabun, tapi tetap nggak mau hilang.” katanya. Indah tampak berpikir sejenak sebelum menyahut. ”Mbak sih enak, bisa ditutupi pake jilbab. Lha saya, kemana-mana jadi bahan gojlokan orang, dikira habis main sama suami. Terpaksa saya tutup pake bedak tebal.” Mbak Indri tertawa. ”Tapi repotnya, mas Jafar jadi curiga. Dikira saya habis macam-macam sama laki-laki lain. Terpaksa saya jelaskan panjang lebar, pake nangis segala malah.” Indah terpana, ”Sampai segitunya? Mas Kemal saja nggak tanya macam-macam, dikira cuma noda biasa.” dia melirik ke arahku. Terpaksa kupalingkan mukaku yang lagi asyik memandangi tonjolan daging di dada mbak Indri. ”Meski seorang Ustad, mas Jafar kan cemburuan, In.” jelas mbak Indri. Aku yang sudah mengerti arah pembicaraan mereka mencoba untuk nimbrung. ”Noda di leher itu ya?” tanyaku sambil kembali melirik nakal ke arah busungan dada istri ustad Jafar itu. ”katanya banyak ibu-ibu yang juga mendapatkannya.” ”Iya, nggak tahu darimana. Tahu-tahu saja muncul.” jelas mbak Indri, matanya melirik ke arahku. ”Mbak juga kena?” tanyaku memastikan. ”Iya, saya baru tahu kemarin.” Jawabannya itu langsung membuatku sesak nafas. Bayangkan: wanita yang selama ini kukagumi, yang terkenal alim dan baik hati di kalangan tetangga, bisa kutiduri dengan ilmu peletku. Hebat juga juragan Karta, bisa mendapatkan wanita seperti ini semasa hidupnya. Entah bagaimana itu terjadi, lain kali saja kutanyakan, kalau kami sudah berdua di atas tempat tidur. Hehehe... Yang jelas sekarang, aku harus menyusun rencana kalau mau menikmati tubuhnya yang mengundang air liur itu. Tidak bisa kulakukan saat ini karena ada Indah yang mengawasi kami berdua, meski kulihat nafas mbak Indri sudah mulai berat dan putus-putus, bahkan mukanya yang cantik itu sudah merah padam dan berkeringat dingin. Beberapa kali matanya melirik ke arahku, mencoba berkomunikasi (atau meminta?) meski dia berusaha sekuat tenaga untuk memalingkannya kembali. Aku tersenyum melihatnya, ilmu peletku sudah mulai bekerja rupanya. Tidak ingin menyiksanya lebih jauh, akupun segera pamit ke dalam untuk mandi. “Mal, kapan-kapan bisa ke rumah? Ada genteng di dapur yang bocor.” kata mbak Indri sambil membenahi jilbabnya. Gerakannya sangat provokatif sekali, seperti ingin memamerkan tonjolan buah dadanya yang sedari tadi menjadi santapan mataku. “Hmm, ya saya usahakan secepatnya, mbak.“ kataku menjawab, yang disambut anggukan darinya. “Besok aja, mas.” kata Indah. ”Besok aku sudah disuruh mbak Nia bantu-bantu angkat-angkat barang. Habis itu nyari rumput sampe sore.” jelasku. ”Kalau lusa?” mbak Indri bertanya, tampaknya dia sudah tidak sabar untuk segera berduaan denganku. Hanya karena kadar keimanannya yang tinggi, yang membuatnya tidak langsung menubrukku saat itu juga. Tidak seperti korban-korbanku selama ini. Aku berpikir sejenak. ”Hmm, mungkin bisa.” ”Ya udah, besok aja.” tegas mbak Indri. Aku pun mengangguk dan segera berlalu ke belakang. *** Tapi malamnya, Linda menemuiku. Selain meminta jatah sekali lagi -kami lakukan di kebun di belakang rumahnya- ia juga mengabarkan kalau lusa ada arisan di rumahnya. ”Trus, apa hubungannya denganku?” aku bertanya tak mengerti. ”Apa kamu nggak pengen main sama ibu-ibu yang lain? Banyak lho yang nanyain kamu!” Aku terhenyak dengan ucapannya. ”Si-siapa saja?” ”Ada Bu Sofi, Bu Martin, juga mbak Yulinar. Dan terutama Inez, begitu kukasih tahu kalau aku sudah tidur denganmu, dia langsung bilang kalau pengen juga.” jelas Linda, tidak tahu kalau aku sudah meniduri Inez siang tadi. ”Ehm, begitu ya?” aku mencoba mempertahankan kepura-puraanku. ”Iya, Mal. Entahlah, semua ibu-ibu sekarang lagi pada ngomongin kamu, tanpa sepengetahuan bapak-bapak tentunya.” Aku tersenyum. ”Kalau aku sih nggak masalah, Lin. Siapa sih yang nggak mau tidur sama wanita lain selain istrinya, asal Indah nggak tahu hal ini.” ”Tenang, dia jarang ikut arisan kok. Jadi, kamu mau datang kan?” tanya Linda memastikan. Aku mengangguk mantab. ”Pasti donk.” Linda langsung menjerit dan mencium bibirku dengan antusias. ”Trims ya, Mal. Ibu-ibu pasti gembira mendengar hal ini.” setelah itu dia segera berbalik dan pergi meninggalkanku. ”Cuma gitu, mbak?” aku bertanya heran dengan tingkahnya. ”Iya, sampai ketemu besok lusa. Aku harus mengabarkan ini pada ibu-ibu.” Linda melambaikan tangannya. Kupandangi goyangan pinggulnya yang tadi kuciumi, kunikmati hingga ia hilang di pintu dapur. Menggelengkan kepala, masih tak percaya dengan keberunntunganku, aku kembali ke warung Yu Narti. ”Aku kira kamu mati digigit ular di kebun,” sinis Gani yang menungguku. Kami memang sedang main catur saat aku pamit untuk kencing sebentar, padahal aku menyelinap ke rumah Linda setelah wanita itu memberi kode dengan berpura-pura belanja membeli gula. ”Sudah malem, tapi masih ramai saja disini...” sapa seseorang yang baru datang. Semua orang serentak memberi salam dan menyapanya. Dari suaranya yang berat dan bijak, tanpa menoleh pun aku sudah tahu kalau itu pasti ustad Jafar. Saat itulah, kesadaran menghantam otakku. Bukankah aku sudah janji pada mbak Indri untuk datang ke rumahnya lusa nanti, kenapa aku malah membuat janji dengan Linda di hari yang sama? Bodoh! Benar-benar bodoh! Spontan aku menepuk kepalaku sendiri. ”Sudah, nggak usah pake berlagak frustasi gitu. Bilang saja kalau mau nyerah.” ejek Gani. Saat itu memang giliranku untuk main, dan rajaku terjepit. Bingung menentukan pilihan, aku pun menggerakkan pion tanpa berpikir. Gani tertawa terbahak saat bisa skak mat di giliran berikutnya. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya. Bagiku, kalah main catur bukan apa-apa dibanding harus memilih tidur dengan siapa lusa nanti!! *** Aku sudah akan menghubungi Linda sehabis acara tahlil untuk memberitahunya kalau aku tidak bisa datang di acara arisan ibu-ibu besok. Biar saja dia kecewa. Aku lebih berat meninggalkan tubuh montok mbak Indri, aku sudah tidak sabar untuk mencicipinya. Ibu-ibu sih gampang, masih bisa diantri di lain hari. Tapi ternyata, keberuntungan masih berpihak kepadaku. Melihat mbak Indri yang pulang sendirian ke rumahnya, sementara ustad Jafar memberi tausiah di rumah juragan Karta. Aku melihat ini sebagai kesempatan dalam kesempitan. Kenapa tidak kutiduri saja dia sekarang? Dan besok bisa pesta seks bareng Linda dan ibu-ibu!!! Ini namanya ’sekali mendayung, dua-tiga pula terlampaui.’ Tersenyum puas, aku pun segera beranjak dan pamit pada jamaah tahlil yang lain. ”Mau kemana, Mal? Habis senyum-senyum, langsung pergi.” tanya mbah Narto yang duduk di sebelahku. ”Mau ngecek kandang kambing sebentar, mbah. Kayaknya tadi lupa tidak kugembok.” kataku memberi alasan. ”Kamu balik apa nggak?” tanya mas Supangat. ”Nggak tahu, mas. Lihat nanti saja.” ”Kalau nggak, biar nanti aku bawakan nasimu.” rumah mas Supangat memang bersebelahan denganku, hanya selisih tiga rumah. ”Eh, nggak usah repot-repot, mas.” aku tersenyum. ”Sudah, cepat pulang sana. Nanti keburu kambingmu hilang.” seru mbah Narto. Mengangguk, aku pun mengucapkan salam dan pergi dari tempat itu. Di ujung gang, sempat kulihat mbak Indri berjalan sendirian dan berbelok ke arah rumahnya. Berjalan agak memutar, aku mengikutinya. Dia sudah masuk ke dalam rumah saat aku sampai di depan rumahnya. Tetangga kiri kanan tampak sepi, aman! Semua pada sibuk dan ngumpul di rumah juragan Karta. Aku terus melangkahkan kaki hingga sampai di pintu depan. Kuketuk pintu itu perlahan-lahan. ”Iya, sebentar.” sahut mbak Indri dari dalam. Terdengar langkah kakinya yang berjalan cepat ke balik pintu. Sebelum membuka, dia mengintip sebentar dari jendela di sebelah pintu. Dia tampak terkejut saat melihatku. ”Lho, kamu, Mal. Ada apa?” tanyanya tanpa mempersilahkanku masuk. “Saya ada perlu sama, mbak.” jawabku sambil memasang senyum ramah. “Tapi suamiku lagi nggak ada di rumah,” kilahnya. Tampak berat antara memilih menjadi seorang istri yang baik, atau menuruti hawa nafsunya yang perlahan mulai menggelegak begitu melihatku. “Hanya sebentar, mbak.” aku terus membujuk. ”Tapi...” mbak Indri masih ragu. ”Apa tidak bisa dibicarakan disini saja?” usulnya kemudian. ”Apa begitu adab menerima tamu?” kataku memprotes. Kuat juga iman perempuan ini, kalau perempuan lain, pasti sudah menghambur ke dalam pelukanku begitu melihatku. Memang pantas dia menjadi istri seorang ustad. ”Iya, tapi... apa kata orang nanti. Ustad Jafar lagi nggak ada di rumah.” ia terus berkilah. ”Orang yang mana?” kutunjukkan rumah tetangga yang kosong kepadanya. ”Lagian, kan masih ada anak mbak, kita tidak cuman berdua.” ”Ehm, anakku lagi liburan ke rumah neneknya.” jawab mbak Indri lirih. Wah, kebetulan sekali! seruku dalam hati. ”Ayolah, mbak. Saya cuma pengen ngobrol, curhat masalah rumah tangga.” ”Kalau pengen dapat jalan keluar, ngobrol saja sama pak Ustad.” ia terus mengelak. Di sisi lain, keringat dingin mulai menetes di permukaan dahinya, wajahnya juga semakin memerah. Mbak Indri segera mengusapnya sambil menghembuskan nafasnya kuat-kuat untuk mengusir gairahnya yang semakin kuat mencengkeram. Tapi tentu saja dia tidak berhasil! ”Ini tentang masalah perempuan, mbak. Dan hanya kepada perempuan lah bisa saya sampaikan.” sahutku terus bersikeras. Mbak Indri, tampak berpikir sejenak penuh pertimbangan. ”Ayolah, mbak. Saya cuma ingin bicara, tidak ada maksud apa-apa.” kataku sambil menatapnya tajam, memandangi kemontokan dan kesintalan tubuhnya hingga membuatnya makin gugup dan kebingungan. Dia tidak berani menatap mataku, bahkan wanita itu sampai menutupi bagian dadanya yang membusung indah agar tidak terus kupelototi. “Awas ya, jangan sampai kamu berbuat kurang ajar kepadaku!!“ lontaran kata-kata pedas darinya kuanggap biasa saja. Yang penting tangannya mulai bergerak untuk membuka kunci rumah. “Iya, mbak. Percaya deh sama saya.“ sahutku dengan nada datar, dan segera masuk ke dalam rumahnya begitu dia membukakan pintu. “Aku harap ini masalah penting, Mal.” balas mbak Indri, dia mempersilahkanku untuk duduk di ruang tamu. “Pasti, mbak. Ini soal masalah seks!!” kataku dengan berbisik sampai membuatnya terdiam dengan menutup mulutnya karena terkejut, makin menambah kecantikan wanita berjilbab ini. “S-seks? A-apa maksudmu?!” Dia terlihat tidak tenang duduk di dekatku, tangannya diremas kuat-kuat. Sepertinya, ilmu peletku sudah mulai berhasil menguasai dirinya. Terlihat dari gemuruh nafasnya yang menjadi tak karuan, sambil sesekali matanya melirikku dan mengusap keringat di dahinya yang mengucur semakin deras. “Iya, aku ingin sekali ngeseks sama mbak!” kuberikan senyumku kepadanya, mulai berusaha menggodanya. Pelan, kusentuh tangannya agar dia lebih termakan oleh ilmu peletku. Dan benar saja, selepas tangannya kusentuh, mbak Indri tidak protes lagi. Ia diam saja saat jemari tangannya yang lentik kuremas-remas dengan pelan. Bahkan perlahan, dia membalas dengan melirikku nakal dan tersenyum, tanpa berusaha menyingkirkan tangannya dari genggamanku. ”Mal?” hanya itu kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya, sebelum kubungkam dia dengan ciumanku yang lembut dan hangat. “Sshhh... ahh...“ desisnya dengan suara yang bergetar pelan, tanda kalau sudah mulai diamuk birahi. Sambil terus mencium bibirnya, segera kutarik tangan mbak Indri menuju ke pelukanku. Wanita berjilbab ini seolah menolak, tapi tidak terlalu frontal, hanya sekedar memberitahukan kalau dia malu untuk melakukan ini. ”Mal,” dia kembali memanggil namaku saat kutangkup belahan pantatnya yang bulat besar dan kuremas-remas dengan penuh nafsu. ”Kau mau apa? Aku ini istri ustad, Mal!” ia mengingatkan untuk terakhir kali. ”Memang kenapa? Apa tidak boleh seorang istri ustad menikmati kenikmatan duniawi?!” kataku sambil menarik tangannya. Perlahan mbak Indri mengikuti hingga aku bisa mendekap tubuh sintalnya serta meremas-remas buah dadanya yang membusung indah. “Jangan, Mal! Aahh... jangaan!!” tolak mbak Indri dengan suara semakin pelan. Tidak peduli, karena sudah terlanjur keenakan, kuremas buah dadanya semakin keras. Tanganku menyilang di depan gundukan payudaranya hingga membuat wanita pengajar ngaji ini mendesah-desah tak karuan. “Mal, ahh... jangan! Kenapa kau lakukan ini?! Sshhh... aghhhh!!” Tanganku semakin nakal. Rasa buah dada mbak Indri yang empuk dan kenyal makin membuatku kesetanan. Aku benar-benar menyukainya. Aku ketagihan dibuatnya. Segera kususupkan tanganku ke balik baju lengan panjang warna abu-abu yang dikenakannya, dan meremas-remas lembut buah dadanya yang masih terbungkus BH putih tipis. ”Ahh... ini maksiat, Mal! Maksiat! Hentikan! Ahhh...” rintihnya sedikit terpekik. Tangannya berusaha mencekal tanganku yang berusaha menyusup ke dalam cup behanya. Tapi tentu saja penolakannya yang setengah hati itu dengan mudah kutepis. Kuturunkan cup behanya hingga gundukan payudara mbak Indri yang mulus dan besar terburai keluar. Benda itu terlihat begitu putih dan bening, sangat sempurna dengan kulit yang halus tanpa cacat, yang dihiasi oleh semburat urat kehijauan di seluruh permukaannya. Ditambah tonjolan puting mungil yang berwarna coklat kemerahan, jadilah benda itu begitu indah dan menarik, sangat menggoda birahiku. “Akan kupuaskan mbak malam ini,” janjiku kepadanya sambil mendesakkan selangkanganku ke belahan pinggulnya, sementara tanganku mulai meremas-remas lembut bulatan buah dadanya hingga membuat mbak Indri terpejam-pejam karena keenakan. “Mal, sshhh... k-kita seharusnya... ahhh! T-tidak boleh... uhhh! M-melakukan ini... hmph!” desisnya sebelum terdiam oleh lumatanku pada bibir tipisnya. Pelan dia menyambut ciuman. Bibir kami saling bertemu dan berdecap seirama, lidah kami saling membelit dan menghisap, sebelum tiba-tiba mbak Indri menarik kepalanya dan memandangku dengan perasaan bingung bercampur nikmat. ”Ada apa, mbak?” tanyaku sambil merapikan jilbabnya yang acak-acakan. “B-bagaimana kita b-bisa melakukan ini, Mal?” tanyanya dengan kesadaran yang sudah hampir habis. ”Tidak usah dipikirkan, mbak. Kita nikmati saja malam ini.” sahutku sambil kembali meremas-remas payudara mulusnya. ”Iya, ehsss... tapi...” mbak Indri menggelinjang saat kupencet kedua putingnya dan kupilin-pilin ringan dengan dua jariku. ”Sudah, jangan banyak omong lagi, nanti keburu pak Ustad pulang.” potongku cepat. ”Cepat lepas celanaku, kontolku sudah ngilu nih pengen keluar.” rayuku yang disambut dengan anggukan kepala olehnya. ”Iya, keburu pak Ustad pulang.” dan dengan jawaban ini, resmilah sudah mbak Indri yang alim ini jatuh ke dalam pelukanku. Sementara dia sibuk membuka resleting celanaku, kuremas terus bulatan payudaranya. Benda itu makin terasa padat dan kenyal, putingnya juga makin mencuat ke atas, menunjukkan kalau si empunya sudah terangsang berat. Saat sudah telanjang, kudorong tubuh montok mbak Indri hingga ia telentang di sofa. Berdiri di depannya, kuperlihatkan batangku yang mengacung tegak kepadanya. ”Gede banget, Mal.” bisiknya parau. Dia mendelik, matanya melotot tajam menatap penisku yang terangguk-angguk gagah di depan hidungnya. ”Mbak suka?” tanganku turun untuk melepas bajunya. Mbak Indri awalnya menolak, ia malu untuk telanjang di depanku. Tapi setelah kupaksa terus, ia akhirnya menyerah dan membiarkanku membebaskan tubuh sintalnya dari kungkungan baju panjang yang ia kenakan. ”Mbak adalah korbanku yang paling sulit,” kataku keceplosan sambil kembali meremas-remas tonjolan buah dadanya. Entah kenapa, aku begitu menyukai benda itu. Bahkan kalau bisa, ingin aku mengirisnya dan membawanya pulang agar bisa kupegangi setiap hari! ”K-korban apa?” tanya mbak Indri tak mengerti. Ia berusaha melindungi buah dadanya dengan tangan agar aku tidak terus menerus menjamahnya, namun segera kusingkirkan. Aku tidak ingin kenikmatanku terganggu. “Ehmm, bukan apa-apa.” aku berkata cepat, dan... ”Jilat kontolku, mbak!“ perintahku untuk mengalihkan perhatiannya. Kutekan kepala mbak Indri yang masih tertutup jilbab agar lebih mendekat ke batang kontolku. ”A-aku tidak pernah m-melakukannya, Mal.” tolaknya halus. ”Coba aja dulu. Pegang, mbak. Kocok pakai tangan!” rayuku yang dijawab dengan kocokan pelan tangan mbak Indri. Kubiarkan ia mengurut batangku sementara aku memegangi payudaranya yang luar biasa indah; tidak besar-besar amat namun cukup montok juga, putih dan sangat segar sekali dengan puting berwarna merah agak besar. “Susumu seger, mbak.“ kataku dengan menarik celana dalamnya, kulucuti istri ustad Jafar itu sampai telanjang bulat, aku hanya menyisakan jilbabnya saja. Mbak Indri hanya menatapku dengan nafas tak karuan. Kutekuk kedua kakinya agar aku bisa masuk ke dalam selakangannya. Tapi ketika aku hendak membungkuk, tangan kanan mbak Indri menahan tubuhku. “Jangan, Mal. Jijik...“ bisiknya malu-malu. “Sudahlah, mbak. Kalau mbak nggak mau jilat punyaku, biar aku saja yang jilat punya mbak.“ kataku sambil menarik tangannya. Kusaksikan vaginanya benar benar luar biasa indah; jembutnya tipis dan rapi, lubangnya menyempit, alur bibir vaginanya masih tampak utuh, warnanya merah muda, makin ke dalam makin terang. Tak tahan, aku langsung menjilatinya sambil tanganku kembali meremas-remas kedua buah dadanya sampai membuat mbak Indri merintih, melenguh dan mendesah tak karuan. Kugali terus vagina perempuan yang sudah termakan gairah birahi itu, kujilati vaginanya yang sempit. Mbak Indri menggelinjang bak cacing kepanasan, geliat tubuhnya di sofa kian keras dan liar. Badannya sudah basah oleh keringat dingin yang membanjir keluar. Merasa kepanasan, ia berniat untuk melepas jilbabnya, tapi aku langsung menahan tangannya, ”Jangan, mbak. Pakai terus jilbab mbak.” pintaku. Mbak Indri memandangku dengan mata sayu, giginya menggigit bibirnya bawahnya gemas, tak kuat menahan kenakalanku yang makin kuat meremas-remas buah dadanya. Melihat kepasrahannya, aku kembali menunduk dan menjilati lubang vaginanya. Mbak Indri langsung melenguh dan memejamkan matanya. “Uuuh... sshhh... shhhh... hhhhh... mmhhh.. Mal, geli!!“ desisnya dengan kepala mendongak. Sementara aku terus menjilati lubang sempit di selangkangannya yang sudah membasah parah. Lubang itu aku sibakkan dengan lidah, yang kanan aku gigit-gigit kecil, membuat mbak Indri merintih dan menggeliat tak karuan. Sementara daging sebelah kiri gantian aku sedot-sedot nikmat, sehingga wanita berjilbab ini semakin terbuai oleh nafsu birahinya. “Maal... ahhhh... aku nggak kuat lagi... aaahh... sudah... uhhh... masukin aja... aaaah...“ lenguh mbak Indri dengan mata tertuju ke selangkanganku, ia memandangi penisku yang tegak mengeras, memohon agar aku segera menggunakannya untuk menyetubuhi dirinya. Tapi aku masih ingin menghisap lubang kencingnya lebih lama lagi, jadi aku terus mengoralnya sampai membuat istri Ustad Jafar ini terpejam erat dan menggelinjang nikmat penuh kepuasan. “Ahhh... kamu nakal, Mal...” erang mbak Indri dengan tangan bertumpu pada meja. Begitu kerasnya ia mendorong sampai meja kecil itu sedikit bergeser. Lubang senggamanya kuperhatikan semakin membesar. Kumainkan terus klitorisnya yang menonjol indah dengan lidahku, kujilat dan kusedot benda mungil itu berulang kali hingga membuat mbak Indri menjerit tak tahan. “Gila kamu, Mal! Aaaah... aduh... aduduh... sudah, Mal... aku nggak tahan.“ lenguhnya dengan bola mata memutih tak kuat menahan rangsanganku. Kumasukkan tanganku masuk ke dalam lubang memeknya yang sempit, kukorek-korek ke atas dan ke bawah, membuat jeritan mbak Indri semakin membahana memenuhi seisi rumah. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah...“ teriaknya dengan sangat kuat, jepitan pahanya kini semakin keras di kepalaku. Pantang mundur, kumainkan terus klitorisnya sambil tak henti kutusuk-kutusuk lubangnya, membuat tubuh mbak Indri melenting dan membusung ke atas. Segera kuremas-remas buah dadanya agar ia bisa segera mendapatkan orgasmenya. “Auw... aaaaahhh!!!“ erang wanita berjilbab itu sambil mencengkeram kuat bantalan sofa. Tubuhnya menegang kaku, kemudian berdebam ke bawah dengan nafas ngos-ngosan. Di bawah, vaginanya mengucurkan cairan panas yang banyak sekali, sampai membasahi sofa dan terciprat di bibirku. Kutekan pinggulnya dan kuelus-elus paha mulus mbak Indri, kemudian kurapikan jilbabnya yang acak-acakan. Istri ustad Jafar itu memejamkan matanya dengan tangan menggapai-gapai saat aku kembali merangsangnya pelan-pelan. Pahanya yang sangat mulus menjadi incaran tanganku. Kuelus mulai dari sana hingga naik ke pinggang, kemudian terus merambat hingga aku kembali meremas-remas bongkahan payudaranya yang membusung indah. Lalu kutindih tubuhnya. Mbak Indri membuka matanya, ia tersenyum saat melihatku. ”Kamu hebat, Mal. Nikmat sekali. Ustad Jafar tidak pernah berbuat seperti itu kepadaku.” bisiknya. ”Aku kuberi mbak kenikmatan lain malam ini. Terimalah ini, mbak.” sambil berkata, kuremas payudaranya dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku memegangi batangku dan mengarahkannya tepat ke lubang vaginanya. “Mmmmh…“ desah mbak Indri saat merasakan ada benda tumpul yang merangsek ingin masuk ke celah selangkangannya. “Tahan, mbak. Rasakan kontolku.“ kataku sambil terus mendesakkan batangku agar bisa segera menembus belahan memeknya. “Ehm... pelan-pelan, Mal. Sakit!” rintih mbak Indri, namun desakan penisku yang menusuk semakin dalam akhirnya membuat ia terdiam. ”Aku sudah lama menginginkan dirimu, mbak...“ kataku yang dijawab dengan ciuman mbak Indri di bibirku. “Sudah, jangan banyak omong, Mal. Cepat setubuhi aku!“ pintanya yang sudah tidak sabar. “Iya, mbak...” kataku sambil terus mendesakkan batangku pelan-pelan, membuat mbak Indri menjerit lagi. “Aduh, kok gede banget sih punyamu, Mal. Ooh... vaginaku rasanya mau robek.“ jeritnya dengan berusaha menggoyangkan pinggul untuk mengurangi rasa sakitnya ketika aku menarik dan menenggelamkan batangku lebih dalam. “Enak kan, Mbak? kontolku sesak dalam memek mbak Indri.“ kataku dengan wajah melotot karena keenakan batangku dijepit oleh vaginanya yang sempit itu. ”Ehsss... Mal!” hanya itu yang bisa dikeluarkan mbak Indri sebagai jawaban. “Kugoyang ya, mbak... mbak Indri nikmati saja.” kataku dengan memandang wajahnya yang masih berbalut jilbab. “Sesak, Mal... pelan aja goyangnya.“ rintih mbak Indri saat menatapku mesra. “Begini?“ aku mulai menghujamkan batangku, membuat istri ustad Jafar itu mendongak kesakitan. “Aahh... pelan aja, Mal. Ssssh... sakit!” jerit mbak Indri dengan nafas ngos-ngosan. Jepitan vaginanya terasa semakin rapat seiring batang penisku yang meluncur masuk lebih dalam. “Iya, aku goyang pelan deh... begini?“ kataku sambil menggenjotnya lembut. ”Ehsss... iya, begitu, Mal. Agak enakan sekarang!” katanya dengan memandangku sayu. Aku pun meneruskan menggenjot tubuh sintalnya. Sambil menggerakkan pinggul, kembali kuremas-remas buah dadanya. Mbak Indri menanggapi dengan memegang kepalaku dan mengajakku untuk saling berpagutan, kami semakin terbakar birahi. “Aaaah... memekmu enak, mbak!” desisku di tengah genjotan naik turun di selangkangan wanita berjilbab ini, kami terus saling bergerak. “Mal, ooh... aku juga enak, Mal. Terus! Aaaah... enak, Mal... ssssh!” erang mbak Indri ketika aku melepas pagutan kami. Wanita itu ikut menggoyangkan pantatnya mengimbangi tusukanku. Gesekan alat kelamin kami semakin lancar saja jadinya. Genjotan demi genjotan terus kulakukan, sampai mbak Indri terpejam-pejam merasakan sodokanku yang semakin cepat. “Mal, aaaah... aku nggak kuat lagi, Mal! Ughhh...“ teriaknya dengan suara keras, jilbabnya sampai menutupi buah dadanya. Segera kuremas-remas buah dada di bawah jilbab warna abu abu itu, luar biasa sensasi yang kurasakan. Benda itu terasa lembut dan sangat empuk, juga terus bergerak terus naik turun seiring genjotan yang aku lakukan. Tubuh mbak Indri kulihat semakin melemah. Vaginanya juga semakin lama semakin menyempit dengan cepat. Sepertinya wanita itu sudah tidak tahan lagi. ”AGHHHHHHHH...!!!” diiringi jeritan keras, istri ustad Jafar yang alim itupun menegang kaku, matanya memutih, tubuhnya kejang beberapa kali sebelum akhirnya lemas dan terdiam dalam pelukanku. Wajah cantiknya tampak penuh keringat, membuat jilbab yang masih ia kenakan sampai setengah basah. Kuhentikan sodokanku untuk memberi waktu bagi mbak Indri menikmati saat-saat orgasmenya. Ketika vaginanya sudah berhenti memancarkan cairan panas, segera kutarik batangku dan kemudian kukocok di depan wajahnya. Aku ingin memuntahkan isi penisku di atas wajah cantiknya. “Aaaah... aaahh... ssshh...“ desisku merasakan ledakan spermaku yang bermuncratan mengenai mata, hidung dan mulut mbak Indri. “Ahhh... Mal,“ pekik mbak Indri kaget tapi tidak menolak. Spermaku keluar banyak sekali, beberapa bahkan menutupi lubang hidung dan mata sebelah kirinya. ”Aku nggak bisa nafas, Mal.” desah mbak Indri sambil membersihkan lelehan sperma di hidungnya, akibatnya tangan lentik wanita itu jadi penuh dengan cairan spermaku sekarang. “Kita mandi yuk, mbak... kumandikan mbak Indri.” ajakku yang disambut anggukan kepala olehnya. Segera kutarik tangannya dan kemudian kubopong tubuhnya ke kamar mandi. Kumandikan wanita berjilbab itu, kusabuni seluruh tubuh sintalnya. Demikian pula dia, mbak Indri mengguyur tubuhku dengan semprotan air, rasa dingin dengan cepat menggelayuti tubuhku, menyegarkan nafsuku kembali. Dengan telaten kami saling menyabuni, mbak Indri sering tersenyum ketika mencuci batangku yang kembali ngaceng. Tangannya terkadang nakal berlama-lama disana. Aku juga ikut nakal dengan menyabuni bagian buah dadanya yang segar dan ranum itu, kurasakan kelembutan dan keempukannya walau sudah digunakan menyusui anaknya dua kali. Kami berdua saling berdekapan di dalam kamar mandi, sesekali kucium pipi dan bibir mbak Indriani. Dia tidak menolak, bahkan mbak Indri semakin senang dengan kenakalanku. “Ih, kamu kok cepet banget ngacengnya, Mal?“ rajuk mbak Indri sambil mengocok pelan penisku. “Habis tubuh mbak segar banget, bikin aku nggak tahan lihatnya.“ sahutku dengan gemas, kupalingkan kepalanya dan kupagut mesra bibir tipisnya. Mbak Indri menanggapi pagutanku dengan sangat mesra. “Aku suka sama kamu, Mal. Kamu jantan banget!“ bisiknya dengan tersenyum. “Aku juga suka tubuh mbak. Rasanya sudah nggak sabar pengin nindih dan ngentotin mbak Indri lagi.“ sahutku sambil memegang pinggangnya. “Ayo deh, sebelum suamiku keburu pulang.“ sahut mbak Indri dengan nakal. Jadilah kami melakukannya sekali. Satu jam kemudian, tepat saat spermaku muncrat memenuhi lubang memeknya, terdengar ketukan di pintu depan. ”Assalamu’alaikum... Mi, Abi pulang.” itu suara ustad Jafar. Buru-buru kusambar pakaianku dan keluar lewat pintu belakang dengan tubuh masih telanjang. Sempat kubisikkan pada mbak Indri agar ikut pesta ibu-ibu besok di rumah Linda. Dia mengangguk mengiyakannya Di pekarangan belakang, baru kupakai baju dan celanaku.. Kulihat mbak Indri menyambut suaminya hanya dengan berbalut handuk. Melihat kemulusan tubuh sang istri, ustad Jafar segera menggiring wanita itu ke dalam kamar dan... tahu sendiri lah apa yang terjadi selanjutnya.

Sang Penggali Kubur 2

Kecapekan setelah main dengan Linda membuatku tidur pulas sampai pagi. Begitu pulasnya hingga istriku yang merengek-rengek minta jatah saat tengah malam, tidak kuhiraukan. Mau njatah bagaimana, membuka mata saja aku sulit, apalagi menyetubuhinya. Terpaksa Indah harus merelakan tubuh montoknya kuanggurkan sampai pagi menjelang. Baru saat subuh tiba, dan aku sudah cukup istirahat, dia kugarap. Tanpa basa-basi, kucium bibirnya yang tipis. Indah pun langsung membalas dengan penuh gairah. Sambil terus berciuman, tanganku juga mulai bergerak merambahi buah dadanya yang ranum, yang tidak tertutup apa-apa lagi, karena seperti biasa, Indah tidur dengan tubuh telanjang. Dia cuma mengenakan celana dalam putih tipis untuk menutupi tubuhnya yang montok dan putih mulus. Itu pun juga tidak lama, karena dengan tak sabar aku juga segera melucutinya sehingga kami sudah sama-sama telanjang sekarang. Berpelukan erat, kuciumi lehernya yang jenjang, dan kusibakkan rambut Indah yang panjang ke belakang hingga buah dadanya mencuat keluar. Aku ingin mengenyot benda itu sebentar sebelum mulai menyetubuhinya. Dengan rakus, segera kujilati buah dada yang bulat dan empuk itu, aku hisap dan aku permainkan putingnya yang sudah mengeras dengan lidahku. "Oughhh.. Bang..." Indah mendesah sambil menggeliat keenakan. "Enak, Dik?" tanyaku sambil terus menyusu di payudaranya. "Enak, Bang. Terus... Oghhhh..." desahnya lirih. Kurasakan tangan Indah yang lentik dan berbulu halus perlahan merambat turun menuju selangkanganku. Dengan sedikit kasar, dia menangkap penisku yang sudah menegang dahsyat dan langsung mengocoknya dengan cepat. "Ohh, besar sekali, Bang. Aku suka." katanya mengagumi kemaluanku dari jarak dekat. "Memang dulu nggak segede ini ya?" tanyaku tersenyum menggoda. "Ya gede, tapi nggak semanteb ini." dia tak melanjutkan lagi jawabannya karena mulutnya yang mungil itu sudah turun untuk mengulum penisku. "Ehmm, Dik...” aku merintih, tanganku semakin keras memijit-mijit payudaranya. "Enak, Bang?" tanyanya sambil melirik nakal kepadaku. Tangannya sibuk meremas-remas buah zakarku sementara lidahnya menjilati batang kemaluanku. "Enak banget, Dik. Ayo, isap lagi!" jawabku sambil menahan rasa nikmat yang mulai menjalar hebat. Indah kembali mencaplok dan mengulumnya. Sangat menggairahkan sekali melihat pemandangan itu. Istriku yang cantik dan seksi –meski tubuhnya sudah tidak padat lagi setelah melahirkan anak kami yang pertama- sedang berlutut di depanku dengan pipi menggelembung menghisap penisku, sementara kedua tangannya sibuk meremas-remas pantatku. "Hm... kontol abang enak banget. Indah suka kontol yang gede begini." racaunya mesum dengan tanpa menghentikan hisapannya. Kalau bukan karena kena pelet, tidak mungkin dia yang biasanya pendiam bisa ’ganas’ seperti ini. Aku yang sudah ingin menikmati kehangatan tubuh sintalnya, segera menarik tangannya agar berdiri. Dengan berbaring telentang di atas ranjang, kuminta Indah untuk menaiki tubuhku. Tersenyum, dia melakukannya. Kuperhatikan bagaimana Indah memposisikan vaginanya yang merah merekah tepat berada di atas batang kemaluanku. Lalu pelan dia menurunkan tubuhnya. Tanpa ampun, penisku yang sudah menegang dahsyat itu pun menerobos liang vaginanya. "Oughhh… Bang!" jeritnya tertahan, tapi tetap meneruskan aksinya. Saat batangku sudah masuk semua, dengan berpegangan pada pinggangnya yang bulat, kugoyang tubuhnya naik-turun. Rasanya begitu nikmat saat penisku bergerak maju mundur menjelajahi liang kewanitaannya. Meski sudah pernah melahirkan, vagina Indah memang masih terasa sempit. Itu yang aku suka darinya. Kemudian kualihkan tanganku untuk meremas-remas buah dadanya saat kulihat dia sudah mulai bisa bergoyang sendiri. Sambil merintih-rintih keenakan, Indah menggerakkan tubuhnya turun naik. Sesekali dia juga memutar-mutar pinggulnya hingga membuat penisku serasa diremas dan dipilin-pilin pelan. Ough, nikmat sekali rasanya. Sebagai pelampiasan, segera kubenamkan mulutku ke puting buah dadanya dan kuhisap-hisap benda mungil kecoklatan itu dengan gemas. "Ohh... Bang, ayo... puasin Indah, bang..." desahnya sambil menggoyang badannya maju mundur semakin cepat di atas kemaluanku, mengejar kenikmatan bercinta yang sepertinya sebentar lagi akan dia capai. "Tentu, Dik. Ini sebagai ganti yang tadi malam." jawabku. Kuimbangi genjotannya dengan menekan pinggulku semakin kuat, berharap dengan begitu penisku akan semakin dalam menusuk di liang kewanitaannya. Sambil juga terus kuremas-remas bulatan buah dadanya yang menatul-mantul liar di depanku. Tak lama, "Aarrgghhhhhh... aku sampai, Bang." Indah melenguh dan terkejat-kejat ketika gelombang orgasme menerpa tubuh sintalnya. Bisa kurasakan cairan kewanitaaanya menyembur kencang menerpa ujung penisku. Aku yang juga hampir sampai, tidak menghiraukan hal itu. Terus kugerakkan pinggulku karena penisku rasanya juga sudah berdenyut-denyut ingin memuntahkan laharnya. Tak sampai 1 menit, tersemburlah spermaku ke dalam liang vaginanya. Kami sama-sama melenguh dan ambruk kelelahan. Kuciumi wajah Indah yang cantik sambil kuoles-oleskan rembesan cairan yang keluar dari kemaluanku ke seluruh permukaan payudaranya hingga benda bulat padat jadi kelihatan sedikit mengkilat sekarang. "Terimakasih, Bang. Indah puas sekali," katanya sambil mengulum dan menjilati kemaluanku, ia membersihkan benda itu hingga tidak ada cairan yang tersisa. "Sama-sama, Dik. Itu sudah jadi kewajiban abang." sekali lagi, kuremas-remas payudaranya yang bulat dan membusung indah. Putingnya yang masih dipakai menyusu oleh anakku, kujepit dan kupilin-pilin. "Ngomong-ngomong, kamu kok sekarang jadi pinter ngulum. Latihan dimana?" tanyaku memancing. "Nggak tahu juga, Bang. Tiba-tiba saja begini. Rasanya nggak enak kalau main tanpa ngisep kontol." jawabnya. Indah tidak tahu kalau sebenarnya perilakunya itu dipengaruhi oleh ilmu pelet dariku. Kalau istriku saja bisa jadi seperti ini, bagaimana dengan si Mitha ya. Permainan seliar apa yang akan aku dapatkan dari janda muda cantik istri ke lima Juragan Karta itu? Membayangkannya saja sudah membuatku terangsang. Penisku yang masih berada dalam genggaman Indah perlahan bangkit dan mengeras. “Ngaceng lagi, bang!“ Indah terlihat sangat senang. Dia sudah akan mengulumnya lagi saat kuingat janjiku dengan Mang Kosim. Hari ini aku disuruh oleh pria itu untuk memanen kopi di kebunnya. Gawat kalau sampai terlambat. Mang Kosim terkenal galak dan suka mukul. Bergegas kutepis bibir Indah yang mulai menempel di ujung penisku. ”Jangan, Dik. Abang harus kerja.” sambil aku bangkit berdiri dan memunguti pakaianku yang berserakan. Indah terlihat kecewa, tapi tidak bisa membantah. ”Tapi nanti malam main lagi ya, bang?!” dia merengek dan dengan manja menempelkan payudaranya yang hangat ke lenganku. ”Iya. Sekarang lepasin dulu abang, nanti abang dimarahi mang Kosim kalau sampai telat datang ke kebunnya.” sebelum pergi meninggalkan rumah, kukecup pipi dan bibir Indah sebagai ungkapan rasa sayang. Meski cuma bekerja serabutan, kemesraan dengan istri tidak boleh berkurang donk! Dengan hanya berbalut handuk, Indah mengantar kepergianku. *** Di kebun, Mang Kosim sudah menunggu. Dengan suara keras, pria gendut itu memberikan perintah padaku dan beberapa orang lainnya. Kali ini, kopi yang kami panen ada di kebun sebelah barat. Kami bergegas menuju ke sana. ”Eh, Mal, sudah denger berita belum?” tanya Asep yang berjalan di sebelahku. ”Berita apa?” kubetulkan letak keranjang yang ada di punggungku. ”Makam Juragan Karta ada yang mbongkar!” kata-katanya singkat, tapi sudah cukup untuk membuatku berpaling. ”Hah, b-benarkah?” aku jadi gugup. ”Kok kamu jadi aneh gitu?” tanya Asep curiga. ”Ah, nggak. Aku cuma kaget aja, tidak biasanya kan kejadian seperti itu terjadi di desa kita.” kuatur jalan nafasku, aku harus tenang. Belum tentu juga kan mereka mengetahui pelakunya. ”Kejadian seperti ini juga pernah terjadi. Kalau tak salah, waktu itu... makamnya pakde Karto yang dibongkar.” seru Asep. Itu perbuatan kakek. Tapi aku pura-pura tidak tahu. ”Memangnya apa yang diambil? Jangan-jangan ada yang sedang mendalami ilmu hitam di desa kita ini?” ”Itulah yang aneh,” Asep menghela nafas. ”Setelah di cek, tidak ada yang hilang. Bahkan kain pengikat kafannya juga utuh. Biasanya, kan itu yang jadi incaran.” ”Iya ya, lha terus gimana sekarang?” ”Ada yang menganggap kalau itu karena jenis tanahnya yang labil, jadi longsor gitu, urukannya melesak ke bawah. Tapi itu nggak mungkin, soalnya aku sendiri yang menimbunnya. Tanahnya keras dan padat.” jelas Asep. ”Kalau binatang liar?” aku mencoba memberikan alternatif. ”Nggak mungkin juga. Jasadnya masih utuh, tidak ada bekas cakaran atau gigitan.” Dalam hati aku mengutuk diriku, kenapa tidak mengembalikan bentuk kuburan itu seperti semula. Jadinya malah seperti ini, orang-orang jadi curiga. Tapi memang berat sih, setelah menggali semalaman, aku jadi asal saja saat menimbunnya lagi. Aku sudah terlalu capek untuk membenahinya dengan sempurna. Ah, tapi tak apa, yang penting kan aku berhasil. Dan sejauh ini, aku belum jadi tersangka. ”Kalau keluarganya bagaimana?” aku bertanya. ”Ya keluarganya nganggep lagi apes aja. Yang penting jasad Juragan Karta tetap utuh, kata mereka.” sahut Asep. ”Oh begitu,” aku manggut-manggut, sedikit lega. Ada peluang kalau peristiwa ini tidak akan diusut lebih lanjut. Menghela nafas, aku bertanya lagi pada Asep. ”Kalau si Mitha bagaimana?” sejak kematian Juragan karta, aku tidak melihat keberadaan gadis itu. Siapa tahu Asep tahu. ”Maksud kamu?” Asep bertanya balik. ”Ya dia kan janda sekarang, apa kamu nggak tertarik buat dapetin dia?” aku memancing ke arah lain biar Asep tidak curiga. ”Kalau kamu sendiri bagaimana?” sekali lagi, dia tidak langsung menjawab pertanyaanku. ”Kalau aku sih ya jelas mau banget, tapi cuma buat niduri dia. Nggak kalau disuruh ngawinin, nggak kuat biayanya. Hehehe.” ”Yeee, semua juga mau kalau begitu mah,” Asep ikut tertawa. ”Tapi kan istrimu sudah cantik, Mal. Masa masih ngelirik cewek lain?” tanyanya kemudian. ”Namanya juga lelaki normal, Sep. Bosan juga kan makan daging terus, sekali-kali nyoba telor juga boleh.” sahutku diplomatis. Asep tertawa. ”Dasar kamu.” Saat itulah, tiba-tiba aku tersadar. ”Eh, Sep!” aku memanggilnya. ”Apa?” Asep menoleh. ”Kamu bisa bilang istriku cantik, kamu suka merhatiin dia ya?” tuduhku. Asep langsung salah tingkah. ”Ah, nggak. Bukan begitu. Aku... istriku... istriku yang bilang. Aku tahunya dari dia.” jawabnya tergagap. Aku tersenyum. ”Nggak apa-apa, Sep. Santai aja, aku cuma bertanya kok.” kutepuk pundaknya sebagai tanda persahabatan. Dalam hati, muncul rencana gilaku. Asep pasti mau kalau Indah ditukar dengan Airin, istrinya yang baru ia nikahi 2 bulan. Bisa kulihat hasrat Asep pada istriku di kilatan matanya. Tapi itu kalau Airin masih belum ’disentuh’ oleh Juragan Karta. Kalau sudah, buat apa aku repot-repot memberikan istriku pada Asep kalau tubuh mungil Airin bisa kudapatkan dengan gratis. Siapa pun yang pernah tidur dengan Juragan Karta, akan bisa juga kutiduri. Begitulah ilmu peletku bekerja. Nanti malam, akan kusurvei lagi siapa saja yang bisa menjadi korbanku. *** Matahari sudah naik sepenggalah ketika keranjangku penuh. Dengan agak kesulitan, aku mengangkatnya ke tempat penimbangan yang ada di bawah pohon mangga. Disana, Mang Kosim dan tengkulak dari kota sudah menunggu. Tapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ada yang menabrak tubuhku. ”Aduh!” aku berteriak kaget, sementara keranjang yang kupegang terjatuh. Isinya semburat berceceran di tanah. “Eh, maaf, Mal. Nggak sengaja.“ ternyata Inez, istri mang Kosim. Tumben dia ikut kemari, biasanya cuma menunggu di rumah. Aku tak jadi marah. Siapa juga yang bisa memarahi istri bos? Bisa-bisa aku nggak dapat bayaran nanti. “Iya, mbak. Nggak apa apa.“ ujarku menetralisir keterkejutan. Kunikmati saat tangan lembut Inez memegang lenganku dan ikutan jongkok untuk mengambil biji kopiku yang tercecer. Terus terang, aku terkesima dengan kecantikannya. Di usianya yang sudah mendekati 40 tahun, Inez masih tetap terlihat cantik dan menarik. Padahal dia sudah mempunyai 2 orang anak. Mungkin karena istrinya orang kaya kali ya, jadi bisa beli kosmetik yang mahal-mahal untuk merawat tubuhnya. “Saya nggak lihat ke depan. Maaf banget ya, Mal.“ dia memandangku teduh. Aneh! Tidak biasanya dia berlaku seperti ini. Meski cantik, Inez itu orangnya kasar dan cuek. Hari ini kok lain, jadi lembut dan perhatian. Jangan-jangan... “Iya, mbak.” kupandangi lehernya, tapi tidak kutemukan tanda yang kucari. Tanda berupa lingkaran merah sebesar koin yang menunjukkan kalau orang itu sudah pernah tidur dengan Juragan Karta. ”Emang mbak mau kemana?” aku bertanya. “Ini, nyari mangga yang jatuh.” dia menunjukkan dua biji mangga yang sudah diperolehnya. “Itu nggak enak, mbak. Terlalu muda, rasanya asem nanti.” “Emang saya nyari yang asem kok,” dia memberiku senyum penuh arti. Aku pun mengerti. “Mbak hamil ya?” tebakku. Inez cuma mengangguk sebagai jawaban. Senyumnya terlihat semakin lebar. “Wah, selamat ya, mbak. Sudah berapa bulan?” aku menyalaminya. Sengaja aku berbuat begitu agar bisa memegang jari-jari tangannya yang halus. “Eh, iya, makasih. Sudah jalan 2 bulan.” dia membiarkan aku memegang tangannya. Lama. Hingga mang Kosim datang menghampiri. ”Hei, sudah-sudah!” dia memelototiku. ”Cepat, Mal. Angkat kopinya kesana. Sudah ditunggu sama Koh Akiong.” ”Eh, i-iya, mang.” segera kulepas tangan istrinya dan kuangkat keranjangku ke tempat penimbangan. Sedang Inez bangkit dan membujuk suaminya agar tidak terus memarahiku. Setelah ditimbang, aku dapat bayaran 20ribu. Lumayan untuk kerja setengah hari. Aku segera mengantonginya dan berjalan pulang. Tapi baru beberapa langkah, mang Kosim memanggil. ”Mal, jangan pulang dulu. Sini dulu bentar.” Waduh, ada apa lagi ini, batinku dalam hati. Jangan-jangan gara-gara tadi. Aku mulai takut. Tidak salah memang kalau dia marah padaku. Siapa juga yang bisa terima istrinya dipegang-pegang laki-laki lain, meski itu cuma tangannya doang. Apalagi untuk orang yang harga dirinya tinggi seperti mang Kosim. ”A-ada apa, mang?” tanyaku tergagap. ”Bisa ngantar Inez pulang nggak?” serunya. Ternyata, perintahnya sangat jauh dari bayanganku. Aku jadi bisa tersenyum. Malah aku bersorak dalam hati karena bisa membonceng wanita cantik macam Inez. ”Nih kuncinya.” dia melemparkan kunci motor padaku. ”Trus nanti mang Kosim naik apa?” kalau sepedanya aku pakai, apa dia mau jalan kaki? Nggak mungkin kayaknya. ”Aku nanti dianter Koh Akiong, kita mau lihat-lihat kebun sebentar.” jawab mang Kosim. ”Oh, begitu. Baiklah, mang.” segera kustater motor bebek mang Kosim untuk mengantar istrinya pulang. Inez langsung berpegangan di perutku begitu gas motor aku tarik. Terasa sekali payudaranya yang bulat mengganjal empuk di punggungku. Aku jadi horny. Asep yang melihatnya, memberi tanda dua jempol. Aku membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum. Memang beruntung aku kali ini, tidak semua orang bisa berdekatan dengan istri mang Kosim yang cantik jelita ini. Sepanjang jalan, sambil ngobrol-ngobrol ringan, kunikmati bagaimana payudara Inez yang besar seperti memijat punggungku. Setiap kali ada lubang –maklum jalan kampung- dan aku harus mengerem mendadak, tubuhnya akan terdorong maju. Akibatnya, payudaranya yang sudah menempel ketat, jadi serasa terhimpit, menekan keras punggungku. Nikmat sekali rasanya. Dan anehnya, Inez seperti tidak keberatan dengan perbuatanku itu. Malah dia makin mempererat pelukannya, seperti sengaja menggesek-gesekkan payudaranya pada punggungku. Dia baru menjaga jarak kalau kami berpapasan dengan penduduk atau sepeda motor lain, yang mana itu sangat jarang sekali. Alhasil, sepanjang jalan, aku jadi horny dan terangsang sekali. Terus kucari jalan yang berlubang-lubang agar itu terus terjadi, semakin rusak semakin bagus. Hehehe... ”Anakmu sudah umur berapa, Mal, sekarang?” tanya Inez disela-sela desakan payudaranya. ”S-sudah 5 bulan, mbak.” jawabku gemetar, antara takut dan birahi. ”Nggak pengen nambah lagi?” tanyanya. ”Ya belum lah, mbak. Yang ini aja masih kecil.” kuperhatikan ada lubang besar di depan, tidak begitu dalam sih, tapi tetap saja kuinjak rem kuat-kuat. akibatnya, lagi-lagi payudara bulat Inez terasa menggencet keras punggungku. Ough, nikmatnya. ”Kamu nggak bisa naik sepeda ya, Mal? Dari tadi gas-rem gas-rem terus.” protesnya, tapi tetap menyandarkan dadanya di punggungku. Menunjukkan kalau perbuatanku itu bukan masalah baginya. ”Jalannya mbak yang rusak,” aku berkilah. Dan kembali kuinjak rem kuat-kuat meski saat itu tidak ada lubang. Ingin kurasakan kembali sensasi saat benda bulat empuk itu menempel ketat di punggungku. Aku ketagihan. Mumpung ada kesempatan, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. ”Auw! Mal, hati-hati.” seru Inez. Pegangannya di perutku semakin mengencang. ”Ada tikus mbak yang tiba-tiba nyebrang.” aku berbohong. Kurasakan, tangan wanita itu semakin lama juga semakin turun. Bahkan kini sudah hampir mengenai selangkanganku. Satu centi lagi, ia bisa menyentuh ujung penisku! ”Enak ya, Mal, punya istri yang lagi menyusui?” tanyanya. ”Enak gimana, mbak?” aku tidak mengerti. ”Susunya kan jadi gede, pasti manteb banget tuh.” selorohnya. Aku tertawa. ”Ya nggak lah, mbak. Kan harus dibagi-bagi sama si bayi. Kalau saya habiskan sendiri, ntar bayi saya kurus donk.” aku ikut bercanda. Tak kusangka, dia yang biasanya pendiam, bisa jadi berani seperti ini. Kalau bukan karena efek peletku, ini tidak akan mungkin terjadi. Tapi masalahnya, tanda yang seharusnya bisa kulihat di lehernya tidak ada. Menunjukkan kalau Inez bukanlah salah satu mangsa Juragan Karta. Jadi aku tidak bisa menidurinya. Tapi kenapa dia jadi genit seperti ini kepadaku, seperti menawarkan tubuhnya untuk kunikmati? Apa mungkin dia melakukannya dengan sadar? Yang mana itu sangat tidak masuk akal, Inez si cantik jelita mau sama aku yang miskin dan dekil ini. Kalau aku gegabah bertindak, dengan memperkosanya misalnya, dan ternyata dia berteriak, bisa berabe akibatnya. Lebih baik aku tunggu saja. Kuikuti permainannya, sampai mana dia mau menggodaku. Di lubang berikutnya, kembali kuinjak rem kuat-kuat. Tubuh Inez kembali terdorong maju, payudaranya tanpa ampun kembali menggencet punggungku. Bedanya kali ini, tangannya yang sedari awal berpegangan di perutku, tiba-tiba terlempar dan mendarat tepat di gundukan selangkanganku. Tanpa bisa dicegah, ia pun menggunakan batangku yang sudah ngaceng berat sebagai pegangan! ”Ehm, mbak...” aku gemetar, campuran antara rasa kaget dan takut. ”Sstt... diam.” Inez berbisik di telingaku. Jari-jarinya dengan pelan mulai mengelus-elus penisku dari luar celana. ”Gede juga burungmu.” ia berkata begitu sambil memasukkan tangannya ke balik celana kolorku, juga celana dalamku, untuk kemudian menggenggam burungku secara langsung. ”Aghhhh..” aku bergidik. Tubuhku serasa melayang. Nikmat sekaligus enak kurasakan. Tak kusangka kalau Inez akan melakukan ini. Berani sekali wanita itu, mengocok penisku di atas sepeda yang tengah melaju di tengah jalan kampung. “Pasti istrimu puas banget ya, punya suami kontolnya gede kaya gini.” bisiknya dengan tangan terus bergerak mengurut batang penisku. ”Ahh, mbak, jangan. Nanti dilihat orang.” aku pura-pura menolak. Masa langsung mau aja, nanti kelihatan banget kalau aku sebenarnya doyan memek. ”Orang yang mana?” dia bertanya. Kuperhatikan jalanan, memang tidak ada orang saat itu. Kita sedang lewat perkebunan karet. Jadi tidak alasan lagi bagiku untuk menolaknya. Dengan mata merem melek keenakan, kunikmati kocokan tangannya. ”Enak, Mal?” Inez berbisik. Dadanya makin ketat menekan punggungku. Bisa kurasakan kalau benda itu menjadi sedikit lebih keras sekarang. Apa dia juga terangsang? Pastinya begitu, wanita mana sih yang pegang kontol tapi tidak terangsang! Aku mengangguk. Terus kunikmati servisnya hingga kami sampai di depan jalan masuk kampung. ”Mbak, ada orang!” seruku saat kulihat seorang wanita tua yang terbungkuk-bungkuk menggotong kayu bakar. Inez buru-buru menarik tangannya dan bersikap biasa, pura-pura tidak terjadi apa-apa. Dia juga menjauhkan payudaranya dari tubuhku. Sekarang kami menjaga jarak. Ah, aku mengeluh dalam hati. Kenikmatan yang dari tadi kurasakan, sekarang hilang tak berbekas. Tak lama, kami sampai di rumahnya. Inez menyuruhku untuk ikut masuk. ”Minum-minum sebentar sini, Mal.” dia menawarkan. Kupandangi goyangan pantatnya yang padat berisi saat dia berlalu menuju dapur. Kutelan air liurku. Apakah aku akan mendapatkan ’rejeki’ tambahan hari ini? Kalau menilik kejadian di atas sepeda tadi sih, sepertinya begitu. Inez lagi ’gatel’, dan dia memerlukan ’bantuan’ku. Itu yang bisa kutangkap dari gerak-geriknya. Tapi bayangan indahku itu sirna tak lama kemudian. Seorang wanita tua keluar dari kamar dan menyapaku. ”Sim, kamu sudah pulang?” Aku tidak langsung menjawab. Sim? Siapa itu ’Sim’? Itu bukan namaku. Apa mang Kosim maksudnya? Aku sudah akan menyahut ketika kulihat Inez keluar dari dapur. ”Lho, Mak, sudah bangun?” Inez bertanya pada nenek tua itu. “Tumben suamimu pulang cepet?” wanita yang ternyata ibunya Inez itu bertanya lagi. “Iya, Mak. Cuma sedikit yang dipanen.” dengan isyarat mata, Inez menyuruhku untuk diam. Serahkan saja ini kepadaku, itu yang kutangkap dari gerak bibirnya. “Ayo, bang. Katanya tadi mau pijet.” Inez menggiringku masuk ke kamarnya. “Nez…” aku tidak sempat memprotes karena dia sudah keburu menggelandang tanganku. ”Ssst... diam. Ibuku itu sudah rabun, dia tidak bisa membedakan antara kamu dan bang Kosim. Kita aman.” bisiknya setelah menutup pintu dan menguncinya dari dalam. ”Aman untuk apa?” meski sudah tahu apa yang ia inginkan, aku tetap ingin bertanya. ”Untuk ini,” Inez mendekatkan kepalanya dan menyambar bibirku. Ia lalu melumatnya dengan rakus. Sempat kaget, aku segera menyambut cumbuannya. Kukulum bibirnya yang tipis itu dengan ganas. Inilah yang aku tunggu. Inilah yang aku cari. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Persetan kalau mang Kosim bisa pulang sewaktu-waktu, yang penting aku sempat merasakan nikmat tubuh istrinya. Kami terus saling memagut dengan penuh perasaan, berdua kami hanyut dalam kuluman bibir. Inez semakin erat memelukku, tangannya ditopangkan ke bahuku untuk dilingkarkan ke belakang kepalaku. Sementara aku memegangi pinggangnya yang ramping sambil sesekali mengelus pelan bulatan pantatnya. Kurasakan kalau benda itu begitu padat dan licin. “Mbak nggak pake CD ya?” kataku sambil terus memijit-mijit bulatan pantatnya. ”Nggak cuma CD, aku juga sudah nggak pake BH.” Inez menunjukkan tubuh sintalnya yang tercetak jelas. Bisa kulihat tonjolan puting di ujung buah dadanya. Duh! Ngajak perang nih perempuan, membuatku jadi panas dingin, tak sanggup untuk berpaling. ”Mbak...” aku menuntut penjelasan darinya, kenapa dia bisa sampai senekat ini? Padahal lagi hamil. Dan menurutku, mang Kosim juga bukan orang yang lemah di atas ranjang. Tidak ada alasan baginya untuk berselingkuh denganku. “Entahlah, Mal. Sejak di kebun tadi, begitu melihatmu, aku langsung bergairah. Pengennya kamu tindih dan kamu entoti. Memekku rasanya gatel banget, pengen dimasuki sama kontolmu.” Ah, alasan ini... segera kuarahkan pandanganku ke lehernya. Kucari tanda itu. ”Ada apa sih, Mal?” tanya Inez saat kuputar-putar lehernya. “Bentar, mbak.” Dan aha, akhirnya kutemukan. Tidak seperti mangsa Juragan Karta pada umumnya, tanda milik Inez terletak agak ke belakang, tersembunyi rapat di balik rambutnya, pantas saja tadi aku tidak melihatnya,. “Kenapa mbak nggak bilang kalau punya ini.” dengan adanya tanda itu, aku jadi tenang menggarap tubuhnya. “Punya apa?” dia bertanya. Ah, iya. Bodohnya aku, dia kan tidak tahu keberadaan tanda itu. ”A, sudahlah, mbak. Yang penting kita nikmati aja saat ini, mumpung mang Kosim belum pulang.” kataku. “Santai aja, dia bakal lama kok. Sampai sore juga belum tentu pulang.” sahut Inez. “Oh, begitu. Berarti ini hari keberuntungan mbak. Akan kupuaskan mbak sampai sore.” bisikku sambil kembali melumat bibirnya. “Aku yakin kamu jago memuaskan wanita, Mal.“ desah Inez di sela-sela ciumannya. “Mbak tuh yang jago. Dari tadi bikin kontol saya ngaceng terus.” balasku, disambut tawa cekikikan darinya. “Aku kemarin habis ketemu sama Linda, dia ngaku kalo sore kemarin sudah kamu garap habis-habisan. Mendengarnya, entahlah, membuatku jadi pengen juga.“ “Sialan,“ umpatku. Kalau Linda terus ’bocor’ seperti ini, bisa-bisa separuh kampung mengeroyokku. Mangsa Juragan Karta kan banyak sekali. Ugh, mana kuat. Tapi itu diurus nanti saja, sekarang kunikmati saja apa yang ada. Kembali kulumat bibir tipis Inez. Sambil berciuman, kubimbing tangannya ke bawah perutku untuk meremas-remas penisku yang sudah ngaceng berat. “Besar sekali, sayang.“ ujar Inez ketika pagutanku terlepas. Dia lalu dengan cepat mempreteli bajunya, rupanya wanita cantik itu sudah tak tahan. Duh, betapa mulus tubuhnya saat dia sudah telanjang. Rambutnya yang sebahu dia urai ke belakang untuk memamerkan buah dadanya yang bulat dan besar. Benda itu terlihat sudah mengeras dan sangat indah, tidak kelihatan turun sama sekali meski dia sudah mempunyai dua orang anak. Bagian vaginanya sedikit ditumbuhi rambut-rambut tipis, membuatku hanya berdiri mematung terkesiap. Aku sampai tidak tahu harus berbuat apa saking terpesonanya. “Kau akan membiarkan aku kedinginan, Mal?” pancing Inez sambil menggoyang-goyangkan payudaranya. ”Ah, i-iya, mbak.” dengan kikuk aku segera melucuti pakaianku. Melihat penisku yang tersembul dari bagian atas celana dalamku, Inez menjulurkan lidahnya dan menjilati bibirnya. “Ih, gede banget, Mal.“ serunya girang sambil maju dan memelorotkan celana dalamku, posisinya kini berjongkok. Dia memegang penisku dan mengocoknya dengan lembut. ”Ini yang bikin aku nggak bisa tidur semalaman!” pegangannya terasa kuat, kentara sekali kalau dia memang merindukan benda itu. Apa begini perasaan semua mangsa Juragan Karta terhadap penisku? Inez yang tampaknya sudah tak tahan, berdiri dan menarik tubuhku untuk naik ke atas ranjang. ”Sekarang, Mal. Puaskan aku!” bisiknya mesra. Mengangguk mengiyakan, segera kuterkam tubuh sintalnya. Kugumuli wanita cantik yang sedang hamil dua bulan itu dengan penuh nafsu. Buah dadanya yang besar dan bulat kuremas-remas dengan gemas, sementara bibirnya yang tipis kulumat tiada henti. Inez sampai menggerinjal dan melenguh menerimanya. “Stop dulu, Mal.“ serunya dengan menahan kepalaku ketika aku semakin tenggelam dalam lumatanku. Rupanya dia tak kuat menahan serbuanku “Kenapa, mbak, nggakbisa nafas ya?” kataku nakal sambil mengelus-elus pahanya yang putih mulus, kakinya sekarang tengah menjepit pinggangku. “I-iya.“ dia menjawab terengah-engah, berusaha memasukkan udara sebanyak-banyaknya ke paru-parunya yang kosong. Itu membuat payudaranya yang bulat jadi turun naik menggiurkan. Aku segera menyerbunya dengan menyusupkan kepalaku kesana. Kuciumi dagingnya yang empuk, juga permukaannya yang halus, sambil tak lupa kuhisap dan kujilati putingnya yang menonjol kemerahan. Benda itu terasa begitu keras sekarang. ”Sshhhh... sudah, Mal. Cukup. Aku nggak tahan. Langsung tusuk aja ya.” dia meminta sambil membuka kakinya lebar-lebar, menunjukkan vaginanya yang sudah basah dan mengkilap kepadaku. Ah, mana bisa begitu. Mumpung bisa main, harus dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Dinikmati tahap demi tahap, tidak boleh grusa-grusu seperti itu. “Emut dulu penisku, mbak. Biar agak basah dikit.“ “Emut gimana? Aku belum pernah, Mal. Nggak tahu caranya.” Inez memandangi batangku. “Nggak pernah ngemut punya bang Kosim?” aku bertanya. ”Suamiku melarang, kotor katanya. Hanya boleh ngocok doang.“ sahutnya. “Enak kok, mbak. Coba aja. Jilati dulu pelan-pelan, baru dimasukan. Disedot sedot gitu.“ kudekatkan batangku ke bibirnya. Inez menahan dengan tangannya. ”Kalau kegigit gimana?” dia tampak ragu, antara ingin dan risih. ”Nggak apa-apa.” aku tahu kalau penolakannya tidak akan lama. Istriku aja yang dulu jijiknya minta ampun sama kontol, sekarang suka kok. Apalagi Inez yang memang sudah mempunyai bakat ’nakal’. Dia pasti akan menyerah. Ilmu peletku tidak bisa dilawan. Pelan Inez membuka mulutnya dan menjilati ujung batangku. Kubiarkan dia melakukannya sambil kutunggu saat yang pas. Saat kulihat mulutnya membuka makin lebar, cepat aku mendorong penisku hingga benda itu melesak masuk seluruhnya sampai ke pangkal. ”Aarrghhhh... hhmmphhmm!“ erang Inez saat kontolku memenuhi rongga mulutnya, hampir mentok ke tenggorokannya. Kutahan kepalanya agar dia tidak memuntahkannya lagi. ”Nah, sekarang hisap pelan-pelan.” aku memberi instruksi. Inez mendelik ke arahku, tapi tak urung tetap melakukannya juga. Awalnya memang agak sulit, tapi setelah beberapa lama -setelah dia mulai terbiasa- jilatannya menjadi semakin nikmat. Tidak kalah dengan istriku yang sudah berpengalaman. Sementara dia terus mengulum penisku, tanganku dengan nakal kembali meremas-remas buah dadanya yang bergelantungan indah. Benda itu terasa semakin mengeras, terutama putingnya yang sekarang kelihatan mencuat dan menonjol indah. Rupanya wanita itu sudah terangsang hebat. Inez yang sudah benar-benar tak tahan, segera menghentikan kulumannya, padahal aku masih ingin lanjut. “Sekarang masukin deh, Mal. kumohon.“ dia menghiba sambil mendorong badanku, menempatkan tubuhku di sela-sela selangkangannya. Terasa nikmat saat ujung penisku bergesekan dengan bibir liang senggamanya yang sudah sangat basah. “Langsung gitu, mbak?“ kupandangi vaginanya. Benda itu memang terlihat tidak sempit lagi, maklum sudah dilewati oleh dua bayi. Tapi tetap saja indah. Aku menggelitiknya sebentar dengan ujung penisku. “Ahhh... ya, aku sudah nggak tahan.“ rintih Inez sambil menggelinjang, mencoba menarik pinggulku agar segera memasukinya. “Jangan terburu-buru, mbak. Aku kan belum mengerjai vaginamu.“ kubuka kakinya hingga ia mengangkang makin lebar. Pahanya benar-benar mulus bak pualam. Aku mengusap-usapnya penuh nafsu sambil mulutku nyosor ke lubangnya yang berbulu jarang. Sepertinya Inez rajin merawatnya. “Mal, sshhhh... aghhhh...“ dia langsung mendesis. Tangannya menggapai- gapai bantal dan meremasnya kuat-kuat, seiring semakin kuatnya aku menghisap lubang kencingnya. Sementara matanya yang bulat terlihat merem melek keenakan. “Auw! Geli, Mal. Hentikan... oughhhh... ampuuun... cukup... hentikan...“ Inez meracau tak karuan saat kumasukkan lidahku ke dalam lubangnya dan menjelajah liar disana. Tangannya meremas-remas bantal semakin kuat, sementara tubuhnya yang sintal menggeliat-geliat kesana kemari bak cacing kepanasan. Lenguhannya terdengar sangat keras. Badannya basah oleh keringat. Lubangnya semakin mengangga karena jilatanku. “Mal, hentikan... oughhhh… aku nggak tahan...“ desisnya makin keras dengan tubuh naik turun tak karuan. Matanya terpejam, dan saat terbuka, cuma kelihatan putihnya saja. “Mal, aku nggak… aaghhhh... nggak... kuat... aku mau muncrat!“ jeritnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kuberi remasan pada buah dadanya agar dia makin terangsang. Klitorisnya aku jilati dan aku serang terus. Inez menaikkan badannya lagi hingga melengkung. Kusambut dia dengan meremas payudaranya semakin keras. Kurasakan benda itu sudah mengeras, padat dan semakin membesar. “Ooooooooooh… aku... akuuuuuu… saaaaaaammmmm…“ ucap Inez terputus saat tubuhnya berkelonjotan, dari vaginanya muncrat cairan bening yang sangat banyak. Aku segera menyingkir agar tidak terciprat. Kutunggu sampai dia terdiam sebelum aku melanjutkan aksiku. “Mal, kok bisa gitu sih. Nikmat banget!“ nafas Inez masih terputus-putus. ”Jangan bilang kalau mbak nggak pernah di oral ya!” kupenceti bulatan payudaranya, kutusuk-tusuk putingnya yang mungil dengan ujung jariku. Entah kenapa, aku suka memainkan benda itu. ”Emang nggak pernah kok. Mang Kosim jijik.” sahutnya. ”Tapi setelah tahu rasanya, nggak nolak kan kalau di oral lagi?” dengan kedua tanganku, kutangkup benda itu dan kuremas-remas pelan. Aku tidak bisa memegang semuanya karena saking gedenya. ”Dikasih tiap hari juga mau.” dia berkata sambil tertawa. ”Ugh, maunya...” kucium bibirnya dan kembali kulumat mesra. ”Masukin sekarang ya, mbak.” Inez mengangguk. ”Tapi nanti keluarin di luar aja ya.“ “Nggak bisa, harus di dalam. Nggak nikmat.“ aku menolak. Apa enaknya main kalau moncrotnya di luar? “Aduh, Mal. Aku kan lagi hamil.“ dia mengeluh. “Justru itu, malah aman. Mbak kan jadi nggak mungkin hamil lagi.” terangku. “Ehm, iya ya. Baiklah, di dalam juga boleh.“ Inez tersenyum menyadari ketololannya. Nafsu memang kadang membuat orang jadi tidak bisa berpikir jernih. “Siap ya, mbak?” ucapku sambil mulai mengarahkan penisku ke dalam lubangnya. “Pelan ya, Mal. Jangan sampai aku keguguran gara-gara main sama kamu. Ini aja sejak hamil, mang Kosim nggak kuberi jatah.” pesennya. ”Jadi ini pertama kali mbak main?” Oh, aku tak percaya dengan keberuntunganku. ”Kamulah orang pertama yang menikmati tubuhku setelah dua bulan ini.” sahutnya. Kudorong penisku. Karena Inez sudah pernah melahirkan, jadi meski sudah dua bulan memeknya ganggur, tetap saja benda itu terasa longgar. Tapi tak apa, aku tetap bisa menikmatinya. Dibanding ngentot dengan Mak Yem yang berumur 60 tahun, tubuh Inez tetap lebih nikmat. ”Pelan-pelan, Mal.” rintih Inez saat aku mulai menggoyang pinggulku maju mundur. “Rasanya sesak, kontolmu gede banget!“ pujinya sambil tersenyum. Sesak? Aku aja ngerasa longgar. Jangan-jangan penis bang Kosim yang tidak sebesar punyaku. ”Mbak suka?” aku bertanya. “Suka, Mal. Suka banget! Auw... terus genjot tubuhmu. Enak. Rasanya nikmat banget!” racaunya tak karuan. “Enak apa nikmat?“ godaku. “Dua duanya, Mal. Kalo saja bisa tiap hari begini sama kamu, aku mau.“ pintanya. “Bisa digrebeg tahu.“ kataku sambil terus memaju mundurkan pantat, memaksa penisku untuk masuk menjelajahi liang vaginanya. Dengan sekali sentak, penisku amblas seluruhnya, selangkangan Inez sampai menggelembung karenanya, penisku mentok sampai ke pangkal lubangnya. “Aghhhh... genjot, Mal.“ pinta perempuan cantik itu. Aku mulai menggenjotnya naik turun, tubuh kami bergerak seirama di atas ranjang. Tangan Inez menggapai-gapai, berusaha mencari pegangan namun aku cegah. Kutekan tangannya hingga dia makin kepayahan menerima seranganku. Matanya mendelik, sementara jeritan semakin keras terdengar dari mulut manisnya karena aku memompa tubuh sintalnya semakin keras dan cepat. Saat dia berhasil melepas peganganku, dia segera memelukku, menyambut tusukan penisku dengan memutar pinggulnya begitu cepat. Kuhargai usahanya dengan memberinya lumatan maut di bibir. Inez membalas lumatanku, sambil tangannya menarik kepalaku dan menjambak-jambak rambutku. Di bawah, pantatku tetap turun naik menggenjot tubuhnya dengan intonasi stabil cenderung cepat. “Auw! Aahhhh... uhhhh... ahhhh... Mal, gila kau, Mal... enak sekali! Oughhhh... terus! Nikmat banget...“ rintih Inez di tengah deru nafasnya yang semakin memburu. “Mal... aku mau sampai! Ohhhh... auw, enaknya!“ racaunya dengan vagina menjepit keras penisku. Detik selanjutnya, muncratlah cairan orgasmenya. “Aku... aku sampai... “ pekik Inez dengan tubuh menegang kaku. Ujung penisku serasa disembur cairan hangat. Kupeluk erat tubuhnya hingga siraman itu mereda, barulah aku kembali menggoyang. Kulihat tubuh Inez menjadi semakin indah dan menggoda karena berbalut keringat. Aku jadi makin bergairah. “Hebat kau, Mal... belum keluar juga.“ pujinya dengan nafas berat dan ngos-ngosan. “Ntar nanti... tenang saja, mbak... aku kusemprotkan maniku ke lubangmu.“ bisikku sambil menyandarkan pipi ke gundukan payudaranya. “Ah... iya, lama juga nggak apa-apa, Mal. Aku menikmatinya...“ dia mengecup dahiku dan memegangi pinggulku yang semakin dalam menjelajahi memeknya. “Dasar nakal... “ balasku tertawa. Kuemut salah satu putingnya dan kujilat berulang kali. “Memang beneran enak kok. Janji ya, kalo aku butuh lagi, kau harus mau...“ ujar Inez dengan tersenyum genit. “Aneh ya, kemarin kita canggung banget. Sekarang malah main kayak gini.“ kataku. Mulutku berganti menjilat puting yang satunya. “Aku juga nggak tahu, Mal.” Inez memejamkan mata, tampak sekali menikmati goyanganku di atas tubuhnya. “Kalau saya sih sudah lama pengen ngentotin, mbak. Tapi mana berani.,. takut sama Mang Kosim. Kalau hari ini mbak nggak ngajakin, saya juga nggak akan berani.“ aku berterus terang. “Aku malah beda. Dulu aku nggak ngelirik kamu sama sekali, secara kamu jelek banget gitu. Tapi entahlah, sejak kemarin, pandanganku itu tiba-tiba berubah. Ada sesuatu dalam dirimu yang merangsangku. Aku nggak tahu apa itu. Tapi yang jelas, begitu dekat denganmu, bahkan hanya dengan melihatmu, punyaku langsung basah. Pengen kamu entotin.” terangnya tak mau kalah. ’Itu karena peletku, mbak.’ kataku dalam hati. “Ditambah cerita dari Linda, aku jadi makin pengen deh.” timpalnya lagi. ”Sekarang, setelah merasakannya, mbak nggak kecewa kan?” aku bertanya. ”Tentu saja nggak. Yang ada, aku malah puas banget. Punyamu gede dan keras, bikin memekku jadi penuh.” sahutnya. Kuremas-remas lagi payudaranya sebelum aku berbisik di telinganya. ”Saya juga puas main sama mbak, tubuh mbak montok dan nikmat banget. Kalau saja nggak takut sama Mang Kosim, saya pengen ngentotin mbak seharian.” Inez tertawa, ”Coba aja kalau berani.” dia menantang. Dan nyatanya, setelah ejakulasi di dalam vaginanya tak lama kemudian, kami bertarung lagi satu babak sebelum Mang Kosim pulang. Inez memelukku ketika aku didudukinya, dengan batangku amblas ke dalam lubangnya yang becek itu. “Mal, pelan pelan ya... auuuh... enak sekali, Mal. Oughhhh... “ erangnya dengan gemas sambil merangkul pundakku, tubuhnya naik turun di selakanganku, menggenjot dengan tempo yang tidak terlalu cepat. Kuberikan perlawanan dengan lebih lembut sehingga Inez semakin bergairah. “Mal, lembut... enak sekali… Ohhhhh…“ rajuknya sambil melumat bibirku. Kami memacu dengan irama pelan, lalu cepat, dan kembali ke pelan lagi. Desahan dan rintihan kami saling bersautan. Inez memelukku erat sambil terus memacu tubuhnya naik turun, bahkan kadang pinggulnya diputar-putar untuk menggilas penisku hingga membuatku makin merem melek keenakan. “Mbak jago banget ya genjot kayak gini…“ pujiku sambil meremas-remas payudaranya yang menampar-nampar perutku. “Ah, nggak, Mal... kau yang hebat... “ balas Inez terengah-engah. Kulitnya yang putih sudah merah padam karena birahi. “Mbak, aku merasa mau... keluuaarrgghhhhhh...“ kataku terbata dengan nafas tersengal. “Keluarin di dalam, sayang, kayak tadi.“ bisiknya sambil terus memacu pinggulnya. Tak lama kemudian, aku merasa dijepit sangat keras, apalagi kedua kaki Inez tengah menjepit pinggangku. “Ohhhh... Mbak... aku... sammmm...“ ucapanku terputus oleh laharku yang muncrat bertubi-tubi memenuhi memeknya. Tubuhku bergetar, setelah merasa melayang oleh rasa nikmat yang amat sangat, aku pun ambruk kelelahan. “Tahan, Mal, aku juga hampir sampai...“ Inez semakin keras menggenjot tubuhnya. Ia berusaha mengejar batangku yang semakin lama terasa semakin lembek. ”AARRGGHHHHHHHH...” untunglah usahanya itu berhasil. Beberapa detik kemudian, tubuhnya menegang kaku. Dari dalam vaginanya menyemprot cairan panas yang langsung bercampur dengan spermaku. Kami mencapai klimaks hampir bersamaan, kami saling memeluk dengan erat ketika kami memuncratkan air cinta kami masing-masing. “Makasih, Mal... semprotanmu hebat juga. Oh, berhenti deh…“ Inez menindih tubuhku dan memelukku erat-erat. Kelamin kami masih tetap bersatu. “Memek mbak juga enak, punyaku seperti disedot-sedot.“ ujarku tak mau kalah. Selanjutnya kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Inez meminta agar aku melepas penisku. Saat kutarik batangku yang sudah mulai melemah, dari lubang Inez menetes cairan putih kental. Itu adalah pejuhku dan cairan cintanya. “Kalo aku sampai keguguran, kau tanggung jawab ya.“ goda Inez padaku. “Tenang, mbak. Akan kubuatkan lagi, yang banyak.” sahutku cuek. “Awas ya, kupegang kata-katamu itu.” ujarnya Inez sambil pergi ke kamar mandi, namun dia balik lagi dan menarik tanganku untuk mengajak mandi bareng. ”Mang Kosim masih lama pulangnya?” aku hanya ingin memastikan, aku tidak ingin dipergoki saat sedang menyabuni Inez nanti. Bisa berabe urusannya. ”Kita punya waktu 15 menit.” Inez menyahut mantab. Merasa aman, kami pun mandi bersama. Ibu Inez sudah tidak ada di ruang tengah, mungkin sudah tidur. Keluar dari kamar mandi, kami memakai pakaian masing masing. Setelah beres, kupegang pinggangnya lalu kuberi dia ciuman mesra. “Makasih, Mbak Inez... “ kataku sungguh-sungguh. “Iya, sama-sama.“ sahutnya. Sempat kucium dia sebentar sebelum aku pamit pulang. Di pertigaan dekat rumahnya, aku berpapasan dengan Mang Kosim yang menumpang mobil Koh Akiong. Dia cuma melirikku sekilas. Dalam hati aku berdoa, mudah-mudahan saja dia tidak curiga.