rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Thursday, 2 October 2014

Muslihat Kakek Dewo 12

Angin malam bertiup dingin dari lembah. Bayu masuk ke dalam kedai seenaknya sambil bersiul-siul. Orang tua pemilik kedai menyambutnya dengan muka bertanya. ”Anak muda,” katanya, ”baru kali ini kulihat dirimu. Kau ini siapa sebenarnya dan datang dari mana?” Bayu mengusap-usap dagunya yang licin. ”Bapak sudah lama tinggal di sini?” katanya balik bertanya. ”Sejak masih bayi….” jawab orang tua itu. ”Hem… kalau begitu tentu kenal dengan nama Dewo.” kata Bayu. ”Oh tentu… tentu sekali. Dia orang tua sepertiku, bapaknya dulu Kepala Kampung disini. Tapi sekarang dia tinggal bersama Kyai Kholil, setelah dia pulang merantau selama bertahun-tahun. Cuma sayang…” laki-laki itu menggantung kalimatnya. ”Sayang kenapa?” kejar Bayu. Orang tua itu tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti mau menembusi kegelapan malam, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. ”Sejak kedatangannya, kampung ini jadi aneh...” katanya kemudian menambahkan. Bayu menelan ludahnya. ”Aneh bagaimana, kalau boleh saya tahu,” Pertanyaan ini membuat si orang tua memandang lekat-lekat pada paras tampan pemuda itu. ”Semua perempuan sangat menurut kepadanya… penduduk yakin dia punya ilmu pelet, tapi sama sekali tidak bisa membuktikannya. Dengan begitu kami tidak bisa bertindak. Ditambah pula, kami juga segan pada Kyai Kholil yang dituakan di kampung ini. Dia selalu melindungi dan membela Dewo.” katanya. Kemudian dituturkannya beberapa peristiwa perselingkuhan Dewo dengan wanita-wanita di desa ini. ”Tampaknya dia suka wanita yang berjilbab, buktinya istri Pak Lurah yang tidak berjilbab masih aman-aman saja sampai sekarang meski orangnya sangat cantik.” tutup pemilik kedai tersebut. Sebenarnya kisah ini sudah diketahui dengan pasti oleh Bayu, karena tujuan kedatangannya ke desa adalah untuk menghentikan Dewo. Ini adalah perintah dari gurunya, yang juga adalah guru Dewo. Bedanya, kalau Dewo menggunakan ilmunya di jalan kesesatan, Bayu lebih memilih yang sebaliknya. Itulah sebabnya, mau tak mau dia harus melawan Dewo kalau tidak mau kemungkaran ini semakin merajalela. Dan sebagai tahap awal, ia sudah mencampur sejenis ramuan khusus yang hanya ia sendiri yang bisa meraciknya ke dalam sumur-sumur penduduk. Dengan begitu ia berharap pelet si Dewo akan tertolak, atau malah luntur dan menghilang bagi wanita-wanita yang sudah terlanjur kena. Usahanya itu sepertinya tidak sia-sia, karena sudah seminggu ini dilihatnya Dewo kelimpungan dalam mencari mangsa. Bayu lega bahwa perempuan di desa ini sudah sanggup menolak permintaan Dewo. Berarti ramuan penangkalnya sudah mulai bekerja. Kini tinggal bagaimana meneruskan ke tahap selanjutnya. Bayu mengulurkan tangannya untuk memotes sebuah pisang yang tergantung di para-para. ”Eee… apa kau punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?” tanya si pemilik kedai. Bayu tertawa, ”Hutang dulu, tidak apa-apa kan?” sahutnya ringan sambil tertawa. Si orang tua mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi ’langganan’nya yang makan tanpa bayar! Sambil mengunyah pisangnya, Bayu bertanya, ”Kalau misalnya kedok Dewo terbongkar, apa yang akan dilakukan oleh penduduk?” Si orang tua memandang lagi ke luar kedai dengan geram. Lalu katanya, ”Mungkin kami akan ramai-ramai memukulinya sampai mati, atau kalau tidak, mengusirnya dari kampung ini.” ”Wah, kejam juga ya,” sahut Bayu, lalu terdiam. Kulit kening pemilik kedai itu mengkerut. “Dia yang lebih kejam, karena sudah merampas kehormatan istri dan anak-anak kami.” ”Kenapa tidak dilaporkan ke polisi saja?” tanya Bayu. ”Tanpa adanya bukti, polisi tidak akan bisa berbuat apa-apa.” kata laki-laki itu. ”Kebanyakan korban si Dewo tidak mau bicara, mereka tidak bisa diajukan sebagai saksi. Kita butuh saksi mata yang benar-benar menyaksikan peristiwa itu, dan sampai sekarang kami belum menemukannya.” ”Hmm, begitu ya,” Bayu manggut-manggut dan meletakkan kulit pisang di tepi meja. ”Kemarin kulihat Dewo menggoda seorang gadis belia berparas cantik di depan musholla. Bahkan gadis itu hendak diperkosanya. Apakah itu bisa dijadikan bukti?” ”Mungkin bisa, tapi aku sendiri juga tidak tahu.” pemilik kedai mengidikkan bahunya, lalu menghela nafas. ”Agak sulit untuk melakukannya, karena begitu mendapat masalah, Dewo akan mempergunakan keampuhan ilmu peletnya untuk meredam kemarahan penduduk. Sebenarnya sudah berkali-kali kami ingin mengeroyoknya, tapi selalu saja urung setiap kali sudah berhadapan dengannya. Seperti ada rasa takut dan sungkan yang tiba-tiba menyerang, hingga akhirnya kami lebih memilih menyelamatkan keluarga sendiri-sendiri daripada bentrok dengan Dewo. Percuma, hasilnya sudah jelas. Ilmu pelet laki-laki itu mustahil untuk dilawan.” Kini jelaslah bagi Bayu kenapa penduduk selama ini cuma diam melihat sepak terjang si Dewo, kakak seperguruannya yang memilih jalan sesat. Hukum sama sekali tidak mempan kepadanya, jadi tibalah saat bagi Bayu untuk balik melawan Dewo dengan menggunakan ilmu gaibnya. Pemuda tampan itu memanggutkan kepala. ”Dia harus dihentikan, atau kampung ini tidak akan pernah tenteram.” ”Kata-katamu betul, anak muda.” balas si orang tua, tapi kemudian menggerendeng dan memaki panjang pendek ketika didengarnya Bayu berkata, ”Minta tehnya, Pak.” Sementara si orang tua membuatkan segelas teh manis untuknya, Bayu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia teringat pada gadis berbaju biru yang telah ditolongnya kemarin. Salamah, anak Haji Tohir. Nama itu telah menarik perhatiannya. Hanya dia satu-satunya wanita di desa ini yang tidak mempan oleh pelet si Dewo. Entah apa sebabnya, yang jelas Bayu harus mengetahuinya. Siapa tahu dengan informasi tersebut ia bisa menolong banyak perempuan lain di kampung ini. Ketika si orang tua datang membawakan teh, Bayu hendak bertanya sesuatu tapi mulutnya terkatup kembali karena di luar kedai dilihatnya sesosok tubuh renta yang berjalan pelan menuju ke suatu tempat. Tidak salah lagi. Itu Dewo. Mau kemana dia sekarang? Segera Bayu berpaling pada orang tua pemilik kedai, orang tua ini menarik nafas panjang dan berkata, ”Sepertinya dia akan mencari korban baru lagi. Pasti akan ada suami atau ayah yang kehilangan kehormatan istri dan anaknya.” ”Menurut bapak begitu?” tanya Bayu memastikan. Oran tua itu mengangkat bahu. ”Potong leherku kalau sampai salah,” ”Ayo cepat, Pak, kita hentikan!” kata Bayu sambil meneguk cepat teh manisnya, lalu bangkit berdiri. ”Coba saja,” laki-laki itu tertawa. ”kamu akan pingsan bahkan sebelum tahu ke arah mana Dewo menuju.” Bayu tidak berkata apa-apa lagi, karena itu memang benar. Kalau saja tidak berilmu tinggi, kemarin ia pasti juga akan pingsan saat mecoba menolong Salamah. Itulah kenapa ia tidak meneruskan perhitungannya kepada Dewo meski lawannya itu sudah terkapar kaku tak bergerak di tanah. Badan Bayu juga merinding, semua persendiannya seakan lepas. Dan dia pingsan di gubuk tengah sawah saat mencoba untuk menenangkan diri. Melawan Dewo memang tidak boleh grusa-grusu, itulah pesan dari mbah gurunya di lereng Lawu. ”Baiklah, Pak. Saya hanya akan mencoba menguntitnya.” kata Bayu. ”Oh iya, satu lagi. Jangan sebarkan soal kedatangan saya ke kampung ini, anggap saja kita tidak pernah berjumpa. Dengan begitu Dewo tidak akan curiga.” Habis berkata demikian, Bayu segera pergi meninggalkan kedai. Si orang tua mengangkat gelas bekas minuman pemuda itu. ”Ah, semakin tua umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehan.” katanya dalam hati. *** Dari balik sebuah rumpun bambu terdengar suara beradunya alat kelamin serta lenguhan dan rintihan hebat yang sangat membangkitkan birahi. Tanah sepetak yang ditumbuhi rumput pendek itu kini berubah menjadi sebuah medan ’pertempuran’. Satu orang laki-laki, dikeroyok oleh dua orang perempuan, atau gadis lebih tepatnya. Ada Dewo dan Mila, anak si Jamil juragan tahu. Juga seorang gadis lain, Nurmah, teman main Rohmah. Mereka tengah bercinta dengan sangat hebat dan cepat. ”Eesshh… nikmatnya, uuh!!” Nurmah merintih penuh nikmat ketika kepala kontol Dewo yang besar membelah bibir memeknya yang masih perawan dan mulai masuk secara perlahan-lahan. ”Ough... p-pelan-pelan aja, Paman Dewo! Eegh…” rintihnya menahan ngilu. Terlihat betapa sempitnya memek Nurmah, baru masuk sepertiganya saja sudah hampir membuatnya penuh. Dewo juga melenguh merasakan remasan liang memek Nurmah yang membungkus batang penisnya. Ia terus menekan sedikit demi sedikit sehingga kontolnya semakin menembus masuk. ”Ough... Paman Dewo!” Nurmah kembali mengerang penuh birahi. Dan, blees...!! masuklah seluruh kontol Dewo, menusuk dan menghujam sepenuhnya, merobek selaput daranya dan mentok hingga ke dalam liang memeknya. ”Aughh....” Nurmah mengerang lebih panjang dengan tubuh menggeliat ketika akhirnya alat kelamin mereka bersatu erat. Terlihat selarik darah merah merembes dari sela-sela kemaluannya yang mulai berbulu. ”Aah...” Dewo pun mendesis. Luar biasa nikmat dan hangat memek gadis yang baru beranjak dewasa ini. Pelan-pelan Dewo menarik keluar batang penisnya lalu menekan lagi secara perlahan-lahan, dan mulai memompa tubuh indah Nurmah yang ada di dalam pelukannya. ”Eghh... ahh... esh...” Nurmah mengerang penuh nikmat. Gerakan Dewo yang awalnya pelan, makin lama menjadi semakin kencang dan keras. Ia begitu terbuai dengan betapa sempitnya memek teman main Rohmah ini, yang terasa begitu kuat meremas batang penisnya. Kalau yang kurus saja seperti ini, bagaimana dengan Salamah yang tubuhnya sekal dan semok. Pasti berkali-kali lipat nikmatnya. Tapi sayang Dewo belum bisa mendapatkannya, padahal dia sudah mengerahkan segala cara untuk menaklukkan Salamah. Ilmu peletnya seakan mental kepada anak Haji Tohir tersebut. Dewo tidak mengerti kenapa, tapi dia berniat untuk memikirkannya nanti saja. Sekarang ada pekerjaan penting yang harus ia selesaikan. Penuh tenaga ia memompa memek sempit Nurmah dengan desakan maju-mundur batang penisnya. Dengan bertambah cepatnya genjotan itu, semakin kencang pula Nurmah mengerang. Erangannya seperti mengungkapan perasaan puas dalam menikmati persetubuhan ini. Dan rupanya Nurmah sudah tidak kuat lagi, karena tiba-tiba tubuh kurusnya menekuk ke atas dengan mata terpejam rapat. ”Paman Dewo... augh... oohh... ehhh!!” ia mendesah panjang saat mencapai puncak birahinya. Setelah terkejang-kejang sebentar, Dewo merasakan tubuh gadis itu mulai melemas, Nurmah berbaring di atas rumput di bawah rumpun bambu. Terukir senyuman puas di bibirnya yang tipis. Sebagai jawaban, Dewo membenamkan kontolnya dalam-dalam untuk yang terakhir kali, setelah itu mencabutnya dan menyuruh Nurmah untuk mengulumnya hingga bersih. Gadis yang sehari-hari mengaji di musholla itupun dengan senang hati melakukannya. Kini bukan bibir vaginanya saja yang basah, mulut atasnya juga ikutan belepotan oleh cairan orgasmenya. Namun Nurmah sama sekali tidak terlihat keberatan. Setelah benda panjang di selangkangan Dewo menjadi bersih, barulah Nurmah melepasnya dan memberikannya kepada Mila yang sudah duduk menanti. Pagi itu mereka memang sedang mencuci baju di sungai, yang merupakan kebiasaan gadis di kampung ini. Mereka ngobrol-ngobrol, mulai dari pelajaran sekolah hingga berita yang lagi heboh di kampung itu. Berita tentang banyaknya ibu-ibu dan anak perawan yang hamil tanpa diketahui bapaknya. Dan itu juga akan menimpa mereka berdua karena tak lama, Dewo berjalan lewat di tempat sepi itu. Mengetahui ada mangsa yang bisa ia dapatkan dengan mudah, Dewo pun mendekat. Tanpa basa-basi ia melancarkan ilmu peletnya dan mereka pun takluk. Keduanya diam saja ketika Dewo mulai menelanjangi diri dan mengajak mereka untuk mandi berdua. Sebenarnya Dewo lebih mengincar Mila, karena selain lebih cantik, tubuhnya juga lebih berisi, tidak seperti Nurmah yang masih kurus dan seperti anak kecil. Tapi begitu merasakan keperawanannya tapi, pendapatnya jadi sedikit berubah. Nurmah ternyata lumayan juga, Dewo cukup senang meski tidak sampai puas. Dan Dewo berniat untuk melampiaskan segala hasratnya yang tertunda kepada Mila, yang kini mulai merangkak naik ke atas tubuh kurusnya. Mila yang susunya mulai tumbuh besar, dengan senang hati melayani ciuman Dewo. Mereka saling hisap dan saling lumat untuk sejenak. Penuh nafsu Dewo mengulum bibir Mila yang tipis, sementara di bawah, ia mulai menyelipkan batang kontolnya ke memek gadis muda itu. Kontras sekali pemandangan yang terlihat, Dewo yang berkulit hitam dan keriput, asyik menikmati tubuh Mila yang putih dan mulus. Dewo menyingkap baju kurung Mila hingga ke pinggang, juga melepas kancing baju yang ada di dadanya. Sementara jilbabnya tetap ia biarkan terpasang dengan sempurna. Sambil memompa, kini Dewo bisa dengan leluasa mempermainkan payudara gadis muda itu. Ia cucupi puting Mila satu persatu, menghisapnya kuat-kuat, atau sesekali menggigit-gigitnya gemas begitu mendengar Mila merintih dan terengah-engah. Anak juragan Jamil itu semakin mendesis dilanda oleh api birahi yang sangat nikmat. “Ahh…” Mila menggelinjang saat Dewo memintanya untuk menungging. Tanpa menolak dia mengikuti perintah itu. Kini Dewo mengarahkan batang kontolnya ke liang memek Mila dari arah belakang, ia membelah dan menusuknya sampai mentok di mulut rahim gadis cantik itu. Kembali rintihan Mila terdengar saat Dewo mulai memaju-mundurkan penisnya secara cepat. Ia menekan dalam-dalam ke liang memek Mila. Begitu kerasnya hingga sampai membuat kepala Mila mendongak ke atas berkali-kali. Dewo terus memacu dan menggerakkan penisnya sambil sesekali tangannya meremas pantat Mila yang bulat seksi. Penuh nafsu ia mengobrak-abrik liang senggama Mila yang masih terasa sempit dan rapat. Dewo merasakan kontolnya seperti diremas-remas, sungguh perpaduan yang menimbulkan kenikmatan pada alat kelamin masing-masing. Sama seperti pada Nurmah tadi, juga terlihat darah menetes dari liang memek Mila yang masih perawan. Namun Dewo sama sekali tidak mempedulikannya, ia terus memompa dan memompa. Semakin banyak darah yang mengalir keluar, semakin ia bergairah. Begitulah tabiat si Dewo. Dan Mila, hanya di awal-awal saja terdengar ia merintih dan menjerit. Namun seiring waktu, dan juga karena genjotan si Dewo yang semakin bertambah cepat, gadis itupun mulai mendesis dan merengek penuh nikmat. Kalau saja Dewo tidak membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman, pasti Mila akan berteriak-teriak untuk meluapkan rasa nikmatnya, yang mana itu bisa mengundang kecurigaan orang yang mungkin kebetulan lewat disana. Tentu saja Dewo tidak mau itu terjadi. Meski berilmu tinggi dan bisa menaklukkan kemarahan orang, tidak enak rasanya kalau lagi enak-enaknya ngentot tiba-tiba diteriaki seseorang. Jadi daripada itu terjadi, sambil terus menggoyang, Dewo tak lupa juga melumat mulut Mila secara bertubi-tubi. Dengan begitu gadis itu jadi sedikit terdiam, membuat Dewo bisa berkonsentrasi dalam menjemput klimaksnya. Setelah berkali-kali memompa, Dewo merasakan sudah sampai waktunya bagi dia untuk menembakkan sperma. Maka segera ia percepat enjotan kontol di dalam memek Mila, dan menekannya sedalam mungkin sampai mentok menyentuh dinding rahim gadis berjilbab merah itu. Sambil meremas payudara Mila yang montok, Dewo melepas cairan spermanya yang pasti sangat kental dan banyak sekali. Memenuhi seluruh rongga vagina Mila, bahkan hingga tumpah ruah keluar. Di saat yang sama, Dewo juga merasakan Mila menggapai puncaknya. Tubuh gadis itu mengejang ringan dan disusul sekitar enam kali muncratan cairan kenikmatannya. Mereka terdiam untuk sejenak, menikmati dahsyatnya persetubuhan tabu ini. Memang benar-benar berbeda sensasinya bercinta di alam liar, nikmatnya sungguh luar biasa. Bayu baru tiba di tempat itu saat Dewo sudah mencabut penisnya dari liang senggama Mila. Pemuda itu terlambat! Sungguh sangat-sangat terlambat! Sudah tambah dua lagi anak gadis kampung yang kehilangan keperawanannya. Dilihatnya Mila yang bajunya acak-acakan tengah memeluk Dewo dengan penuh kemesraan, bagaikan sepasang kekasih saja layaknya. Nurmah ikut-ikutan memeluk, ketiganya saling membelai dan berciuman, merapatkan tubuh masing-masing dengan begitu eratnya. ”Sialan!” Bayu mengutuk kebodohannya. Ia memaki panjang pendek dalam hati. Kalau begini percuma, Dewo sudah melaksanakan niat jahatnya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Namun ia tidak menyerah. Bayu mencoba mengerahkan ilmunya, mengumumkan kehadirannya kepada Dewo. Siapa tahu dengan begitu Dewo jadi waspada dan melepaskan kedua mangsanya. Dan benar saja, Dewo tiba-tiba celingukan curiga. Perasaannya yang peka mendeteksi adanya ancaman. ”Hei, sebaiknya kalian pulang dulu.” katanya kepada Nurmah dan Mila. ”Kenapa? Kita baru main satu kali.” balas Nurmah enggan. ”Iya, saya masih belum puas merasakan enjotan kontol Paman Dewo.” timpal Mila sambil menggelayut manja. Dewo segera menyingkirkan tubuh keduanya. ”Aku ada urusan penting,” sahutnya pendek sambil meraih celananya dan mengenakannya kembali. Tahu kalau Dewo serius, dengan mendengus kecewa kedua gadis itu ikut merapikan baju masing-masing. Dari tempatnya mengintip, Bayu tersenyum gembira. Dibiarkannya Nurmah dan Mila berlalu sebelum dia keluar dari tempat persembunyiannya untuk menantang Dewo bertarung. Sudah cukup bukti baginya untuk menghentikan sepak terjang laki-laki tua itu. Namun baru saja akan meloncat, Bayu dikejutkan oleh suara seseorang. ”Hei, kita berjumpa lagi,” Bayu langsung menoleh. Ternyata Salamah, gadis itu sudah berdiri di sebelahnya. Di bibirnya yang tipis tersungging senyum semringah penuh kebahagiaan. Bayu segera menariknya turun, mengajaknya ikut berjongkok agar tidak dipergoki oleh Dewo. Semua rencananya jadi berantakan sekarang. Kehadiran Salamah membuatnya jadi mengurungkan niat untuk menyerang Dewo. Bisa-bisa gadis itu jadi terlibat dalam masalah kalau Bayu memaksa untuk bertarung sekarang. ”Eh, kok kamu bisa berada disini?” tanya Bayu dengan heran. Salamah tertawa dan menjawab, ”Tadinya aku ingin menjemput Nurmah yang tidak pulang-pulang sehabis mencuci baju di sungai. Eh, aku malah melihatmu disini. Ya aku hampiri saja. Memangnya kamu lagi mengintip apaan sih?” tanyanya penasaran. Bayu segera menghalangi pandangan gadis itu, memberi waktu bagi Nurmah dan Mila untuk berlalu dari tempat itu. Ia tidak ingin menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi kepada Salamah. ”Bukan apa-apa. Aku hanya lagi menjerat burung untuk dimakan.” Bayu berkilah. ”Oh... kukira apaan,” Salamah terkekeh. ”Kalau lapar, ke rumahku saja. Masakanku enak lho.” tawarnya sungguh-sungguh. ”Terima kasih, mungkin besok atau nanti malam.” Bayu menggaruk perutnya. ”Aku juga terima kasih, atas pertolonganmu kemarin. Kalau saja kau tidak datang, mungkin Dewo s-sudah...” Salamah tidak sanggup meneruskan perkataannya. ”Ah, aku hanya kebetulan lewat.” kata Bayu merendah. ”Tapi aku benar-benar berterima kasih.” sahut gadis itu. ”oh iya... kalau boleh tahu, apa tujuanmu datang kemari?” Bayu tidak langsung menjawab, tampak berpikir untuk sejenak. ”Aku pengangguran. Dimana kakiku melangkah, disitulah aku menuju.” sahutnya diplomatis. Salamah tersenyum mendengarnya. Mata Bayu yang memandangnya tajam membuat hati si gadis menjadi berdebar. ”Aku senang bisa mengenalmu.” Bayu menyeringai. Dipegangnya bahu gadis itu. ”Aku juga.” Salamah hendak menyibakkan tangan si pemuda, tapi tak jadi karena saat itu Bayu membungkukkan kepalanya. Rasa panas menjalari darah di tubuh Salamah ketika bibir pemuda itu mulai mengecup bibirnya. Kemudian tangan yang lain dari si pemuda mengusap mukanya. Salamah diam saja. Juga masih diam ketika tangan Bayu meluncur turun ke bawah lehernya. ”B-Bayu… a-apa yang kau lakukan?” bisik Salamah setengah merintih. Pemuda itu menyeringai. ”Kau cantik, Salamah…” ”K-kau… juga... tampan…” balas Salamah lirih. Tidak banyak tanya lagi, Bayu segera menuntun tubuh gadis montok itu ke gubuk di tengah sawah. Saat itu Dewo sudah kembali ke perkampungan, hingga hanya tinggal desau angin dan burung-burung pipit yang menyaksikan bagaimana kedua insan yang berlainan jenis itu mulai melepas baju masing-masing. Bayu merengkuh tubuh Salamah dan merebahkannya di atas lantai kayu. Bibirnya yang tipis mulai ia lumat pelan-pelan, sementara bulatan payudaranya ia remas-remas ringan. Salamah mengadakan perlawanan dengan mengimbangi kuluman Bayu, sambil diselingi dengan permainan lidahnya yang nakal. Terlihat bahkan dalam masalah ciuman, Salamah sudah sangat mahir. Bahkan mengalahkan kemahiran Bayu. ”Kau sudah pernah melakukan ini sebelumnya?” tanya Bayu heran. Gadis itu mengangguk malu-malu. ”Sebenarnya aku sudah menikah siri, tapi suamiku sekarang lagi kerja ke luar pulau. Ngumpulin duit buat biaya nikah resmi nanti.” ”Kalau begitu kita tidak boleh melakukannya,” Bayu segera menjauhkan tubuh Salamah. ”Kenapa?” Salamah memprotes. ”Aku ikhlas melakukannya.” ”Aku tidak ingin merusak rumah tangga orang,” Bayu tidak ingin menjadi seperti Dewo yang suka mengembat istri orang. ”Anggap saja ini sebagai tanda terima kasihku karena kau sudah menolongku kemarin.” kata Salamah. ”Masih ada banyak cara untuk berterima kasih,” sahut Bayu. Pandangan matanya menerawang ke hamparan sawah yang mulai menguning, tidak ingin melihat Salamah yang masih terduduk dengan tubuh setengah telanjang. ”Kalau aku hanya ingin membalasnya dengan cara ini?” tantang gadis itu. Bayu tidak menjawab. Hanya tangannya yang bergerak, menyuruh Salamah agar memakai pakaiannya kembali. Tapi gadis itu menepisnya. ”Lihat aku.” Salamah berteriak. ”Kalau kau tidak mau, lebih baik aku menyerahkan tubuhku kepada Dewo!” Ancaman itu membuat Bayu langsung menoleh. Ditatapnya wajah cantik itu. ”Jangan! Jangan lakukan itu!” ”Kalau begitu, sentuh tubuhku!” pinta Salamah tegas, ”tidak tahukah kau betapa aku kesepian semenjak ditinggal pergi oleh suamiku?” lirihnya memelas. Bayu terdiam, namun tak urung matanya kembali menjelajahi tubuh bugil Salamah yang kini hanya tinggal mengenakan jilbab dan celana dalam saja. Buah dada gadis itu yang tidak terlindungi bra terlihat bergerak turun-naik seiring dengan tarikan napasnya. Putingnya yang mungil kemerahan terlihat begitu segar dan telah sepenuhnya mengeras. ”Kumohon… biarkan aku membalas budi baikmu,” Salamah kembali berkata. Tanpa menunggu persetujuan Bayu, jari-jari tangannya mulai membuka ikatan celana pemuda tampan itu. Salamah memandangi dada Bayu yang bidang. Kemudian dia memandang ke arah kontol Bayu yang besar dan panjang, yang menonjol dari balik celana dalam. Pandangan matanya memancarkan nafsu yang sudah menggelegak panas. Situasi itu membuat Bayu jadi tidak bisa mundur lagi. ”Maafkan aku,” Perlahan ia pun mendekat dan memeluk tubuh mulus Salamah yang sudah terduduk pasrah. Kembali ia kulum bibir gadis itu dengan hangat dan mesra. Salamah mengimbanginya. Dia memeluk leher Bayu sambil membalas kuluman di bibirnya. Payudaranya pun menekan dada pemuda itu. Payudara itu terasa begitu kenyal dan lembut. Putingnya yang telah mengeras terasa benar-benar kaku dan menggelitik, membuat keduanya saling meremas kulit punggung dengan penuh nafsu. ”Hmm…” Ciuman Bayu kini pindah ke leher jenjang Salamah. Dengan sedikit menyingkap jilbab gadis itu, terpancar keharuman parfum Salamah yang begitu segar dan menggairahkan. Salamah mendongakkan dagunya agar Bayu dapat menciumi segenap pori-pori di kulit lehernya. ”Ahh... aku sudah menginginkan ini dari kemarin.” rintih gadis itu. “Gelutilah tubuhku... puaskan aku!” bisik Salamah terpatah-patah. Bayu menyambutnya dengan penuh antusias. Kini wajahnya bergerak ke arah payudara gadis itu. Payudara Salamah begitu menggembung dan padat, namun berkulit sangat lembut seperti bayi. Bayu menghirup kuat-kuat lembah di antara kedua bukit payudara itu, kemudian menggesek-gesekkan wajahnya di sana. Bergantian hidungnya menghirup keharuman yang terpancar dari kulit payudara Salamah. Puncak bukitnya yang kanan ia lahap masuk ke dalam mulutnya. Bayu menyedot kuat-kuat payudara itu sehingga daging yang masuk ke dalam mulutnya menjadi semakin banyak. Salamah kontan menggelinjang. ”Auw! Jangan keras-keras... ngilu!” rintihnya. Namun gelinjang dan rintihan gadis itu semakin membangkitkan hasrat Bayu. Diremasnya bukit payudara sebelah kiri Salamah dengan gemasnya, sementara puting yang kanan ia mainkan dengan ujung lidahnya. Puting itu kadang juga digencetnya dengan tekanan ujung lidah dan gigi. Kemudian secara mendadak disedotnya lagi kuat-kuat. Sementara jari tangannya menekan dan memelintir puting payudara yang kiri. Salamah semakin menggelinjang-gelinjang seperti ikan belut yang memburu makanan sambil mulutnya mendesah-desah rindu. ”Aduh... sshh... ngilu, Bayu... shh... geli!” cuma kata-kata itu yang berulang-ulang keluar dari mulutnya yang merangsang. Bayu yang tidak puas hanya dengan menggeluti payudara kanan, kini mulutnya berganti menggeluti yang kiri, sambil tangannya meremas-remas keduanya secara kuat. Kalau payudara yang kiri ia sedot kuat-kuat, tangannya memijit-mijit dan memelintir puting yang kanan. Sedang bila gigi dan ujung lidahnya menekan-nekan puting kiri, tangannya meremas sebesar-besarnya payudara Salamah yang kanan. Begitu terus berganti-ganti. ”Bayu, kamu nakal... ssh... hhh...” Membuat Salamah jadi tiada henti-hentinya menggelinjang dan mendesah manja. Setelah puas dengan payudara, Bayu meneruskan permainan lidahnya ke arah perut Salamah yang rata dan berkulit amat mulus itu. Mulutnya berhenti di daerah pusar gadis itu. Ia berkonsentrasi mengecupi disana, sementara kedua telapak tangannya menyusup ke belakang dan meremas-remas pantat Salamah yang melebar dan menggembung padat. Kedua tangan Bayu menyelip ke dalam celana merah muda tipis yang melindungi pantat itu, dan perlahan-lahan memelorotkannya ke bawah. Salamah sedikit mengangkat pantatnya untuk memberi kemudahan bagi Bayu. Dengan sekali sentakan, celana dalam itupun sudah terlempar ke bawah. Saat berikutnya, terhamparlah pemandangan yang sungguh luar biasa merangsang. Jembut Salamah sungguh lebat dan subur sekali. Jembut itu mengitari bibir memek yang berwarna merah tua. Sambil kembali menciumi kulit perut di sekitar pusar, tangan Bayu mulai mengelus-elus paha Salamah yang berkulit licin dan mulus. Elusan itu semakin merambat ke dalam dan merangkak naik, hingga sampailah jari-jari tangan Bayu di tepi kiri-kanan bibir luar memek Salamah. Perlahan pemuda itu mengelus-elusnya dengan dua jari, bergerak dari bawah ke atas. ”Ahh... Bayu!” Dengan mata terpejam, Salamah berinisiatif meremas-remas payudaranya sendiri. Tampak jelas kalau sangat menikmati permainan ini. Perlahan Bayu menyibak bibir memek Salamah dengan ibu jari dan telunjuknya sampai kelentit gadis itu menongol keluar. Wajahnya kemudian bergerak kesana, sementara tangannya kembali memegangi payudara Salamah yang bergetar-getar indah. Bayu menjilati kelentit Salamah perlahan-lahan dengan jilatan-jilatan pendek dan terputus-putus sambil satu tangannya mempermainkan puting payudara gadis itu. ”Auw! Bayu... shh… betul... di situ… enak... shh...” Salamah mendesah-desah sambil matanya merem-melek keenakan. Bulu alisnya yang tebal dan indah bergerak ke atas dan ke bawah mengimbangi gerakan merem-melek matanya. Keningnya pun berkerut pertanda dia sedang mengalami kenikmatan yang semakin meninggi. Bayu sudah akan meneruskan permainan lidahnya dengan melakukan jilatan-jilatan panjang, saat lamat-lamat didengarnya suara langkah kaki mendekat. Spontan ia menghentikan jilatan dan mendongak untuk mengintip, sementara satu tangannya membungkam mulut Salamah agar berhenti bersuara. ”Ssst... ada orang kesini,” katanya berbisik. Salamah segera duduk meringkuk sambil berusaha membenahi pakaiannya yang acak-acakan. Tidak jauh dari gubuk tempat dimana mereka berada, tampak seorang lelaki berperawakan gendut dengan peci putih melangkah tertatih-tatih menyusuri pematang sawah. Sekali lihat saja, Salamah sudah bisa menebak kalau itu adalah Haji Tohir. Gawat! Kenapa ayahnya menyusul kemari?

No comments:

Post a Comment