Friday, 3 October 2014
Sang Penggali Kubur 2
Kecapekan setelah main dengan Linda membuatku tidur pulas sampai pagi. Begitu pulasnya hingga istriku yang merengek-rengek minta jatah saat tengah malam, tidak kuhiraukan. Mau njatah bagaimana, membuka mata saja aku sulit, apalagi menyetubuhinya. Terpaksa Indah harus merelakan tubuh montoknya kuanggurkan sampai pagi menjelang. Baru saat subuh tiba, dan aku sudah cukup istirahat, dia kugarap.
Tanpa basa-basi, kucium bibirnya yang tipis. Indah pun langsung membalas dengan penuh gairah. Sambil terus berciuman, tanganku juga mulai bergerak merambahi buah dadanya yang ranum, yang tidak tertutup apa-apa lagi, karena seperti biasa, Indah tidur dengan tubuh telanjang. Dia cuma mengenakan celana dalam putih tipis untuk menutupi tubuhnya yang montok dan putih mulus. Itu pun juga tidak lama, karena dengan tak sabar aku juga segera melucutinya sehingga kami sudah sama-sama telanjang sekarang.
Berpelukan erat, kuciumi lehernya yang jenjang, dan kusibakkan rambut Indah yang panjang ke belakang hingga buah dadanya mencuat keluar. Aku ingin mengenyot benda itu sebentar sebelum mulai menyetubuhinya. Dengan rakus, segera kujilati buah dada yang bulat dan empuk itu, aku hisap dan aku permainkan putingnya yang sudah mengeras dengan lidahku.
"Oughhh.. Bang..." Indah mendesah sambil menggeliat keenakan.
"Enak, Dik?" tanyaku sambil terus menyusu di payudaranya.
"Enak, Bang. Terus... Oghhhh..." desahnya lirih. Kurasakan tangan Indah yang lentik dan berbulu halus perlahan merambat turun menuju selangkanganku. Dengan sedikit kasar, dia menangkap penisku yang sudah menegang dahsyat dan langsung mengocoknya dengan cepat.
"Ohh, besar sekali, Bang. Aku suka." katanya mengagumi kemaluanku dari jarak dekat.
"Memang dulu nggak segede ini ya?" tanyaku tersenyum menggoda.
"Ya gede, tapi nggak semanteb ini." dia tak melanjutkan lagi jawabannya karena mulutnya yang mungil itu sudah turun untuk mengulum penisku.
"Ehmm, Dik...” aku merintih, tanganku semakin keras memijit-mijit payudaranya.
"Enak, Bang?" tanyanya sambil melirik nakal kepadaku. Tangannya sibuk meremas-remas buah zakarku sementara lidahnya menjilati batang kemaluanku.
"Enak banget, Dik. Ayo, isap lagi!" jawabku sambil menahan rasa nikmat yang mulai menjalar hebat.
Indah kembali mencaplok dan mengulumnya. Sangat menggairahkan sekali melihat pemandangan itu. Istriku yang cantik dan seksi –meski tubuhnya sudah tidak padat lagi setelah melahirkan anak kami yang pertama- sedang berlutut di depanku dengan pipi menggelembung menghisap penisku, sementara kedua tangannya sibuk meremas-remas pantatku.
"Hm... kontol abang enak banget. Indah suka kontol yang gede begini." racaunya mesum dengan tanpa menghentikan hisapannya. Kalau bukan karena kena pelet, tidak mungkin dia yang biasanya pendiam bisa ’ganas’ seperti ini.
Aku yang sudah ingin menikmati kehangatan tubuh sintalnya, segera menarik tangannya agar berdiri. Dengan berbaring telentang di atas ranjang, kuminta Indah untuk menaiki tubuhku. Tersenyum, dia melakukannya. Kuperhatikan bagaimana Indah memposisikan vaginanya yang merah merekah tepat berada di atas batang kemaluanku. Lalu pelan dia menurunkan tubuhnya. Tanpa ampun, penisku yang sudah menegang dahsyat itu pun menerobos liang vaginanya.
"Oughhh… Bang!" jeritnya tertahan, tapi tetap meneruskan aksinya.
Saat batangku sudah masuk semua, dengan berpegangan pada pinggangnya yang bulat, kugoyang tubuhnya naik-turun. Rasanya begitu nikmat saat penisku bergerak maju mundur menjelajahi liang kewanitaannya. Meski sudah pernah melahirkan, vagina Indah memang masih terasa sempit. Itu yang aku suka darinya. Kemudian kualihkan tanganku untuk meremas-remas buah dadanya saat kulihat dia sudah mulai bisa bergoyang sendiri. Sambil merintih-rintih keenakan, Indah menggerakkan tubuhnya turun naik. Sesekali dia juga memutar-mutar pinggulnya hingga membuat penisku serasa diremas dan dipilin-pilin pelan. Ough, nikmat sekali rasanya. Sebagai pelampiasan, segera kubenamkan mulutku ke puting buah dadanya dan kuhisap-hisap benda mungil kecoklatan itu dengan gemas.
"Ohh... Bang, ayo... puasin Indah, bang..." desahnya sambil menggoyang badannya maju mundur semakin cepat di atas kemaluanku, mengejar kenikmatan bercinta yang sepertinya sebentar lagi akan dia capai.
"Tentu, Dik. Ini sebagai ganti yang tadi malam." jawabku. Kuimbangi genjotannya dengan menekan pinggulku semakin kuat, berharap dengan begitu penisku akan semakin dalam menusuk di liang kewanitaannya. Sambil juga terus kuremas-remas bulatan buah dadanya yang menatul-mantul liar di depanku.
Tak lama, "Aarrgghhhhhh... aku sampai, Bang." Indah melenguh dan terkejat-kejat ketika gelombang orgasme menerpa tubuh sintalnya. Bisa kurasakan cairan kewanitaaanya menyembur kencang menerpa ujung penisku.
Aku yang juga hampir sampai, tidak menghiraukan hal itu. Terus kugerakkan pinggulku karena penisku rasanya juga sudah berdenyut-denyut ingin memuntahkan laharnya. Tak sampai 1 menit, tersemburlah spermaku ke dalam liang vaginanya. Kami sama-sama melenguh dan ambruk kelelahan. Kuciumi wajah Indah yang cantik sambil kuoles-oleskan rembesan cairan yang keluar dari kemaluanku ke seluruh permukaan payudaranya hingga benda bulat padat jadi kelihatan sedikit mengkilat sekarang.
"Terimakasih, Bang. Indah puas sekali," katanya sambil mengulum dan menjilati kemaluanku, ia membersihkan benda itu hingga tidak ada cairan yang tersisa.
"Sama-sama, Dik. Itu sudah jadi kewajiban abang." sekali lagi, kuremas-remas payudaranya yang bulat dan membusung indah. Putingnya yang masih dipakai menyusu oleh anakku, kujepit dan kupilin-pilin.
"Ngomong-ngomong, kamu kok sekarang jadi pinter ngulum. Latihan dimana?" tanyaku memancing.
"Nggak tahu juga, Bang. Tiba-tiba saja begini. Rasanya nggak enak kalau main tanpa ngisep kontol." jawabnya. Indah tidak tahu kalau sebenarnya perilakunya itu dipengaruhi oleh ilmu pelet dariku.
Kalau istriku saja bisa jadi seperti ini, bagaimana dengan si Mitha ya. Permainan seliar apa yang akan aku dapatkan dari janda muda cantik istri ke lima Juragan Karta itu? Membayangkannya saja sudah membuatku terangsang. Penisku yang masih berada dalam genggaman Indah perlahan bangkit dan mengeras.
“Ngaceng lagi, bang!“ Indah terlihat sangat senang. Dia sudah akan mengulumnya lagi saat kuingat janjiku dengan Mang Kosim. Hari ini aku disuruh oleh pria itu untuk memanen kopi di kebunnya. Gawat kalau sampai terlambat. Mang Kosim terkenal galak dan suka mukul. Bergegas kutepis bibir Indah yang mulai menempel di ujung penisku.
”Jangan, Dik. Abang harus kerja.” sambil aku bangkit berdiri dan memunguti pakaianku yang berserakan. Indah terlihat kecewa, tapi tidak bisa membantah.
”Tapi nanti malam main lagi ya, bang?!” dia merengek dan dengan manja menempelkan payudaranya yang hangat ke lenganku.
”Iya. Sekarang lepasin dulu abang, nanti abang dimarahi mang Kosim kalau sampai telat datang ke kebunnya.” sebelum pergi meninggalkan rumah, kukecup pipi dan bibir Indah sebagai ungkapan rasa sayang. Meski cuma bekerja serabutan, kemesraan dengan istri tidak boleh berkurang donk! Dengan hanya berbalut handuk, Indah mengantar kepergianku.
***
Di kebun, Mang Kosim sudah menunggu. Dengan suara keras, pria gendut itu memberikan perintah padaku dan beberapa orang lainnya. Kali ini, kopi yang kami panen ada di kebun sebelah barat. Kami bergegas menuju ke sana.
”Eh, Mal, sudah denger berita belum?” tanya Asep yang berjalan di sebelahku.
”Berita apa?” kubetulkan letak keranjang yang ada di punggungku.
”Makam Juragan Karta ada yang mbongkar!” kata-katanya singkat, tapi sudah cukup untuk membuatku berpaling.
”Hah, b-benarkah?” aku jadi gugup.
”Kok kamu jadi aneh gitu?” tanya Asep curiga.
”Ah, nggak. Aku cuma kaget aja, tidak biasanya kan kejadian seperti itu terjadi di desa kita.” kuatur jalan nafasku, aku harus tenang. Belum tentu juga kan mereka mengetahui pelakunya.
”Kejadian seperti ini juga pernah terjadi. Kalau tak salah, waktu itu... makamnya pakde Karto yang dibongkar.” seru Asep.
Itu perbuatan kakek. Tapi aku pura-pura tidak tahu. ”Memangnya apa yang diambil? Jangan-jangan ada yang sedang mendalami ilmu hitam di desa kita ini?”
”Itulah yang aneh,” Asep menghela nafas. ”Setelah di cek, tidak ada yang hilang. Bahkan kain pengikat kafannya juga utuh. Biasanya, kan itu yang jadi incaran.”
”Iya ya, lha terus gimana sekarang?”
”Ada yang menganggap kalau itu karena jenis tanahnya yang labil, jadi longsor gitu, urukannya melesak ke bawah. Tapi itu nggak mungkin, soalnya aku sendiri yang menimbunnya. Tanahnya keras dan padat.” jelas Asep.
”Kalau binatang liar?” aku mencoba memberikan alternatif.
”Nggak mungkin juga. Jasadnya masih utuh, tidak ada bekas cakaran atau gigitan.”
Dalam hati aku mengutuk diriku, kenapa tidak mengembalikan bentuk kuburan itu seperti semula. Jadinya malah seperti ini, orang-orang jadi curiga. Tapi memang berat sih, setelah menggali semalaman, aku jadi asal saja saat menimbunnya lagi. Aku sudah terlalu capek untuk membenahinya dengan sempurna. Ah, tapi tak apa, yang penting kan aku berhasil. Dan sejauh ini, aku belum jadi tersangka.
”Kalau keluarganya bagaimana?” aku bertanya.
”Ya keluarganya nganggep lagi apes aja. Yang penting jasad Juragan Karta tetap utuh, kata mereka.” sahut Asep.
”Oh begitu,” aku manggut-manggut, sedikit lega. Ada peluang kalau peristiwa ini tidak akan diusut lebih lanjut. Menghela nafas, aku bertanya lagi pada Asep. ”Kalau si Mitha bagaimana?” sejak kematian Juragan karta, aku tidak melihat keberadaan gadis itu. Siapa tahu Asep tahu.
”Maksud kamu?” Asep bertanya balik.
”Ya dia kan janda sekarang, apa kamu nggak tertarik buat dapetin dia?” aku memancing ke arah lain biar Asep tidak curiga.
”Kalau kamu sendiri bagaimana?” sekali lagi, dia tidak langsung menjawab pertanyaanku.
”Kalau aku sih ya jelas mau banget, tapi cuma buat niduri dia. Nggak kalau disuruh ngawinin, nggak kuat biayanya. Hehehe.”
”Yeee, semua juga mau kalau begitu mah,” Asep ikut tertawa. ”Tapi kan istrimu sudah cantik, Mal. Masa masih ngelirik cewek lain?” tanyanya kemudian.
”Namanya juga lelaki normal, Sep. Bosan juga kan makan daging terus, sekali-kali nyoba telor juga boleh.” sahutku diplomatis.
Asep tertawa. ”Dasar kamu.”
Saat itulah, tiba-tiba aku tersadar. ”Eh, Sep!” aku memanggilnya.
”Apa?” Asep menoleh.
”Kamu bisa bilang istriku cantik, kamu suka merhatiin dia ya?” tuduhku.
Asep langsung salah tingkah. ”Ah, nggak. Bukan begitu. Aku... istriku... istriku yang bilang. Aku tahunya dari dia.” jawabnya tergagap.
Aku tersenyum. ”Nggak apa-apa, Sep. Santai aja, aku cuma bertanya kok.” kutepuk pundaknya sebagai tanda persahabatan. Dalam hati, muncul rencana gilaku. Asep pasti mau kalau Indah ditukar dengan Airin, istrinya yang baru ia nikahi 2 bulan. Bisa kulihat hasrat Asep pada istriku di kilatan matanya. Tapi itu kalau Airin masih belum ’disentuh’ oleh Juragan Karta. Kalau sudah, buat apa aku repot-repot memberikan istriku pada Asep kalau tubuh mungil Airin bisa kudapatkan dengan gratis. Siapa pun yang pernah tidur dengan Juragan Karta, akan bisa juga kutiduri. Begitulah ilmu peletku bekerja.
Nanti malam, akan kusurvei lagi siapa saja yang bisa menjadi korbanku.
***
Matahari sudah naik sepenggalah ketika keranjangku penuh. Dengan agak kesulitan, aku mengangkatnya ke tempat penimbangan yang ada di bawah pohon mangga. Disana, Mang Kosim dan tengkulak dari kota sudah menunggu. Tapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ada yang menabrak tubuhku.
”Aduh!” aku berteriak kaget, sementara keranjang yang kupegang terjatuh. Isinya semburat berceceran di tanah.
“Eh, maaf, Mal. Nggak sengaja.“ ternyata Inez, istri mang Kosim. Tumben dia ikut kemari, biasanya cuma menunggu di rumah. Aku tak jadi marah. Siapa juga yang bisa memarahi istri bos? Bisa-bisa aku nggak dapat bayaran nanti.
“Iya, mbak. Nggak apa apa.“ ujarku menetralisir keterkejutan. Kunikmati saat tangan lembut Inez memegang lenganku dan ikutan jongkok untuk mengambil biji kopiku yang tercecer.
Terus terang, aku terkesima dengan kecantikannya. Di usianya yang sudah mendekati 40 tahun, Inez masih tetap terlihat cantik dan menarik. Padahal dia sudah mempunyai 2 orang anak. Mungkin karena istrinya orang kaya kali ya, jadi bisa beli kosmetik yang mahal-mahal untuk merawat tubuhnya.
“Saya nggak lihat ke depan. Maaf banget ya, Mal.“ dia memandangku teduh. Aneh! Tidak biasanya dia berlaku seperti ini. Meski cantik, Inez itu orangnya kasar dan cuek. Hari ini kok lain, jadi lembut dan perhatian. Jangan-jangan...
“Iya, mbak.” kupandangi lehernya, tapi tidak kutemukan tanda yang kucari. Tanda berupa lingkaran merah sebesar koin yang menunjukkan kalau orang itu sudah pernah tidur dengan Juragan Karta. ”Emang mbak mau kemana?” aku bertanya.
“Ini, nyari mangga yang jatuh.” dia menunjukkan dua biji mangga yang sudah diperolehnya.
“Itu nggak enak, mbak. Terlalu muda, rasanya asem nanti.”
“Emang saya nyari yang asem kok,” dia memberiku senyum penuh arti.
Aku pun mengerti. “Mbak hamil ya?” tebakku.
Inez cuma mengangguk sebagai jawaban. Senyumnya terlihat semakin lebar.
“Wah, selamat ya, mbak. Sudah berapa bulan?” aku menyalaminya. Sengaja aku berbuat begitu agar bisa memegang jari-jari tangannya yang halus.
“Eh, iya, makasih. Sudah jalan 2 bulan.” dia membiarkan aku memegang tangannya. Lama. Hingga mang Kosim datang menghampiri.
”Hei, sudah-sudah!” dia memelototiku. ”Cepat, Mal. Angkat kopinya kesana. Sudah ditunggu sama Koh Akiong.”
”Eh, i-iya, mang.” segera kulepas tangan istrinya dan kuangkat keranjangku ke tempat penimbangan. Sedang Inez bangkit dan membujuk suaminya agar tidak terus memarahiku.
Setelah ditimbang, aku dapat bayaran 20ribu. Lumayan untuk kerja setengah hari. Aku segera mengantonginya dan berjalan pulang. Tapi baru beberapa langkah, mang Kosim memanggil. ”Mal, jangan pulang dulu. Sini dulu bentar.”
Waduh, ada apa lagi ini, batinku dalam hati. Jangan-jangan gara-gara tadi. Aku mulai takut. Tidak salah memang kalau dia marah padaku. Siapa juga yang bisa terima istrinya dipegang-pegang laki-laki lain, meski itu cuma tangannya doang. Apalagi untuk orang yang harga dirinya tinggi seperti mang Kosim.
”A-ada apa, mang?” tanyaku tergagap.
”Bisa ngantar Inez pulang nggak?” serunya. Ternyata, perintahnya sangat jauh dari bayanganku. Aku jadi bisa tersenyum. Malah aku bersorak dalam hati karena bisa membonceng wanita cantik macam Inez. ”Nih kuncinya.” dia melemparkan kunci motor padaku.
”Trus nanti mang Kosim naik apa?” kalau sepedanya aku pakai, apa dia mau jalan kaki? Nggak mungkin kayaknya.
”Aku nanti dianter Koh Akiong, kita mau lihat-lihat kebun sebentar.” jawab mang Kosim.
”Oh, begitu. Baiklah, mang.” segera kustater motor bebek mang Kosim untuk mengantar istrinya pulang. Inez langsung berpegangan di perutku begitu gas motor aku tarik. Terasa sekali payudaranya yang bulat mengganjal empuk di punggungku. Aku jadi horny. Asep yang melihatnya, memberi tanda dua jempol. Aku membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum. Memang beruntung aku kali ini, tidak semua orang bisa berdekatan dengan istri mang Kosim yang cantik jelita ini.
Sepanjang jalan, sambil ngobrol-ngobrol ringan, kunikmati bagaimana payudara Inez yang besar seperti memijat punggungku. Setiap kali ada lubang –maklum jalan kampung- dan aku harus mengerem mendadak, tubuhnya akan terdorong maju. Akibatnya, payudaranya yang sudah menempel ketat, jadi serasa terhimpit, menekan keras punggungku. Nikmat sekali rasanya.
Dan anehnya, Inez seperti tidak keberatan dengan perbuatanku itu. Malah dia makin mempererat pelukannya, seperti sengaja menggesek-gesekkan payudaranya pada punggungku. Dia baru menjaga jarak kalau kami berpapasan dengan penduduk atau sepeda motor lain, yang mana itu sangat jarang sekali. Alhasil, sepanjang jalan, aku jadi horny dan terangsang sekali. Terus kucari jalan yang berlubang-lubang agar itu terus terjadi, semakin rusak semakin bagus. Hehehe...
”Anakmu sudah umur berapa, Mal, sekarang?” tanya Inez disela-sela desakan payudaranya.
”S-sudah 5 bulan, mbak.” jawabku gemetar, antara takut dan birahi.
”Nggak pengen nambah lagi?” tanyanya.
”Ya belum lah, mbak. Yang ini aja masih kecil.” kuperhatikan ada lubang besar di depan, tidak begitu dalam sih, tapi tetap saja kuinjak rem kuat-kuat. akibatnya, lagi-lagi payudara bulat Inez terasa menggencet keras punggungku. Ough, nikmatnya.
”Kamu nggak bisa naik sepeda ya, Mal? Dari tadi gas-rem gas-rem terus.” protesnya, tapi tetap menyandarkan dadanya di punggungku. Menunjukkan kalau perbuatanku itu bukan masalah baginya.
”Jalannya mbak yang rusak,” aku berkilah. Dan kembali kuinjak rem kuat-kuat meski saat itu tidak ada lubang. Ingin kurasakan kembali sensasi saat benda bulat empuk itu menempel ketat di punggungku. Aku ketagihan. Mumpung ada kesempatan, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
”Auw! Mal, hati-hati.” seru Inez. Pegangannya di perutku semakin mengencang.
”Ada tikus mbak yang tiba-tiba nyebrang.” aku berbohong. Kurasakan, tangan wanita itu semakin lama juga semakin turun. Bahkan kini sudah hampir mengenai selangkanganku. Satu centi lagi, ia bisa menyentuh ujung penisku!
”Enak ya, Mal, punya istri yang lagi menyusui?” tanyanya.
”Enak gimana, mbak?” aku tidak mengerti.
”Susunya kan jadi gede, pasti manteb banget tuh.” selorohnya.
Aku tertawa. ”Ya nggak lah, mbak. Kan harus dibagi-bagi sama si bayi. Kalau saya habiskan sendiri, ntar bayi saya kurus donk.” aku ikut bercanda. Tak kusangka, dia yang biasanya pendiam, bisa jadi berani seperti ini. Kalau bukan karena efek peletku, ini tidak akan mungkin terjadi. Tapi masalahnya, tanda yang seharusnya bisa kulihat di lehernya tidak ada. Menunjukkan kalau Inez bukanlah salah satu mangsa Juragan Karta. Jadi aku tidak bisa menidurinya.
Tapi kenapa dia jadi genit seperti ini kepadaku, seperti menawarkan tubuhnya untuk kunikmati? Apa mungkin dia melakukannya dengan sadar? Yang mana itu sangat tidak masuk akal, Inez si cantik jelita mau sama aku yang miskin dan dekil ini. Kalau aku gegabah bertindak, dengan memperkosanya misalnya, dan ternyata dia berteriak, bisa berabe akibatnya. Lebih baik aku tunggu saja. Kuikuti permainannya, sampai mana dia mau menggodaku.
Di lubang berikutnya, kembali kuinjak rem kuat-kuat. Tubuh Inez kembali terdorong maju, payudaranya tanpa ampun kembali menggencet punggungku. Bedanya kali ini, tangannya yang sedari awal berpegangan di perutku, tiba-tiba terlempar dan mendarat tepat di gundukan selangkanganku. Tanpa bisa dicegah, ia pun menggunakan batangku yang sudah ngaceng berat sebagai pegangan!
”Ehm, mbak...” aku gemetar, campuran antara rasa kaget dan takut.
”Sstt... diam.” Inez berbisik di telingaku. Jari-jarinya dengan pelan mulai mengelus-elus penisku dari luar celana. ”Gede juga burungmu.” ia berkata begitu sambil memasukkan tangannya ke balik celana kolorku, juga celana dalamku, untuk kemudian menggenggam burungku secara langsung.
”Aghhhh..” aku bergidik. Tubuhku serasa melayang. Nikmat sekaligus enak kurasakan. Tak kusangka kalau Inez akan melakukan ini. Berani sekali wanita itu, mengocok penisku di atas sepeda yang tengah melaju di tengah jalan kampung.
“Pasti istrimu puas banget ya, punya suami kontolnya gede kaya gini.” bisiknya dengan tangan terus bergerak mengurut batang penisku.
”Ahh, mbak, jangan. Nanti dilihat orang.” aku pura-pura menolak. Masa langsung mau aja, nanti kelihatan banget kalau aku sebenarnya doyan memek.
”Orang yang mana?” dia bertanya.
Kuperhatikan jalanan, memang tidak ada orang saat itu. Kita sedang lewat perkebunan karet. Jadi tidak alasan lagi bagiku untuk menolaknya. Dengan mata merem melek keenakan, kunikmati kocokan tangannya.
”Enak, Mal?” Inez berbisik. Dadanya makin ketat menekan punggungku. Bisa kurasakan kalau benda itu menjadi sedikit lebih keras sekarang. Apa dia juga terangsang? Pastinya begitu, wanita mana sih yang pegang kontol tapi tidak terangsang!
Aku mengangguk. Terus kunikmati servisnya hingga kami sampai di depan jalan masuk kampung. ”Mbak, ada orang!” seruku saat kulihat seorang wanita tua yang terbungkuk-bungkuk menggotong kayu bakar.
Inez buru-buru menarik tangannya dan bersikap biasa, pura-pura tidak terjadi apa-apa. Dia juga menjauhkan payudaranya dari tubuhku. Sekarang kami menjaga jarak. Ah, aku mengeluh dalam hati. Kenikmatan yang dari tadi kurasakan, sekarang hilang tak berbekas.
Tak lama, kami sampai di rumahnya. Inez menyuruhku untuk ikut masuk. ”Minum-minum sebentar sini, Mal.” dia menawarkan. Kupandangi goyangan pantatnya yang padat berisi saat dia berlalu menuju dapur.
Kutelan air liurku. Apakah aku akan mendapatkan ’rejeki’ tambahan hari ini? Kalau menilik kejadian di atas sepeda tadi sih, sepertinya begitu. Inez lagi ’gatel’, dan dia memerlukan ’bantuan’ku. Itu yang bisa kutangkap dari gerak-geriknya.
Tapi bayangan indahku itu sirna tak lama kemudian. Seorang wanita tua keluar dari kamar dan menyapaku. ”Sim, kamu sudah pulang?”
Aku tidak langsung menjawab. Sim? Siapa itu ’Sim’? Itu bukan namaku. Apa mang Kosim maksudnya? Aku sudah akan menyahut ketika kulihat Inez keluar dari dapur.
”Lho, Mak, sudah bangun?” Inez bertanya pada nenek tua itu.
“Tumben suamimu pulang cepet?” wanita yang ternyata ibunya Inez itu bertanya lagi.
“Iya, Mak. Cuma sedikit yang dipanen.” dengan isyarat mata, Inez menyuruhku untuk diam. Serahkan saja ini kepadaku, itu yang kutangkap dari gerak bibirnya. “Ayo, bang. Katanya tadi mau pijet.” Inez menggiringku masuk ke kamarnya.
“Nez…” aku tidak sempat memprotes karena dia sudah keburu menggelandang tanganku.
”Ssst... diam. Ibuku itu sudah rabun, dia tidak bisa membedakan antara kamu dan bang Kosim. Kita aman.” bisiknya setelah menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
”Aman untuk apa?” meski sudah tahu apa yang ia inginkan, aku tetap ingin bertanya.
”Untuk ini,” Inez mendekatkan kepalanya dan menyambar bibirku. Ia lalu melumatnya dengan rakus. Sempat kaget, aku segera menyambut cumbuannya. Kukulum bibirnya yang tipis itu dengan ganas. Inilah yang aku tunggu. Inilah yang aku cari. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Persetan kalau mang Kosim bisa pulang sewaktu-waktu, yang penting aku sempat merasakan nikmat tubuh istrinya.
Kami terus saling memagut dengan penuh perasaan, berdua kami hanyut dalam kuluman bibir. Inez semakin erat memelukku, tangannya ditopangkan ke bahuku untuk dilingkarkan ke belakang kepalaku. Sementara aku memegangi pinggangnya yang ramping sambil sesekali mengelus pelan bulatan pantatnya. Kurasakan kalau benda itu begitu padat dan licin.
“Mbak nggak pake CD ya?” kataku sambil terus memijit-mijit bulatan pantatnya.
”Nggak cuma CD, aku juga sudah nggak pake BH.” Inez menunjukkan tubuh sintalnya yang tercetak jelas. Bisa kulihat tonjolan puting di ujung buah dadanya. Duh! Ngajak perang nih perempuan, membuatku jadi panas dingin, tak sanggup untuk berpaling.
”Mbak...” aku menuntut penjelasan darinya, kenapa dia bisa sampai senekat ini? Padahal lagi hamil. Dan menurutku, mang Kosim juga bukan orang yang lemah di atas ranjang. Tidak ada alasan baginya untuk berselingkuh denganku.
“Entahlah, Mal. Sejak di kebun tadi, begitu melihatmu, aku langsung bergairah. Pengennya kamu tindih dan kamu entoti. Memekku rasanya gatel banget, pengen dimasuki sama kontolmu.”
Ah, alasan ini... segera kuarahkan pandanganku ke lehernya. Kucari tanda itu. ”Ada apa sih, Mal?” tanya Inez saat kuputar-putar lehernya.
“Bentar, mbak.” Dan aha, akhirnya kutemukan. Tidak seperti mangsa Juragan Karta pada umumnya, tanda milik Inez terletak agak ke belakang, tersembunyi rapat di balik rambutnya, pantas saja tadi aku tidak melihatnya,.
“Kenapa mbak nggak bilang kalau punya ini.” dengan adanya tanda itu, aku jadi tenang menggarap tubuhnya.
“Punya apa?” dia bertanya. Ah, iya. Bodohnya aku, dia kan tidak tahu keberadaan tanda itu.
”A, sudahlah, mbak. Yang penting kita nikmati aja saat ini, mumpung mang Kosim belum pulang.” kataku.
“Santai aja, dia bakal lama kok. Sampai sore juga belum tentu pulang.” sahut Inez.
“Oh, begitu. Berarti ini hari keberuntungan mbak. Akan kupuaskan mbak sampai sore.” bisikku sambil kembali melumat bibirnya.
“Aku yakin kamu jago memuaskan wanita, Mal.“ desah Inez di sela-sela ciumannya.
“Mbak tuh yang jago. Dari tadi bikin kontol saya ngaceng terus.” balasku, disambut tawa cekikikan darinya.
“Aku kemarin habis ketemu sama Linda, dia ngaku kalo sore kemarin sudah kamu garap habis-habisan. Mendengarnya, entahlah, membuatku jadi pengen juga.“
“Sialan,“ umpatku. Kalau Linda terus ’bocor’ seperti ini, bisa-bisa separuh kampung mengeroyokku. Mangsa Juragan Karta kan banyak sekali. Ugh, mana kuat.
Tapi itu diurus nanti saja, sekarang kunikmati saja apa yang ada. Kembali kulumat bibir tipis Inez. Sambil berciuman, kubimbing tangannya ke bawah perutku untuk meremas-remas penisku yang sudah ngaceng berat.
“Besar sekali, sayang.“ ujar Inez ketika pagutanku terlepas. Dia lalu dengan cepat mempreteli bajunya, rupanya wanita cantik itu sudah tak tahan.
Duh, betapa mulus tubuhnya saat dia sudah telanjang. Rambutnya yang sebahu dia urai ke belakang untuk memamerkan buah dadanya yang bulat dan besar. Benda itu terlihat sudah mengeras dan sangat indah, tidak kelihatan turun sama sekali meski dia sudah mempunyai dua orang anak. Bagian vaginanya sedikit ditumbuhi rambut-rambut tipis, membuatku hanya berdiri mematung terkesiap. Aku sampai tidak tahu harus berbuat apa saking terpesonanya.
“Kau akan membiarkan aku kedinginan, Mal?” pancing Inez sambil menggoyang-goyangkan payudaranya.
”Ah, i-iya, mbak.” dengan kikuk aku segera melucuti pakaianku. Melihat penisku yang tersembul dari bagian atas celana dalamku, Inez menjulurkan lidahnya dan menjilati bibirnya.
“Ih, gede banget, Mal.“ serunya girang sambil maju dan memelorotkan celana dalamku, posisinya kini berjongkok. Dia memegang penisku dan mengocoknya dengan lembut. ”Ini yang bikin aku nggak bisa tidur semalaman!” pegangannya terasa kuat, kentara sekali kalau dia memang merindukan benda itu. Apa begini perasaan semua mangsa Juragan Karta terhadap penisku?
Inez yang tampaknya sudah tak tahan, berdiri dan menarik tubuhku untuk naik ke atas ranjang. ”Sekarang, Mal. Puaskan aku!” bisiknya mesra.
Mengangguk mengiyakan, segera kuterkam tubuh sintalnya. Kugumuli wanita cantik yang sedang hamil dua bulan itu dengan penuh nafsu. Buah dadanya yang besar dan bulat kuremas-remas dengan gemas, sementara bibirnya yang tipis kulumat tiada henti. Inez sampai menggerinjal dan melenguh menerimanya.
“Stop dulu, Mal.“ serunya dengan menahan kepalaku ketika aku semakin tenggelam dalam lumatanku. Rupanya dia tak kuat menahan serbuanku
“Kenapa, mbak, nggakbisa nafas ya?” kataku nakal sambil mengelus-elus pahanya yang putih mulus, kakinya sekarang tengah menjepit pinggangku.
“I-iya.“ dia menjawab terengah-engah, berusaha memasukkan udara sebanyak-banyaknya ke paru-parunya yang kosong. Itu membuat payudaranya yang bulat jadi turun naik menggiurkan. Aku segera menyerbunya dengan menyusupkan kepalaku kesana. Kuciumi dagingnya yang empuk, juga permukaannya yang halus, sambil tak lupa kuhisap dan kujilati putingnya yang menonjol kemerahan. Benda itu terasa begitu keras sekarang.
”Sshhhh... sudah, Mal. Cukup. Aku nggak tahan. Langsung tusuk aja ya.” dia meminta sambil membuka kakinya lebar-lebar, menunjukkan vaginanya yang sudah basah dan mengkilap kepadaku.
Ah, mana bisa begitu. Mumpung bisa main, harus dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Dinikmati tahap demi tahap, tidak boleh grusa-grusu seperti itu. “Emut dulu penisku, mbak. Biar agak basah dikit.“
“Emut gimana? Aku belum pernah, Mal. Nggak tahu caranya.” Inez memandangi batangku.
“Nggak pernah ngemut punya bang Kosim?” aku bertanya.
”Suamiku melarang, kotor katanya. Hanya boleh ngocok doang.“ sahutnya.
“Enak kok, mbak. Coba aja. Jilati dulu pelan-pelan, baru dimasukan. Disedot sedot gitu.“ kudekatkan batangku ke bibirnya. Inez menahan dengan tangannya.
”Kalau kegigit gimana?” dia tampak ragu, antara ingin dan risih.
”Nggak apa-apa.” aku tahu kalau penolakannya tidak akan lama. Istriku aja yang dulu jijiknya minta ampun sama kontol, sekarang suka kok. Apalagi Inez yang memang sudah mempunyai bakat ’nakal’. Dia pasti akan menyerah. Ilmu peletku tidak bisa dilawan.
Pelan Inez membuka mulutnya dan menjilati ujung batangku. Kubiarkan dia melakukannya sambil kutunggu saat yang pas. Saat kulihat mulutnya membuka makin lebar, cepat aku mendorong penisku hingga benda itu melesak masuk seluruhnya sampai ke pangkal.
”Aarrghhhh... hhmmphhmm!“ erang Inez saat kontolku memenuhi rongga mulutnya, hampir mentok ke tenggorokannya. Kutahan kepalanya agar dia tidak memuntahkannya lagi.
”Nah, sekarang hisap pelan-pelan.” aku memberi instruksi.
Inez mendelik ke arahku, tapi tak urung tetap melakukannya juga. Awalnya memang agak sulit, tapi setelah beberapa lama -setelah dia mulai terbiasa- jilatannya menjadi semakin nikmat. Tidak kalah dengan istriku yang sudah berpengalaman.
Sementara dia terus mengulum penisku, tanganku dengan nakal kembali meremas-remas buah dadanya yang bergelantungan indah. Benda itu terasa semakin mengeras, terutama putingnya yang sekarang kelihatan mencuat dan menonjol indah. Rupanya wanita itu sudah terangsang hebat.
Inez yang sudah benar-benar tak tahan, segera menghentikan kulumannya, padahal aku masih ingin lanjut. “Sekarang masukin deh, Mal. kumohon.“ dia menghiba sambil mendorong badanku, menempatkan tubuhku di sela-sela selangkangannya. Terasa nikmat saat ujung penisku bergesekan dengan bibir liang senggamanya yang sudah sangat basah.
“Langsung gitu, mbak?“ kupandangi vaginanya. Benda itu memang terlihat tidak sempit lagi, maklum sudah dilewati oleh dua bayi. Tapi tetap saja indah. Aku menggelitiknya sebentar dengan ujung penisku.
“Ahhh... ya, aku sudah nggak tahan.“ rintih Inez sambil menggelinjang, mencoba menarik pinggulku agar segera memasukinya.
“Jangan terburu-buru, mbak. Aku kan belum mengerjai vaginamu.“ kubuka kakinya hingga ia mengangkang makin lebar. Pahanya benar-benar mulus bak pualam. Aku mengusap-usapnya penuh nafsu sambil mulutku nyosor ke lubangnya yang berbulu jarang. Sepertinya Inez rajin merawatnya.
“Mal, sshhhh... aghhhh...“ dia langsung mendesis. Tangannya menggapai- gapai bantal dan meremasnya kuat-kuat, seiring semakin kuatnya aku menghisap lubang kencingnya. Sementara matanya yang bulat terlihat merem melek keenakan.
“Auw! Geli, Mal. Hentikan... oughhhh... ampuuun... cukup... hentikan...“ Inez meracau tak karuan saat kumasukkan lidahku ke dalam lubangnya dan menjelajah liar disana. Tangannya meremas-remas bantal semakin kuat, sementara tubuhnya yang sintal menggeliat-geliat kesana kemari bak cacing kepanasan. Lenguhannya terdengar sangat keras. Badannya basah oleh keringat. Lubangnya semakin mengangga karena jilatanku.
“Mal, hentikan... oughhhh… aku nggak tahan...“ desisnya makin keras dengan tubuh naik turun tak karuan. Matanya terpejam, dan saat terbuka, cuma kelihatan putihnya saja.
“Mal, aku nggak… aaghhhh... nggak... kuat... aku mau muncrat!“ jeritnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kuberi remasan pada buah dadanya agar dia makin terangsang. Klitorisnya aku jilati dan aku serang terus.
Inez menaikkan badannya lagi hingga melengkung. Kusambut dia dengan meremas payudaranya semakin keras. Kurasakan benda itu sudah mengeras, padat dan semakin membesar.
“Ooooooooooh… aku... akuuuuuu… saaaaaaammmmm…“ ucap Inez terputus saat tubuhnya berkelonjotan, dari vaginanya muncrat cairan bening yang sangat banyak. Aku segera menyingkir agar tidak terciprat. Kutunggu sampai dia terdiam sebelum aku melanjutkan aksiku.
“Mal, kok bisa gitu sih. Nikmat banget!“ nafas Inez masih terputus-putus.
”Jangan bilang kalau mbak nggak pernah di oral ya!” kupenceti bulatan payudaranya, kutusuk-tusuk putingnya yang mungil dengan ujung jariku. Entah kenapa, aku suka memainkan benda itu.
”Emang nggak pernah kok. Mang Kosim jijik.” sahutnya.
”Tapi setelah tahu rasanya, nggak nolak kan kalau di oral lagi?” dengan kedua tanganku, kutangkup benda itu dan kuremas-remas pelan. Aku tidak bisa memegang semuanya karena saking gedenya.
”Dikasih tiap hari juga mau.” dia berkata sambil tertawa.
”Ugh, maunya...” kucium bibirnya dan kembali kulumat mesra. ”Masukin sekarang ya, mbak.”
Inez mengangguk. ”Tapi nanti keluarin di luar aja ya.“
“Nggak bisa, harus di dalam. Nggak nikmat.“ aku menolak. Apa enaknya main kalau moncrotnya di luar?
“Aduh, Mal. Aku kan lagi hamil.“ dia mengeluh.
“Justru itu, malah aman. Mbak kan jadi nggak mungkin hamil lagi.” terangku.
“Ehm, iya ya. Baiklah, di dalam juga boleh.“ Inez tersenyum menyadari ketololannya. Nafsu memang kadang membuat orang jadi tidak bisa berpikir jernih.
“Siap ya, mbak?” ucapku sambil mulai mengarahkan penisku ke dalam lubangnya.
“Pelan ya, Mal. Jangan sampai aku keguguran gara-gara main sama kamu. Ini aja sejak hamil, mang Kosim nggak kuberi jatah.” pesennya.
”Jadi ini pertama kali mbak main?” Oh, aku tak percaya dengan keberuntunganku.
”Kamulah orang pertama yang menikmati tubuhku setelah dua bulan ini.” sahutnya.
Kudorong penisku. Karena Inez sudah pernah melahirkan, jadi meski sudah dua bulan memeknya ganggur, tetap saja benda itu terasa longgar. Tapi tak apa, aku tetap bisa menikmatinya. Dibanding ngentot dengan Mak Yem yang berumur 60 tahun, tubuh Inez tetap lebih nikmat.
”Pelan-pelan, Mal.” rintih Inez saat aku mulai menggoyang pinggulku maju mundur. “Rasanya sesak, kontolmu gede banget!“ pujinya sambil tersenyum.
Sesak? Aku aja ngerasa longgar. Jangan-jangan penis bang Kosim yang tidak sebesar punyaku. ”Mbak suka?” aku bertanya.
“Suka, Mal. Suka banget! Auw... terus genjot tubuhmu. Enak. Rasanya nikmat banget!” racaunya tak karuan.
“Enak apa nikmat?“ godaku.
“Dua duanya, Mal. Kalo saja bisa tiap hari begini sama kamu, aku mau.“ pintanya.
“Bisa digrebeg tahu.“ kataku sambil terus memaju mundurkan pantat, memaksa penisku untuk masuk menjelajahi liang vaginanya. Dengan sekali sentak, penisku amblas seluruhnya, selangkangan Inez sampai menggelembung karenanya, penisku mentok sampai ke pangkal lubangnya.
“Aghhhh... genjot, Mal.“ pinta perempuan cantik itu.
Aku mulai menggenjotnya naik turun, tubuh kami bergerak seirama di atas ranjang. Tangan Inez menggapai-gapai, berusaha mencari pegangan namun aku cegah. Kutekan tangannya hingga dia makin kepayahan menerima seranganku. Matanya mendelik, sementara jeritan semakin keras terdengar dari mulut manisnya karena aku memompa tubuh sintalnya semakin keras dan cepat.
Saat dia berhasil melepas peganganku, dia segera memelukku, menyambut tusukan penisku dengan memutar pinggulnya begitu cepat. Kuhargai usahanya dengan memberinya lumatan maut di bibir. Inez membalas lumatanku, sambil tangannya menarik kepalaku dan menjambak-jambak rambutku. Di bawah, pantatku tetap turun naik menggenjot tubuhnya dengan intonasi stabil cenderung cepat.
“Auw! Aahhhh... uhhhh... ahhhh... Mal, gila kau, Mal... enak sekali! Oughhhh... terus! Nikmat banget...“ rintih Inez di tengah deru nafasnya yang semakin memburu.
“Mal... aku mau sampai! Ohhhh... auw, enaknya!“ racaunya dengan vagina menjepit keras penisku. Detik selanjutnya, muncratlah cairan orgasmenya. “Aku... aku sampai... “ pekik Inez dengan tubuh menegang kaku. Ujung penisku serasa disembur cairan hangat. Kupeluk erat tubuhnya hingga siraman itu mereda, barulah aku kembali menggoyang. Kulihat tubuh Inez menjadi semakin indah dan menggoda karena berbalut keringat. Aku jadi makin bergairah.
“Hebat kau, Mal... belum keluar juga.“ pujinya dengan nafas berat dan ngos-ngosan.
“Ntar nanti... tenang saja, mbak... aku kusemprotkan maniku ke lubangmu.“ bisikku sambil menyandarkan pipi ke gundukan payudaranya.
“Ah... iya, lama juga nggak apa-apa, Mal. Aku menikmatinya...“ dia mengecup dahiku dan memegangi pinggulku yang semakin dalam menjelajahi memeknya.
“Dasar nakal... “ balasku tertawa. Kuemut salah satu putingnya dan kujilat berulang kali.
“Memang beneran enak kok. Janji ya, kalo aku butuh lagi, kau harus mau...“ ujar Inez dengan tersenyum genit.
“Aneh ya, kemarin kita canggung banget. Sekarang malah main kayak gini.“ kataku. Mulutku berganti menjilat puting yang satunya.
“Aku juga nggak tahu, Mal.” Inez memejamkan mata, tampak sekali menikmati goyanganku di atas tubuhnya.
“Kalau saya sih sudah lama pengen ngentotin, mbak. Tapi mana berani.,. takut sama Mang Kosim. Kalau hari ini mbak nggak ngajakin, saya juga nggak akan berani.“ aku berterus terang.
“Aku malah beda. Dulu aku nggak ngelirik kamu sama sekali, secara kamu jelek banget gitu. Tapi entahlah, sejak kemarin, pandanganku itu tiba-tiba berubah. Ada sesuatu dalam dirimu yang merangsangku. Aku nggak tahu apa itu. Tapi yang jelas, begitu dekat denganmu, bahkan hanya dengan melihatmu, punyaku langsung basah. Pengen kamu entotin.” terangnya tak mau kalah.
’Itu karena peletku, mbak.’ kataku dalam hati.
“Ditambah cerita dari Linda, aku jadi makin pengen deh.” timpalnya lagi.
”Sekarang, setelah merasakannya, mbak nggak kecewa kan?” aku bertanya.
”Tentu saja nggak. Yang ada, aku malah puas banget. Punyamu gede dan keras, bikin memekku jadi penuh.” sahutnya.
Kuremas-remas lagi payudaranya sebelum aku berbisik di telinganya. ”Saya juga puas main sama mbak, tubuh mbak montok dan nikmat banget. Kalau saja nggak takut sama Mang Kosim, saya pengen ngentotin mbak seharian.”
Inez tertawa, ”Coba aja kalau berani.” dia menantang.
Dan nyatanya, setelah ejakulasi di dalam vaginanya tak lama kemudian, kami bertarung lagi satu babak sebelum Mang Kosim pulang. Inez memelukku ketika aku didudukinya, dengan batangku amblas ke dalam lubangnya yang becek itu.
“Mal, pelan pelan ya... auuuh... enak sekali, Mal. Oughhhh... “ erangnya dengan gemas sambil merangkul pundakku, tubuhnya naik turun di selakanganku, menggenjot dengan tempo yang tidak terlalu cepat. Kuberikan perlawanan dengan lebih lembut sehingga Inez semakin bergairah.
“Mal, lembut... enak sekali… Ohhhhh…“ rajuknya sambil melumat bibirku. Kami memacu dengan irama pelan, lalu cepat, dan kembali ke pelan lagi. Desahan dan rintihan kami saling bersautan. Inez memelukku erat sambil terus memacu tubuhnya naik turun, bahkan kadang pinggulnya diputar-putar untuk menggilas penisku hingga membuatku makin merem melek keenakan.
“Mbak jago banget ya genjot kayak gini…“ pujiku sambil meremas-remas payudaranya yang menampar-nampar perutku.
“Ah, nggak, Mal... kau yang hebat... “ balas Inez terengah-engah. Kulitnya yang putih sudah merah padam karena birahi.
“Mbak, aku merasa mau... keluuaarrgghhhhhh...“ kataku terbata dengan nafas tersengal.
“Keluarin di dalam, sayang, kayak tadi.“ bisiknya sambil terus memacu pinggulnya.
Tak lama kemudian, aku merasa dijepit sangat keras, apalagi kedua kaki Inez tengah menjepit pinggangku. “Ohhhh... Mbak... aku... sammmm...“ ucapanku terputus oleh laharku yang muncrat bertubi-tubi memenuhi memeknya. Tubuhku bergetar, setelah merasa melayang oleh rasa nikmat yang amat sangat, aku pun ambruk kelelahan.
“Tahan, Mal, aku juga hampir sampai...“ Inez semakin keras menggenjot tubuhnya. Ia berusaha mengejar batangku yang semakin lama terasa semakin lembek.
”AARRGGHHHHHHHH...” untunglah usahanya itu berhasil. Beberapa detik kemudian, tubuhnya menegang kaku. Dari dalam vaginanya menyemprot cairan panas yang langsung bercampur dengan spermaku. Kami mencapai klimaks hampir bersamaan, kami saling memeluk dengan erat ketika kami memuncratkan air cinta kami masing-masing.
“Makasih, Mal... semprotanmu hebat juga. Oh, berhenti deh…“ Inez menindih tubuhku dan memelukku erat-erat. Kelamin kami masih tetap bersatu.
“Memek mbak juga enak, punyaku seperti disedot-sedot.“ ujarku tak mau kalah.
Selanjutnya kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Inez meminta agar aku melepas penisku. Saat kutarik batangku yang sudah mulai melemah, dari lubang Inez menetes cairan putih kental. Itu adalah pejuhku dan cairan cintanya.
“Kalo aku sampai keguguran, kau tanggung jawab ya.“ goda Inez padaku.
“Tenang, mbak. Akan kubuatkan lagi, yang banyak.” sahutku cuek.
“Awas ya, kupegang kata-katamu itu.” ujarnya Inez sambil pergi ke kamar mandi, namun dia balik lagi dan menarik tanganku untuk mengajak mandi bareng.
”Mang Kosim masih lama pulangnya?” aku hanya ingin memastikan, aku tidak ingin dipergoki saat sedang menyabuni Inez nanti. Bisa berabe urusannya.
”Kita punya waktu 15 menit.” Inez menyahut mantab.
Merasa aman, kami pun mandi bersama. Ibu Inez sudah tidak ada di ruang tengah, mungkin sudah tidur. Keluar dari kamar mandi, kami memakai pakaian masing masing. Setelah beres, kupegang pinggangnya lalu kuberi dia ciuman mesra. “Makasih, Mbak Inez... “ kataku sungguh-sungguh.
“Iya, sama-sama.“ sahutnya.
Sempat kucium dia sebentar sebelum aku pamit pulang. Di pertigaan dekat rumahnya, aku berpapasan dengan Mang Kosim yang menumpang mobil Koh Akiong. Dia cuma melirikku sekilas. Dalam hati aku berdoa, mudah-mudahan saja dia tidak curiga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment