rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }

Friday, 3 October 2014

Sang Penggali Kubur 3

Kami bangun sekitar jam 4 sore. Aku menggeliat dan merasakan batangku kesakitan karena dijepit dalam vagina sempit mbak Nia, tetangga depan rumahku. Karena aku meringis dan membuat gerakan menarik batangku, membuat mbak Nia terbangun juga, dengan meringis ia membuka matanya. “Ada apa, Mal?“ tanya wanita cantik beranak satu itu dan kemudian tersenyum menggodaku. “Sudah, mbak, jangan menggodaku lagi.“ selorohku dengan nakal sambil mencoba menarik batangku yang ngaceng sedikit demi sedikit. Tapi bukannya melepas, Nia malah makin menggodaku dengan memajukan pantatnya, mengejar penisku agar tetap menancap dalam di liang vaginanya. “Sudah, mbak... aku sudah capek.“ pintaku sambil meremas-remas payudaranya yang sebesar kepalan tangan. Benda itu terasa hangat dan empuk sekali. “Emang kamu mau kemana?” tanya mbak Nia, kembali memejamkan mata menikmati sentuhanku. “Kan sudah sore, mbak... aku harus pulang, nanti istriku curiga.” kataku sambil menggelitik pinggang rampingnya. Sudah sejak siang aku berada disini, dan sudah tiga kali dia kupuaskan. “Santai aja, bilang aja sama Indah kalau kamu lagi kerja bantu aku bersih-bersih rumah. Nanti aku kasih uang biar dia tidak curiga.” balas mbak Nia dengan kembali membuka matanya karena geli aku gelitik. ”Suami mbak bagaimana, sebentara lagi kan dia pulang dari pabrik?” tanyaku memastikan. Mbak Nia melirik jam di dinding, ”Iya ya, gawat kalau sampai ketahuan.” dia akhirnya berusaha melepaskan penisku dengan menarik pantatnya, dan aku dengan cepat juga menjauhkan selangkanganku. Saling meringis dan memekik, alat kelamin kami akhirnya terlepas. Batangku memerah karena sesiangan diremas dan dijepit dalam lubang mbak Nia yang sempit. Mbak Nia bangkit dari ranjang dan duduk di depan cermin, ia menyisir rambutnya yang panjang sepunggung dengan tubuh masih tetap telanjang. Di luar, terdengar suara Fahri, anaknya yang sudah berusia 7 tahun, yang baru pulang dari mengaji di Musholla. ”Jam berapa bang Samad pulang?” tanyaku sambil memperhatikan pantulan buah dadanya yang montok di kaca cermin. Putingnya tampak mencuat mungil kemerahan, kontras dengan warna kulitnya yang putih kekuningan. ”Jam 5,” jawab mbak Nia pendek. Samad adalah nama suaminya, sekaligus lawanku main catur di malam hari. Dari dada, mataku turun ke bokongnya yang mantap. Benda itu tampak sangat bulat dan besar. Melihatnya, aku jadi terangsang kembali. ”Masih lama dong, mungkin masih sempat untuk kita main cepat.” kataku, lalu dengan gemas bangkit dari ranjang dan langsung memeluknya. Kulingkarkan tanganku di depan dadanya untuk meremas-remas kedua bukit buah dadanya yang membusung indah. “Apaan sih, Mal! Katanya udahan,“ protes mbak Nia dengan mencegah tanganku yang ingin bergerak lebih jauh menjarah selangkangannya. “Nggak tahu, mbak. Lihat mbak telanjang gini, aku jadi pengen lagi.” bisikku sambil semakin nakal meremas-remas buah dadanya. ”Ehm, tapi bentar aja ya?” mbak Nia tak melarangku, justru malah membuka pahanya lebar-lebar, membuat tanganku yang sudah antri disana segera melesak masuk untuk mengorek-orek liang vaginanya. ”Lima menit juga udah cukup, mbak.” kuelus-elus belahannya hingga benda itu perlahan melembab dan membasah. ”Ahh... Mal!” Akibat rangsanganku, mbak Nia bangkit gairahnya. Dia langsung membalikkan tubuhnya yang montok dan memegangi penisku yang sudah menegang untuk diremas serta dikocoknya penuh nafsu. Aku meringis dan melenguh menikmatinya. “Mbak, ehmm... enak!“ erangku gemas. Aku langsung berdiri tegak, dan mbak Nia yang mengerti maksudku segera membungkuk. Dia membuka mulutnya dan melahap batang coklat itu. Batangku diemutnya dengan rakus, ia terus menyedot dan menjilatinya hingga benda itu menjadi sangat licin dan basah. Aku hanya bisa meremas kedua buah dadanya sebagai pelampiasan rasa nikmatku. Benar-benar sore yang menggairahkan. Tak lama kemudian, mbak Nia menyelesaikan tugasnya. ”Gantian, Mal. Jilati punyaku!” bisiknya dengan tersenyum. Ia membuka pahanya lebar-lebar, memberikan vaginanya yang sudah merekah merah kepadaku. Aku langsung jongkok dan menjilatinya. Benda itu terasa mulai basah akibat rangsangan birahi. Klitorisnya yang mungil aku jilati dengan cepat, membuat mbak Nia meringkik dan mencakar bahuku. ”Mal, ughhhh... teruus... aah... aah… enaak!“ erangnya semakin menggebu. Pelan vagina itu menganga makin lebar, memperlihatkan lubang kawinnya yang siap untuk kumasuki. Semakin kupermainkan, semakin membesar lubang itu, sehingga aku tahu inilah saat yang tepat untuk segera menyetubuhinya. “Balik, mbak... nungging!“ perintahku yang disambut senyuman nakal olehnya. Setelah dia menungging dengan berpegangan pada meja rias, aku langsung memposisikan batangku tepat di lubangnya yang sudah memerah dan basah itu. Kutekan perlahan, kutusuk dengan penisku dari belakang. Kami meringis keenakan ketika batangku mulai melesak masuk. “Mal, pelan-pelan aja, jangan dipaksa.“ erang mbak Nia yang menggigit bibirnya. Namun bukannya pelan, aku malah menambah tenaga untuk memasukkan batangku, membuat wanita cantik yang hobi berkebun itu memegang kaca rias dengan kuat dan menggigit bibirnya semakin keras. Setengah jalan, kutarik penisku dan kumasukkan lagi dengan paksa. Burungku terasa sakit sekali, demikian pula dengan mbak Nia yang menggeleng-gelengkan kepalanya tak tahan. Entah kenapa, dari belakang seperti ini, vaginanya terasa seret sekali. Padahal tadi waktu posisi normal terasa lancar-lancar saja, bahkan cenderung longgar karena dia sudah pernah melahirkan. ”Pindah ke kasur aja, Mal.” dia meminta ke posisi biasa. Tapi aku tidak menyerah. ”Buka pahanya lebih lebar, mbak.” bisikku sambil meremas-remas bulatan payudaranya yang menggantung indah. Diantara semua wanita yang pernah kutiduri, payudara mbak Nia berukuran paling kecil, tapi tetap saja aku menyukainya. Setelah dia melakukan perintahku, penisku mulai masuk mili demi mili saat aku mendorongnya kembali. Dan beberapa detik kemudian, akhirnya amblas seluruhnya ke dalam lubang vagina mbak Nia yang sempit dan hangat. “Mal, tahan dulu. Hmm... aku ingin merasakan sebentar… enak, Mal!“ serunya dengan mengerling dan tersenyum nakal. “Boleh gerak sekarang?” tanyaku saat melihat dia sudah mulai rileks. “Iya, tapi pelan dulu.“ sahutnya. Aku langsung bergerak dengan memajukan pantatku, kemudian memundurkannya. Penisku terasa seret, namun aku langsung meludahi tanganku lalu kuoleskan ke batangku agar bisa lebih lancar. Lalu aku menusukkannya lagi. Kini batangku lumayan lancar untuk maju mundur. “Aah... aah… ohh... enak, Mal!“ erang mbak Nia gemetaran. Kami berpacu dengan cepat karena dikejar waktu. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima, ternyata sudah lebih dari 15 menit aku menyetubuhinya. Kami saling melenguh dan merintih. Kuremas buah dada mbak Nia yang bergelantungan indah saat aku sudah tak tahan lagi. Kulihat dari cermin, mbak Nia memandangku dengan mesra sambil tersenyum, sesekali menggigit bibirnya, lalu merem melek keenakan saat aku mempercepat sodokanku. “Mbak, gimana? Aku nggak kuat nih.“ teriakku dengan terus menyodok dan menggenjot pinggulnya, kuremas lagi buah dadanya yang pas seukuran telapak tanganku semakin keras. “Iya, sama! Aku juga bentar lagi...” balas mbak Nia tak mau kalah. Bunyi kecipak alat kelamin kami terdengar semakin nyaring memenuhi seisi kamar. Beberapa detik kemudian, saat batangku sudah hampir muncrat, vagina mbak Nia menjepit dan mencekiknya hingga aku urung memuntahkan spermaku. Justru mbak Nia yang orgasme duluan. ”Mal, aku dapet!“ teriaknya dengan merem-melek menikmati sodokanku. Tubuhnya menegang kaku lalu berkelonjotan saat cairan cintanya yang panas dan licin menyiram batang penisku. Tubuh montok mbak Nia berkeringat membanjir. Sementara dia terengah-engah menikmati sisa-sisa orgasmenya, aku terus menghujamkan penisku dalam-dalam untuk menjemput puncak birahiku. Dan tak lama kemudian, aku pun menyusulnya. Tubuhku menegang kaku saat penisku memuncratkan semua isinya. “Mbak, aku… aah… ahh...” dengusku dengan badan kelojotan dan akhirnya lemas menindih mbak Nia di punggungnya, kursi menjadi tumpuan kami berdua. Berpelukan, kami diam menikmati orgasme cepat di sore hari yang sepi itu. Aku lalu bangun dengan sempoyongan dan mencabut penisku, lalu kembali rebah di ranjang dengan penis masih basah oleh air mani. Mbak Nia bangun juga dan kemudian ikut tiduran di ranjang memelukku. “Makasih, Mal…“ ucapnya dengan mencium bibirku gemas. “Sama-sama, mbak.“ balasku sambil memeluknya. Kuremas-remas lagi buah dadanya yang membusung indah itu. Tak lama, mbak Nia bangun dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di belakang rumahnya. Ia cuma membalut tubuhnya yang telanjang dengan handuk. Saat dia membuka pintu, aku bersembunyi di belakang lemari agar siapapun yang ada di ruang tengah tidak melihat kehadiranku, cuma buat jaga-jaga saja. Mbak Nia mandi tak begitu lama. Waktu sudah hampir menunjukan pukul lima sore saat dia kembali masuk ke kamar sambil membawa handuk basah. Istri bang Samad itu mengelap penisku yang masih belepotan air mani dengan penuh perhatian. Setelah bersih, ia menyuruhku untuk memakai pakaian kembali. Sementara aku memakai celana rombeng dan kaos dekilku, mbak Nia juga mulai menutupi tubuhnya. Ia mengambil CD dan bra di lemari dan mulai memakainya. Kubantu dia sambil tanganku bermain di pantatnya yang bulat dan sekal. Mbak Nia hanya tersenyum saja melihat ulahku, dan kembali meneruskan berdandan, bersiap-siap menyambut kedatangan suaminya. Aku pulang lewat pintu belakang. Sebelum berpisah, mbak Nia sempat melumat bibirku dengan rakus, lipstiknya menjadi luntur dan terasa manis di lidahku. Dengan bersemu merah, mbak Nia tersenyum. ”Sampai jumpa besok ya, nanti kukabari kalau pas bang Samad lagi nggak ada di rumah,” ujarnya sambil meremas penisku dari luar celana. “Iya, mbak. Aku tunggu.“ kubalas perbuatannya dengan meremas pelan kedua bongkahan payudaranya. Saat itulah, terdengar suara motor menderu di halaman. Bang Samad sudah pulang!! Aku segera beranjak, tidak ingin dipergoki oleh lelaki berkumis tebal itu. “Mal, sini dulu.“ tapi mbak Nia menahan tanganku. Saat aku berbalik, ia menyelipkan segenggam uang ke sakuku. “Sudah, kamu boleh pergi sekarang. Sampai jumpa lagi ya!” bisiknya. “Oke, mbak. Terima kasih ya.“ balasku dengan melambai dan segera pergi meninggalkan tempat itu. *** Di rumah, Indah langsung mengamuk begitu melihat kedatanganku. ”Ngapain pulang? Kenapa nggak tidur aja sekalian di rumah mbak Nia.” ia menyindir. ”Maaf, sayang. Banyak yang harus kukerjakan. Aku juga nggak nyangka kalau sampai sesore ini.” memang salahku, hanya pamit untuk bantu mengangkat lemari ke dalam rumah, aku malah baru balik setelah 3 jam berlalu. Siapa yang nggak curiga coba? Tapi aku juga tidak salah-salah amat. Kalau saja mbak Nia tidak punya ’tanda’ itu, aku pasti juga tidak akan menidurinya. Namun begitu tahu kalau dia pernah jadi korban Juragan Karta, aku jadi tergoda untuk memanfaatkannya. Apalagi mbak Nia juga sangat cantik dan seksi. Di usianya yang masih 33 tahun, dengan anak satu, tubuhnya masih tampak begitu montok dan sempurna. Bikin penisku langsung ngaceng begitu dia telanjang di depanku. So, jadilah aku menginap di rumahnya hingga jam lima sore. Tiga kali menyetubuhinya, dua kali aku menumpahkan sperma di vaginanya, dan satu kali di atas buah dadanya. Meski ujung-ujungnya dapat omelan dari Indah, aku tidak kecewa. Indah sudah akan nyerocos lagi, tapi langsung terdiam begitu kuperlihatkan uang jasa dari mbak Nia. 50ribu, lumayan untuk ongkos angkat lemari, hehehe...(tawa setan!) ”Sini, buat beli beras!” dia langsung menyambar dan menyimpannya ke dalam dompet. Menghela nafas lega, aku pun segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. *** Malam ini adalah malam peringatan terakhir kematian juragan Karta; malam yang ketujuh. Seperti biasa, aku hadir disana untuk memberikan doa pada lelaki tua itu. Sambil duduk bersila, kuedarkan pandangan ke arah dapur, memperhatikan satu per satu perempuan yang ada disana, mencari yang cantik dan menarik yang sekiranya bisa kutiduri. Ada Linda, korbanku yang pertama. Dia masih gigih merayuku agar memuaskannya lagi karena sampai sekarang suaminya masih belum pulang. Juga Bu Sofi dan Bu Martin, dua STW ganjen yang masih kelihatan cantik dan menarik di usia mereka yang sudah hampir setengah abad. Di barisan muda ada Reni, Atik dan Silvi, tiga ABG yang masih ada hubungan keluarga dengan juragan Karta. Aku berniat menggilir mereka satu per satu kalau memang sudah tidak ada lagi yang menarik. Lumayan, bisa dapat daun muda gratis, itung-itung bulan madu lagi, hehehe... Tapi sebenarnya yang menjadi incaran utamaku adalah Mitha, istri kelima sang juragan, yang sampai malam ini tidak pernah kulihat batang hidungnya. Kemana gerangan gadis cantik itu? Padahal istri-istri yang lain sudah bisa kutiduri, tinggal dia yang belum. Kalau saja dia muncul, dengan ilmu peletku, akan kubawa dia ke ranjang dan kuentot semalaman. Pasti akan nikmat rasanya bisa merasakan tubuh sintalnya yang padat dan putih mulus itu. Uh, membayangkannya sudah membuat penisku ngaceng tak karuan. Wanita-wanita yang lain tidak perlu dibahas, rata-rata sudah pada tua dan berumur. Ada Mak yem dan Yu Darti, juga Budhe Rini dan Yu Tonah. Tidak ada yang menarik, pada keriput semua. Boleh juga sih kalau buat selingan, tapi mending nunggu kejutan macam mbak Nia tadi siang, tidak kuketahui, tapi tahu-tahu bisa diajak tidur. Enak banget. Mudah-mudahan saja istri-istri cantik di kampung ini banyak yang seperti itu. Aku bakal bahagia dan senang sekali. Ahahaha! Tawaku langsung berhenti begitu mataku tertumbuk pada sekelompok ibu-ibu yang sedang saling bercanda di pojokan rumah. Beberapa orang yang kusebutkan di atas juga berada di situ, namun mataku lebih tertuju pada wanita berjilbab warna abu-abu yang sedang digandeng mesra oleh suaminya. Aku mencoba mengenalinya. Benar, dia Indriani, atau biasa kupanggil mbak Indri. Tapi anak-anak di kampung memanggilnya Bu Ustad karena dia memang istri Ustad Jafar, salah satu tokoh agama yang suka ngajar ngaji pada anak-anak kecil. Malam ini, sang ustad akan memberikan tausiah. Biasa, di hari peringatan yang ketujuh, ada sedikit ceramah untuk mengingatkan kita agar tidak lupa dengan kematian, juga untuk memintakan maaf bagi almarhum kalau misal punya salah pada tetangga sekitar. Saat Ustad Jafar masuk ke dalam rumah untuk menunaikan tugasnya, aku segera beranjak untuk mengikuti mbak Indri pulang ke rumahnya. Inilah kesempatanku. Semua ini diawali dua hari yang lalu, saat aku baru pulang dari rumah Inez. (Baca Sang Penggali Kubur 2) Tiba di rumah, kulihat Indah sedang berbincang akrab dengan mbak Indri. Sudah lama aku mengagumi istri ustad Jafar itu; selain cantik, dia juga kalem dan baik hati. Tipe istri idaman lah pokoknya. Meski sehari-hari dibalut jilbab lebar dan baju panjang, aku bisa meyakinkan kalau dia sangat seksi sekali. Payudaranya tampak menonjol indah, begitu juga dengan paha dan bokongnya. Ditunjang postur tubuh yang tinggi langsing, dia jadi tampak begitu menarik. Ketika aku mendekat, mbak Indri tampak terkejut melihatku. “Oh, Mal, baru pulang? tanyanya sambil berlaku cukup sopan, menyalamiku hanya dengan bersentuhan ujung jari, tidak sampai saling menempel. “Iya, mbak. Banyak pekerjaan.“ kataku enteng dengan sebentar memandangi kesintalan tubuhnya. Mbak Indri yang tidak curiga dengan ulahku, meneruskan obrolannya dengan Indah. ”Sudah saya gosok pake sabun, tapi tetap nggak mau hilang.” katanya. Indah tampak berpikir sejenak sebelum menyahut. ”Mbak sih enak, bisa ditutupi pake jilbab. Lha saya, kemana-mana jadi bahan gojlokan orang, dikira habis main sama suami. Terpaksa saya tutup pake bedak tebal.” Mbak Indri tertawa. ”Tapi repotnya, mas Jafar jadi curiga. Dikira saya habis macam-macam sama laki-laki lain. Terpaksa saya jelaskan panjang lebar, pake nangis segala malah.” Indah terpana, ”Sampai segitunya? Mas Kemal saja nggak tanya macam-macam, dikira cuma noda biasa.” dia melirik ke arahku. Terpaksa kupalingkan mukaku yang lagi asyik memandangi tonjolan daging di dada mbak Indri. ”Meski seorang Ustad, mas Jafar kan cemburuan, In.” jelas mbak Indri. Aku yang sudah mengerti arah pembicaraan mereka mencoba untuk nimbrung. ”Noda di leher itu ya?” tanyaku sambil kembali melirik nakal ke arah busungan dada istri ustad Jafar itu. ”katanya banyak ibu-ibu yang juga mendapatkannya.” ”Iya, nggak tahu darimana. Tahu-tahu saja muncul.” jelas mbak Indri, matanya melirik ke arahku. ”Mbak juga kena?” tanyaku memastikan. ”Iya, saya baru tahu kemarin.” Jawabannya itu langsung membuatku sesak nafas. Bayangkan: wanita yang selama ini kukagumi, yang terkenal alim dan baik hati di kalangan tetangga, bisa kutiduri dengan ilmu peletku. Hebat juga juragan Karta, bisa mendapatkan wanita seperti ini semasa hidupnya. Entah bagaimana itu terjadi, lain kali saja kutanyakan, kalau kami sudah berdua di atas tempat tidur. Hehehe... Yang jelas sekarang, aku harus menyusun rencana kalau mau menikmati tubuhnya yang mengundang air liur itu. Tidak bisa kulakukan saat ini karena ada Indah yang mengawasi kami berdua, meski kulihat nafas mbak Indri sudah mulai berat dan putus-putus, bahkan mukanya yang cantik itu sudah merah padam dan berkeringat dingin. Beberapa kali matanya melirik ke arahku, mencoba berkomunikasi (atau meminta?) meski dia berusaha sekuat tenaga untuk memalingkannya kembali. Aku tersenyum melihatnya, ilmu peletku sudah mulai bekerja rupanya. Tidak ingin menyiksanya lebih jauh, akupun segera pamit ke dalam untuk mandi. “Mal, kapan-kapan bisa ke rumah? Ada genteng di dapur yang bocor.” kata mbak Indri sambil membenahi jilbabnya. Gerakannya sangat provokatif sekali, seperti ingin memamerkan tonjolan buah dadanya yang sedari tadi menjadi santapan mataku. “Hmm, ya saya usahakan secepatnya, mbak.“ kataku menjawab, yang disambut anggukan darinya. “Besok aja, mas.” kata Indah. ”Besok aku sudah disuruh mbak Nia bantu-bantu angkat-angkat barang. Habis itu nyari rumput sampe sore.” jelasku. ”Kalau lusa?” mbak Indri bertanya, tampaknya dia sudah tidak sabar untuk segera berduaan denganku. Hanya karena kadar keimanannya yang tinggi, yang membuatnya tidak langsung menubrukku saat itu juga. Tidak seperti korban-korbanku selama ini. Aku berpikir sejenak. ”Hmm, mungkin bisa.” ”Ya udah, besok aja.” tegas mbak Indri. Aku pun mengangguk dan segera berlalu ke belakang. *** Tapi malamnya, Linda menemuiku. Selain meminta jatah sekali lagi -kami lakukan di kebun di belakang rumahnya- ia juga mengabarkan kalau lusa ada arisan di rumahnya. ”Trus, apa hubungannya denganku?” aku bertanya tak mengerti. ”Apa kamu nggak pengen main sama ibu-ibu yang lain? Banyak lho yang nanyain kamu!” Aku terhenyak dengan ucapannya. ”Si-siapa saja?” ”Ada Bu Sofi, Bu Martin, juga mbak Yulinar. Dan terutama Inez, begitu kukasih tahu kalau aku sudah tidur denganmu, dia langsung bilang kalau pengen juga.” jelas Linda, tidak tahu kalau aku sudah meniduri Inez siang tadi. ”Ehm, begitu ya?” aku mencoba mempertahankan kepura-puraanku. ”Iya, Mal. Entahlah, semua ibu-ibu sekarang lagi pada ngomongin kamu, tanpa sepengetahuan bapak-bapak tentunya.” Aku tersenyum. ”Kalau aku sih nggak masalah, Lin. Siapa sih yang nggak mau tidur sama wanita lain selain istrinya, asal Indah nggak tahu hal ini.” ”Tenang, dia jarang ikut arisan kok. Jadi, kamu mau datang kan?” tanya Linda memastikan. Aku mengangguk mantab. ”Pasti donk.” Linda langsung menjerit dan mencium bibirku dengan antusias. ”Trims ya, Mal. Ibu-ibu pasti gembira mendengar hal ini.” setelah itu dia segera berbalik dan pergi meninggalkanku. ”Cuma gitu, mbak?” aku bertanya heran dengan tingkahnya. ”Iya, sampai ketemu besok lusa. Aku harus mengabarkan ini pada ibu-ibu.” Linda melambaikan tangannya. Kupandangi goyangan pinggulnya yang tadi kuciumi, kunikmati hingga ia hilang di pintu dapur. Menggelengkan kepala, masih tak percaya dengan keberunntunganku, aku kembali ke warung Yu Narti. ”Aku kira kamu mati digigit ular di kebun,” sinis Gani yang menungguku. Kami memang sedang main catur saat aku pamit untuk kencing sebentar, padahal aku menyelinap ke rumah Linda setelah wanita itu memberi kode dengan berpura-pura belanja membeli gula. ”Sudah malem, tapi masih ramai saja disini...” sapa seseorang yang baru datang. Semua orang serentak memberi salam dan menyapanya. Dari suaranya yang berat dan bijak, tanpa menoleh pun aku sudah tahu kalau itu pasti ustad Jafar. Saat itulah, kesadaran menghantam otakku. Bukankah aku sudah janji pada mbak Indri untuk datang ke rumahnya lusa nanti, kenapa aku malah membuat janji dengan Linda di hari yang sama? Bodoh! Benar-benar bodoh! Spontan aku menepuk kepalaku sendiri. ”Sudah, nggak usah pake berlagak frustasi gitu. Bilang saja kalau mau nyerah.” ejek Gani. Saat itu memang giliranku untuk main, dan rajaku terjepit. Bingung menentukan pilihan, aku pun menggerakkan pion tanpa berpikir. Gani tertawa terbahak saat bisa skak mat di giliran berikutnya. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya. Bagiku, kalah main catur bukan apa-apa dibanding harus memilih tidur dengan siapa lusa nanti!! *** Aku sudah akan menghubungi Linda sehabis acara tahlil untuk memberitahunya kalau aku tidak bisa datang di acara arisan ibu-ibu besok. Biar saja dia kecewa. Aku lebih berat meninggalkan tubuh montok mbak Indri, aku sudah tidak sabar untuk mencicipinya. Ibu-ibu sih gampang, masih bisa diantri di lain hari. Tapi ternyata, keberuntungan masih berpihak kepadaku. Melihat mbak Indri yang pulang sendirian ke rumahnya, sementara ustad Jafar memberi tausiah di rumah juragan Karta. Aku melihat ini sebagai kesempatan dalam kesempitan. Kenapa tidak kutiduri saja dia sekarang? Dan besok bisa pesta seks bareng Linda dan ibu-ibu!!! Ini namanya ’sekali mendayung, dua-tiga pula terlampaui.’ Tersenyum puas, aku pun segera beranjak dan pamit pada jamaah tahlil yang lain. ”Mau kemana, Mal? Habis senyum-senyum, langsung pergi.” tanya mbah Narto yang duduk di sebelahku. ”Mau ngecek kandang kambing sebentar, mbah. Kayaknya tadi lupa tidak kugembok.” kataku memberi alasan. ”Kamu balik apa nggak?” tanya mas Supangat. ”Nggak tahu, mas. Lihat nanti saja.” ”Kalau nggak, biar nanti aku bawakan nasimu.” rumah mas Supangat memang bersebelahan denganku, hanya selisih tiga rumah. ”Eh, nggak usah repot-repot, mas.” aku tersenyum. ”Sudah, cepat pulang sana. Nanti keburu kambingmu hilang.” seru mbah Narto. Mengangguk, aku pun mengucapkan salam dan pergi dari tempat itu. Di ujung gang, sempat kulihat mbak Indri berjalan sendirian dan berbelok ke arah rumahnya. Berjalan agak memutar, aku mengikutinya. Dia sudah masuk ke dalam rumah saat aku sampai di depan rumahnya. Tetangga kiri kanan tampak sepi, aman! Semua pada sibuk dan ngumpul di rumah juragan Karta. Aku terus melangkahkan kaki hingga sampai di pintu depan. Kuketuk pintu itu perlahan-lahan. ”Iya, sebentar.” sahut mbak Indri dari dalam. Terdengar langkah kakinya yang berjalan cepat ke balik pintu. Sebelum membuka, dia mengintip sebentar dari jendela di sebelah pintu. Dia tampak terkejut saat melihatku. ”Lho, kamu, Mal. Ada apa?” tanyanya tanpa mempersilahkanku masuk. “Saya ada perlu sama, mbak.” jawabku sambil memasang senyum ramah. “Tapi suamiku lagi nggak ada di rumah,” kilahnya. Tampak berat antara memilih menjadi seorang istri yang baik, atau menuruti hawa nafsunya yang perlahan mulai menggelegak begitu melihatku. “Hanya sebentar, mbak.” aku terus membujuk. ”Tapi...” mbak Indri masih ragu. ”Apa tidak bisa dibicarakan disini saja?” usulnya kemudian. ”Apa begitu adab menerima tamu?” kataku memprotes. Kuat juga iman perempuan ini, kalau perempuan lain, pasti sudah menghambur ke dalam pelukanku begitu melihatku. Memang pantas dia menjadi istri seorang ustad. ”Iya, tapi... apa kata orang nanti. Ustad Jafar lagi nggak ada di rumah.” ia terus berkilah. ”Orang yang mana?” kutunjukkan rumah tetangga yang kosong kepadanya. ”Lagian, kan masih ada anak mbak, kita tidak cuman berdua.” ”Ehm, anakku lagi liburan ke rumah neneknya.” jawab mbak Indri lirih. Wah, kebetulan sekali! seruku dalam hati. ”Ayolah, mbak. Saya cuma pengen ngobrol, curhat masalah rumah tangga.” ”Kalau pengen dapat jalan keluar, ngobrol saja sama pak Ustad.” ia terus mengelak. Di sisi lain, keringat dingin mulai menetes di permukaan dahinya, wajahnya juga semakin memerah. Mbak Indri segera mengusapnya sambil menghembuskan nafasnya kuat-kuat untuk mengusir gairahnya yang semakin kuat mencengkeram. Tapi tentu saja dia tidak berhasil! ”Ini tentang masalah perempuan, mbak. Dan hanya kepada perempuan lah bisa saya sampaikan.” sahutku terus bersikeras. Mbak Indri, tampak berpikir sejenak penuh pertimbangan. ”Ayolah, mbak. Saya cuma ingin bicara, tidak ada maksud apa-apa.” kataku sambil menatapnya tajam, memandangi kemontokan dan kesintalan tubuhnya hingga membuatnya makin gugup dan kebingungan. Dia tidak berani menatap mataku, bahkan wanita itu sampai menutupi bagian dadanya yang membusung indah agar tidak terus kupelototi. “Awas ya, jangan sampai kamu berbuat kurang ajar kepadaku!!“ lontaran kata-kata pedas darinya kuanggap biasa saja. Yang penting tangannya mulai bergerak untuk membuka kunci rumah. “Iya, mbak. Percaya deh sama saya.“ sahutku dengan nada datar, dan segera masuk ke dalam rumahnya begitu dia membukakan pintu. “Aku harap ini masalah penting, Mal.” balas mbak Indri, dia mempersilahkanku untuk duduk di ruang tamu. “Pasti, mbak. Ini soal masalah seks!!” kataku dengan berbisik sampai membuatnya terdiam dengan menutup mulutnya karena terkejut, makin menambah kecantikan wanita berjilbab ini. “S-seks? A-apa maksudmu?!” Dia terlihat tidak tenang duduk di dekatku, tangannya diremas kuat-kuat. Sepertinya, ilmu peletku sudah mulai berhasil menguasai dirinya. Terlihat dari gemuruh nafasnya yang menjadi tak karuan, sambil sesekali matanya melirikku dan mengusap keringat di dahinya yang mengucur semakin deras. “Iya, aku ingin sekali ngeseks sama mbak!” kuberikan senyumku kepadanya, mulai berusaha menggodanya. Pelan, kusentuh tangannya agar dia lebih termakan oleh ilmu peletku. Dan benar saja, selepas tangannya kusentuh, mbak Indri tidak protes lagi. Ia diam saja saat jemari tangannya yang lentik kuremas-remas dengan pelan. Bahkan perlahan, dia membalas dengan melirikku nakal dan tersenyum, tanpa berusaha menyingkirkan tangannya dari genggamanku. ”Mal?” hanya itu kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya, sebelum kubungkam dia dengan ciumanku yang lembut dan hangat. “Sshhh... ahh...“ desisnya dengan suara yang bergetar pelan, tanda kalau sudah mulai diamuk birahi. Sambil terus mencium bibirnya, segera kutarik tangan mbak Indri menuju ke pelukanku. Wanita berjilbab ini seolah menolak, tapi tidak terlalu frontal, hanya sekedar memberitahukan kalau dia malu untuk melakukan ini. ”Mal,” dia kembali memanggil namaku saat kutangkup belahan pantatnya yang bulat besar dan kuremas-remas dengan penuh nafsu. ”Kau mau apa? Aku ini istri ustad, Mal!” ia mengingatkan untuk terakhir kali. ”Memang kenapa? Apa tidak boleh seorang istri ustad menikmati kenikmatan duniawi?!” kataku sambil menarik tangannya. Perlahan mbak Indri mengikuti hingga aku bisa mendekap tubuh sintalnya serta meremas-remas buah dadanya yang membusung indah. “Jangan, Mal! Aahh... jangaan!!” tolak mbak Indri dengan suara semakin pelan. Tidak peduli, karena sudah terlanjur keenakan, kuremas buah dadanya semakin keras. Tanganku menyilang di depan gundukan payudaranya hingga membuat wanita pengajar ngaji ini mendesah-desah tak karuan. “Mal, ahh... jangan! Kenapa kau lakukan ini?! Sshhh... aghhhh!!” Tanganku semakin nakal. Rasa buah dada mbak Indri yang empuk dan kenyal makin membuatku kesetanan. Aku benar-benar menyukainya. Aku ketagihan dibuatnya. Segera kususupkan tanganku ke balik baju lengan panjang warna abu-abu yang dikenakannya, dan meremas-remas lembut buah dadanya yang masih terbungkus BH putih tipis. ”Ahh... ini maksiat, Mal! Maksiat! Hentikan! Ahhh...” rintihnya sedikit terpekik. Tangannya berusaha mencekal tanganku yang berusaha menyusup ke dalam cup behanya. Tapi tentu saja penolakannya yang setengah hati itu dengan mudah kutepis. Kuturunkan cup behanya hingga gundukan payudara mbak Indri yang mulus dan besar terburai keluar. Benda itu terlihat begitu putih dan bening, sangat sempurna dengan kulit yang halus tanpa cacat, yang dihiasi oleh semburat urat kehijauan di seluruh permukaannya. Ditambah tonjolan puting mungil yang berwarna coklat kemerahan, jadilah benda itu begitu indah dan menarik, sangat menggoda birahiku. “Akan kupuaskan mbak malam ini,” janjiku kepadanya sambil mendesakkan selangkanganku ke belahan pinggulnya, sementara tanganku mulai meremas-remas lembut bulatan buah dadanya hingga membuat mbak Indri terpejam-pejam karena keenakan. “Mal, sshhh... k-kita seharusnya... ahhh! T-tidak boleh... uhhh! M-melakukan ini... hmph!” desisnya sebelum terdiam oleh lumatanku pada bibir tipisnya. Pelan dia menyambut ciuman. Bibir kami saling bertemu dan berdecap seirama, lidah kami saling membelit dan menghisap, sebelum tiba-tiba mbak Indri menarik kepalanya dan memandangku dengan perasaan bingung bercampur nikmat. ”Ada apa, mbak?” tanyaku sambil merapikan jilbabnya yang acak-acakan. “B-bagaimana kita b-bisa melakukan ini, Mal?” tanyanya dengan kesadaran yang sudah hampir habis. ”Tidak usah dipikirkan, mbak. Kita nikmati saja malam ini.” sahutku sambil kembali meremas-remas payudara mulusnya. ”Iya, ehsss... tapi...” mbak Indri menggelinjang saat kupencet kedua putingnya dan kupilin-pilin ringan dengan dua jariku. ”Sudah, jangan banyak omong lagi, nanti keburu pak Ustad pulang.” potongku cepat. ”Cepat lepas celanaku, kontolku sudah ngilu nih pengen keluar.” rayuku yang disambut dengan anggukan kepala olehnya. ”Iya, keburu pak Ustad pulang.” dan dengan jawaban ini, resmilah sudah mbak Indri yang alim ini jatuh ke dalam pelukanku. Sementara dia sibuk membuka resleting celanaku, kuremas terus bulatan payudaranya. Benda itu makin terasa padat dan kenyal, putingnya juga makin mencuat ke atas, menunjukkan kalau si empunya sudah terangsang berat. Saat sudah telanjang, kudorong tubuh montok mbak Indri hingga ia telentang di sofa. Berdiri di depannya, kuperlihatkan batangku yang mengacung tegak kepadanya. ”Gede banget, Mal.” bisiknya parau. Dia mendelik, matanya melotot tajam menatap penisku yang terangguk-angguk gagah di depan hidungnya. ”Mbak suka?” tanganku turun untuk melepas bajunya. Mbak Indri awalnya menolak, ia malu untuk telanjang di depanku. Tapi setelah kupaksa terus, ia akhirnya menyerah dan membiarkanku membebaskan tubuh sintalnya dari kungkungan baju panjang yang ia kenakan. ”Mbak adalah korbanku yang paling sulit,” kataku keceplosan sambil kembali meremas-remas tonjolan buah dadanya. Entah kenapa, aku begitu menyukai benda itu. Bahkan kalau bisa, ingin aku mengirisnya dan membawanya pulang agar bisa kupegangi setiap hari! ”K-korban apa?” tanya mbak Indri tak mengerti. Ia berusaha melindungi buah dadanya dengan tangan agar aku tidak terus menerus menjamahnya, namun segera kusingkirkan. Aku tidak ingin kenikmatanku terganggu. “Ehmm, bukan apa-apa.” aku berkata cepat, dan... ”Jilat kontolku, mbak!“ perintahku untuk mengalihkan perhatiannya. Kutekan kepala mbak Indri yang masih tertutup jilbab agar lebih mendekat ke batang kontolku. ”A-aku tidak pernah m-melakukannya, Mal.” tolaknya halus. ”Coba aja dulu. Pegang, mbak. Kocok pakai tangan!” rayuku yang dijawab dengan kocokan pelan tangan mbak Indri. Kubiarkan ia mengurut batangku sementara aku memegangi payudaranya yang luar biasa indah; tidak besar-besar amat namun cukup montok juga, putih dan sangat segar sekali dengan puting berwarna merah agak besar. “Susumu seger, mbak.“ kataku dengan menarik celana dalamnya, kulucuti istri ustad Jafar itu sampai telanjang bulat, aku hanya menyisakan jilbabnya saja. Mbak Indri hanya menatapku dengan nafas tak karuan. Kutekuk kedua kakinya agar aku bisa masuk ke dalam selakangannya. Tapi ketika aku hendak membungkuk, tangan kanan mbak Indri menahan tubuhku. “Jangan, Mal. Jijik...“ bisiknya malu-malu. “Sudahlah, mbak. Kalau mbak nggak mau jilat punyaku, biar aku saja yang jilat punya mbak.“ kataku sambil menarik tangannya. Kusaksikan vaginanya benar benar luar biasa indah; jembutnya tipis dan rapi, lubangnya menyempit, alur bibir vaginanya masih tampak utuh, warnanya merah muda, makin ke dalam makin terang. Tak tahan, aku langsung menjilatinya sambil tanganku kembali meremas-remas kedua buah dadanya sampai membuat mbak Indri merintih, melenguh dan mendesah tak karuan. Kugali terus vagina perempuan yang sudah termakan gairah birahi itu, kujilati vaginanya yang sempit. Mbak Indri menggelinjang bak cacing kepanasan, geliat tubuhnya di sofa kian keras dan liar. Badannya sudah basah oleh keringat dingin yang membanjir keluar. Merasa kepanasan, ia berniat untuk melepas jilbabnya, tapi aku langsung menahan tangannya, ”Jangan, mbak. Pakai terus jilbab mbak.” pintaku. Mbak Indri memandangku dengan mata sayu, giginya menggigit bibirnya bawahnya gemas, tak kuat menahan kenakalanku yang makin kuat meremas-remas buah dadanya. Melihat kepasrahannya, aku kembali menunduk dan menjilati lubang vaginanya. Mbak Indri langsung melenguh dan memejamkan matanya. “Uuuh... sshhh... shhhh... hhhhh... mmhhh.. Mal, geli!!“ desisnya dengan kepala mendongak. Sementara aku terus menjilati lubang sempit di selangkangannya yang sudah membasah parah. Lubang itu aku sibakkan dengan lidah, yang kanan aku gigit-gigit kecil, membuat mbak Indri merintih dan menggeliat tak karuan. Sementara daging sebelah kiri gantian aku sedot-sedot nikmat, sehingga wanita berjilbab ini semakin terbuai oleh nafsu birahinya. “Maal... ahhhh... aku nggak kuat lagi... aaahh... sudah... uhhh... masukin aja... aaaah...“ lenguh mbak Indri dengan mata tertuju ke selangkanganku, ia memandangi penisku yang tegak mengeras, memohon agar aku segera menggunakannya untuk menyetubuhi dirinya. Tapi aku masih ingin menghisap lubang kencingnya lebih lama lagi, jadi aku terus mengoralnya sampai membuat istri Ustad Jafar ini terpejam erat dan menggelinjang nikmat penuh kepuasan. “Ahhh... kamu nakal, Mal...” erang mbak Indri dengan tangan bertumpu pada meja. Begitu kerasnya ia mendorong sampai meja kecil itu sedikit bergeser. Lubang senggamanya kuperhatikan semakin membesar. Kumainkan terus klitorisnya yang menonjol indah dengan lidahku, kujilat dan kusedot benda mungil itu berulang kali hingga membuat mbak Indri menjerit tak tahan. “Gila kamu, Mal! Aaaah... aduh... aduduh... sudah, Mal... aku nggak tahan.“ lenguhnya dengan bola mata memutih tak kuat menahan rangsanganku. Kumasukkan tanganku masuk ke dalam lubang memeknya yang sempit, kukorek-korek ke atas dan ke bawah, membuat jeritan mbak Indri semakin membahana memenuhi seisi rumah. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah...“ teriaknya dengan sangat kuat, jepitan pahanya kini semakin keras di kepalaku. Pantang mundur, kumainkan terus klitorisnya sambil tak henti kutusuk-kutusuk lubangnya, membuat tubuh mbak Indri melenting dan membusung ke atas. Segera kuremas-remas buah dadanya agar ia bisa segera mendapatkan orgasmenya. “Auw... aaaaahhh!!!“ erang wanita berjilbab itu sambil mencengkeram kuat bantalan sofa. Tubuhnya menegang kaku, kemudian berdebam ke bawah dengan nafas ngos-ngosan. Di bawah, vaginanya mengucurkan cairan panas yang banyak sekali, sampai membasahi sofa dan terciprat di bibirku. Kutekan pinggulnya dan kuelus-elus paha mulus mbak Indri, kemudian kurapikan jilbabnya yang acak-acakan. Istri ustad Jafar itu memejamkan matanya dengan tangan menggapai-gapai saat aku kembali merangsangnya pelan-pelan. Pahanya yang sangat mulus menjadi incaran tanganku. Kuelus mulai dari sana hingga naik ke pinggang, kemudian terus merambat hingga aku kembali meremas-remas bongkahan payudaranya yang membusung indah. Lalu kutindih tubuhnya. Mbak Indri membuka matanya, ia tersenyum saat melihatku. ”Kamu hebat, Mal. Nikmat sekali. Ustad Jafar tidak pernah berbuat seperti itu kepadaku.” bisiknya. ”Aku kuberi mbak kenikmatan lain malam ini. Terimalah ini, mbak.” sambil berkata, kuremas payudaranya dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku memegangi batangku dan mengarahkannya tepat ke lubang vaginanya. “Mmmmh…“ desah mbak Indri saat merasakan ada benda tumpul yang merangsek ingin masuk ke celah selangkangannya. “Tahan, mbak. Rasakan kontolku.“ kataku sambil terus mendesakkan batangku agar bisa segera menembus belahan memeknya. “Ehm... pelan-pelan, Mal. Sakit!” rintih mbak Indri, namun desakan penisku yang menusuk semakin dalam akhirnya membuat ia terdiam. ”Aku sudah lama menginginkan dirimu, mbak...“ kataku yang dijawab dengan ciuman mbak Indri di bibirku. “Sudah, jangan banyak omong, Mal. Cepat setubuhi aku!“ pintanya yang sudah tidak sabar. “Iya, mbak...” kataku sambil terus mendesakkan batangku pelan-pelan, membuat mbak Indri menjerit lagi. “Aduh, kok gede banget sih punyamu, Mal. Ooh... vaginaku rasanya mau robek.“ jeritnya dengan berusaha menggoyangkan pinggul untuk mengurangi rasa sakitnya ketika aku menarik dan menenggelamkan batangku lebih dalam. “Enak kan, Mbak? kontolku sesak dalam memek mbak Indri.“ kataku dengan wajah melotot karena keenakan batangku dijepit oleh vaginanya yang sempit itu. ”Ehsss... Mal!” hanya itu yang bisa dikeluarkan mbak Indri sebagai jawaban. “Kugoyang ya, mbak... mbak Indri nikmati saja.” kataku dengan memandang wajahnya yang masih berbalut jilbab. “Sesak, Mal... pelan aja goyangnya.“ rintih mbak Indri saat menatapku mesra. “Begini?“ aku mulai menghujamkan batangku, membuat istri ustad Jafar itu mendongak kesakitan. “Aahh... pelan aja, Mal. Ssssh... sakit!” jerit mbak Indri dengan nafas ngos-ngosan. Jepitan vaginanya terasa semakin rapat seiring batang penisku yang meluncur masuk lebih dalam. “Iya, aku goyang pelan deh... begini?“ kataku sambil menggenjotnya lembut. ”Ehsss... iya, begitu, Mal. Agak enakan sekarang!” katanya dengan memandangku sayu. Aku pun meneruskan menggenjot tubuh sintalnya. Sambil menggerakkan pinggul, kembali kuremas-remas buah dadanya. Mbak Indri menanggapi dengan memegang kepalaku dan mengajakku untuk saling berpagutan, kami semakin terbakar birahi. “Aaaah... memekmu enak, mbak!” desisku di tengah genjotan naik turun di selangkangan wanita berjilbab ini, kami terus saling bergerak. “Mal, ooh... aku juga enak, Mal. Terus! Aaaah... enak, Mal... ssssh!” erang mbak Indri ketika aku melepas pagutan kami. Wanita itu ikut menggoyangkan pantatnya mengimbangi tusukanku. Gesekan alat kelamin kami semakin lancar saja jadinya. Genjotan demi genjotan terus kulakukan, sampai mbak Indri terpejam-pejam merasakan sodokanku yang semakin cepat. “Mal, aaaah... aku nggak kuat lagi, Mal! Ughhh...“ teriaknya dengan suara keras, jilbabnya sampai menutupi buah dadanya. Segera kuremas-remas buah dada di bawah jilbab warna abu abu itu, luar biasa sensasi yang kurasakan. Benda itu terasa lembut dan sangat empuk, juga terus bergerak terus naik turun seiring genjotan yang aku lakukan. Tubuh mbak Indri kulihat semakin melemah. Vaginanya juga semakin lama semakin menyempit dengan cepat. Sepertinya wanita itu sudah tidak tahan lagi. ”AGHHHHHHHH...!!!” diiringi jeritan keras, istri ustad Jafar yang alim itupun menegang kaku, matanya memutih, tubuhnya kejang beberapa kali sebelum akhirnya lemas dan terdiam dalam pelukanku. Wajah cantiknya tampak penuh keringat, membuat jilbab yang masih ia kenakan sampai setengah basah. Kuhentikan sodokanku untuk memberi waktu bagi mbak Indri menikmati saat-saat orgasmenya. Ketika vaginanya sudah berhenti memancarkan cairan panas, segera kutarik batangku dan kemudian kukocok di depan wajahnya. Aku ingin memuntahkan isi penisku di atas wajah cantiknya. “Aaaah... aaahh... ssshh...“ desisku merasakan ledakan spermaku yang bermuncratan mengenai mata, hidung dan mulut mbak Indri. “Ahhh... Mal,“ pekik mbak Indri kaget tapi tidak menolak. Spermaku keluar banyak sekali, beberapa bahkan menutupi lubang hidung dan mata sebelah kirinya. ”Aku nggak bisa nafas, Mal.” desah mbak Indri sambil membersihkan lelehan sperma di hidungnya, akibatnya tangan lentik wanita itu jadi penuh dengan cairan spermaku sekarang. “Kita mandi yuk, mbak... kumandikan mbak Indri.” ajakku yang disambut anggukan kepala olehnya. Segera kutarik tangannya dan kemudian kubopong tubuhnya ke kamar mandi. Kumandikan wanita berjilbab itu, kusabuni seluruh tubuh sintalnya. Demikian pula dia, mbak Indri mengguyur tubuhku dengan semprotan air, rasa dingin dengan cepat menggelayuti tubuhku, menyegarkan nafsuku kembali. Dengan telaten kami saling menyabuni, mbak Indri sering tersenyum ketika mencuci batangku yang kembali ngaceng. Tangannya terkadang nakal berlama-lama disana. Aku juga ikut nakal dengan menyabuni bagian buah dadanya yang segar dan ranum itu, kurasakan kelembutan dan keempukannya walau sudah digunakan menyusui anaknya dua kali. Kami berdua saling berdekapan di dalam kamar mandi, sesekali kucium pipi dan bibir mbak Indriani. Dia tidak menolak, bahkan mbak Indri semakin senang dengan kenakalanku. “Ih, kamu kok cepet banget ngacengnya, Mal?“ rajuk mbak Indri sambil mengocok pelan penisku. “Habis tubuh mbak segar banget, bikin aku nggak tahan lihatnya.“ sahutku dengan gemas, kupalingkan kepalanya dan kupagut mesra bibir tipisnya. Mbak Indri menanggapi pagutanku dengan sangat mesra. “Aku suka sama kamu, Mal. Kamu jantan banget!“ bisiknya dengan tersenyum. “Aku juga suka tubuh mbak. Rasanya sudah nggak sabar pengin nindih dan ngentotin mbak Indri lagi.“ sahutku sambil memegang pinggangnya. “Ayo deh, sebelum suamiku keburu pulang.“ sahut mbak Indri dengan nakal. Jadilah kami melakukannya sekali. Satu jam kemudian, tepat saat spermaku muncrat memenuhi lubang memeknya, terdengar ketukan di pintu depan. ”Assalamu’alaikum... Mi, Abi pulang.” itu suara ustad Jafar. Buru-buru kusambar pakaianku dan keluar lewat pintu belakang dengan tubuh masih telanjang. Sempat kubisikkan pada mbak Indri agar ikut pesta ibu-ibu besok di rumah Linda. Dia mengangguk mengiyakannya Di pekarangan belakang, baru kupakai baju dan celanaku.. Kulihat mbak Indri menyambut suaminya hanya dengan berbalut handuk. Melihat kemulusan tubuh sang istri, ustad Jafar segera menggiring wanita itu ke dalam kamar dan... tahu sendiri lah apa yang terjadi selanjutnya.

No comments:

Post a Comment